Wika mengumpati dirinya melihat dari kejauhan sosok dosennya yang mengajar di kampus. Dosen yang sekarang merangkap menjadi tetangga baru di komplek lingkungan perumahan ini.
Merasa bingung, haruskah Wika menegur saja dosennya atau berpura-pura tidak melihat dengan cara menundukkan kepalanya?
Aishh! Wika mengomel ngedumel tak jelas. Lagian, ngapain juga tuh si dosen pakai acara ikut-ikutan joging segala.
Tak mau ambil pusing karena si dosen yang hampir dekat sedikit lagi akan lewat melintasinya. Wika pun membungkus kepala sampai batas hidungnya dengan penutup kepala hoddie yang di pakainya.
Hal ini tentu sangat membantu Wika, dengan begini ketika sang dosen melewatinya di jamin tidak akan mengenali sosoknya.
Wika bersorak gembira karena tak harus larut dalam situasi berbasa-basi menegur sang dosen. Di kampusnya saja Wika sangat membenci ketika ia mengajar dan Wika lebih sering memilih bolos, padahal Wika sangat suka pelajaran bahasa Inggris.
Selesai joging, Wika masuk ke dalam rumahnya dengan tubuh yang bersimbah penuh keringat, Wika berjalan ke arah lemari pendingin, membukanya dan mengambil satu botol air mineral dingin. Meneguk isi di dalam botol tersebut sampai tandas.
Wika membuka jaketnya karena merasakan panas dan membiarkan tubuhnya yang hanya mengenakan tank top. Inilah kebiasaan Wika yang memang suka saat berolahraga mengunakan jaket dan celana training panjang, hal itu Wika lakukan karena menurutnya membakar lemak dalam tubuhnya lebih banyak, karena Wika tidak suka tubuhnya menjadi gendut.
Wika berjalan ke arah dapur dimana sang mama tercintanya pasti sedang berkutat disana. Dan dugaan Wika benar, mamanya tengah membuat sarapan untuk mereka.
Beruntung hari ini hari libur, jadi Wika bisa sedikit bersantai dan menenangkan otaknya yang stress menghadapi segala urusan kuliahnya. Menghampiri sang mama dan memberikan kecupan manis di pipi mamanya.
"Pagi sayang, baru pulang joging?" tanya Bu Asti menyapa putrinya yang sejak pagi sudah tak terlihat keberadaannya di rumah.
Wika mengangguk, lalu kemudian matanya berbinar bahagia saat melihat sebuah kue cokelat kesukaannya.
"Kue cokelat!" pekik Wika bahagia dan hendak mengambil kue cokelat itu untuk ia makan.
Gerakan tangan Bu Asti menghentikan pergerakan Wika, menatap ibunya dengan pandangan bingung.
"Kenapa, Ma?" tanya Wika.
"Nanti saja makannya, sekarang bantu mama dulu ya?!"
"Boleh, bantu apa ma?" tanya Wika antusias.
"Tolong kamu antarkan separuh dari kue cokelat ini ke rumah tetangga baru yang ada di sebelah rumah kita." kata Bu Asti yang langsung memotong kue itu menjadi bagian kecil-kecil.
Jederrrr.
Bagaikan kesambar petir tubuh Wika menegang kaku jegang-jegang dengan wajah gosong, sayangnya wajah Wika tidak gosong melainkan merah padam kala ia harus menuruti permintaan mamanya.
"Ini!" Bu Asti menyodorkan piring yang berisi potongan kecil-kecil kue bolu cokelat tersebut untuk di berikan ke tetangga baru.
Wika menatap bergantian ke arah kue cokelat itu dan mamanya. Bu Asti mengerutkan dahinya bingung saat melihat ekspresi raut wajah anaknya.
******
Setelah bersusah payah menolak permintaan sang mama, akhirnya Wika kalah dan tetap harus mengantarkan kue cokelat itu untuk dosennya.
Menghembuskan nafas kesal berulang kali sambil menatap pintu di depannya kini sebelum mengetuknya. Wika dilanda rasa bimbang, ketuk, tidak? Ketuk, kabur saja?
