Share

Pilihan

Penulis: Queeny
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-10 06:13:19

Annisa menatap ayahnya dengan perasaan gamang dan memilih diam. Wajahnya sejak tadi hanya tertunduk, tetapi mendengarkan semua penuturan itu dengan serius. 

"Bagaimana, Nduk? Apa kamu mau?"

Sudah dari setengah jam yang lalu Pandu mengutarakan keinginan Ratih untuk melamar Annisa, tetapi tak bersuara. Sehingga membuat laki-laki itu bingung dan tak tahu harus berkata apa lagi. 

"Rasanya ini terlalu cepat, Pak. Lagi pula masa iddahku belum selesai," jawab Annisa lirih. 

Ada banyak wanita di luar sana yang hingga akhir hayatnya, tetap memilih untuk tetap sendiri karena kelak ingin berkumpul kembali bersama mendiang sang suami di surga.

"Tapi kamu lagi hamil, Nduk. Apa nanti sanggup membesarkan anakmu sendirian?" tanyanya lagi. 

Pandu tak mau memaksakan kehendak, karena dia sendiri juga belum menikah hingga sekarang. Hanya saja baginya Bima adalah sosok yang baik, shingga pantas jika bersanding dengan sang putri. 

Mencari pengganti pasangan yang sudah tiada itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. 

"Untuk saat ini, Nisa tetap ingin sendiri, Pak. Biarlah dia dibesarkan dengan kasih sayang seorang ibu. Lagi pula, Bima kan ... bisa mencari orang lain. Kenapa harus Nisa?" katanya terbata saat menyebut nama laki-laki itu. Betapa dia merasa jijik setiap kali harus mengucapkannya. 

Pandu menarik napas panjang mendengar itu, lalu berkata. "Kalau memang begitu keputusanmu, Bapak menghargai. Nanti Bapak akan bicara dengan Mbak Ratih mengenai jawabanmu."

Annisa mengangguk tanda setuju. Selintas dia teringat saat pertama kali berkenalan dengan Bima, saat acara pentas seni untuk amal yang diadakan fakultasnya. Dia ditunjuk menjadi panitia yang bertugas mengundang ketua angkatan fakultas lain. Ketika mengantarkan undangan, laki-laki itu adalah salah satu penerimanya. 

Berawal dari itulah mereka mejadi dekat. Wajah Annisa yang ayu dengan tutur kata lembut, membuat Bima mabuk kepayang. Akhirnya setelah melakukan penjajakan beberapa bulan, dia mengiyakan saat laki-laki itu menyatakan cinta.

Bima yang tampan juga pintar memang banyak disukai kaum Hawa. Namun, hatinya telah tertambat pada satu wanita. Annisa gadis desa yang sederhana dan keibuan. 

Sayang, setelah lulus kuliah, mereka harus berpisah karena Bima akan meneruskan pendidikan ke luar negeri. Dia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan S2. Sejak itulah hubungan mereka menjadi renggang. 

Annisa mencurigai bahwa laki-laki itu memiliki kekasih lain dengan melihat foto-foto mereka yang begitu mesra di media sosial. Hanya saja Bima menyangkalnya berulang kali. Sikapnya juga semakin tak peduli dan jarang memberikan kabar. 

Puncaknya ketika sebuah foto mesra diunggah oleh Bima ketika bersama seorang wanita saat perayaan hari Valentine. Itu membuat Annisa kecewa dan patah hati. 

Kehadiran Rahman yang awalnya dimanfaatkan Annisa untuk mencari info tentang adiknya, justru malah mendekatkan mereka. Apalagi setelah laki-laki itu menceritakan bahwa dia menderita suatu penyakit dan ingin menikah atas keinginan sang ibu. 

Annisa dengan begitu yakin menerima pinangan Rahman untuk menjadi istri, tanpa mengatakan hal itu langsung kepada Bima. 

Berbeda dengan adiknya, Rahman begitu baik dan sopan. Dia juga mengerti ilmu agama sehingga setelah menikah, banyak hal yang dia ajarkan kepada sang istri. Annisa sedikit demi sedikit mulai berbenah diri. 

"Kamu melamun, Nduk?"

Annisa seketika tersadar dari lamunannya ketika sang ayah kembali berucap.

"Ndak, Pak," jawabnya gelagapan.

