แชร์

Semakin Acuh

ผู้เขียน: CH. Blue Lilac
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-09-27 22:08:30

Beberapa hari berlalu setelah pertengkaran itu. Sejak pagi hingga malam, rumah terasa sunyi.

Nadine memilih diam. Ia tidak lagi banyak bertanya, tidak lagi menyinggung soal kebiasaan Rhevan di luar rumah. Ia hanya bicara seperlunya—menanyakan makan malam, menyiapkan pakaian kerja, atau sekadar memberi kabar singkat kalau dirinya butuh sesuatu dari luar.

Namun, diamnya Nadine bukan berarti hatinya tenang. Justru setiap kali ia menatap punggung suaminya yang semakin jauh, dadanya makin sesak.

‘Apa aku cuma jadi orang asing di rumah ini?’ gumamnya lirih, malam itu ketika ia duduk di meja makan sendirian. Nasi di piringnya sudah dingin, sementara Rhevan belum juga pulang.

Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Nadine menahan matanya agar tidak menangis lagi. Tapi hening yang terlalu panjang justru membuat air matanya turun tanpa ia sadari.

Ia menggenggam erat ponselnya. Seolah ada dorongan kuat untuk membuka kontak Dirga.

Dan benar saja, layar ponselnya masih menampilkan chat terakh
อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
บทที่ถูกล็อก

บทล่าสุด

  • Mas Duda, Tolong Buat Aku Puas   Tegang Banget?

    “Nadine?” suaranya terdengar ragu.Pria itu berdiri dengan pakaian kasual, kaos hitam polos dan celana jeans. Senyum tipis tersungging di bibirnya. “Sore, Din.”“Ada perlu apa?” tanya Nadine.“Aku mau pinjam kunci Inggris. Aku lagi benerin motor, tapi nggak nemu ukuran yang pas.” Dirga menjelaskan santai, seakan kunjungannya memang benar-benar kebetulan. “Aku ingat, suami kamu punya ukuran yang aku butuhkan.”Nadine terdiam sejenak. Ia menimbang. “Alatnya ada di gudang. Kamu coba cari di sana aja.”Dirga tersenyum lebih lebar. “Wah, Makasih ya!”Nadine menghela napas, lalu mempersilakan. “Tapi cepetan ya! Aku mau masak soalnya.”Pria itu mengangguk. “Iya-iya.”Gudang kecil itu terasa lembap dan agak pengap. Bau besi bercampur kayu tua menyergap begitu pintu dibuka. Dirga melangkah masuk lebih dulu, matanya menyapu deretan rak berisi perkakas yang tersusun tak rapi.“Di mana tempatnya, Nad?”“Di sana kayaknya! Di pojok.”Dirga mengikuti arahan Nadine, lalu menemukan sebuah kotak perkak

  • Mas Duda, Tolong Buat Aku Puas   Semakin Acuh

    Beberapa hari berlalu setelah pertengkaran itu. Sejak pagi hingga malam, rumah terasa sunyi.Nadine memilih diam. Ia tidak lagi banyak bertanya, tidak lagi menyinggung soal kebiasaan Rhevan di luar rumah. Ia hanya bicara seperlunya—menanyakan makan malam, menyiapkan pakaian kerja, atau sekadar memberi kabar singkat kalau dirinya butuh sesuatu dari luar.Namun, diamnya Nadine bukan berarti hatinya tenang. Justru setiap kali ia menatap punggung suaminya yang semakin jauh, dadanya makin sesak.‘Apa aku cuma jadi orang asing di rumah ini?’ gumamnya lirih, malam itu ketika ia duduk di meja makan sendirian. Nasi di piringnya sudah dingin, sementara Rhevan belum juga pulang.Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Nadine menahan matanya agar tidak menangis lagi. Tapi hening yang terlalu panjang justru membuat air matanya turun tanpa ia sadari.Ia menggenggam erat ponselnya. Seolah ada dorongan kuat untuk membuka kontak Dirga.Dan benar saja, layar ponselnya masih menampilkan chat terakh

  • Mas Duda, Tolong Buat Aku Puas   Kamu— Mabuk?

