Bara Sang Pengembara
Bab 7"Mas, aku hamil," ucap Widya dengan seorang pemuda yang tinggal di sebelah kontrakannya lima tahun lalu."Tidak mungkin itu anakku. Kamu saja sudah tak perawan."
"Mas, aku hanya berhubungan badan denganmu. Tidak yang lain."
"Alah, kamu itu pembohong. Gak mungkin hanya aku aja. Mungkin, Toni pernah juga mencicipimu."
"Toni tak pernah melakukannya. Kamu harus tanggung jawab, Mas."
"Gak bisa. Kamu tahu kalau aku sudah menikah. Aku tak mau kehilangan istriku."
"Kalau kamu takut kehilangan istrimu. Kenapa kamu mengodaku."
"Kamu saja yang membuat lelaki tergoda. Lihatlah pakaianmu membuat aku ingin meyentuhnya."
"Jahat kamu! Aku akan adukan pada istrimu," ancam Widya.
"Kalau kamu berani mengadukan kepadanya. Aku akan memberitahu kelakuanmu kepada orang tuamu di kampung. Aku punya nomor bapakmu."
"Tega kamu, Mas! Aku harus bagaimana dengan anak dalam kandunganku ini."
"Gugurkan saja!"
Widya mengelus perutnya. Ada janin di dalamnya hasil hubungan gelap dengan tetangga sebelah.
Widya berusaha mengugurkan kandungannya dengan berbagai cara. Janin dalam kandungannya semakin membesar.
Lelaki yang tinggal disamping rumahnya telah pergi dan pindah ke tempat lain tanpa sepengetahuan Widya.
"Dasar penipu! Pengecut!" makinya. Memukul-mukul perut Widya.
Widya terlelap setelah lelah menangis seharian. Perutnya terasa sakit dan nyeri.
Widya merasakan cairan keluar dari bawah. Wanita itu segera meminum pil penguggur kandungan.
Menghubungi seseorang yang ahli dalam bidang ini ke rumahnya. Tak berapa lama datang seorang nenek-nenek.
Ia telah berhasil mengeluarkan bayi tanpa sepengetahuan orang lain. Janin yang sudah terbentuk manusia. Usia janin Widya menginjak lima bulan.
Segala cara ia lakukan agar semuanya kembali ke sedia kala.
"Cah Ayu, kubur anakmu di pohon itu." Menyerahkan peti kecil coklat yang sudah ditaburkan bunga tujuh rupa.
Widya menoleh ke arah pohon yang berada dekat kontrakannya. Ia menganggukan kepala tanda setuju.
Widya melakukan apa yang dikatakan nenek tadi. Tak berapa lama kemudian, Widya menikah dengan Toni.
Di jumat kliwon, Widya menyajikan satu potong ayam dan telur ayam kampung didekat pohon itu. Agar tak dicurigai warga. Widya meletakkan pot dengan aneka tumbuhan.
Beberapa tahun kemudian Toni mengalami kelainan pada kelaminnya. Ia tak bisa bertahan dalam jangka waktu lama.
Ada rasa kesal dan kecewa di hati Widya. Ia tetap berusaha menerima Toni.
**
"Mba Widya, apa Mba sadar kalau perlakuan tersebut salah?"
"Saya sadar, Mas Bara. Saya sadar. Posisi saya bingung pada saat itu."
"Kenapa kamu tak bilang kalau kamu hamil?" tanya suami Widya dengan suara pelan.
"Maafkan aku, Mas. Dia merayuku dan memaksa untuk melayaninya. Aku tak mampu melawannya. Apalagi kalau lelaki itu sedang mabuk dan istrinya tak ada."
"Aku mencintaimu Widya. Kamu menerimaku dengan kekurangan yang kumiliki. Seharusnya, kamu jujur."
Bang Malih menarik napas panjang." Mungkin bini elu gak punya pilihan. Apalagi waktu itu bini elu baru kerja. Orang tua di kampung. Tuh, laki yang perkosa dia. Elu tahu sendiri sifat tuh orang. Tukang mabok, suka mukulin orang. Preman pokoknya."
Toni mencerna ucapan bang Malih.
"Elu juga Wid, udah tahu gugurin kandungan dosa dan ada hukumnya. Bisa dipenjara kalau ketahuan. Kalau ada apa-apa ngomong aja sama orang yang tepat. Gak usah pendem sendiri." Bang Malih menasihati wanita di depannya. "Sekarang, semuanya udah kebongkar. Gua minta elu berdua ngomongin gimana baiknya aja. Paham gak maksud gua?""Iya, Cang."