"Ya sudah, sana istirahat. Kalau masih mual, ndak usah masak dulu biar Bapak beli di warung. Tapi, kalau kamu nanti sudah sehat, sebaiknya kita mulai berhemat," lanjut Pandu. Tanggung jawabnya kini bertambah, tak hanya menjaga sang putri, tetapi juga melindungi cucunya kelak. 

"Alhamdulillah," ucap Annisa setelah mendengarkan penuturan ayahnya. 

Setelah kerjadian hari itu, di mana dia dibawa ke rumah sakit karena pingsan di penginapan, besok paginya mereka langsung pulang. Rencana liburan sekaligus pendekatan yang semula diprediksi akan lancar menjadi gagal total. Bima memilih untuk segera pulang dengan alasan akan mempersiapkan pekerjaan.

Mengetahui Annisa hamil dan kemungkinan itu adalah hasil dari sang kakak, Bima menjadi lemas dan mundur teratur. Dia meminta ibunya untuk pulang, tanpa mengetahui bahwa janin yang dikandung oleh wanita itu adalah anaknya.

"Kalau begitu, doakan Bapak sehat. Kita besarkan anakmu bersama-sama," ucap Pandu sembari menatap putrinya dengan rasa sayang. 

Setiap kali melihat Annisa, maka yang tampak adalah wajah sang istri. Mereka seperti pinang dibelah dua, baik rupa maupun sikap. Tutur kata yang halus serta kesabaran yang dimiliki dua wanita itu membuat Pandu mengucap syukur tiada henti. Oleh karena itulah, rasanya dia tak perlu ada wanita lain di rumah mereka. 

"Iya, Pak."

"Mulai sekarang kamu jangan terlalu capek mengurusi rumah. Bapak mau lihat panen di sawah. Semoga dengan kehadiranmu, rezeki keluarga kita semakin berlimpah dan berkah," lanjut Pandu seraya mengusap kepala putrinya dengan lembut.

Annisa menangis terharu mendengar penuturan sang ayah, lalu memeluknya dengan erat. Betapa beruntungnya dia memiliki laki-laki itu di dalam hidup. Rasanya dia sudah tak memerlukan orang lain untuk tempat berlindung. 

Pandu meninggalkan rumah dan melaju dengan motor menuju ujung kampung, di mana beberapa petak tanah miliknya berada. Dia hanya pegawai rendahan, sehingga memiliki aset sejumlah itu saja sudah merasa cukup.

"Assalamualaikum, Pak!" sapa salah seorang yang mengerjakan sawahnya.

"Waalaikumsalam. Ini saya bawakan gorengan." Pandu menunjukkan kantong berwarna hitam yang isinya tadi dia belikan di warung dekat rumah. 

"Alhamdulillah. Sebentar lagi kami selesai. Bapak ke saung saja dulu, nanti kami menyusul. Ada kopi, tapi sudah dingin," jawab yang lain menimpali.

Pandu kembali melajukan motor menuju saung yang dia bangun tak jauh dari sawah. Dulu sewaktu Annisa masih kecil, mereka bertiga kerap menghabiskan waktu di sawah setiap hari libur tiba. Istrinya akan memasak dan membawa bekal untuk dimakan bersama.

Setelah membuka bungkus plastik dan memindahkan gorengan ke dalam wadah, Pandu menuang kopi dingin ke dalam gelas. Para pekerja sawahnya selalu membawa minuman itu dari rumah beserta bekal dan juga rokok sebagai teman istirahat. 

Matanya menatap hamparan kuning di depan. Panen tahun ini tak sebanyak tahun sebelumnya. Nanti, jika musim tanam baru dimulai, dia akan turun langsung sehingga hasil yang didapat lebih banyak. 

"Tumben datang ke sini, Pak?" tanya salah seorang pekerja yang asyik mengipas wajahnya dengan caping. Cuaca hari ini cukup terik sehingga bau asam tercium dari keringat mereka yang menetes.

"Cari udara segar. Biar pikiran fresh," jawab Pandu santai. Dia mulai mencocolkan gorengan ke saus sambal dan mengunyahnya pelan.

"Kebetulan kami memang lapar. Pas saja Bapak bawakan makanan," kata yang lain sembari meneguk kopi dengan begitu nikmatnya. Bagi mereka kesederhanaan seperti itu sudah cukup membahagiakan. 

"Ada Annisa pulang," ucapannya itu membuat para pekerja saling berpandangan.

"Syukurlah kalau begitu. Jadi Bapak ada teman di rumah. Ndak kesepian lagi."