Tidak, tidak. Perintah ibunya harus tersampaikan. Jika tidak maka akan menjadi bencana besar, bagaimanapun ini amanah, amanah yang membawa bencana.
Baru saja tangan Wika terangkat ingin mengetuk pintu tersebut, namun pintu sudah terbuka lebih dulu dan membuat tangan Wika menggapai udara.
Mangerjapkan mata berulang kali sebagai reaksi spontan yang Wika lakukan, tangannya yang terangkat dengan terkepal pun ia ubah dengan gerakan lima jari yang melambai. Nyengir cengengesan menyapa sang dosen dengan sangat kikuk.
"Hehe, selamat pagi pak Pras." sapa Wika membungkukkan badannya sedikit sebagai sikap hormatnya.
Pras memperhatikan wanita di depannya saat ini dengan sorot mata menyipit. "Pagi, siapa ya?"
Dia tidak mengenaliku? Atau pura-pura lupa? batin Wika bingung.
Tapi, baguslah jika dia tidak mengingatku. Aku kan memang selalu bolos tiap ada pelajarannya, hihi. sambung batin Wika bersorak gembira.
"T-tetangga," Wika menunjuk ke arah sebelah dimana rumahnya berada.
Pras mengikuti arah jari Wika kemudian mengangguk mengerti. "ada apa?" tanya Pras tak suka berbasa-basi.
"Ah iya, ini!" Wika menyodorkan Piring berisi kue bolu cokelat. "Dari mama saya untuk bapak." kata Wika tersenyum.
"Untuk saya?" ulang Pras menunjuk dirinya sendiri memastikan jika wanita ini tidak salah mengasih.
Tidak pak, kue ini tadinya mau saya buang ke tong sampah. batin Wika ingin menyuarakan kata-kata itu.
"Iya pak, kue ini untuk bapak. Mama saya membuatnya dengan penuh kasih sayang dan ketulusan loh pak, mohon di terima ya." ucap Wika memasang wajah sendu yang menggemaskan.
Pras tersenyum senang dan segera meraih piring tersebut. "Terima kasih ya."
Wika mengangguk dengan cepat, "sama-sama pak, kalau begitu saya permisi." kata Wika cepat dan terburu-buru hendak pergi dari situ
"Tunggu!" suara Pras berseru menyuruh Wika untuk berhenti.
Gerakan langkah kaki Wika berhenti. Mampus! Apalagi nih?
Wika kembali berbalik badan menghadap Pras dengan senyuman manis. "Iya pak, kenapa ya?"
Dahi Pras berkerut dalam seakan-akan tengah mengingat-ingat sesuatu. "apakah sebelumnya kita pernah bertemu dan saling mengenal?" tanya Pras yang seperti mengenali Wika.
"Dan, kamu juga tahu nama saya."
Wika sekarang tahu jika pak Pras memang tak mengenalinya. Haruskah Wika merasa sedih atau gembira?