"Jangan saling dendam atau benci. Elu berdua suami istri udah lima tahun kawin. Pasti, udah tahu sifat masing-masing. Salat yang bener jangan ampe bolong. Elu Widya, pakai baju jangan kekurangan bahan. Mengoda iman orang sama makhluk lain yang lewat. Gimana kaga ngiler. Baju elu sepaha. Belahan sampe dada. Mak jlep!"
"Iya, Cang. Makasih udah bantuin kita. Mas Bara dan Cang Malih," ungkap Toni.
"Mba Widya sebaiknya dibersihkan dulu tubuhnya oleh yang ahli."
"Elu kaga bisa Bar?"
"Saya gak bisa Bang. Bukan ahlinya."
"Elu bisa lihat gituan bagaimana?"
"Gak tahu Bang. Mungkin hanya feeling."
"Tuh, Ton. Jangan lupa bersihin diri bini elu. Jangan kerja mulu kaya kaga."
"Iya, Cang. Nanti, ke rumah ustad Somad. Kami permisi dulu."
"Tunggu dulu. Kubur nih bayi yang layak." Menyerahkan peti yang tertutup kain.
Toni dan Widya kembali ke kontrakkannya. Mereka merasa lega. Permasalahan mereka telah usai. Rahasia bertahun-tahun terbongkar.
Toni memaafkan Widya karena rasa sayang dan cinta kepada wanita itu. Begitu juga Widya menerima kekurangan dari sang suami.
Peti berisi bayi telah dikubur oleh para ahli.
****Terima kasih sudah mampir dan membaca karyaku. Baca terus sampai tamat. Jangan lupa rate dan komentarnya.
Fika menatap Bara dengan kebimbangan, ia terus menatap pemuda yang sedang merapikan pakaiannya. "Jangan di tatap terus, Kakak tahu kalau ganteng.""Eh, pede banget." Fika menjulurkan lidahnya ke arah Bara. pemuda yang sibuk memilih pakaiannya hanya terkekeh saja. "Kakak, kamu yakin mau kembali ke kampung. Memangnya Mak dan Abah sudah ketemu?" "Sudah, mereka baik-baik saja dan bahagia di sana." Bara mengulum senyum ketika melihat Abah dan Mak bahagia. "Kok gak ajak aku?" Fika mulai merajuk. Bara menoleh ke arah Fika yang semakin hari semakin cantik dan dewasa. umurnya sudah matang untuk berumah tangga. Bara mengusap lembut puncak kepala Fika."Abah dan emak sudah lihat kamu. Kamu juga jangan khawatirkan mereka. Berdoa untuk kesehatan mereka.""Apa jangan-jangan mereka sudah berada di kampung makanya kamu mau kembali ke sana?""Tidak ada. Mereka tak ada di sana. Apa kamu tak ingin pulang?"Wajah manis Fika menunduk lesu. Mengingat hal dulu membuatnya sakit hati. Kalau saja waktu i
Bara Seorang gadis berkemeja biru merah dengan logo di kantung depan, mengusap lembut tubuh pemuda yang kini terbaring di atas tempat tidur di dalam kamar. Tangan halusnya mengusap lembut kulit pemuda itu dengan tangkas. Perlahan memakaikan kembali pakaian yang baru untuk pria yang kini terbaring tak berdaya. Selang infus masuk dari pergelangan tangan kanan. Cairan itu yang masuk ke dalam tubuh sebagai sumber tenaga. kedua mata pemuda itu masih terpejam, entah sampai kapan mata elang akan terbuka kembali. Rasa rindu akan canda dan perhatiannya kian membuncah. Gadis berkuncir kuda tetap sabar menanti. "Sampai kapan kamu akan tertidur Kak Bara. Apakah kamu tak merindukanku. Bangunlah." Fika selalu menjaga dan merawat Bara yang sudah lima bulan tak sadarkan diri. Melalui infus, Bara mengomsumsi makanan. Setelah memastikan semua selesai, Fika merapikan peralatannya dan berpamitan. "Aku harus pergi. aku harus bekerja untuk biaya hidup kita." Fika mengusap lembut surai Bara. mengulum