"Kasihan putriku. Dia sedang mengandung saat suaminya meninggal," lanjut Pandu dengan mata menerawang. Kopinya tersisa setengah gelas, begitu juga dengan beberapa gorengan yang lenyap ke dalam perut.

"Namanya takdir Tuhan, Pak. Kita hanya bisa menerima. Insyaallah nanti anak itu membawa rezeki bagi ibu dan keluarganya."

"Aamiin." 

Pandu mengucapkan itu dengan sungguh-sungguh di dalam hati sembari membayangkan wajah sang putri. Lalu, mereka asyik berbincang hingga sajian di saung habis tak bersisisa dan hari mulai gelap.

***

Annisa membuka tutup sajian di meja karena merasa lapar. Ada sepiring singkong rebus dan teh dingin di teko. Wanita itu menarik kursi dan mengambil sepotong lalu mulai menikmatinya. 

"Nak. Semoga kita berdua bisa kuat menjalaninya," ucap Annisa dengan gamang sembari mengusap perut yang masih rata dengan pelan. 

Annisa sebenarnya ingin jika bayi itu lahir nanti, dia bisa bertemu dengan ayahnya. Namun, ketika dia mengingat kembali perlakuan Bima, rasanya laki-laki itu memang tak pantas menjadi bapak dari anaknya. 

Biarlah dia menjalani semua itu tanpa didampingi seorang suami. Ayahnya yang kelak akan menjadi pengganti Bima, sehingga anaknya tak akan kehilangan sosok bapak. 

"Mas Rahman, suatu saat aku akan kembali dan membawa anak kita untuk berziarah ke makammu. Bagiku, hanya kamulah yang pantas menjadi ayahnya."

Air matanya kembali menetes dengan dada yang kembali terasa sesak. Inilah takdir Tuhan yang harus dia terima dan dijalani sekalipun terasa begitu menyakitkan. 

Bukankah telah dijanjikan kepada setiap umat manusia yang mau bersabar. Bahwa apa pun yang diikhlaskan untuk dilepaskan, selalu akan diberikan pengganti yang lebih baik. 


Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fheransia Cha
sbnrnya sih ya,jatuhnya egois nissa nya ,, kasian anaknya nanti ,tp stiap org punya pandangan masing2 sih ,, smngt trus thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Masa Iddah yang Ternoda   Until The End

    Hari itu. Setelah menyiapkan sarapan, Bima meminta Annisa untuk bersiap-siap. Biasanya setiap weekend tiba, mereka akan menghabiskan waktu di luar. Attar yang mulai tumbuh dan aktif, akan protes jika hanya bermain di rumah. "Mau ke mana?" tanya Annisa saat Bima menarik lengannya untuk masuk ke mobil. Sejak resmi menjadi manager marketing di kantor baru, laki-laki itu mendapatkan fasilitas kendaraan roda empat. Kehidupan ekonomi mereka yang sempat terpuruk kini mulai membaik. "Aku mau ajak kalian jalan." "Rasanya weekend ini pengin istirahat aja," pinta Annisa. Sejak melahirkan putri keduanya, Diandra, Annisa memang gampang kelelahan karena tidak ada yang membantu. Apalagi anak itu suka terbangun di malam hari dan mengajak bermain. "Kita cuma mau pergi ke satu tempat aja, kok. Habis itu pulang." Annisa mengalah dan berjalan ke kamar untuk mengambil tas. Dia melirik ke arah box di mana Diandra masih terti

  • Masa Iddah yang Ternoda   Hadiah Kedua

    Annisa merasakan mual yang begitu hebat ketika terbangun. Azan subuh yang biasanya terdengar merdu, kini terasa mengganggunya. Wanita itu mencoba untuk berdiri, tetapi kembali terduduk di ranjang karena limbung. "Pa! Papa." Annisa membangunkan suaminya yang berada di sebelah. Tubuh besar Bima yang begitu lelap terguncang dengan mata yang enggan terbuka. "Papa!" "Apa?" "Perut Ibu kembung. Mual," keluh Annisa. Bima langsung duduk dan mengusap perut sang istri dengan lembut. Matanya masih mengantuk, sehingga laki-laki itu meletakkan kepala di pangkuan sang istri lalu terpejam kembali dan mendengkur. "Papa!"

