~π€~
Bisa kah sehari saja hidupku tenang ?
***
"Darren cepet, aku harus kembali ke restoran!" titah Diana tak sabaran. Gadis itu tidak berbohong, hari ini ia benar-benar sibuk.
"Tunggu sebentar lagi, ini belum rapi," balas Darren dengan tangan yang masih memegang kepala istrinya.
Saat ini mereka masih saling berhadap-hadapan. Hal itu sedikit membuat jantung Diana tak karuan. Ia dibesarkan di keluarga yang agamis, Diana tidak pernah sedekat ini dengan lelaki. Meskipun dulu ia tidak memakai kerudung, Diana tidak pernah bersentuhan dengan lelaki yang bukan mahramnya. Pernah waktu itu ia pulang berboncengan dengan teman SMA-nya, Irwan langsung menyeret Diana secara kasar menuju gudang dan menguncinya hingga malam. Dulu Irwan tidak pernah main-main dalam mendidiknya.
Deru nafas Darren begitu terasa di kulit wajahnya yang begitu mulus.
"Apakah lelaki ini sengaja ?" batinnya.
"Nah udah."
"Makasih," balas Diana sambil menatap jengkel ke arah suaminya. Setelah itu ia berdiri hendak meninggalkan tempat itu.
"Eh tunggu!"
"Apalagi ?"
"Biarkan aku mengambil fotomu," ucap Darren sambil mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
"Buat apa Darren ?"
"Ya buat koleksi saja."
Diana menatap curiga ke arah suaminya, "kau mau memeletku ?!"
"Memangnya kenapa ? Akan aneh jika aku tak memiliki satu pun fotomu."
Mendengar hal itu Diana langsung terdiam. Darren benar, saat ini hubungan ia dengan Darren adalah suami istri, ia harus mulai terbiasa.
"Yaudah cepet," ucap Diana sambil meletakkan salah satu tangannya di pipi hingga membentuk setengah love. Persis seperti pose salah satu idol girl group kenamaan yang saat ini sedang viral.
"Jangan sok imut!"
Senyuman gadis itu langsung luntur seketika. Perkataan Darren seperti tidak pernah disaring, ceplas-ceplos seenaknya. Semuanya serba salah, Diana menatap jengkel suaminya.
"Terus aku harus gimana Darren ?"
"Senyum aja, senyum biasa."
Setelah beberapa take, akhirnya sesi foto selesai. Diana langsung berdiri lagi. Ia berjalan menuju pintu begitu excited. Akhirnya ia terlepas dari ruang kerja suaminya.
"Diana sebentar..." teriak Darren kembali.
Mendengar tanda bahaya, Diana langsung ngibrit menuju lift.
"Aku tidak mendengarnya Darren, aku tidak dengar," ucap Diana sambil menutup telinganya. Ia tidak ingin terkurung di gedung pencakar langit hingga sore bersama Darren, benar-benar membosankan.
"Tapi ponselmu..." gumam Darren dengan pelan. Perkataan itu tidak terdengar, karena pintu lift sudah tertutup.
***
Saat ini Diana sudah sampai di lantai satu. Wanita itu berlari tak tentu arah. Ia belum begitu hafal dengan gedung ini. Merasa gemas dengan tingkah istri atasannya, seorang perempuan dengan pakaian rapi berjalan mendekat.
"Mari Nyonya, saya antar menuju pintu keluar," ajaknya sambil tersenyum.
"Terima kasih."
Kini Diana sudah berada di dalam mobilnya. Setelah memasang seatbelt-nya, ia langsung menancapkan gas menuju restoran. Hampir satu jam ia berada di ruang kerja Darren, untung saja ia atasannya, kalau tidak ia akan dimarahi karena keterlambatannya.
***
Jam menunjukkan pukul setengah dua , kini Diana telah sampai di restoran. Setelah memarkirkan mobilnya, ia langsung berlari menuju toilet untuk mengambil wudhu, karena takut terkena air, akhirnya Diana melepaskan terlebih dahulu kerudungnya. Setelah selesai, ia menutup kembali rambutnya. Saat ia hendak keluar, Diana berpapasan dengan Gina. Pegawai yang berkerudung sepertinya.
