Share

Lucu

"Apa lo bisa belajar membuka hati lo buat gue?"

Kata-kata Davin terus terngiang, berputar-putar memenuhi isi kepalanya bagaikan radio rusak. Rena duduk termenung di tepi jendela, matanya memandangi embun di kaca setelah hujan deras mengguyur daerah rumahnya beberapa saat yang lalu.

Semenjak kepulangannya tadi siang, Rena sengaja mengurung diri di kamar dan enggan ditemui oleh siapa pun. Ia ingin menenangkan diri, selain masih syok akan perlakuan Alan. Ia juga ingin merenungi permintaan Davin, berkali-kali pria itu meminta kesempatan. Seperti waktu di jalan menuju festival musik, Davin juga mengatakan hal yang sama. Pria itu terlihat sangat bersungguh-sungguh, membuatnya dilema. Bingung harus bagaimana, ia tak ingin menyakiti perasaan Davin yang sudah baik padanya. Tapi di sisi lain, ia masih belum yakin dengan dirinya sendiri.

Mampukah Rena membuka hati untuk Davin? Sementara separuh perasaannya masih dimiliki si berengsek Alan.

Rena tersenyum kecut. Nyatanya membuang perasaan yang sudah tumbuh subur di dalam hati tak semudah saat mengucapkannya. Walau berkali-kali Alan sudah menorehkan luka dalam hatinya, kenyataannya ia tak bisa berbohong jika pria itu masih mengisi separuh kekosongan dalam dirinya.

"Rena! Keluar Rena!" Teriakan dari bawah menyentak Rena dari lamunan. Ia menoleh ke pintu kamarnya yang tertutup rapat, meski begitu suara teriakan itu masih mampu didengarnya. Suara seseorang yang memanggil-manggil namanya. Tapi siapa?

Rena yang penasaran dengan suara gaduh di luar, lantas beranjak dari tempat duduknya. Ia melangkah keluar, suara teriakan itu santer terdengar semakin jelas.

"Saya mohon, maafkan anak saya. Tolong."

"Keluar dari rumah saya!"

"Saya mohon, beri anak saya kesempatan. Kami berjanji, kami akan mendidiknya agar tidak melakukan hal itu lagi. Saya mohon."

Terdengar suara orang menangis, bersamaan dengan suara bariton yang Rena kenali. Itu suara kakaknya, tapi kakaknya sedang bertengkar dengan siapa? Rena mempercepat langkahnya, menuruni tangga. Namun saat sampai tangga terakhir ia seketika berhenti, ketika melihat siapa yang sedang memohon-mohon di kaki kakak dan orangtuanya.

"Rena." Wanita itu menoleh, menyadari kehadiran Rena. Sontak ia berlari menuju wanita itu.

"HEI!" Reyvan naik pitam, segera mengejar.

"Rena, maafkan anak tante. Tolong, jangan penjarakan Alan. Tante mohon, Rena." Wanita itu ternyata mamanya Alan, ia bersimpuh di kaki Rena. Menggosok-gosok kedua tangannya, memohon pengampunan atas nama anaknya.

Rena memalingkan wajah, matanya berkedut. Air mata yang sempat mengering kini berkumpul di pelupuk mata. Dadanya kembali bergemuruh, merasakan nyeri berkali-kali lipat lebih sakit dari sebelumnya. Ia kembali teringat kilas balik kejadian tadi pagi, kejadian yang mengkoyak perasaannya, mencabik-cabik harga dirinya.

Reyvan memang berhasil menemukan Alan, setelah memberikan bogem mentah pada pria itu. Reyvan langsung menjebloskannya ke dalam penjara atas kasus penculikan dan percobaan pemerkosaan. Hal itu diperkuat oleh pernyataan Vera yang mengajukan diri sebagai saksi.

Entahlah, Rena sediri tidak tahu kenapa wanita itu mau bersaksi. Padahal ia tahu kalau Vera sangat mencintai Alan, bahkan keduanya sudah terlalu jauh melangkah. Walaupun kini Rena tahu satu fakta dibalik semuanya, Alan hanya memanfaatkan Vera untuk memenuhi fantasi liar pria itu yang terobsesi pada dirinya.

"Sebaiknya Anda keluar atau saya panggil polisi!" Suara bariton Reyvan menarik kesadaran Rena. Ia menoleh, melihat mama Alan tengah ditarik-tarik oleh kakaknya.

