Share

Bab 4

            Karina termenung di dalam mobil Aksa yang menghadap ke arah pantai, angin semilir berhembus pelan menerpa wajahnya. Terasa begitu sejuk, sebuah senyum menghiasi bibir mungilnya. Dengan pelan ia menutup kedua matanya merasakan udara yang menyejukkan hati Karina.

            “Sedang apa kamu, jangan tidur...” tegur Aksa membuat Karina membuka kembali kedua matanya. Karina menoleh dan menatap ke arah Aksa sambil merenggut kesal.

            “Kenapa kamu selalu saja menghancurkan kesenanganku,” kata Karina, ia menunduk kesal. Seketika kembali ia palingkan wajahnya ke samping dan bergumam tidak jelas.

            Aksa menghembuskan nafas pelan menatap kearah Karina, “kamu tetap mau ikut denganku?” tanya Aksa membuat Karina terdiam. Sedetik kemudian, ia menolehkan wajahnya ke arah Aksa.

            “Kamu keberatan aku ikut denganmu?” tanya Karina menatap lekat Aksa.

            “Aku akan pergi ke rumah temanku, rumah itu dihuni oleh para pria. Kamu tidak akan merasa nyaman tinggal disana,” sahut Aksa. Karina termenung dan menghembuskan napas kasar. Ia jadi serba salah, ikut dengan Aksa berarti harus hidup dengan para pria yang aneh pastinya. Sedangkan kalau tidak ikut, Karina tidak punya tempat tujuan.

            “Aku akan ikut denganmu, aku memang tidak punya tempat tujuan,” ungkap Karina.

            “Kamu jangan menyesal nantinya,” Aksa menghidupkan lagi mesin mobilnya dan perlahan melajukan mobilnya meninggalkan pantai. Karina beberapa kali menghela napas, semoga keputusan ini tidak berakibat fatal.

            Mobil Aksa melaju dijalanan kota surabaya, Karina terdiam melihat lalu lalang kendaran yang memadati jalanan. Setengah jam perjalanan, akhirnya mobil Aksa tiba di sebuah rumah kecil bergaya modern minimalis. Aksa menghentikan kendaraannya, ia memandang Karina yang sudah menatapnya. Aksa memberi kode untuk turun, Karina ikut turun bersama Aksa. Mereka berjalan masuk ke dalam rumah itu. Saat akan menekan bel pintu, ternyata pintu rumahnya terbuka sedikit.

Aksa langsung membukanya tanpa pikir panjang. Saat pintu terbuka lebar, Aksa membelalakan kedua matanya terkejut. Seketika ia menarik tangan Karina membuat tubuh Karina merapat ketubuhnya. Dengan refleks, Aksa memeluk tubuh Karina dan membalikkan punggungnya. Menghalangi sesuatu yang melayang te pat kearah Karina. Aksa meringis kesakitan saat dirasakan sesuatu mengenai punggungnya. Karina yang berada dipelukkan Aksa hanya bisa terdiam, ia merasakan detak jantung Aksa membuat dekat jantungnya sendiri ikut berdetak tidak karuan.

            “Aksa...” pekik seseorang dengan khawatir dan segera berhambur kearah Aksa yang masih diambang pintu. Aksa melepaskan pelukkannya, sesaat mereka saling berpandangan. Aksa membalikkan tubuhnya menatap kearah orang yang kini menatapnya cemas. Karina melihat sesuatu seperti darah keluar dari punggung Aksa. Karina terkesiap melihatnya dan terdiam sambil terus memandangi punggung Aksa.

            “Aksa, kamu tidak apa-apa?” tanya orang itu khawatir. Aksa melihat wanita yang berdiri tidak jauh dari tempatnya berdiri. Nafasnya memburu karena marah, wanita itu yang tidak sengaja melemparkan sesuatu ke arah pintu bertepatan saat Aksa membuka pintu.

