Share

Reaksi Bulek

"Halimah! Apa yang kamu lakukan?!" Mas Sabil datang merebut ponsel di tanganku.

"Apa itu, Mas? Untuk siapa kamu menyewa rumah? Kenapa tak membicarakannya denganku? Lalu siapa wanita yang tadi katanya bareng Mas Sabil?" tanyaku tegas tanpa basa-basi. Aku

Di waktu yang sama, suara piring pecah yang jatuh di lantai terdengar. Saat itulah, aku dan Mas Sabil yang sedang bersitegang menoleh ke sana.

Aku memperhatikan seorang gadis yang seketika berjongkok membersihkan pecahan piring di lantai. Puding buatan Bulek yang sepertinya akan diberikan padaku berserakan di sana.

Bulek sangat tahu kalau aku menyukai makanan itu. Dia pasti ingin membuatku senang dan menghilangkan stress yang melanda pasca melahirkan.

Wanita paruh baya itu, banyak tahu medis karena dulu saat muda sempat bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit. Fatma ke kamar kami pasti ingin mengantarkan kue itu.

Tapi ... kenapa piringnya pecah? Apa dia terkejut karena semua kebohongannya dengan Mas Sabil akan terbongkar?

"Ahm, maaf," ucap Fatma tergesa membereskan pecahan-pecahan dan puding di lantai.

Tampak tangan gadis itu kotor karena noda dari kue itu.

Ini kesempatan, melihat ekspresi Mas Sabil. Kamu gak akan bisa berkelit lagi Mas. Ada Fatma di sini. Gadis lemah lembut itu, pasti akan mengaku setelah aku desak.

Benar kata orang, bahwa yang berpotensi paling besar menghancurkan kita adalah orang dekat. Yang bahkan dia selalu membela dan mengalah pada kita.

Dengan dada naik turun, kuamati Mas Sabil yang seolah tak peduli pada Fatma. Ia tak terpengaruh. Tatapannya ke arah lain dengan gestur bingung menghadapiku.

Aneh. Kenapa dia tak peduli?

"Auh!" Fatma terdengar mengaduh. Aku pun sontak menoleh ke arahnya. Namun, tidak dengan Mas Sabil. Dia benar-benar tak peduli.

Jika memang mereka punya hubungan, dan Mas Sabil sangat mencintai Fatma, bukankah seharusnya dia terkejut dan khawatir. Lalu bergegas memeriksanya.

Namun, yang ada ....

"Sudahlah, kalian tak perlu bersandiwara!" ketusku pada mereka berdua. Mataku sudah memanas, tapi akhirnya lolos juga air mata yang kutahan sedari tadi.

"Pelankam suaramu! Aku sudah menahannya karena takut kembar bangun."

Kimiringkan senyum mendengar ucapan Mas Sabil.

"Kamu ini kenapa, sih? Belum juga aku jelaskan sudah menuduhku yang macam-macam? Kenapa bawa-bawa sepupumu?" Mas Sabil melotot tak terima.

"Oh, kamu pikir, kami ada main? Kamu pikir ... dia pelakor! Perempuan yang merebut suamimu? Makanya Halimah sudah kubilang berapa kali? Jangan suka baca cerita-cerita di KBM. Pikiranmu jadi selalu buruk pada suami!" Kini pria itu malah menyerangku, bahkan hobbyku yang suka baca di aplikasi.

Ah, itu memang hobbyku. Tempat menyalurkan kesepian yang kurasa karena sikap dinginnya. Jujur saja, aku merasa kurang perhatian dan kasih sayang. Jadi perlu mencari pelarian. Menurutku itu juga cara positif mengalihkan pikiran, dari bergaul dengan emak-emak yang suka bergosip, atau suka drama bikin statu, lalu kubuka aib suamiku sendiri.

"Kamu tanya rumah itu untuk siapa! Itu bukan untukku! Tapi teman yang butuh bantuan! Bukannya bertanya malah punya pikiran sendiri. Menyalahkan Fatma jadi pelakor lagi! Apa sekarang kamu puas!? Tidak ada wanita yang merebut suamimu! Tidak ada!" Mas Sabil yang tadi memintaku, menekankan suara malah berteriak.

Kulirik Fatma, saat Mas Sabil menyebutnya pelakor. Gadis itu kini tak bergerak. Menunduk dalam. Ya Tuhan pertanda apa ini? Aku tahu apa pun yang aku tuduhkan Fatma tak akan balik menyerang. Begitulah dia, diam, lemah dan sulit bicara mengemukakan isi hatinya.

Benarkah kata Mas Sabil? Tapi dia bukan tipe pria yang suka berbohong. Kenapa aku tetap saja ragu padanya?

"Apa maksud kalian?" Suara seseorang membuat kami semua menoleh.

Entah, sejak kapan Bulek sudah berdiri di antara kami. Di saat itu pula, si sulung terbangun. Dia memang paling sering bangun dibanding bungsu. Tubuhnya juga lebih berisi. Mungkin karena itu lambungnya lebih besar dan cepat lapar.

Melihat Bulek aku jadi ingat sikapnya kemarin. Saat Fatma pamit akan pergi. Wanita itu pasti tahu, apakah ada sesuatu antara Mas Sabil dan Fatma.

Dengan cepat aku menoleh. Berusaha meraihnya sembari mengusap air mata kasar.

Sementara Mas Sabil, yang tampaknya sangat kesal padaku karena menuduhnya, pria itu mengembus kasar. Lalu keluar lebih dulu meninggalkan ruangan.

"Apa kamu menuduh Adikmu pelakor, Nduk?" tanya Bulek dengan mata berkaca-kaca.

Apa ini? Kenapa sikap mereka membuatku bingung?! Apa artinya aku sedang menuduh orang-orang yang gak salah!?

Next

InsyaAllah malam ya. Jangan lupa tap love. Koment. Sub yang belum sub deh.😁🙏

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status