"Gin, boleh minta tolong ?"
"Iya Bu, ada yang bisa dibantu?"
"Hehe, ini aku nggak bisa pasang jarumnya, lepasinnya sih bisa."
Dengan telaten Gina langsung memasangkan jarum tersebut, sebisa mungkin ia memasangkannya dengan hati-hati.
"Nah selesai, kalau masih belum terbiasa, pakai peniti aja Bu."
"Oke makasih ya sarannya, by the way jangan terlalu formal sama aku Gin, santai aja," ucap Diana sambil tersenyum.
***
Setelah selesai sembahyang, Darren langsung duduk di kursi kebesarannya. Ia menatap ponsel istrinya sebentar. Awalnya ia hanya menatap, tapi lama-lama ia mulai tersenyum. Kini tangannya mulai mengotak-atik ponsel Diana.
"Sepertinya tuan Darren sedang bahagia," celetuk seseorang sambil menyandarkan punggungnya di pintu.
Mendengar suara sepupunya, sontak Darren langsung menatap ke sumber suara. "Tidak sopan, kenapa nggak ketuk pintu dulu ?" tanyanya dengan sinis. Setelah mengatakan itu tatapan Darren kembali ke ponsel istrinya.
Merasa diacuhkan, Revan langsung berjalan menuju kakak sepupunya, "lo lagi liatin apa si serius banget ?" Setelah mengucapkan itu Revan langsung mengambil ponsel yang berada di tangan Darren.
Segera lelaki itu menggeser touchscreen hingga menampilkan beberapa foto Diana tanpa menggunakan kerudung. Sementara Darren lelaki itu berusaha mengambil ponsel istrinya, karena Revan lebih tinggi, hal itu membuat Darren agak kesusahan untuk meraih ponsel Diana.
"Revan!" Darren terlihat menggeram marah. Matanya menatap tajam ke arah Revan. Ia tidak suka foto Diana dilihat lelaki lain, meskipun saat ini ia masih belum mencintai Diana, hanya dia yang boleh melihatnya.
Melihat sepupunya marah, sontak Revan langsung menciut. Dengan perlahan ia menyerahkan ponsel itu. Revan terlihat seperti anak kecil yang tertangkap basah memainkan ponsel ayahnya.
"Istri lo cantik juga ya, cantik banget loh," ucap Revan dengan nada bicara seperti lelaki yang saat ini sedang terkenal di sosial media.
"Nggak, dia itu jelek. Lo belum tahu aslinya aja," sanggah Darren sambil meletakkan ponsel Diana di saku jasnya.
"Ngaco lo, orang tadi gue liat bare face nya pas bangun tidur. Lagian gue tau banget selera lo Darren, no kaleng-kaleng," tunjuk Revan kepada saku jas Darren.
" Jadi pengen kawin gue!" ucapnya lagi sambil setengah tertawa. Setelah itu ia duduk di sofa.
"Nikah kali, kalo kawin kan lo udah sering," celetuk Darren dengan nada mengejek.
"Syuut nanti kedengaran mami gue!"
"Kalo lo kayak tadi lagi, gue nggak segan-segan buat bocorin itu ke Tante Lina!"
"Anjir lo bisanya ngancem doang," balas Revan sambil mendengus kesal.
"Lo ngapain si kesini, ganggu kerjaan gue aja ?!"
"Gangguin lo lagi mainin hp Diana kali, gue baru tau ternyata lo posesif banget!" ledek Revan.
"Bukan gitu, ponselnya ketinggalan yaudah gue kantongin aja," balas Darren membela diri.
"Eh by the way malam pertama lo gimana ?"
Deg...
Mendengar hal itu Darren langsung terdiam. Semalam ia benar-benar lelah. Tidak, bukannya tidak sempat, tapi Darren belum ingin melakukannya. Ia hanya ingin melakukan hal itu dengan seseorang yang dicintainya.