            “Anita, bisakah kita bicara baik-baik. Kamu hampir membunuh orang,” bentak orang itu menatap wanita yang ternyata Anita.

            “Aku tidak akan seperti ini kalau kamu tidak selingkuh,” teriaknya marah.

            “Siapa yang selingkuh, aku sudah menjelaskan padamu. Wanita itu hanya seorang pengantar susu tidak lebih,” jelas orang itu mencoba memberi pengertian pada kekasihnya.

            “Hanya pengantar susu, tapi kamu terus menggodanya. Bahkan bersikap manis,” teriaknya. Aksa mengeryitkan dahi heran melihat tingkah dua orang ini.

            “Hentikan pertengkaran bodoh kalian, aku pusing mendengarnya. Kenapa kalian tidak berubah, kekanak-kanakan sekali,” ujar Aksa sekenanya membuat mereka terdiam. Sedangkan Anita langsung memalingkan wajahnya. Dengan hitungan detik ia menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Orang itu menghembuskan napas lelah menatap kekasihnya, kembali ia memandang Aksa yang masih berdiri di depan pintu.

            “Aku terus menelphonemu, tapi nomormu tidak aktif. Aku kira kamu tidak jadi datang kemari,” kata orang itu memandang lekat Aksa yang berada di depannya.

            “Ada sedikit masalah, dan ponselku dirusak oleh seseorang,” Aksa melirik kearah Karina yang menatapnya sebal. Orang itu melihat Karina yang berdiri di belakang Aksa.

            “Aksa, siapa dia?” tanya orang itu menatap Karina. “Apa dia pacarmu?” tanyanya kini tatapannya beralih pada Aksa.

            “Bukan, mana mungkin dia pacarku,” sahut Aksa dengan santai membuat Karina menatapnya tajam.

            “Jadi kalau dia bukan pacarmu, lalu siapa dia?” tanyanya begitu penasaran.

            “Sudahlah, kamu jangan banyak bertanya. Aku lelah, setidaknya biarkan aku masuk. Kamu mau terus membuatku berdiri disini...” kesalnya, orang itu menyeringai sambil tersenyum malu.

            “Iya, iya... masuk lah...” orang itu mempersilahkan Aksa masuk ke dalam rumah dengan Karina yang mengikutinya dari belakang.

***

           

            Aksa baru melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar yang akan ia tempati untuk tidur, baru saja ia menutup pintu dan hendak mengganti bajunya. Karina membuka pintu yang tidak Aksa kunci dengan tiba-tiba. Aksa terperanjat kaget dan melihat kearahnya.

“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Aksa kesal karena Karina tiba-tiba saja membuka pintu kamarnya dengan tidak sopan.

Karina menatapnya santai, “memangnya kenapa? tidak ada yang menarik dari tubuhmu,” sahut Karina. ia membalikkan ucapan Aksa padanya saat dengan tidak sopan Aksa membuka pintu kamar hotel waktu itu di mana Karina yang hendak mengganti pakaiannya. Ia sama terkejutnya dengannya saat ini.

Aksa menghela napas mencoba sabar. Karina mendekat kearahnya. Aksa memutar tubuhnya dan kembali meneruskan aktivitasnya mengganti pakaian. Walaupun agak aneh, karena harus berganti pakaian di depan seorang gadis.

“Aku akan mengobati lukamu,” kata Karina menatap punggung Aksa yang ada luka robek kecil akibat kejadian tadi.

“Tidak perlu, lukanya akan sembuh tanpa diobati...” sahut Aksa. Karina kesal, ia menarik tangan Aksa dan dengan kuat ia mendudukkan tubuh Aksa pada tempat tidur. Kembali Aksa menghela nafas, ia terpaksa menuruti keingingan Karina.

Karina membuka kotak p3k yang dipinjam Handi, pemilik rumah ini padanya saat ia memberitahu kalau Aksa terluka. Dengan pelan, Karina mengobati luka Aksa. Walaupun lukanya tidak parah.

