Share

Benci

Penulis: Queeny
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-10 06:05:22

Dengan tertatih, Annisa berjalan menuju kamar mandi. Sementara itu, Bima terbaring lemas setelah mendapatkan apa yang diinginkannya. 

Annisa menggosok seluruh tubuh dengannya kuat karena bekas sentuhan Bima masih terasa dan membuatnya jijik. Air mata wanita itu mengalir deras, bersamaan dengan tetesan air yang turun dari lubang-lubang shower. 

Setelah selesai membersihkan diri, Annisa mengintip dari balik pintu. Kamarnya kosong. Itu berarti Bima sudah keluar sejak dia mandi tadi. Dengan cepat wanita itu berlari dan mengunci pintu. Lalu, tubuhnya luruh ke lantai dengan  tangis yang kembali tumpah ruah.

"Maafkan Nisa, Mas," lirihnya ketika teringat kepada mendiang sang suami. 

Betapa baiknya perlakuan Rahman selama mereka menjani rumah tangga. Pantaslah kiranya dia menolak untuk menikah dengan Bima. Benar sesuai dugaan, laki-laki itu sekarang begitu kasar dan bersikap semaunya. 

Annisa segera berdiri dan mengambil tas di lemari, lalu memasukkan beberapa pakaian ke dalam koper. Sepertinya dia harus segera pergi dari rumah, bagaimanapun caranya. Wanita itu tak peduli sekalipun ada pantangan yang melarangnya keluar. Jika dia tetap berada di situ, maka kehormatannya akan terancam. 

"Nak! Nisa!" Sebuah ketukan di pintu mengagetkannya.  

"Iya, Bu?" jawabnya sopan. 

"Buka pintunya. Ayo ke luar. Ibu bawa makanan," jawab Ratih dengan sopan.

Sejak Rahman berpulang, menantunya memang lebih banyak mengurung diri dan sering menangis sendirian. Jadi, ketika Annisa keluar dari kamar dengan mata bengkak, Ratih sudah tak heran. Dia menganggap wanita itu masih berkabung dalam kesedihan. 

Dulu, saat suaminya meninggal, kondisi Ratih juga sama seperti yang dialami Annisa, bahkan lebih parah. Dia bahkan tak makan berhari-hari dan tak bisa tidur nyenyak karena rasa kehilangan yang teramat mendalam. 

"Bawa apa, Bu?"

"Ada rantangan dari pengajian. Ayo, kita makan sama-sama," ajak Ratih sembari menarik tangan sang menantu. 

Annisa melangkah dengan ketakutan. Apa yang dilakukan Bima tadi masih berbekas. Matanya melirik ke sekeliling ruangan, dan menarik napas lega saat melihat meja makan yang kosong. Lalu mereka duduk berhadapan dan mulai makan.

"Kamu kenapa?" tanya Ratih heran. Tak biasanya sang menantu bersikap seperti itu. 

"Nisa makan di kamar saja ya, Bu. Gak enak badan," pintanya memohon. Sungguh, dia takut jika sampai bertemu dengan Bima lagil.

"Kamu sakit?"

"Pusing," jawabnya.

"Ya, sudah. Ambil piring sama lauk semaumu. Bawa ke kamar setelah itu istirahat."

Dengan patuh, Annisa melakukan apa yang diminta ibu mertuanya, lalu bergegas masuk ke kamar dan mengunci pintu. Dengan tangan gemetaran wanita itu menyuapkan nasi ke mulut. Perutnya terasa mual, sehingga dia meneguk segelas air putih dan meletakkan makanannya begitu saja di lantai.

Annisa naik ke ranjang, mencoba menenangkan diri. Tiba-tiba saja dia menjadi jijik berbaring di sana dan bergegas turun. Wanita itu menarik seprai dan membuka semua sarung bantal, lalu melemparnya ke sudut ruangan. Nanti, dia akan membuangnya, beserta baju yang masih berserakan di lantai. 

"Astagfirullahaladzim."

Annisa mengusap dada yang terasa sesak. Dalam hati bertanya, mengapa semua itu terjadi? Harusnya dia kembali ke rumah orang tua setelah masa tujuh hari berkabung. Hanya saja, hatinya tak tega meninggalkan sang ibu mertua. 

"Ya Allah, kenapa kau berikan cobaan begitu berat setelah kepergian suamiku." Annisa melangkah menuju sofa yang terletak di sudut kamar. Setelah puas nenumpahkan tangis, akhirnya wanita itu terlelap.

***

"Nak." Sebuah bisikan di telinga membangunkannya. 

Mata Annisa perlahan terbuka dan mendapati ibu mertuanya sedang duduk di sebelah. 