"Kalian belum ngelakuin itu ? Pantes si, gue udah nyangka karena pernikahan kalian juga mendadak, pasti..."
"Udah, udah kok," balas Darren.
"Gimana ? Asyik kan ?"
"Hmm, sangat mengasyikkan!"
"Lo nyesel kan dari dulu nggak pernah nyoba ?"
"Gila lo Van!" Hampir saja Darren melemparkan cangkir ke arah Revan. Ia benar-benar sudah kewalahan dengan tingkah absurd sepupunya. Dari kecil Revan selalu mengajak Darren berbuat nakal agar ada teman ketika dimarahi Tante Lina dan bodohnya ia mau saja, hingga berakhir terkena jeweran di telinga.
Dilihatnya Revan malah cengengesan, sementara Darren, lelaki itu lebih memilih mengerjakan berkas yang masih menumpuk.
Setelah setengah jam, Darren menarik Revan agar segera berdiri, setelah itu ia mendorong sepupunya menuju pintu. Revan seperti pengangguran saja, datang tidak tau waktu, menyentuh setiap barang-barang di ruangannya, benar-benar nakal seperti tokoh sepupu stanley di serial kartun Spongebob. Padahal lelaki itu juga sedang memimpin perusahaan.
***
Sejak satu jam yang lalu, Diana mengacak-acak ruangannya, bukan tanpa alasan, gadis itu mencari ponselnya. Terakhir kali ia menyimpannya di meja kerja. Tidak, ia tidak ingin membeli ponsel baru, ia terlalu sayang dengan uangnya. Diana bukanlah tipe gadis yang bergonta-ganti ponsel jika ponsel keluaran baru telah dirilis.
"Duh kemana ya ?" Sesekali ia memukul kepalanya.
Restoran tutup pada pukul sepuluh malam. Biasanya Diana akan menyuruh mbak Kikan untuk menyimpan kuncinya karena ia selalu pulang duluan. Biasanya paling malam ia pulang jam tujuh, tapi sejak kemarin Darren mewanti-wanti untuk pulang pukul 5 sore, kalau tidak, Darren akan melarang Diana untuk bekerja dan melaporkannya kepada Ayah. Awalnya Diana kira setelah menikah ia akan bebas dari peraturan ayah dan nenek, tapi dugaannya salah, Darren malah semakin mengekangnya.
*
*
*
Jalanan benar-benar macet, di jam seperti ini sudah menjadi hal biasa di daerah perkotaan. Semua orang berlomba-lomba untuk pulang agar segera bertemu dengan keluarga tercinta. Telat maju saja, mobil di belakang langsung memberikan klakson, sangat kekanak-kanakan dan tidak sabar. Berbeda dengan dirinya, Diana malah senang, sambil berkendara ia menikmati sunset yang terpampang indah.
Tepat pukul setengah tujuh Diana tiba, segera ia memarkirkan mobilnya. Mobil Darren sudah terparkir rapi. Sebisa mungkin ia menetralkan jantungnya. Ia tak mengira akan pulang selarut ini. Meskipun Diana bukanlah tipe gadis penakut, tetap saja ia takut dengan suaminya. Dan ingat, Darren itu lelaki, berdasarkan cerita teman-temannya lelaki itu lebih ganas ketika sedang marah, dan saat ini dengan beraninya Diana memancing kemarahan lelaki itu.
"Ceklek..."
Dengan hati-hati Diana membuka pintu. Ia berharap Darren sudah tidur. Ia berjalan sambil mengendap-endap seperti seorang maling.
Saat melewati ruang tengah tiba-tiba. "Kemarin aku bilang jam lima sore, apa kamu lupa Diana?"
Gadis itu langsung memukul keningnya, seketika harapannya sirna. "Aishhh..."
"Tadi macet Darren, macet parah sumpah nggak bohong," ucap Diana dengan sungguh-sungguh ia menatap suaminya, berharap lelaki itu percaya.
