"Secepatnya mas akan membawa keluarga mas bertemu ibu dan adik kamu."
Keseriusan Sean pada hubungannya dengan Heera tidak perlu di ragukan lagi. Dua jam setelah mengikat Heera menjadi calon pengantinnya, pria itu langsung bersedia membawa keluarganya untuk menemui keluarga Heera.
Tapi, kesiapan Heera belum sepenuhnya matang. Masih ada yang cewek itu ragukan. Sebagai anak pertama dan tulang punggung keluarga, tentu saja Heera sedikit keberatan jika harus menjadi seorang istri dalam waktu dekat ini.
Heera takut, setelah ia menikah nanti, ia tidak bisa lagi memberikan nafkah kepada ibu dan adiknya. Heera takut Sean akan melarangnya untuk bekerja dan hanya boleh mengabdi sebagai seorang ibu rumah tangga saja.
Masih banyak keinginan Heera yang belum tercapai. Jujur saja, Heera bahkan belum berhasil mensejahterakan keluarganya dengan hasil keringatnya sendiri.
"Apa gak terlalu kecepatan, mas? Ak
Sean: Sayang, kalau kamu lagi senggang bisa tidak buatkan aku bekal makan siang?Alasan mengapa saat ini Heera sibuk berkutat di dapur milik Sean adalah karena pesan pria itu yang masuk ke ponselnya tiga puluh menit lalu. Sudah pasti Heera tidak bisa mengabaikan permintaan Sean. Hei, dia seorang pengangguran sekarang, waktunya selalu senggang tanpa kegiatan.Ya, dari pada hanya rebahan di kosan. Lebih baik Heera membuatkan Sean makan siang, setidaknya ia melakukan hal yang lebih berguna. Dan sudah pasti akan menyenangkan Sean karena kalau Sean senang, Heera juga ikut senang."Masak, Ra?"Heera tertegun lalu menoleh. Gadis itu praktis tersenyum kecil ketika mendapati Hardin yang berjalan menghampirinya.Ini sudah hari ketiga Hardin menginap di rumah Sean. Bertemu Heera setiap hari membuat mereka dekat tanpa memakan waktu yang lama. Apa lagi jarak umur mereka terpaut tidak begitu jauh.
"Mas, aah..." Heera mendesah merdu, merasakan sesuatu yang ingin membuncah dalam dirinya ketika jemari Sean bermain di dalam gaun selutut yang Heera kenakan malam ini.Sean melempar senyum puas, melihat wajah kemerahan Heera yang menikmati setiap sentuhan jemari besarnya di area sensitif gadis itu.Dengan posisi setengah duduk dan setengah berbaring, Heera melebarkan pahanya. Sementara satu tangan Sehun menahan paha Heera untuk tetap terbuka agar tangan satunya lebih leluasa memberi kenikmatan pada gadisnya.Erangan Heera kembali lolos, lebih panjang dari sebelumnya. Bibir Heera yang setengah terbuka tak kuasa mengundang bibir Sean untuk menyambarnya, memanggutnya singkat sebelum merambat ke leher jenjang Heera yang sedikit berkeringat, menambah kesan seksi gadis itu.Napas Heera tersenggal, namun Sean masih berusaha untuk membuat gadis manis itu mencapai puncaknya.
Ternyata beneran nonton film, kok. Iya, tapi yang nonton cuma Heera doang karena Sean lagi sibuk sama laptopnya di sofa sana. "Ck!" Sean berdecak, merasa jengkel kepada bawahannya yang tiba-tiba mengirim laporan dan harus segera ia cek. Padahal di ranjang sana ada Heera yang rebahan manja sambil fokus ke layar TV LED berukuran 65inch di depannya. "Semangat ya, mas!" kata Heera mengandung ejekan. Tubuhnya ia miringkan ke kanan, menunjukan lekuk pinggulnya yang menggoda iman Sean. Sebenarnya Sean beneran memancing gadis itu untuk berbuat yang iya-iya. Tadi pas Heera masuk ke dalam kamar, tiba-tiba saja Sean menyambar bibirnya hingga badan Heera dihimpit di antara dinding dan badan besar Sean. Untung ponsel Sean segera berbunyi, pria itu mendapatkan panggilan dari bawahannya dan berakhir sibuk di depan laptop. Dengan berat hati harus memusnahkan nafsusaurus nya yang menggebu. Sean menyeringai, menatap Hee
Gara-gara ketiduran di rumah Sean semalam, habis Heera di ejek Jessi. Bukan cuma Jessi, tapi teman dari kamar lain juga, tapi sudah pasti mereka tahu dari Jessi, sih lambe kosan. "Siap-siap deh lo dikit lagi di nikahin, gak aman pasti kalau mainnya sampe nginep-nginep segala." Jessi masih belum berhenti menyuarakan ejekannya. Gadis itu berdiri di depan pintu kamar Heera, mengemili chiki sambil memandang Heera yang duduk frustasi di bawah lantai. "Udah gak usah takut, Ra, masa depan lo terjamin sejahtera kalau nikahnya sama pak Sean." Anin menimpali, ikut menontoni Heera dari depan pintu. Heera mendengus kesal, memincing tajam ke arah dua gadis menyebalkan itu. "Gue panik bukan masalah nginep. Gue seriusan tidur sendirian di kamar mas Sean. Yang bikin gue panik soalnya darah haid gue tembus di seprei! Gue malu, anjir!" Heera menjambak rambutnya sendiri, melampiaskan kekesalannya. Tadi
