Mobil pun melaju dengan kecepatan sedang. Membelah jalanan yang masih sedikit lenggang. Setya membuka sedikit kaca mobilnya, membiarkan udara pagi menerpa wajahnya yang putih. Embusan angin membawa aroma embun dan dedaunan basah, memberikan sedikit ketenangan setelah malam yang panjang.
Setelah menempuh perjalanan hampir tiga puluh menit lamanya, akhirnya ia pun tiba di rumah keluarganya.Pintu dapur sudah terbuka, menandakan Mbok Puji ---sang ART sudah bangun dan mungkin tengah memasak sarapan.Begitu mobil Setya masuk ke halaman rumah, wanita paruh baya itu menyambutnya dengan penuh sukacita. Ada kehangatan dalam cara Mbok Puji menyambutnya, sesuatu yang jarang ia rasakan dari keluarganya sendiri."Pagi, Aden ganteng. Akhirnya, si Aden pulang juga. Kirain udah lupa jalan pulang," goda Mbok Puji sambil tertawa kecil.Setya pun tersenyum mendapat candaan seperti itu. "Iya lah pulang, Mbok. UdahPagi itu, suasana di rumah Bude Siti sedikit hening. Di ruang tamu yang sederhana, selembar karpet dibentangkan. Sebuah meja kecil berada tepat tengah-tengahnya. Riri duduk bersimpuh mengenakan kebaya berwarna abu-abu muda dengan rambut yang di sanggul kecil di bagian belakangnya. Tak ada riasan yang berlebihan, hanya senyum gugup dan sesekali mencuri pandang ke arah Setya yang berada tepat di sampingnya. Setya sendiri nampak rapih dengan celana hitam panjang dan baju batik milik Bagas yang senada dengan kebaya yang digunakan Riri saat itu. Kedua baju itu merupakan seragam bresmaid di acara nikahan Ika dan Reyhan dua tahun lalu. Ia duduk di sebelah Riri. Wajahnya nampak tenang, meski kedua tangannya sedikit basah oleh keringat. Diseberang mereka, yang hanya terhalang sebuah meja kecil, Pak Ustadz dan Bagas sudah bersiap. Sementara di sisi kanan kiri terdapat Pak RT dan juga Dr. Revan sebagai saksi dari kedua
Pagi mulai menyapa. Sejak subuh tadi Riri sudah sibuk di dapur. Aroma harum nasi liwet dari mejikom nampak menguar di rumah kecil itu.Tangannya sibuk mengulek sambel teri pete favorit Angga, sambil sesekali membalikkan ayam goreng di atas wajan.Ia mengenakan kaos santai kebesaran dan juga celana pendek yang hampir tertutup kaosnya itu. Rambutnya yang setengah basah, ia jepit asal dengan jedai membuatnya terlihat sedikit menggoda.Saat tengah sibuk dengan semua itu, sebuah tangan melingkar tepat di pinggangnya yang ramping."Selama pagi cintanya aku. Pagi-pagi udah sibuk aja," bisik Setya manja. Suaranya sedikit serak khas bangun tidur.Ia menciumi leher jenjang wanitanya yang menggoda itu."Mas, aku lagi masak ihh. Jangan godain!" seru Riri yang merasa geli akan tingkah lelakinya.Setya hanya terkekeh, lalu mematikan kompor yang ada di depan Riri. Tak han
"Jika aku mencintai ibunya, maka aku pun harus bisa mencintai anaknya. Dan aku, aku udah jatuh cinta sama Juna sejak pertama kali nolongin dia," jelasnya. Riri mendongakkan kepalanya. Matanya berbinar bahagia. "Terimakasih, Mas ...." Setya hanya mengangguk. Mereka pun saling menatap setelah itu, saling tenggelam dalam sorot mata masing-masing. Lalu Setya mencium dahi Riri. Lama. Lembut. Penuh janji yang tak terucap. "Ah iya, Dek,.kalau misalnya kita nikah, yang jadi walimu siapa? Angga kah?" tanya Setya setelah beberapa saat. Riri menggeleng. "Besok Bagas pulang kok. Paling dia nyampe sini jam delapan." "Terus, untuk saksi dari pihakmu siapa, Mas? Apa cukup Pak RT dan satpam komplek aja?" tanya Riri kemudian. Setya mengusap dagunya sebentar. Memikirkan siapa kira-kira yang bisa membantunya. Ia tak mungkin meng
Di rumah, Riri duduk di sofa, kakinya terlipat dengan nyaman sambil menonton drama di televisi. Ia mengenakan kaos kebesaran dan celana pendek selutut, terlihat santai namun pikirannya sedikit berkecamuk, seolah tak sabar menunggu Setya untuk pulang. Ia menggigit bibirnya pelan, berusaha menetralkan degub jantungnya. Ada hal penting yang perlu mereka bicarakan, dan mungkin akan mengubah kehidupan mereka berdua kedepannya nanti. Suara ketukan pintu dari luar membuyarkan lamunannya seketika. Ia pun bergegas bangkit dan segera menyambut Setya yang baru pulang. "Assalamu'alaikum," salam Setya sambil menampilkan senyum khas miliknya. "Wa'alaikumsalam, Mas. Baru pulang?" tanya Riri, tangannya refleks segera menyalami lengan Setya saat itu juga. Setya terdiam sejenak, matanya menatap Riri dengan sedikit bingung. "Coba ulangin, tadi bilang apa
Angga menarik napas dalam sebelum akhirnya berkata,"Tolong jadi ayah untuk Juna, Mas, dan juga ... nikahin Mbak."Setya terdiam. "Nikahin secara agama aja nggak apa, Mas. Yang penting untuk saat ini, Juna bisa ngerasain punya ayah dan Mbak nggak sendirian lagi ngurus dia. Mas nggak usah khawatir soal nafkah untuk mereka berdua, insyaallah Angga dan Mas Bagas bisa bantu. Sejak dulu kami selalu ngasih Mbak masing-masing satu setengah juta setiap bulan untuk hidupnya."Setya masih diam.Tatapannya tak bisa ditebak, membuat Angga menahan napas. Pria itu akhirnya menghela napas panjang, mengusap wajahnya pelan, lalu bersuara, "Itu ... bukan keputusan yang bisa aku buat sendiri, Ang. Pernikahan bukan untuk main-main, atau apapun istilahnya itu. Dan juga ... harus dipikirkan secara masak-masak."Angga menelan ludah. Sejenak, ruangan terasa lebih sunyi dari sebelumnya.***Selang satu jam
Riri meremas ponselnya erat saat membaca pesan dari Angga.Rasanya, ingin sekali dia marah dan memaki Setya saat itu juga. Kenapa, hal sepenting ini tidak segera ia beritahukan kepadanya? Padahal ia adalah ibunya Juna, dan dia pun khawatir dengan sang anak.Bude Siti, yang masih berada di sana membantu Riri membersihkan rumah, menatapnya dengan khawatir. Ia mendekat, lalu menepuk pelan pundak Riri."Kenapa, Mbak?" tanya Bude Siti lembut."Liat deh, Bu," jawabnya seraya menyerahkan ponselnya."Ngeselin banget sumpah nih orang. Juna udah sadar bukannya ngabarin aku malah diem-diem aja. Apa coba maksudnya begini?" gerutu Riri kesal.Bude Siti menerima ponselnya dan melihat apa yang ada di sana. Setelah beberapa saat, ia pun mengembuskan napas pelan seraya menyerahkan kembali ponselnya."Jangan marah-marah dulu, Mbak. Coba adeknya suruh tanya, kenapa dia nggak