“Apa kamu selalu hidup seperti ini,” sindir Karina membuat Aksa yang memunggunginya mengerutkan kening tidak mengerti. “Bersikap acuh, bahkan saat dirimu sendiri terluka,” kata Karina. Ia menempelkan plester besar pada luka Aksa setelah ia mengobati lukanya dengan antiseptik. Sesaat Karina terdiam.

“Apa pedulimu, itu tidak merugikanmu kan...” sahutnya dengan santai. Ia memakai kembali baju setelah dirasa Karina selesai mengobati lukanya. “Jangan selalu mengkhawatirkan orang yang bahkan tidak kamu kenal, itu membuat orang yang kamu khawatirkan merasa tidak nyaman. Seperti aku...” Aksa beranjak dari tempat duduknya dan berjalan keluar dari kamar meninggalkan Karina. Karina terdiam merenung memikirkan perkataan Aksa barusan.

Kenapa dia harus mengkhawatirkan Aksa, bahkan orang yang ia khawatirkan sama sekali tidak nyaman dengan perlakuannya itu. Karina menghela nafas.

Malam itu, Karina membantu Anita memasak didapur menyiapkan makan malam. Di rumah itu tinggal tiga orang pria. Sekarang ditambah dengan Karina dan Aksa. Karina memperhatikan ke empat pria yang kini sedang mengobrol asik sambil bermain game. Pandangan Karina kini tertuju kearah Aksa yang begitu tertawa lepas dengan teman-temannya.

“Kalau para pria sudah berkumpul mereka berisik. Benarkan...?” tanya Anita menatap kearah Karina, Karina terperanjat dan menatap ke arah Anita.

“Iya,” sahut Karina membenarkan sambil mengangguk kecil.

“Terkadang aku kesal pada pacarku, dia lebih mementingkan temannya dibandingkan denganku. Tapi yah tidak apa, aku bisa memakluminya. Sebenarnya kamu dengan Aksa punya hubungan seperti apa?” tanya Anita menatap kearah Karina.

“Tidak ada hubungan apa-apa,” sahutnya sambil tersenyum hambar.

“Benarkah? Ini sungguh aneh, jarang aku melihat Aksa jalan dengan wanita apalagi wanita itu tidak ada hubungan apa-apa dengannya. Tadi juga sepertinya dia sangat melindungimu,” jelas Anita memandang ke arah Karina yang termenung dan melihat Aksa yang sedang bercanda dengan teman-temannya.  

“Apakah itu benar-benar sangat aneh, apakah Aksa tidak pernah membawa kekasihnya pada kalian?” Karina bertanya dengan wajah penasaran.

“Pernah ada satu orang yang membuatnya hampir gila, dia pernah dicampakan seorang wanita. Wanita itu memilih pergi meninggalkannya disaat mereka akan bertunangan.”

“Bertunangan... hari itu juga seharusnya dia bertunangan, tapi...”

“... Tapi dia melarikan diri.” Anita memotong perkataan Karina. “Aku sudah tahu sifatnya, dia tidak mungkin bisa bertunangan dengan wanita lain karena dihatinya masih ada Amanda.” Anita menatap Aksa yang sedang tertawa dengan Handi, Jaki, dan juga Bino.

“Jadi itu alasannya dia menolak pertunangan?”

“Aku heran, kenapa dia mau menunggu wanita yang jelas-jelas sudah mencampakannya,” Anita merasa tidak mengerti dengan sikap Aksa. Apakah pria itu begitu mencintai wanitanya dulu sampai dia rela menunggu dan bersabar karena yakin suatu hari nanti wanita itu akan kembali padanya.

Karina ikut memandang ke arah Aksa, tanpa ia duga. Aksa menoleh padanya membuat Karina terkesiap dan seketika menundukkan kepalanya malu.

“Ada apa dengan wanita itu? sepertinya dia menyukaimu?” temannya Bino berkomentar.