"Kenapa Ibu bisa masuk?" tanya Annisa dengan heran.

"Tadi Ibu pakai kunci duplikat. Habisnya kamu ndak bangun juga. Ini sudah mau Magrib. Jadi Ibu takut kamu kenapa-kenapa," jawab Ratih dengan nada khawatir. 

Deg!

Jantung Annisa berdetak kencang. Kunci duplikat? Jadi, selama ini ibunya punya? Apa jangan-jangan, tadi Bima bisa masuk karena itu? 

Seketika Annisa menjadi lemas dengan kepala berdenyut hebat. Wanita itu menggelengkan kepala dengan keras. Itu membuat Ratih bertanya-tanya.

"Nisa, kamu kenapa, Nak?" 

"Gak apa-apa, Bu." Annisa memeluk Ratih dengan erat. 

"Astagfirullah badan kamu panas. Kamu demam."

Ratih menuntun menantunya untuk berdiri dan hendak membawanya ke ranjang, saat Annisa menolak dengan keras.

"Nisa gak mau tidur di situ, Bu. Nisa takut," ucapnya sembari gemetaran. Bayangan perlakuan Bima tadi kembali berkelebat.

"Ya Allah, kamu kenapa?" tanya Ratih saat menantunya meronta begitu kuat. Akhirnya, dia kembali menuntun Nisa untuk berbaring di sofa.

Ratih bergegas keluar kamar dan memanggil Bima untuk dimintai pertolongan. Sejak tadi, putra keduanya itu hanya berdiam di kamar. Entah mengapa seharian itu dia merasa ada yang janggal telah terjadi di rumah,  tapi tak tahu apa.

"Bima, bangun!" Ratih menggedor pintu kamar putranya. 

Tak lama, pintu kamar itu terbuka. Bima muncul dengan wajah kusut juga rambut yang berantakan.

"Ada apa, Bu?" tanya laki-laki itu dengan malas. Dia masih mengantuk dan tak ingin diganggu oleh siapa pun. 

"Nisa demam. Panasnya tinggi. Tolong Ibu, Nak."

Bima terkejut lalu meminta izin untuk mencuci muka terlebih dahulu. Setelah itu, Ratih langsung menarik tangan putranya dan bergegas menuju kamar sang menantu. 

Bima berhenti di depan, tak berani masuk karena ada ibunya. Padahal tadi pagi dia bersenang-senang di sana. Tanpa rasa bersalah, laki-laki itu mengintip dan melihat Annisa sedang menangis sesegukan sembari bergelung di sofa.

"Masuk, Bima. Tolong Ibu," pinta Ratih. Tubuhnya yang renta tak sanggup membopong Annisa keluar. Dia berencana akan membawa menantunya ke praktik dokter terdekat. 

Mendengar itu, Annisa merespons dengan berteriak. 

"Keluar!" usirnya saat Bima akan melangkah masuk.

Ratih mengusap dada melihat menantunya bersikap seperti itu. Annisa seperti orang kesurupan dengan raut wajah penuh amarah. Lalu, dia menyuruh putranya mundur dan menutup pintu. 

"Kamu kenapa, Nak? Jangan bikin Ibu bingung dengan sikapmu. Tadi pagi kamu baik-baik saja. Sekarang malah demam," bisiknya sembari memeluk tubuh mungil itu dengan erat.

Air mata Ratih mulai menetes, apalagi Annisa sejak tadi gemetaran dan menangis dengan kencang.

"Aku takut, Bu. Aku mau pulang," lirihnya. 

"Kita ke dokter dulu ya, Nak. Ibu khawatir kamu kenapa-kenapa," bujuknya.

Annisa menggeleng. Dia tak mau keluar kamar dan bertemu Bima lagi. Bisa saja laki-laki itu akan mengulangi perbuatannya. 

"Ya sudah kalau begitu. Kamu minum obat saja. Ibu carikan dulu di lemari." 

Sepeninggalan ibunya, Annisa kembali berbaring di sofa dan memejamkan mata. Tak lama, Ratih kembali dan membantu menantunya untuk minum obat. 

Setelah merasa lebih tenang, Annisa berkata dengan penuh permohonan. "Besok pagi Nisa mau pulang, Bu. Nisa kangen Bapak."

Ratih menimbang sesaat lalu berkata "Kalau memang itu maumu, Ibu ndak bisa menahan lagi. Besok kami antar ke stasiun."

Annisa mengangguk dan mengucap syukur, lalu kembali memeluk ibu mertuanya dengan erat.

***

Hilir mudik orang yang berlalu lalang, memadati stasiun pagi itu. Sebagian penumpang ada yang duduk di kursi tunggu, ada pula yang berdiri menunggu kereta mereka datang. 