Bara menghampiri dua raja yang memiliki dendam terselubung. Mereka bertaruh dengan ganas dan sadis tak memberikan ampun atau permohonan maaf. Hingga sang Raja Merah terhempas dari hadapan makhluk hijau. Kini, hanya Bara yang bisa melawan Raja Kijo.Langkah Bara pasti dan akan mengalahkan raja jahanam itu. Raja yang memiliki maksud busuk kepada manusia. Maka Bara mengorbankan diri untuk saudara-saudaranya di dua dunia. "Bocah tengil, Raja merah saja tak bisa melawanku. Kamu ingin ikut mati bersamanya, ah!" Raja Kijo tersenyum sinis menatap pemuda dihadapnya. "Kalau sudah takdirku kenapa tidak." Bara melompat dan menjulurkan kaki hingga menyentuh dada raja Kijo. Sang raja terhuyung ke belakang ketika mendapat tendangan dari Bara. "Kurang ajar!" teriak raja Kijo mengema hingga ke luar kerajaan. Para anak buah gusar mendapat teriakan dari sang Baginda raja. Raja Kijo bersiap menyerang dengan kekuatan ilmu dalam yang selama ini ia simpan untuk digunakan ketika menemukan musuh lebih
Napas Bara memburu, ia memilih menjauh. Gerak-gerik saat menghindari serangan adalah miliknya. "Sial, dari mana dia tahu gerakkan itu. Bagaimana aku bisa mengalahkannya?" geram Bara dalam hati. "Kenapa? Kamu tak bisa mengalahkan ku. Jangan harap kamu bisa!" Bara berpikir sejenak tetapi serangan tiba-tiba datang begitu cepat hingga bagian dada Bara terpukul keras, cairan merah keluar dari mulut pemuda itu. Bara terbatuk-batuk mengeluarkan cairan pekat. Raja Kijo tak memberikan ampun kepada pemuda itu. Ia melanjutkan penyerangan. Kedua kaki Bara tak berpijak. Tubuhnya melayang ke udara. "Ha ... ha ... Kekuatanmu tak sebanding denganku!" "Aku tak peduli kekuatanmu seberapa besar. Aku tak peduli berapa banyak jurusmu. Aku hanya ingin kamu musnah!" Bara melepaskan kalung merah yang melingkar di lehernya hingga dua orang muncul bersamaan menatap Raja Kijo. Mereka adalah ayah Bara dan Sang Raja yang telah hilang. Ternyata ia berada di kalung itu menunggu waktu yang tepat untuk menyer
Bara melanjutkan langkah hingga lantai yang ia pijak berubah, suasana menjadi mencekam. Sekeliling Bara berubah gelap. Hanya ada pepohonan menjulang tinggi dengan langit hitam. Tak ada bulan maupun bintang. Suara jangkrik atau kodok tak ada. Senyap dan sepi bagaikan di dalam kuburan. "Apakah aku telah kembali ke dunia nyata atau ini dunia Raja Kijo?" Monolognya dalam hati. Kaki Bara melangkah mencari jalan menuju cahaya. Tetapi, tak ada cela cahaya di sekitar ini. Suara apapun tak terdengar hingga kalung merah Bara berkelap-kelip menandakan bahaya mengintai. Bara menyentuh kalung itu saling berkomunikasi dengan penghuni kalung. Bara merasakan sesuatu mendekat sangat cepat seperti sebuah kilatan. Kedua kaki bersiap untuk menerima serangan tiba-tiba. Hingga cahaya menyerang Bara tetapi tak berwujud. Lengan Bara mengeluarkan cairan merah akibat goresan. Terasa nyeri dan perih. Bara mengindari kilatan itu agar tak terluka untuk kedua kali. Bara mengeluarkan tenaga dalam hingga diri
"Mati kau!" Suara tawa mengema di ruangan itu. Waktu yang tepat untuk menghentikan wanita berkebaya hijau. Jika ia bersuara lagi tubuh Bara bisa tak berdaya. Hingga kepala terasa berat seperti tertimpa batu besar. Bara berlari secepat kilat menghajar wanita berkebaya hijau dan menyerang sekali tebasan. Bara mengores bagian perut Nyai dengan senjata daun beracun miliki wanita itu. Bara berdiri di samping wanita itu dan menambah serangannya dengan cara mencari kelemahan Nyai. Sebuah tusuk konde berada di kepala wanita tua yang mengeram kesakitan akibat luka dari senjatanya sendiri. Teriakkan wanita tak memiliki hati mengema dan semakin kencang. "Argh ....!" Bara menjauhi wanita itu dan menatap detik-detik pertumbangan diri Nyai. Wanita yang memberikan jalan kepada Kijo ke dunia. Hingga para gadis kehilangan nyawa dan kehormatan yang harus dijaga sebelum menikah. Para ibu yang baru saja melahirkan kehilangan bayi mereka karena tubuh bayi tak berdosa menjadi santapan bagi Kijo. Banya