"Rena, tante mohon. Maafkan Alan, maafkan kami. Tante berjanji, tante akan menebus semuanya. Tapi jangan penjarakan Alan ... Rena. Alan satu-satunya anak tante." Mama Alan berpegang pada kedua kaki Rena yang masih mematung di anak tangga terakhir. "Tante lebih baik mati daripada harus melihat Alan dipenjara."

"Bagus, lebih baik Anda mati saja! Hidup juga nggak guna!" sarkas Reyvan, masih menarik-narik tangan mama Alan. Berusaha menjauhkannya dari Rena. Emosi Reyvan meledak-ledak, apalagi setelah ia tahu kebenaran soal Alan yang mencoba memperkosa Rena. Amarah yang kian menggebu tak mampu ia bendung, lantas Reyvan melampiaskannya pada pria itu. Tak puas membuat Alan babak belur, ia juga menjebloskannya ke penjara.

"Reyvan," tegur papanya. Meski ia juga emosi, tapi pria itu masih mampu menahan segala amarah yang menguasai. "Sudah Nak, pulanglah. Kasihan istrimu menunggu di rumah, dia pasti khawatir. Biarkan ini papa yang selesaikan."

"Nggak Pa!" Reyvan berucap dengan lantang. "Aku nggak akan biarkan pria sialan itu keluar dari penjara, dia harus menerima hukuman yang setimpal atas perbuatannya. Kalau perlu dia di hukum mati!"

"Tidak!!" Mama Alan histeris mendengarnya, beruntung mama Rena yang berhati lembut itu masih punya hati untuk menenangkan. Walau ia juga mengutuk perbuatan Alan yang berani-beraninya mencoba melecehkan Rena. Tapi ia yang juga seorang ibu, tak tega melihat mama Alan bersimpuh, merendahkan diri demi membela anak kurang ajarnya.

"Van, sudah Nak. Benar kata Papa. Kamu pulang saja, biarkan ini kami yang menyelesaikan. Lagipula tak ada gunanya menyelesaikan masalah dalam keadaan emosi. Lebih baik kamu tenangkan diri, istrimu juga menunggu di rumah," kata mamanya.

"Mama membela dia!" Reyvan meradang, menatap nyalang mama Alan. "Apa Mama tidak tahu apa yang sudah dilakukan anak sialan———"

"Kak Reyvan!" bentak Rena, menginterupsi semua orang yang ada di sana.

Reyvan tercekat, tak menyangka jika adik kesayangannya akan meninggikan intonasi suara pada dirinya.

"Kak Reyvan sebaiknya pulang," kata Rena, merendahkan suaranya. Tampak menyesal sudah membentak kakaknya, tapi ia tadi hanya spontan demi meredam emosi kakaknya. "Biarkan aku yang menyelesaikannya."

"Ren." Reyvan mendekat, memegang kedua bahu Rena. "Kamu nggak berniat untuk melepaskan bajingan itu 'kan?" Reyvan menatap lekat mata sayu Rena, kedua matanya masih terlihat bengkak. Lebam di wajah dan juga luka di pelipis serta sudut bibir yang robek. Ia begitu miris melihat wajah cantik Rena jadi seperti itu.

"Kak." Rena tersenyum lembut, meraih kedua tangan Reyvan. Ia menatap sendu kakaknya, berharap lewat sorot matanya emosi kakaknya akan luruh. "Terima kasih sudah jadi Kakak terbaik buat Rena, terima kasih karena Kak Reyvan selalu jadi pahlawan di saat Rena butuh pertolongan. Kakak selalu jadi yang terbaik, terima kasih." Berkali-kali Rena mengucapkan terima kasih, karena satu saja tak akan cukup untuk semua pengorbanan yang telah dilakukan Reyvan untuknya.

"Tapi, sekarang ada dua bidadari yang sedang menunggu di rumah. Jadi, pulanglah. Biarkan aku dan Papa sama Mama yang selesaikan semuanya." Rena masih menyunggingkan senyumnya, tidak dengan Reyvan. Hatinya justru semakin teriris melihat wajah Rena yang memaksakan seulas senyum, namun dari sorot mata adiknya tampak jelas wanita itu begitu terluka.

"Baiklah, kakak akan pulang. Kakak harap kamu bijak, jangan termakan oleh kata-kata manis. Orang yang sudah melakukan kesalahan pantas dihukum, berhenti mengasihani orang lain. Jangan terus memendam semuanya sendiri, ada kakak, ada mama dan papa yang akan melindungi kamu," ujar Reyvan, lalu memeluk erat Rena.

