"Aku mau protes." Joana menatapku dengan berani.
Aku mengangkat alis. Mau apa lagi wanita sinting ini protes?
"Emang kamu mau protes apa, Joana?"
"Aku protes keras baby sitter Meyda diganti sama si kucluk ondel-ondel ini! Aku yang harus memutuskan, siapa yang berhak jadi pengasuh anak-anakku." ucap Joana pongah. "Aku ibu kandung mereka yang lebih berhak, bukan kamu yang cuma ibu tiri, Rosi. Aku juga punya hak bertemu anakku kapan saja!"
Aku menghela napas berat mendengar protes Joana ini. Dia sekarang mulai bertingkah mengatasnamakan ibunya si kembar, yang berhak memutuskan apa pun untuk anak-anaknya. Kuakui memang kedudukannya kuat sebagai ibu dibanding aku yang ibu tiri . Namun, bukankah aku melakukan apa pun atas dukungan Ridwan, sebagai bapaknya si kembar?
"Ada R
Ah, ada-ada saja tingkah si Kajol Di rumah juga dia tak ada kerjaan. Rumah memang kosong kalau semua penghuninya keluar. Tugas si Kajol, menyiapkan baju dan perlengkapan si kembar, menemani dan mengawasinya bermain, pokonya yang berkaitan dengan si kembar Selebihnya kalau nganggur, Kajol sering bernyanyi dangdut sambil joget-joget. Lumayanlah bisa sebagai hiburan gratis konser dangdut Terkadang ia juga main sulap yang ditonton anak-anak. Sepanjang perjalanan menuju Kantor, seraya menyetir, Ridwan bercerita banyak hal, terutama tentang hidupnya yang merasa tenang sekarang. Tentang harapan dan mimpinya. Aku hanya sebagai pendengar yang baik tanpa menyela semua ceritanya "Aku ingin suatu hari punya anak darimu, Rosi," ucapnya tiba-tiba, yang membuatku hampir terlonjak kaget. Anak? aku seolah disadarkan satu hal, bahwa sekarang aku sudah punya suami. Sudah jadi istri yang utuh, bukan Rosi yang gadis dan yang s
Vina sedang memancing amarahku. Dengan mengucapkan kata cinta untuk Ridwan. Istri mana yang tahan jika ada wanita lain terang-terangan mengatakan cinta? Namun aku mencoba menahan diri.“Aku paham sekali," sahutku. Lalu menoleh ke arah Ridwan. "Ada yang ngucapin cinta, Mas. Bagaimana jawaban Mas Ridwan?" Sengaja berbicara dengan nada suara keras supaya jelas terdengar Vina."Tolong bilangin, Ridwan yang ini sudah disegel halal oleh orang lain. Suruh cari Ridwan yang lain, stoknya masih banyak beredar bebas di luaran sana!" Jawaban Ridwan sangat kalem tetapi manampar hati Vina.Aku tertawa mendengar jawaban kalem Ridwan."Nah, sudah jelas kan jawabannya, Vina? Banyak Ridwan lain beredar luas di pasaran, kamu pilih saja, siapa tahu salah satunya cocok untukmu. Kalau Ridwan yang ini, sudah disegel dan bersertifikat negara dan agama, tak bisa sembarangan diambil!" Aku jadi ikut tertawa.Entah bagaima
Tingkah Vina makin menjadi-jadi. Dia seolah sudah melupakan rasa malunya, terus saja mengejar suami orang. Wanita macam apa dia itu? Dia bisa saja orang kaya, tapi kelakuannya rendahan.Telepon masih tersambung dengan Kajol. "Kajol, pokoknya kamu harus hati-hati dan waspada di rumah, ya. Takut nanti ada lagi ulat bulu, ulat keket, pokoknya sejenis ulat-ulatan yang menggangu, harus waspada, ya!" pesanku pada Kajol. "Ulat, Nyonyah? Kalau itu nanti Kajol semprot pake bay*on, Nyonyah!" "Bukan ulat itu, Kajol. Maksudnya ... biang kerok yang tadi disebutkan!" "Oh, para kadal buntung, Nyonyah?" Itu julukan apa lagi dari si Kajol? Kadal buntung? Hadeuh...dasar Kajol! "Iya, terserah namanya apa. Pokoknya yang fotonya dilihatin itu semua kemarin. Kamu harus hati-hati!" "Asiap, Nyonyah!" Telepon pun terputus. Aku garuk kepala tidak gatal. Punya pengasuh absurd dan hobi banget nyerocos, ra
Akhirnya aku bertekad akan menghadapi Vina. Wanita itu seperti monster yang lama-lama semakin mengerikan.[Kita harus bicara baik-baik, Vina. Aku serius]Kubaca ulang chat yang dikirim ke nomor Vina. Setelah aku meminta dengan serius nomor ponsel Vina pada Ridwan, melalui pesan WhatsApp.Setelah kupikir-pikir. Makin lama, aku merasa tidak tentram. Kenapa hidupku dan Ridwan harus selalu berurusan dengan orang-orang yang sudah expired? yang harusnya sudah tutup buku dan dibuang jauh sebagai mantan. Menghuni tos sampah. Lama-lama tak tahan juga kalau mereka berulah. Aku mau hidup tenang."Mas, bisa kita temui langsung Vina ke rumahnya?" tanyaku di telepon. "Makin lama orang itu makin mengganggu saja. Sudah berani menyatroni ke rumah tadi. Kita harus serius menghadapinya sekarang." Aku mulai tegas sekarangTerdengar helaan napas Ridwan."Baiklah. Kita langsung hadapi. Frontal! Makin lama Vina memang kete