    Nadine segera berlari ke arah pintu depan. Benar saja, lampu mobil Rhevan masih menyala sebentar sebelum akhirnya mati. Begitu pintu terbuka, sosok suaminya masuk dengan langkah agak goyah. “Mas Rhevan?" panggil Nadine setengah lega, setengah kaget. Tapi begitu ia mendekat, hidungnya langsung menangkap aroma menyengat. Nadine berhenti seketika. Matanya membesar. “Mas, kamu abis minum?” tanyanya, antara takut dan tak percaya. Rhevan tidak menjawab. Pandangannya kosong, wajahnya merah, langkahnya terburu-buru menuju tangga. “Mas! Kamu belum jawab pertanyaanku!” Nadine mengejarnya, jemarinya sempat meraih lengan pria itu, namun Rhevan menepis kasar. “Jangan banyak tanya, Nad! Aku capek.” Nada bicaranya datar, dingin, dan asing. Nadine tercekat, tubuhnya bergetar. “Mas—" Tanpa menoleh, Rhevan terus menaiki tangga. Ia mengabaikan sangat istri yang terus memanggil namanya. Sampai di lantai dua, Rhevan masuk kamar dengan langkah terhuyung, lalu ia langsung merebahkan diri di ranjang

  • Mas Duda, Tolong Buat Aku Puas   Kamu Yakin?

    "Yakin itu benar-benar klien?" suaranya rendah, nada skeptis jelas terasa. Nadine mengangkat wajahnya pelan, sedikit bingung. “Entahlah. Aku juga gak begitu paham sama pekerjaan Mas Rhevan. Yang aku tau dia emang sering ketemu klien untuk meeting dan sejenisnya." Dirga menatapnya dengan sorot tajam. “Kamu jangan gampang percaya gitu aja.” Ucapan itu menghantam Nadine lebih keras dari yang ia sangka. Jari-jarinya refleks meremas kain daster di belakang tubuhnya. Kata-kata Dirga seolah menggores titik yang selama ini berusaha ia abaikan. “Aku nggak mau mikir yang aneh-aneh," ucapnya akhirnya, pelan tapi terdengar getir. “Aku akan selalu percaya sama Mas Rhevan." Dirga menurunkan tangannya, langkahnya maju setapak, membuat jarak mereka semakin dekat. “Kamu naif banget." Nadine tercekat saat Dirga menyebutkannya begitu. Dia agak kesal, tapi tidak begitu menunjukkannya karena Dirga baru saja membantunya. "Kamu gak pulang?" "Kamu ngusir aku?" "Ini udah malam. Gak enak kalau ada tet

  • Mas Duda, Tolong Buat Aku Puas   Takut Ular

    "A- ada ular di dapur..."Nadine menahan napas. Matanya terus menatap ke arah lantai dapur, tempat ular itu meliuk-liuk dengan lidah menjulur, mengeluarkan suara mendesis kecil.Tangannya gemetar hebat. Ponsel di telinganya hampir terlepas karena getaran di tubuhnya."Apa ular?" Suara Dirga terdengar panik dari line seberang.“Di- Dirga… tolong…” suaranya sudah parau, nyaris pecah karena ketakutan. "Aku takut..."Di seberang sana hanya terdengar tarikan napas berat Dirga, seperti menahan sesuatu. Tidak ada jawaban panjang. Dan...Klik.Sambungan telepon tiba-tiba terputus.Nadine membelalakkan mata. “Ahh?! Dirga?!” Suaranya pecah, panik bercampur bingung.Air matanya akhirnya jatuh. “Ya Tuhan, aku harus gimana?!” Isaknya pecah. Bahunya terguncang. Ia mencoba merapatkan tubuhnya ke dinding, sapu yang tadi dipegang pun kini jatuh ke lantai karena tangannya tak sanggup lagi menggenggam.Ular itu makin mendekat, kepalanya terangkat sedikit seolah sedang mengincar.“A- aku harus ngusir ula

  • Mas Duda, Tolong Buat Aku Puas   Kamu Anggap Aku Apa?

    "Jujur aku kurang nyaman kalau Mas Rhevan—" Rhevan mendengus keras. “Udah lah! Jangan drama! Aku pusing kalau kamu mulai ngomong begitu. Mending kamu urusin kerjaan rumah aja, jangan ikut campur urusan laki-laki.” "Mas!" "Dia itu klienku! KLIENKU! Mau aku panggil dia cantik, sayang, cinta, terserah padaku, kan? Jangan ngatur kamu!" Kata-kata itu menusuk Nadine lebih dalam daripada pisau. Ia akhirnya diam, menunduk sambil menggigit bibir bawahnya, padahal matanya sudah panas dan kabur karena genangan air mata. Di belakangnya, Rhevan sudah kembali asyik dengan ponselnya, seolah percakapan tadi tak pernah ada. "Mas, sebenarnya kamu anggap aku ini apa?" Nadine menggigit bibir bawahnya, pertanyaan itu hanya bergema di dalam hati. Ia terlalu takut untuk benar-benar melontarkannya pada Rhevan. Kalau suaminya tadi sudah semarah itu hanya karena ia menanyakan hal kecil, apalagi jika ia bertanya hal lainnya. "Padahal aku mau santai hari ini, tapi kamu malah ganggu waktu santaiku!" Rhevan

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status