  • Masa Iddah yang Ternoda   Indah Bila Waktunya

    Pintu rumah kontrakan itu terbuka lebar menerima para tamu yang datang. Sebuah meja dengan menu prasmanan diletakkan di depan karena di dalam tak terlalu luas.Annisa sibuk menghidangkan menu dibantu oleh Lastri. Sementara itu, Bima dan dan Pandu menerima tamu yang datang. Attar sejak tadi bermain bersama Ratih karena wanita paruh baya itu rindu dengan cucunya.Setelah masa kerja Bima melewati tiga bulan dan dia diangkat sebagai karyawan tetap, Annisa mengadakan syukuran agar pekerjaan suaminya yang baru, menjadi berkah bagi keluarga mereka.Acaranya juga dimaksudkan untuk memperingati tanggal dan bulan kelahiran Attar yang sudah lewat, karena waktu itu mereka tak punya biaya."Makasih udah datang, ya," ucap Bima kepada beberapa rekan kerjanya.Tak hanya karyawan di kantor baru, dia bahkan mengundang beberapa dari kantor lama. Salah satunya Aldo, manager personalia, sahabatnya dulu hingga

  • Masa Iddah yang Ternoda   Kabar Baik

    Annisa mengancingkan baju Bima dengan sabar lalu merapikan letak kerahnya. Wanita itu sudah bangun sejak subuh dan menyiapkan sarapan seperti biasanya.Attar masih tertidur di boks dengan nyenyak. Sudah beberapa hari ini anak itu kembali ke rumah. Annisa sendiri sudah resign karena Bima diterima bekerja. Sekalipun ada rasa cemburu di hati wanita itu, tetapi dia berterima kasih kepada Dyara. Berkat bantuannya, kehidupan mereka kembali normal seperti dulu."Papa ganteng gak, Bu?""Iya, ganteng.""Pasti nanti banyak cewek yang naksir kayak dulu," goda Bima."Terserah Papa aja. Kalau mau naksir balik ya silakan," kata Annisa seraya mengusap kedua lengan baju suaminya dan memastikan bahwa semua sudah rapi."Ibu cemburu?" goda Bima lagi."Gak.""Gak salah lagi. Ya, kan?"Annisa tersenyum dan menarik lengan Bima menuju dapur, lalu menyuruh suaminya duduk."Makan yang banyak, ya," ucapnya seraya mengambilkan nasi.

  • Masa Iddah yang Ternoda   Pilihan

    Annisa menarik napas panjang sebelum masuk ke ruangan itu. Biasanya dia santai saja, tetapi hari ini agak sedikit gugup karena akan mengucapkan salam perpisahan."Masuk, Nisa," kata Andra ketika wanita itu mengetuk dan membuka sedikit daun pintu.Aroma harum seketika menguar di indra penciuman Annisa. Tak hanya ruangan ini yang wangi, tetapi juga pemiliknya. Itulah yang membuat daya tarik Andra begitu kuat di mata kaum Hawa."Ini berkasnya, Pak," ucapnya sembari meletakkan setumpuk kertas di meja.Andra mengambilnya lalu membaca dengan teliti."Duduk dulu, lah. Kok tegang begitu," kata Andra heran seraya menatap Annisa dengan lekat."Eh iya, Pak." Annisa menarik kursi dan duduk dengan gelisah. Gesture tubuhnya terlihat jelas sehingga membuat Andra menghentikan aktivitasnya."Kenapa?""Itu, Pak. Mengenai status karyawan saya," kata wanita itu memulai."Kalau sudah 3 bulan jadi karyawan tetap. Kan suda

  • Masa Iddah yang Ternoda   Harapan

    Bima menatap layar laptop dengan tak percaya. Lamaran pekerjaan yang dia kirim minggu lalu, kini ada balasannya. Ternyata Dyara memang benar-benar membantu kali ini. Besok laki-laki itu diminta datang untuk interview."Aku dipanggil kerja." Bima mengetikkan pesan kepada istrinya. Mau nanti dibalas atau tidak oleh Annisa, yang penting dia sudah memberi kabar. Dia mengerti bahwa selama jam kerja, Annisa tak boleh diganggu.Bima membuka lemari, melihat beberapa koleksi baju untuk dipakai besok. Hatinya senang bukan kepalang karena ada harapan baru bagi masa depan keluarga mereka. Setelah memisahkan kemeja dan celana yang sudah dipilih, laki-laki itu memeriksa beberapa email lain. Ada banyak email di kotak masuk yang tidak dia baca karena isinya juga tak terlalu penting.Setelah selesai membereskan perlengkapannya, Bima menghubungi ibunya. Dia ingin berbagi kabar baik ini, sekaligus meminta doa agar wawancara besok berjalan lanca

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status