"Biasanya yang ngomong kayak gitu kebalikannya. Baru aja sehari, kamu berani melanggar, kalau ayah tahu-,"
"Ih Darren aku nggak bohong, jangan bilang ke ayah," pinta Diana sambil mendekati suaminya yang sedang duduk santai di sofa. Sesaat mata gadis itu melotot.
"Ih itu kan ponselku yang hilang ?" tanya Diana dengan raut kagetnya.
"Ini ?" tanya Darren sambil memutar ponsel itu dengan tangannya.
"Ini memang ponselmu," ucapnya lagi sambil menyeringai.
"Darren ih, tadi aku nyari-nyari sampe ruang kerja berantakan!" Gadis itu menatap jengkel suaminya.
"Nih jaga baik-baik, dasar gadis pelupa!" balas Darren dengan santai lalu ia memegang pipi Diana dengan kedua tangannya hingga bibir gadis itu mengerucut.
Setelah mengucapkan itu, Darren berjalan menaiki tangga. Ini aneh, padahal Darren sendiri yang mengatakan bahwa ia tidak sudi menyentuhnya, tapi baru sehari saja mereka sudah melakukan skinship beberapa kali yang membuat jantungnya berdetak tidak karuan. Darren begitu munafik, ia sendiri yang melanggar ucapannya. Barusan lelaki itu memegang pipi Diana, bahkan hidung mancung lelaki itu sudah bersentuhan dengan hidung miliknya. Diana belum terbiasa dengan semua ini.
Setelah mendapatkan ponselnya, segera Diana membuka beberapa aplikasi, takut kalau Darren menghapus atau merubah file-file penting dan juga tugas kuliah. Saat membuka galeri, tiba-tiba matanya melotot. "Darren kenapa kamu hapus foto-fotoku ?" teriak Diana.
"Aku hanya menghapus foto kamu yang nggak pake kerudung, memangnya tidak boleh ?" balas Darren dari lantai dua. Dapat Diana lihat rambut lelaki itu.
Apa ? Berani-beraninya Darren mengucapkan hal konyol itu ? Ternyata selain tukang maksa, lelaki itu juga tukang hapus foto. Sungguh kali ini Darren benar-benar keterlaluan, meskipun lelaki itu suaminya, Darren tidak berhak mengotak-atik ponsel miliknya, apalagi sampai menghapus foto. Lagipula Diana tidak pernah mengirimkan foto tersebut kepada teman prianya.
"Itu kan cuma buat kesenangan aku aja Darren, aku tidak pernah mengirimkannya kepada siapapun," teriak Diana lagi, ia berharap ucapannya terdengar sampai ke lantai dua.
"Aku tidak perduli."
Dengan amarah yang sudah memuncak Diana berjalan menuju kamarnya. Mungkin dengan berendam sebentar akan menghilangkan rasa penatnya. Setelah mengunci pintu kamar, Diana membuka seluruh pakaiannya. Ia berani melakukan hal itu karena semua tirai sudah tertutup. Ia berjalan menuju lemari untuk mengambil bathrobe-nya.
Diana sengaja mengunci kamar agar pelayan dan Darren tidak bisa mengganggunya.
Hampir dua puluh menit Diana berendam, samar-samar ia mendengar seseorang mengetuk pintunya. Bukannya segera menyelesaikan sesi berendamnya, Diana malah mengambil headphone di meja samping bathtub. Sengaja ia menaikkan volume lagu yang didengarnya.
Setelah lima belas menit, akhirnya Diana memutuskan untuk beranjak dari bathtub. Kini badannya benar-benar wangi. Dari dulu ia sering berendam hingga lupa waktu.
Saat ini ia sedang memakai baju tidur yang tidak terlalu terbuka. Diana sengaja tidak memakai bra karena ia merasa kurang nyaman. Setelah memakai baju, ia berjalan menuju pintu.
Saat melewati para pelayan, mereka langsung menyapa Diana.
"Selamat malam Nyonya, makan malam sudah tersedia."
"Malam ini aku hanya ingin minum susu," ucapnya sambil mengambil susu yang berada di lemari.
"Biar sama saya saja Nyonya."