Beberapa orang terlihat memanggul tas  besar atau kardus berisi barang-barang atau buah tangan untuk keluarga yang akan dikunjungi. 

Begitu pula dengan Annisa yang sudah siap dengan sebuah koper dan paper bag besar di tangannya. Wanita itu menunggu antrean karena tak mau berdesakan dengan yang lain. 

Ada banyak anak-anak yang ikut serta dalam perjalanan, sehingga Annisa memberikan kesepatan kepada penumpang yang membawa keluarga untuk masuk duluan. 

"Hati-hati. Jangan dirimu ya, Nak," ucap Ratih dengan berat hati saat melepas menantunya di stasiun kereta. Matanya berkaca-karena berat hati hendak berpisah. 

Annisa menciun tangan ibu mertuanya sebagai tanda hormat. Tanpa menoleh ke arah Bima dia melangkah mendekati gerbong. 

"Nis, maaf," ucap Bima dengan penuh penyesalan. 

Matanya menatap wanita itu dengan lekat dan hati yang gamang.  Ada perasaan bersalah yang perlahan menyusup ke sanubari Bima. Rasanya dia ingin memeluk sang pujaan hati, agar kata ampunan itu terucap dari bibir Annisa. Bahkan jika perlu, dia siap bersujud untuk meminta maaf.  

Ratih tersentak mendengar itu, lalu menatap mereka berdua secara bergantian. Sejak Bima datang, sikap menantunya memang berbeda. Annisa jarang mau ke luar kamar dan setiap berpapasan dengan putranya seperti menghindar. 

Ratih tahu, menantunya itu sangat menjaga diri terhadap lawan jenis. Saat Rahman masih ada pun, sikapnya sama. Hanya saja, memang agak aneh jika tiba-tiba saja Annisa langsung pergi jika Bima datang dan duduk berbincang bersama mereka. 

"Kalian ada apa?" tanya Ratih menatap curiga.

"Itu, Ma. Maaf waktu Bima ... kemarin mau masuk ke kamar Nisa," katanya berbohong sembari menatap wajah Annisa yang terlihat begitu cantik dengan balutan hijab putih.

"Ibu juga minta maaf ya, Nisa. Malah nyuruh Bima masuk ke kamar kamu. Habisnya Ibu khawatir lihat kondisi kamu begitu."

"Ya, Bu." 

Hanya itu yang Annisa ucapkan sebelum perpisahan. Lalu kaki kecilnya melangkah memasuki gerbong kereta. Hingga bayangannya menghilang bersama dengan hati Bima yang tiba-tiba saja merasa hampa. 

  


Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Masa Iddah yang Ternoda   Until The End

    Hari itu. Setelah menyiapkan sarapan, Bima meminta Annisa untuk bersiap-siap. Biasanya setiap weekend tiba, mereka akan menghabiskan waktu di luar. Attar yang mulai tumbuh dan aktif, akan protes jika hanya bermain di rumah. "Mau ke mana?" tanya Annisa saat Bima menarik lengannya untuk masuk ke mobil. Sejak resmi menjadi manager marketing di kantor baru, laki-laki itu mendapatkan fasilitas kendaraan roda empat. Kehidupan ekonomi mereka yang sempat terpuruk kini mulai membaik. "Aku mau ajak kalian jalan." "Rasanya weekend ini pengin istirahat aja," pinta Annisa. Sejak melahirkan putri keduanya, Diandra, Annisa memang gampang kelelahan karena tidak ada yang membantu. Apalagi anak itu suka terbangun di malam hari dan mengajak bermain. "Kita cuma mau pergi ke satu tempat aja, kok. Habis itu pulang." Annisa mengalah dan berjalan ke kamar untuk mengambil tas. Dia melirik ke arah box di mana Diandra masih terti

  • Masa Iddah yang Ternoda   Hadiah Kedua

    Annisa merasakan mual yang begitu hebat ketika terbangun. Azan subuh yang biasanya terdengar merdu, kini terasa mengganggunya. Wanita itu mencoba untuk berdiri, tetapi kembali terduduk di ranjang karena limbung. "Pa! Papa." Annisa membangunkan suaminya yang berada di sebelah. Tubuh besar Bima yang begitu lelap terguncang dengan mata yang enggan terbuka. "Papa!" "Apa?" "Perut Ibu kembung. Mual," keluh Annisa. Bima langsung duduk dan mengusap perut sang istri dengan lembut. Matanya masih mengantuk, sehingga laki-laki itu meletakkan kepala di pangkuan sang istri lalu terpejam kembali dan mendengkur. "Papa!"