Aksa hanya tersenyum, “biarkan saja,” ia berucap acuh, tidak pernah terpikirkan dalam hidupnya akan menyukai wanita seperti Karina.

“Kamu juga lebih terbuka sekarang, biasanya kamu tidak akan peduli pada seorang wanita. Kamu akan memilih untuk menjauhi mereka kalau ada yang mendekatimu, tapi apa sekarang, kamu membawanya kemari,” heran Jaki menatap ke arah Aksa yang baru saja menghela nafasnya.

Aksa menjawab dengan menggendikkan bahu, ia benar-benar tidak tahu apa yang terjadi padanya. Kenapa dia begitu peduli pada wanita itu, padahal ia merasa tidak mengenal wanita itu. Aksa kembali melihat ke arah Karina yang sedang sibuk menyiapkan makan malam bersama Anita.  

Bino memindahkan chanel televisi, sebuah wawancara eksklusif dengan seorang anak konglomerat terkenal Group HJ, Ferro Aryadi Kanzaro.

            “Bukankah anda sudah menikah, kenapa istri anda tidak ikut menemani wawancara ini. Apakah dia terlalu pemalu?” tanya pembawa acara talk show tersebut.

            “Bukan pemalu, tapi dia sedang marah padaku. Padahal baru kemarin kami menikah, tapi dia sudah pergi meninggalkan rumah,” jawab Ferro  pada pembawa acara itu.

            “Meninggalkan rumah,” pembawa acara tersebut begitu terkejut, penonton yang mendengarkan ikut terkejut. “Kenapa dia marah padamu?”

            “Ini mengenai bulan madu kami,” Ferro terkekeh kecil dengan wajah malu.

            “Ohhh saya bisa memakluminya,” pembawa acara itu mengangguk mengerti.

           

            “Kekanak-kanakan, masa hanya karena bulan madu. Dia ditinggal istrinya,” Handi mencibir. “Itulah wanita,” ia melirik kearah Anita yang sedang serius dengan Karina memasak makan malam mereka.

            Mereka berempat kembali focus pada layar televisi, sedangkan Aksa ia memilih membaca buku.

           

            “Apakah ada pesan untuk istri anda, semoga saja saat ini ia sedang melihat acara kita,” kata pembaca acara tersebut pada Ferro. Ferro berdehem sejenak dan menatap kearah kamera.

            “Karina Rosallia...” sapanya.

            Karina yang mendengar namanya disebut, mendongakkan kepala kearah televisi. Aksa yang mendengarnya ikut melihat kelayar.

           

            “Aku tahu kamu begitu marah padaku, tapi bisakah kamu pulang. Aku sangat merindukanmu,” kata Ferro mengungkapkan perasaannya.

            “Manisnya, Nyonya Karina. kamu tidak melihat begitu suamimu merindukan belaianmu. Pulang lah...” pembawa acara itu membantu Ferro yang membuat seisi studio tertawa, sedangkan Ferro hanya tersenyum kecil.

            Semua mata kini memandang ke arah Karina yang tatapannya tidak lepas dari televisi yang tengah ia tonton saat ini. Aksa ikut memandangnya, Karina mengalihkan pandangan dan melihat ke arah Aksa yang menatapnya santai. Tidak seperti ketiga temannya dan juga Anita yang begitu terkejut.

            “Aksa, jangan katakan kamu membawa kabur istri orang,” Bino begitu tidak percaya menatap ke arah sahabatnya. Aksa hanya terdiam dan masih melihat ke arah Karina yang berdiri mematung. Ia juga shock mendengar wawancara Ferro ditelevisi. Ia merasa tidak pernah menikah dengannya, tapi kenapa pria itu bisa mengatakan hal semacam itu ditelevisi. Apakah semua ini rencana ayahnya untuk membuat Karina kembali. Tanpa ia sadari tangannya sudah terkepal kuat.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status