"Aku masih mampu melakukannya." ucapan Diana berhasil membuat nyali pelayan muda itu menciut. Ia masih belum menerima bahwa mereka telah lancang membakar semua bajunya, meskipun semua itu hanyalah suruhan Darren. Gaun tidur yang dipakainya saat ini adalah gaun yang baru dibelinya tadi sore. Diam-diam ia membelinya tanpa sepengetahuan Darren.
"Bawa semua makanan ini ke mesh kalian, aku tidak akan memakannya. Dan mulai besok kalian tidak perlu memasak untuk saya!" ucap seseorang dengan suara khasnya.
Mendengar hal itu Diana sama sekali tidak berbalik, ia lebih memilih menghabiskan susu yang baru saja diseduhnya karena takut keburu dingin. Ia masih marah dengan tindakan Darren yang semena-mena.
Sedangkan para pelayan, mereka langsung membawa semua makanan menuju tempat mereka. Rumah utama hanya untuk Darren dan Diana, semua pelayan dan satpam ditempatkan di gedung yang berbeda, hal ini ia lakukan agar privasinya dengan Diana tetap terjaga.
Diana sama sekali tidak menatap suaminya, karena tidak ada lagi yang ingin dikerjakan ia pun memilih untuk kembali ke kamarnya. Saat melewati Darren, tiba tiba gaunnya ditarik, sesaat Diana langsung melihat ke arah jari-jari Darren yang seperti mencubit tipis gaunnya.
"Apa?!" tanya Diana sedikit judes.
"Kau mau kemana ?"
"Aku mau ke kamar Darren," ucapnya sambil menghempaskan jari-jari Darren.
"Buatkan aku makanan."
"Kan tadi udah disediain, kenapa malah dikasih ke mereka ?"
"Aku mau kamu yang masak."
Mendengar hal itu Diana memandang suaminya sejenak, Darren tidak akan melepaskannya. Mau tak mau ia harus menuruti lelaki itu. Sebelum memasak Diana mengikat rambutnya terlebih dahulu, ia takut rambutnya rontok dan mengenai makanan yang dibuatnya. Diana tidak ingin Darren menganggapnya jorok.
Melihat respon istrinya, Darren pun duduk di meja makan. Hampir lima menit ia memperhatikan istrinya yang dengan cekatan memotong daging dan beberapa sayuran.
"Sejak kapan kamu punya gaun tidur itu ?" tanya Darren, ia segara memiringkan kepalanya agar dapat melihat wajah istrinya. Perasaan baju-baju Diana sudah ia bakar, dan juga ia tidak pernah membelikan gaun pendek itu.
"Tadi aku membelinya, semua bajuku kan sudah dibakar oleh seseorang," balas Diana cuek tanpa menatap Darren.
"Kamu boleh memakai gaun itu, tapi hanya di saat malam saja, dan ingat, tidak boleh keluar rumah," ucap Darren. Ia rasa dirinya terlalu memaksa Diana untuk menaati peraturannya.
Diana hanya mengangguk. Akhirnya Darren sedikit melonggarkan peraturannya. Sejak dulu ia memang suka memakai gaun tidur, ia merasa lebih leluasa. Tapi ia tidak berani memakainya keluar kamar, ia takut Farrel dan Ayah melihatnya, sedangkan di zaman sekarang banyak kejahatan seksual yang berasal dari salah satu anggota keluarga.
Dengan hati-hati ia membawa beberapa piring menuju meja makan. Ia sudah tidak sabar untuk kembali ke kamar.
"Nah sudah siap," ucapnya sedikit keras agar perhatian Darren teralihkan dari benda pipih yang ada di tangannya. Sekilas Diana melihat layar itu menampilkan aplikasi sosial media, dan Darren berkali-kali menekannya, lelaki itu menyukai postingan perempuan berhijab. Sayangnya Diana tidak bisa melihat dengan jelas karena ia tidak menggunakan kaca matanya. Darren seperti sedang dimabuk cinta, sesekali ia menyunggingkan senyuman.
"Lantas, jika Darren menyukai gadis lain, kenapa lelaki itu malah menikahinya ?"