"Eh, masa sih pak-""Papa!" teriakan suara anak kecil yang seketika menghentikan ucapan Wika."Ada apa sayang?" tanya Pras menundukkan tubuhnya berjongkok di sisi sang putri menyesuaikan tinggi badannya dengan sang anak."Mana cokelat Vania, katanya papa mau belikan tapi kenapa masih disini?" ucap bocah perempuan kecil umur sekitar tiga tahunan yang tengah merengek pada papanya."Ah iya, papa lupa sayang." Pras menepuk jidatnya dengan sebelah tangan."Papa, apa ini?" tunjuk Vania pada piring yang berisi kue cokelat buatan mama Wika.Pras melirik ke arah piring dan seketika mempunyai ide. "Sayang, bagaimana jika makan ini saja, ini namanya kue cokelat. Banyak cokelatnya loh, iya kan kakak cantik?" ujar Pras menoleh ke arah Wika dengan kedipan mata berulang kali."Ah, i-iya." jawab Wika terbata dan menganggukkan kepalanya. Wika tersipu malu ketika Pras memanggilnya dengan sebutan kakak cantik."Papa, kakak ini siapa?" tanya Vania m
Matahari sudah menampakkan dirinya begitu tinggi, tapi sama sekali tak mengusik tidur nyenyak seorang gadis yang masih meringkuk manja di dalam selimut putih tebal yang membungkus tubuh mungilnya.Wika berdecak sebal saat mendengar suara teriakan mamanya yang membuka pintu kamar dan masuk ke dalam. Bu Asti geleng-geleng kepala melihat anak gadisnya yang belum juga bangun, kebiasaan klasik seorang Wika yang sangat susah bangun pagi."Wika, bangun sayang, hari ini kamu ada kelas pagi kan?" panggil Bu Asti mengguncang-guncang tubuh anaknya."Ehmmm," Wika berdeham sebagai jawaban."Ya Tuhan! Anak ini, kenapa sangat susah sekali membangunkannya?!" desah Bu Asti merasa frustasi dan menyerah menghadapi Wika.Mendengar suara derap langkah kaki yang mulai berjalan menjauh dari kamarnya, Wika langsung membuka selimut dan duduk di ranjang dengan kepala bersandar di kepala ranjang."Aishh! Mala
Wika pov.Aku tidak akan pernah menyangka jika hari ini aku berada di dalam satu mobil bersama pak Pras, di dalam mobil miliknya.Mama dan papaku juga bahkan tak menolak tawaran pak Pras yang mengajakku untuk berangkat bersama. Mau tak mau pun aku akhirnya terpaksa patuh, dan disinilah aku sekarang berada.Ku lirik pak Pras yang tampak fokus menyetir, wajah tampannya terlihat makin tampan jika di lihat dari jarak sedekat ini. Rahang yang tegas dengan warna kulit putih alami, lalu bibirnya yang tebal berwarna merah alami. Entah kenapa fokus mataku hanya tertuju pada bibir pak Pras, membayangkan bibir pria itu yang terbuka ketika bicara dengan lawan bicaranya.Aku menggelengkan kepala berulang kali saat tak bisa lepas dari bibirnya, eh maksudku tak bisa lepas fokus dari bibirnya."Kenapa?" tanya pak Pras yang tak mengalihkan perhatiannya dan tetap fokus menatap jalanan depan."Apanya ya pak?" tanyaku bingung kenapa tiba-tiba ia bertanya.
Pras pov.Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran gadis yang duduk di sampingku saat ini, mahasiswi yang suka bolos di jam mata kuliahku. Apa dia pikir aku ini pria bodoh yang akan dengan sangat gampangnya ia tipu, memasang wajah sedih agar aku mengiba dan membiarkannya pergi untuk tidak kembali mengikuti pelajaran bahasa Inggris."Turun!" titahku setelah memarkirkan mobilku dengan aman. Ku lihat matanya liar jelalatan celingukan kesana-kemari. Aku pun mengikuti arah pandangan matanya."Kenapa? Cari apa?" tanyaku heran.Wika nyengir cengengesan. "Enggak ada pak." "Ya sudah, ayo turun!" titahku dan langsung keluar dari dalam mobil.Setelah aku keluar, Wika tak kunjung keluar dan masih betah di dalam mobilku. Dengan kesal aku melangkah ke sisi mobil yang lain, membuka pintu mobil dan menatap tajam Wika."Apalagi sekarang? Kenapa tidak keluar juga?" tanyaku geram."Sabar dong pak, ini juga mau keluar kok." katanya santai seolah men