  • Masa Iddah yang Ternoda   Indah Bila Waktunya

    Pintu rumah kontrakan itu terbuka lebar menerima para tamu yang datang. Sebuah meja dengan menu prasmanan diletakkan di depan karena di dalam tak terlalu luas.Annisa sibuk menghidangkan menu dibantu oleh Lastri. Sementara itu, Bima dan dan Pandu menerima tamu yang datang. Attar sejak tadi bermain bersama Ratih karena wanita paruh baya itu rindu dengan cucunya.Setelah masa kerja Bima melewati tiga bulan dan dia diangkat sebagai karyawan tetap, Annisa mengadakan syukuran agar pekerjaan suaminya yang baru, menjadi berkah bagi keluarga mereka.Acaranya juga dimaksudkan untuk memperingati tanggal dan bulan kelahiran Attar yang sudah lewat, karena waktu itu mereka tak punya biaya."Makasih udah datang, ya," ucap Bima kepada beberapa rekan kerjanya.Tak hanya karyawan di kantor baru, dia bahkan mengundang beberapa dari kantor lama. Salah satunya Aldo, manager personalia, sahabatnya dulu hingga

  • Masa Iddah yang Ternoda   Kabar Baik

    Annisa mengancingkan baju Bima dengan sabar lalu merapikan letak kerahnya. Wanita itu sudah bangun sejak subuh dan menyiapkan sarapan seperti biasanya.Attar masih tertidur di boks dengan nyenyak. Sudah beberapa hari ini anak itu kembali ke rumah. Annisa sendiri sudah resign karena Bima diterima bekerja. Sekalipun ada rasa cemburu di hati wanita itu, tetapi dia berterima kasih kepada Dyara. Berkat bantuannya, kehidupan mereka kembali normal seperti dulu."Papa ganteng gak, Bu?""Iya, ganteng.""Pasti nanti banyak cewek yang naksir kayak dulu," goda Bima."Terserah Papa aja. Kalau mau naksir balik ya silakan," kata Annisa seraya mengusap kedua lengan baju suaminya dan memastikan bahwa semua sudah rapi."Ibu cemburu?" goda Bima lagi."Gak.""Gak salah lagi. Ya, kan?"Annisa tersenyum dan menarik lengan Bima menuju dapur, lalu menyuruh suaminya duduk."Makan yang banyak, ya," ucapnya seraya mengambilkan nasi.

  • Masa Iddah yang Ternoda   Pilihan

    Annisa menarik napas panjang sebelum masuk ke ruangan itu. Biasanya dia santai saja, tetapi hari ini agak sedikit gugup karena akan mengucapkan salam perpisahan."Masuk, Nisa," kata Andra ketika wanita itu mengetuk dan membuka sedikit daun pintu.Aroma harum seketika menguar di indra penciuman Annisa. Tak hanya ruangan ini yang wangi, tetapi juga pemiliknya. Itulah yang membuat daya tarik Andra begitu kuat di mata kaum Hawa."Ini berkasnya, Pak," ucapnya sembari meletakkan setumpuk kertas di meja.Andra mengambilnya lalu membaca dengan teliti."Duduk dulu, lah. Kok tegang begitu," kata Andra heran seraya menatap Annisa dengan lekat."Eh iya, Pak." Annisa menarik kursi dan duduk dengan gelisah. Gesture tubuhnya terlihat jelas sehingga membuat Andra menghentikan aktivitasnya."Kenapa?""Itu, Pak. Mengenai status karyawan saya," kata wanita itu memulai."Kalau sudah 3 bulan jadi karyawan tetap. Kan suda

  • Masa Iddah yang Ternoda   Harapan

    Bima menatap layar laptop dengan tak percaya. Lamaran pekerjaan yang dia kirim minggu lalu, kini ada balasannya. Ternyata Dyara memang benar-benar membantu kali ini. Besok laki-laki itu diminta datang untuk interview."Aku dipanggil kerja." Bima mengetikkan pesan kepada istrinya. Mau nanti dibalas atau tidak oleh Annisa, yang penting dia sudah memberi kabar. Dia mengerti bahwa selama jam kerja, Annisa tak boleh diganggu.Bima membuka lemari, melihat beberapa koleksi baju untuk dipakai besok. Hatinya senang bukan kepalang karena ada harapan baru bagi masa depan keluarga mereka. Setelah memisahkan kemeja dan celana yang sudah dipilih, laki-laki itu memeriksa beberapa email lain. Ada banyak email di kotak masuk yang tidak dia baca karena isinya juga tak terlalu penting.Setelah selesai membereskan perlengkapannya, Bima menghubungi ibunya. Dia ingin berbagi kabar baik ini, sekaligus meminta doa agar wawancara besok berjalan lanca

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status