"Darren," ucap Diana sambil menyentuh pundak lelaki itu.
Sedetik kemudian Darren langsung menyimpan ponselnya. Lelaki itu menatap kaget ke arah Diana.
"Kau berusaha menggodaku dengan dada rata itu ?" tanya Darren.
Tingkah Darren saat ini seperti seorang penjahat yang tertangkap basah. Darren yang selingkuh, kenapa ia yang marah ? Kalau Diana sih biasa aja, toh ia belum memiliki perasaan apapun kepada suaminya.
Diana menatap heran lelaki di hadapannya. "Tidak, aku hanya ingin mengingatkanmu bahwa makanannya sudah jadi."
Dengan sengaja Diana melepas baju yang menutupi lengannya, kini gadis itu hanya berbalut gaun tidur pendek. "Lihat dadaku tidak rata, dan aku tidak akan membiarkannya disentuh lelaki sepertimu!" Setelah mengatakan itu, Diana langsung berjalan menuju kamar dengan kaki yang dihentak-hentakan.
Kamar Diana berada di lantai bawah. Dengan sedikit keras Diana menutup pintu, persetan dengan sopan santun, ia sudah terlanjur marah. Ia tak habis pikir, bisa-bisanya Darren berpikir seperti itu. Ia bukanlah wanita murahan, bahkan sentuhan pertama yang ia dapatkan berasal dari lelaki itu.
Saat tiba di kamar segera gadis itu berbaring di kasur queen size miliknya. Satu hari bersama lelaki itu berhasil menguras tenaga dan emosinya. Apakah ia hanya seorang tukang catering ? Darren terus menyuruhnya untuk membuat makanan.
"Drt...drt...drt..."
Baru saja ia menutup mata, suara panggilan berhasil mengusiknya.
"Assalamualaikum Ana..."
"Waalaikumussalam, ada apa Bu ?"
"Apakah kalian sudah melakukannya Di ?"
Deg...
Pertanyaannya macam apa ini ? Kenapa begitu kurang ajar ?
TBC
~π€~Bisa kah sehari saja hidupku tenang ?***"Darren cepet, aku harus kembali ke restoran!" titah Diana tak sabaran. Gadis itu tidak berbohong, hari ini ia benar-benar sibuk."Tunggu sebentar lagi, ini belum rapi," balas Darren dengan tangan yang masih memegang kepala istrinya.Saat ini mereka masih saling berhadap-hadapan. Hal itu sedikit membuat jantung Diana tak karuan. Ia dibesarkan di keluarga yang agamis, Diana tidak pernah sedekat ini dengan lelaki. Meskipun dulu ia tidak memakai kerudung, Diana tidak pernah bersentuhan dengan lelaki yang bukan mahramnya. Pernah waktu itu ia pulang berboncengan dengan teman SMA-nya, Irwan langsung menyeret Diana secara kasar menuju gudang dan menguncinya hingga malam. Dulu Irwan tidak pernah main-main dalam mendidiknya.Deru nafas Darren begitu terasa di kulit wajahnya yang begitu mulus."Apakah lelaki ini sengaja ?" batinnya."Nah udah.""Makasih," balas Diana sambil menatap jengkel ke arah suaminya. Setelah itu ia berdiri hendak meninggalk
Keesokkan paginyaWaktu menunjukkan pukul lima pagi. Tadinya Diana sudah memasang alarm, setelah shalat, ia langsung tertidur lagi, sudah lama ia tidak bergelut manja di ranjangnya. Meskipun ranjangnya saat ini berukuran queen size ia tetap nyaman."Tok...tok...tok..."Samar-samar terdengar suara ketukan pintu, sangat pelan, karena merasa risih akhirnya Diana pun terbangun."Nyonya sudah bangun ?""Sudah," balas Diana dengan suara seraknya."Boleh kami masuk untuk menyiapkan air hangat ?""Boleh, pintunya juga tidak dikunci," balas Diana sekenanya. Setelah mengucapkan itu Diana berjalan menuju jendela. Dengan perlahan Diana membuka jendela itu. Udara segar menerpa kulit putihnya. Ia pun berbalik, matanya menatap sekeliling kamar. Darren begitu tega, lelaki itu menempatkannya di kamar tamu. Berbeda dengan kamarnya yang berada di rumah ayah, kamar itu begitu luas, kadang ia malas membereskannya."Nyonya airnya sudah siap," ucap pelayan sambil menunduk."Baik, terima kasih," balasnya sa
