Share

Merobohkan

Bara Sang Pengembara 

Bab 6 

"Ya Allah, Cang Malih. Widya bersumpah gak selingkuh dari Mas Toni. Semalam itu dia yang tidur di ranjang." Wajah Widya penuh air mata. Ia bersujud dihadapan bang Malih. 

"Elu napa sujud sama gua. Bangun!" 

Widya bangun dan mengusap air matanya. Para tetangga sudah berkumpul di depan rumah. 

"Itu setan kali Bang. Wujud si Toni," cetus tetangga sebelah. 

Bang Malih membulatkan mata." Toni, elu punya piaraan apa?" 

Toni melipat keningnya." Piaraan kayak apa Cang." 

"Duh, gua bingung jelasinnya. Piaraan apa ya ...." 

"Tuyul Bang!" potong tetangga depan rumah. 

"Buset, tuyul elu bawa-bawa. Kalau di pelihara tuyul gak bakal rumahnya ngontrak!" 

"Maksud Cang pelihara jin?" 

"Nah, itu elu tahu." 

"Gak, Cang. Demi Allah saya kaga main begituan."

"Widya, elu kaga ngerasa ada yang aneh pas berhubungan?" 

"Ada Cang." Widya terdiam dan melirik suaminya. 

"Apaan?" Bang Malih menunggu jawaban dari Widya. 

"Semalam mainnya lama banget sampe kewalahan. Tadi siang cuma sebentar paling gak ada semenit," ungkap Widya. 

"Semenit, Napa bisa. Kikuk Ton?" 

Ha ... ha ... Para warga menertawakan tingkah bang Malih. Toni menundukkan kepala. 

"Buset, Elu pada ngapain ngumpul di sini! Emangnya lenong. Pulang! Bubar!" usir lelaki itu bertolak pinggang.

Bang Malih mendekati para warga agar pergi dari teras kontrakannya. Lelaki itu menyadari kesedihan di wajah keponakannya. 

Mereka membubarkan diri dari kontrakan tersebut dengan cibiran dan ada juga rasa iba. 

"Gua bingung harus ngapain Bara?" bisik bang Malih di samping tubuh Bara. 

"Boleh saya lihat luka memarnya?" tanya Bara meminta izin kepada kedua pasangan suami istri. 

Widya menyodorkan tangannya. Bara menatap luka lembam itu. 

"Bang, pohon gede itu apa sudah lama di situ?" 

"Udah lama banget. Dari gua punya bini atu sampe dua." 

Bara membisikkan sesuatu ke kuping bang Malih. Ia menatap Bara tak percaya. 

"Serius lu!" Bara menganggukkan kepala. 

Perasaan bang Malih mengatakan kalau ada sesuatu di pohon itu. Terkadang ia juga melihat sosok hitam besar berada di pohon itu.

"Oke, hari ini kita kerjain semuanya. Gua cari orang dulu yang ahli." 

"Lebih baik Mba Widya dan Mas Toni berada di rumah Bang Malih dulu. Di sana banyak orang. Hingga semuanya kita lakukan." 

Bara dan Bang Malih mendiskusikan rencana mereka di tempat lain. 

**

Sebelum azan magrib berkumandang. Bang Malih dan beberapa orang merubuhkan pohon tersebut. 

Suara alat gergaji listrik senso terdengar nyaring. Mereka berdoa bersama-sama dalam hati. Tak ada yang terjadi selama pemotongan berlangsung. 

Widya menatap pohon itu was-was. Tubuh wanita itu terjatuh ke tanah dan tak sadarkan diri. 

Bang Malih memanggil beberapa orang untuk membantunya membacakan ayat Al quraan sesuai saran Bara.

Bara menatap tanah dekat pohon besar itu, entah apa yang ada di dalamnya. 

"Tolong Pak cangkul tanah sebelah sini!" perintah Bara kepada salah satu tukang penebang pohon. 

Tak lama kemudian, Bara melihat kain berwarna putih." Cukup, Pak!" 

Bara mengali tanah itu dengan tangannya. Sebuah kain putih menutupi peti berwarna coklat. 

Semua orang menatap heran." Harta karun!" ucap salah satu warga. 

Bara membuka perlahan peti itu. Kotak berukuran balok yang tidak terlalu besar dan kecil.

"Astaghfirullahaladzim," ucap mereka bersamaan. 

Di dalam peti itu terdapat tulang belulang seorang bayi. Mungkin, bayi yang baru lahir. Bara menatap Toni, suami Widya. 

Toni sadar dengan tatapan Bara. Bang Malih menahan tubuh keponakannya. 

Semua orang sudah bubar. Bang Malih, Bara, Toni, dan Widya duduk di ruang tamu. Mungkin ini privasi untuk mereka. Tak ada orang lain yang bergabung bersama mereka. 

"Mas Toni, ini tulang siapa?" tanya Bara dengan tegas. 

"I-ini saya gak tahu." 

"Jangan bohong Ton. Ini tulang bayi kelihatan kecil banget. Elu yang jujur napa!" 

"Ampun Cang! Saya gak tahu." Menundukkan kepala. 

"Mba Widya, saya yakin Mba tahu sesuatu. Bayi siapa yang ada di tanah itu?" 

Widya berderai air mata." I-itu anak saya." 

"Astaghfirullahaladzim, Widya! Elu apain anak elu sampe mati begini?" 

"Widya, maksud kamu anak kamu bagaimana? Kamu belum pernah hamil." 

"Ampun, Mas! Ampun!" Wanita itu bersujud di hadapan suaminya. Wajahnya basah akibat air mata yang mengalir. 

Widya memeluk kaki suaminya erat. Toni membuang muka ke arah lain. Ia tak tahu kalau istrinya pernah hamil dan mengubur jasadnya di dekat pohon. 

"Ceritakan semuanya, Mba. Agar kami bisa membantu masalah ini." Bara mencoba memberi pengertian kepada wanita itu. 

"Dulu a-aku ...." 

****

Baca terus karya ini. Jangan lupa kasih rate dan komen. Terima kasih sudah mampir. Baca juga karyaku yang lain.

"Malam Tanpa Noda" 

"Tergoda Gadis Muda" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status