———————

Alarm berdering, memenuhi ruangan gelap. Secercah cahaya matahari masuk lewat celah gorden yang tersingkap. Suara lenguhan menyambut, seiring dengan tangan yang terulur untuk mematikan alarm yang terus berbunyi nyaring memekakkan telinga.

"Ren, Rena." Mata Rena perlahan terbuka saat mendengar suara dari luar kamar. "Rena, bangun." Matanya berkedip-kedip menatap langit-langit kamar, mengumpulkan nyawa yang belum genap sepenuhnya. "Rena, bangun Sayang. Ada Davin di depan."

Sontak Rena bangun, merubah posisinya jadi duduk tegak saat mendengar suara mamanya yang terakhir. "Davin?" gumam Rena. "Ngapain dia ke sini?" Ia tampak heran, karena seingatnya, Rena tidak punya janji dengan pria itu.

"Ren." Ketukan pintu kembali terdengar, menarik kesadaran Rena. "Apa mama suruh pulang saja?"

Cepat-cepat Rena turun dari ranjang, setengah berlari ke pintu. "Jangan!" Rena membuka pintu, sedikit terengah. "Rena udah bangun kok, Ma." Ia meringis saat melihat wajah mamanya yang melongo. "Suruh tunggu sebentar, Rena mau cuci muka dulu." Setelah itu ia melesat ke kamar mandi.

Tak butuh waktu lama, Rena berjalan menuruni tangga setelah selesai mencuci muka dan memastikan penampilannya tidak sekacau saat bangun tidur tadi. Sedikit informasi, Rena kalau bangun tidur kaya singa gabut. Rambutnya acak-acakan, berjingkrak ke atas seperti habis disetrum, belum lagi wajahnya yang terlihat kucel.

"Hai," sapa Rena saat tiba di ruang tamu, dilihatnya Davin yang sedang memainkan ponsel. "Sudah lama?" Pria itu menoleh saat mendengar suara Rena.

"Lumayan," jawabnya, sembari tersenyum tipis.

"Btw ada apa? Tumben datang pagi-pagi?" tanya Rena yang sudah penasaran dengan maksud kedatangan Davin. Jangan bilang pria itu ingin menagih jawaban atas pertanyaannya kemarin. Jujur Rena belum menyiapkan jawaban apa pun untuk itu, ia masih bingung.

"Lo ada waktu?"

"Waktu?" beo Rena, dibalas anggukan kepala oleh Davin.

"Gue punya dua tiket masuk wahana Ancol, berhubung gue single. Gue butuh patner buat menikmati semua wahananya," kata Davin, seraya menunjukkan dua tiket yang diambil dari saku jaket denim yang dikenakannya.

"Ancol ya?" Rena tampak tak bersemangat, ia sedang tak ingin ke mana-mana. Ia hanya ingin menghabiskan sisa skorsnya di rumah saja, rebahan sepanjang hari.

"Kenapa? Lo nggak bisa?" Davin menghela napas panjang. "Padahal gue lagi pengen banget ke sana, hitung-hitung bisa teriak-teriak sepuasnya. Sepertinya gue butuh pelampiasan, tapi gue takut dikira orang gila kalau teriak-teriak sendirian." Davin terkekeh, matanya menatap lekat Rena. Fokusnya tertuju pada sudut bibir Rena. "Apa masih sakit?" Tangannya terulur mengusap lembut sekitar luka di wajah Rena.

"Ha? Ah, sudah nggak kok." Rena langsung berpaling, kikuk. "Lo mau gue temenin ke Ancol 'kan? Kalau begitu lo tunggu dulu di sini, gue mau mandi." Tanpa menunggu jawaban, Rena segera bangkit dari duduknya. Bukan tanpa sebab ia kabur dari hadapan Davin, tapi karena reaksi tubuhnya yang tak wajar. Pipinya memanas hanya karena sentuhan tangan pria itu, memicu detak jantungnya yang tak wajar.

"Jantung gue kenapa coba, tiba-tiba konslet begini," gerutunya sembari berlari menaiki tangga.

Davin mendengkus geli, memandangi Rena yang berlari terbirit-birit. "Lucu banget si Ren," gumamnya. "Jadi makin cinta 'kan gue."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status