~π€~Bagaikan burung yang hidup di dalam sangkar emas***Dengan hati dongkol Diana berjalan menuruni tangga. Bibirnya terus mengomel menggunakan bahasa asing. Para pelayan yang khawatir melihat nyonya rumah berjalan dengan cepat langsung mengekori dari belakang."Nyonya tunggu, hati-hati," ucap salah satu dari mereka. Ingin sekali mereka menggandeng Diana agar berjalan lebih lambat, tapi mereka takut kena amukan. Sejak datang, istri tuannya itu sama sekali tidak tersenyum, padahal wanita itu cukup cantik, bahkan sangat cantik jika ia bisa melebarkan bibirnya barang satu detik. Awalnya mereka mengira bahwa Diana itu blasteran, tapi ternyata tidak. Nyonya Diana ini seratus persen keturunan Indonesia. Mereka bisa mengetahui hal ini karena minggu-minggu kemarin Nyonya Delia sering membicarakan calon menantunya."Di mana kamarku ?" tanya Diana saat mereka sudah sampai di lantai bawah."Mari ikut saya nyonya."Tanpa membalas, Diana mengikuti pelayan tersebut. Mereka berjalan menuju pintu b
Blank. Diana seakan-akan bisu. Bola matanya membulat sempurna, ia menatap ibunya, wanita itu sama sekali tidak membalas tatapannya. Ibunya malah tersenyum ke arah wanita di seberang yang Diana yakini sebagai calon mertuanya. Wanita di seberangnya ini terlihat elegan dengan anting berlian blue sapphire yang menggantung indah di telinganya, sangat jeli.Diana sama sekali tidak bisa menolak keputusan ayahnya. Ia mencoba menatap lelaki yang baru saja melamarnya, untuk pertama kalinya mereka saling menatap. Darren, nama yang baru saja didengarnya, lelaki itu menatapnya datar. Darren seperti membencinya, ia sudah kenal depan tatapan seperti. Sudah sering, seperti makanan sehari-hari.Tidak ada acara tukar cincin, Darren hanya menyerahkan cincin lamaran itu tanpa berniat memasangkannya. Tak ada yang protes karena dengan begini mereka tidak bersentuhan sebelum benar-benar halal.Setelah berbincang cukup lama mengenai waktu pelaksanaan pernikahan, Vina dan Rosa mempersilahkan para tamu untuk m
~π€~Tiba-tiba datang seperti hujan badaiDi manakah aku berteduh ?***Hari ini benar-benar melelahkan, setelah pulang dari kampus, Diana harus mengunjungi kedai kecilnya. Sejak dari tadi, mbak Kikan selaku managernya menelpon, pasti terjadi sesuatu. Yaa, wanita itu tidak mungkin menelponnya sampai puluhan kali. Diana mengendarai mobil yang baru saja sebulan dibelinya dengan sedikit mengebut. Diana sudah berhasil membeli mobil hasil dari jerih payahnya sendiri. Meskipun baru beberapa bulan belajar, gadis itu sudah terlihat mahir dalam berkendara. Bahkan ia membuat SIM card-nya tanpa menyuap.Cuaca sore ini cukup terang ditambah kemacetan membuat Diana gerah. Kota ini memang lumayan padat, ia sedikit memakluminya. Ia menyesal karena tidak membawa ikat rambut di tas hitamnya, biasanya ikat rambut itu selalu berserakan di dashboard, tapi kali ini tidak ada.20 menit kemudianAkhirnya Diana sampai di depan halaman parkir kedainya, suasana siang ini cukup ramai. Soal harga, Diana tidak te