Sebelumnya, follow terlebih dahulu.Terima kasih untuk antusias dan support kalian untuk cerita ini Happy reading!Wika pov."Dosen kamvreett!" omelku sangat kesal pada pak Pras.Seharusnya pria itu senang dong karena hari ini aku tidak bolos di jam mata kuliahnya. Ah, tapi apa yang aku dapat hari ini? Cuma di permalukan di depan semua mahasiswa lainnya. Sialll!Sepertinya pak Pras menaruh dendam padaku sehingga dengan sengaja melakukan itu. Bodo ah, apapun itu alasannya tetap saja aku kesal dan benci padanya.Karena di usir dari kelas, tak di izinkan untuk mengikuti mata kuliahnya pun aku memutuskan pergi ke kantin. Memesan makanan pada ibu kantin karena tadi memang aku tidak sempat sarapan. Sementara si Pras kutu kupret itu malah puas sarapan di rumah ku. Lhaa, kan kamvreett banget.Sambil menikmati makanan dan minuman yang ku pesan, aku pun membuka ponsel dan sibuk membu
"Maaf, karena telah salah menuduhmu. Aku pikir kamu salah satu orang dari komplotan penculik yang lagi viral. Melihat bagaimana cara kamu seperti sedang mencoba membujuk keponakan ku." kata Sofi tersenyum canggung, merasa sangat menyesal pada Wika.Wika sebenarnya kesal mendapat tudingan seperti itu, apalagi tadi Sofi bertindak kasar dengan menepiskan tangannya kuat."Tidak apa-apa," jawab Wika kalem."Hhh, aku panik sekali tadi saat tak ada Vania di sampingku. Makanya aku langsung cari dan begitu ketemu malah melihat Vania bersama seseorang." jelas Sofi yang masih merasa tak enak pada Wika."Iya mbak, gak apa-apa.""Kakak cantik, tidak marah?" tanya Vania polos.Wika menggelengkan kepalanya, "enggak sayang." Wika kembali menyentuh lembut pipi Vania."Lain kali Vania jangan nekat pergi sendirian ya," titah Wika yang di angguki Vania cepat."Ah ya, perkenalkan namaku Sofi." ucap Sofi mengulurkan tangan kanannya."Wika, tetan
"Mbak sedang apa?" tanya Wika menghampiri Sofi yang tengah berjibaku di dapur.Sofi menoleh pada Wika dan tersenyum, "masak buat makan malam." jawabnya dan kembali fokus pada bahan-bahan masakannya."Butuh bantuan?" tanya Wika menawarkan diri."Memang kamu bisa masak?"Wika menggeleng, "ya gak terlalu sih, tapi aku bisa masak air, masak mie instan dan telur dadar. Hehe, hanya itu yang paling gampang." tukas Wika nyengir."Dasar!" Sofi geleng-geleng kepala."Ah, aku mau bantu, boleh ya?" tanya Wika yang kini sudah memegang pisau dan mengambil satu buah kentang untuk ia kupas.Sofi hanya diam membiarkan Wika yang berniat ingin membantunya, tak ada salahnya juga toh Sofi jadi lebih merasa terbantu."Mbak tinggal sendirian disini?" tanya Wika memecahkan suasana hening diantara mereka."Ya." jawab Sofi singkat.
Ini sudah dua hari berlalu semenjak Wika yang berada di rumah Sofi, sejak malam itu ketika Pras dan Wika pulang bersama dari rumah Sofi, setelahnya mereka berdua terlihat tak saling bertemu baik di rumah maupun di kampus.Selama dua hari ini pula Wika terlihat menjadi mahasiswa yang rajin di kampusnya. Tak pernah bolos lagi di mata kuliah lainnya kecuali bahasa Inggris, tak ada alasan mengapa Wika memilih bolos di mata kuliah Pras, intinya ia hanya tak suka saja dengan Pras yang semakin membuat ia membenci pria itu karena tempo hari Pras sudah membuatnya malu luar biasa.Saat jam istirahat, Wika dan teman-temannya kompak keluar dari kelas dan menuju kantin demi mengisi perut mereka yang sudah sangat lapar."Wika, kau pergi kemana saat tempo hari mengajak ketemuan di mall?" tanya Ulfa setelah mereka berempat sudah duduk manis di kantin."Hmm, aku?" tunjuk Wika pada dirinya sendiri. "Aku ada di mall kok." "Hei, kami berempat datang ke mall tapi kau tak a