Acara lamaran berjalan dengan lancar. Meski mendadak, namun Sean dapat menghandle semuanya hingga persiapan pun sudah matang sebelum acara di mulai. Tidak banyak yang datang, hanya keluarga besar Sean dan beberapa teman dekat Heera, siapa lagi kalau bukan Jessi yang memaksa ingin ikut. "Ra, senyum dong!" perintah Jessi yang sedang memegang kamera dan membidik kearah Heera yang sedang di pakaikan cincin lamaran oleh Sean. Sesuai perintah Jessi, Heera melukiskan senyumnya. Cekrek. Flash kamera menembak tepat ketika Sean dan Heera saling memandang sambil melempar senyum. Gurat kebahagiaan terlukis nyata di kedua wajah manusia yang tengah berbahagia itu. Tubuh ramping Heera di balut dress cantik berwarna putih gading pilihan Lucia, wajahnya yang senantiasa natural kini dipoles make-up tipis-tipis, menambah keelokan wajah gadis manis itu. Sementara rambutnya yang sebatas punggung dibiarkan terurai. Jangan tanya bagaimana penampilan Sean, pria itu selalu terlihat gagah dan berwibawa. Ramb
"Lo udah bikin temen kita pergi, Ra."Setelah kepergian Arta dan mamanya ke Amerika kemarin. Hari ini Heera memutuskan untuk mengumpulkan teman-temannya di sebuah kafe tempat mereka janjian.Setelah semua temannya berkumpul, barulah Heera menjelaskan. Bukan membela diri, namun gadis itu murni menjelaskan apa yang terjadi."Jelasin sama kita apa yang terjadi antara lo dengan Arta." ucap Gibran, cowok yang selalu berlaku adil dan tidak hanya berpihak pada satu pihak saja."Apa bener Arta pergi karena lo?" Vino bertanya. Dari cerita Adelio, yang ia tangkap kebenarannya seperti itu."Arta pergi tepat di hari lamaran lo sama abang sepupunya Adelio." sambung Vino. Hari kepergian Arta dan hari lamaran Heera dengan pria lain yang berbarengan semakin memperkuat asumsi mereka.Heera menggeleng pelan, ia menoleh ke arah Adelio yang menatapnya penuh benci."Kepergian
Heera menghela napas, melempar ponselnya ke samping bantal. Beberapa menit lalu Sean meneleponnya, pria itu memberi kabar kalau ia tidak bisa fitting baju pengantin sore ini sesuai dengan planing yang sudah dibuat. Karena Heera juga tidak mau fitting baju sendirian, akhirnya mereka sepakat untuk pergi ke butik besok saja."Ra, di halaman rumah mas Sean ada mobil Camry. Lo tahu gak itu mobilnya siapa?"Heera menolehkan pandangannya ke arah pintu kamar, mendapati Jessi yang kepalanya timbul di sana. Heera menghembuskan napas, menggulingkan badannya ke pojok kasur, memunggungi Jessi."Paling mobil temennya Hardin." balas Heera tak menaruh rasa curiga.Jessi melipat tangannya di depan dada, bahunya ia senderkan ke sisi pintu. "Lo bukannya mau fitting baju pengantin habis ashar?""Gak jadi," balas Heera singkat.Kening Jessi mengernyit, ia berjalan mendekati Heera lalu me
"Ada baiknya kalian membicarakan masalah ini berdua." Anjani mendengus, melengoskan wajahnya tak ingin menatap Langit yang baru saja datang bersama Sean. "Jan, ayo kita omongin bersama." Langit memohon, mencoba menggapai tangan sang istri, namun langsung Anjani hindari. "Gak mau, aku gak mau denger alasan apapun dari mas Langit! Kali ini mas udah keterlaluan!" balas Anjani dengan suara yang lantang. Tak ada lagi keteduhan di sorot mata kecil itu, yang ada sorot penuh benci yang tertuju ke Langit. Sean melipat kedua tangannya di depan dada, merasa sedikit frustrasi, untung saja Heera segera mendekat dan mengusap punggung berusaha menenangkannya. "Jan, coba bicarakan dulu dengan Langit. Kamu hanya salah paham." ujar Sean lagi. Anjani merapatkan bibirnya. Sepertinya ucapan Sean membuatnya sedikit tenang dan percaya hingga membuat sepasang suami istri itu akhirnya pergi ke taman belakang