Sebulan telah berlalu. Sungguh menyenangkan karena tidak ada lagi gangguan yang datang. Rupanya semua usaha kita untuk menyadarkan Joana juga Vina mulai membuahkan hasil. Selama sebulan lebih ini, hidupku bersama Ridwan mulai tenang. Hari pun berganti menjadi minggu. Dua Minggu terlewati, dan menginjak Minggu ketiga, aku heran. Sudah dua Minggu lebih tamu bulananku tidak hadir. Ini bulan kedua aku menjadi istri Ridwan. Heran, tak pernah biasanya aku telat haid. Biasanya kalau pun telat, itu hanya bergeser kurang dari seminggu. Ini sudah dua Minggu telat. Namun, aku belum berpikir serius. Mungkin siklusnya sedang telat, karena bulan kemarin banyak masalah dan banyak pikiran dari mantan-mantan Ridwan yang mengganggu. Biasanya itu berakibat juga pada emosi kita. Haid pun mungkin telat. Aku berusaha fokus mengurus si kembar dan Ridwan, selain bekerja. Aku juga sekarang sedang membantu adikku, Risa, yang mau menika
Rupanya Ridwan mengerti bahwa anak-anak sudah kena toxic Joana. "Zidan, Ziyan, Jihan dan Jane," panggil Ridwan lembut. "Apa selama ini Tante Rosi jahat pada kalian?" Zidan dan adik-adiknya terdiam. "Apa selama ini, Tante Rosi sering marahi kalian? Atau memukul dan mencubit kalian?" tanya Ridwan lagi. "Nggak, Pa," sahut Zidan pelan. "Tante Rosi selalu baik sama kita." "Tante Losi juga pintal masak enak," celetuk Jane. "Tante Losi juga suka sayang Papa, beliin makanan," timpal Jihan. "Tante Rosi suka becanda dan ngajak ke Mall." Ziyan ikutan nyeletuk. "Nah, kenapa kalian takut Tante Rosi jahat kalau punya anak? Itu bakal jadi adik kalian nanti. Ada bayi lucu nanti yang bisa kalian sayang-sayang, gemes-gemesin," terang Ridwan seraya tersenyum. "Kayak boneka ya, Pa?" celetuk Jihan. "Lucu, ya?" Jane ikutan bersuara. "Boneka hidup yang lucu dan meng
"Gimana sudah mengerti, kan?" tanyaku mengakhiri penjelasan produk knowledge di perusahaan tempat kerjaku, target pasar dan cakupan distribusinya. Pokoknya yang berkaitan dengan penjualan sudah kupaparkan pada meeting kecil-kecilkan, antara aku, kamu dan dia eh..Pak Abda dan Arian."Gimana pak Arian?" Pak Abda menoleh pada Arian minta kepastian. "Sekarang sudah ada gambaran kan bagaimana kualitas produk kami di perusahaan ini, pasar dan distribusinya sudah hampir go internasional.'"Mmm..." Arian mengangguk. "Bisa lebih rinci lagi next time? ada banyak pertanyaan nanti yang akan kuajukan." Arian menatapku dengan senyum menggoda.Aku menghela napas pelan. Feelingku mengatakan Arian mulai mencari cara supaya terus bisa berkomunikasi denganku, dengan cara pura-pura banyak pertanyaan."Boleh, Nex time silakan berunding di ruangan Rosi saja, kebetulan saya ada jadwal meeting di luar hari ini." Pak Abda cepat menjawab sebel
**"Ridwan berjalan menghampiri Arian di mejanya. Aku berusaha menjejeri langkahnya. "Mas, tolong jangan emosi," bisikku di telinga Ridwan, karena terlihat wajah Ridwan mengeras, seperti tersulut emosi. Ridwan tak menjawab. Dia semakin mendekat ke arah Arian. Arian sendiri wajahnya pucat. Mungkin dia tak menyangka bakal bertemu lagi dengan orang yang telah jadi korban ayahnya "Aku pinjam dulu lelaki ini, ya." ucap Ridwan pada Sida dan Ruri yang nampak melongo melihat Ridwan, lalu mereka beralih menatapku dengan bingung. Aku memberi isyarat pada keduanya supaya mengangguk. Tanpa dikomando duo absurd itu mengangguk bersamaan, persis boneka yang disetel manggut-manggut di mobil. "Kamu masih ingat aku, kan?" tanya Ridwan langsung pada Arian yang sedang terpaku menatapnya. "I-iya .." sahutnya gugup.Matanya terlihat gelisah. "Ini suamiku..." Aku langsung ikut bicara yang ditujukan pada Arian