“Adinda, tolong kamu kamu cek lagi file yang bertanda tangan saya,” ucap Pak Beni yang sempat membuatku kaget.
“I-iya, Pak.” Aku bahkan menjawabnya dengan nada bicara yang membuatku gugup.
Aku berharap Pak Beni tidak menyadari kalau pikiran gugup selalu melanda setiap kali masuk ke ruangannya. Entah, beberapa hari ini bayangan rambut belah sampingnya selalu saja terlintas dalam benakku.
Benar saja, wanita berumur dua puluh delapan tahun sepertiku ini sudah bukan hal yang aneh jika mengalami perasaan menyukai seseorang.
Aku juga tidak mengerti setiap ada pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh sekretarisnya malah aku yang selalu jadi sasaran lelaki tampan itu.
Meski terlihat seperti tidak peduli tetapi, sesekali aku ikut mencuri pandang kala ia sedang menatap ke arahku walau akhirnya ia menoleh ke arah lain. Sebenarnya, aku mulai menyadari kalau selama ini diam-diam Pak Beni memerhatikan setiap gerak gerikku. Ah, biar saja. Aku akan menyelesaikan ini secepat mungkin dan keluar dari ruangan yang tiba-tiba suasananya jadi panas persis sepanas hatiku.
“Sudah selesai, Dinda?” Astaga sekarang malah Pak Beni berdiri di hadapanku. Oh, Tuhan. Apa yang harus aku lakukan, mendadak tanganku menjadi dingin dan aku terpaksa menggigit bibirku lagi.
“Ma-maaf … belum, Pak,” jawabku gugup.
“Ya, sudah. Sini, saya bantu,” lanjut Pak Beni yang nyaris membuat mulutku seakan terbungkam seketika.Aku bisa melihat betapa berwibawanya sosok yang ada di hadapanku saat ini. Bahkan posisiku saat ini begitu berdekatan dengan Pak Beni sehingga wewangian dari parfum yang ia pakai begitu menusuk ke indra penciumanku. Dan saat ini mata kami saling bersitatap, aku merasa tersipu lalu aku menunduk dan menatap lembaran putih di atas meja.
“Oke, selesai semuanya.” Lagi-lagi gerakan bola matanya menuju ke arahku.
“Terima kasih, Pak. Saya permisi dulu,” balasku yang langsung beranjak dari tempat dudukku.
Sesaat aku berjalan menuju pintu, tiba-tiba suara Pak Beni menghentikan langkahku, “Pulang kantor, saya antar, ya, Adinda.”
Apa aku tidak salah mendengar kalau Pak Beni mau mengantar aku pulang? Tapi, syukurlah setidaknya saat mendekati magrib nanti keadaan jadi aman artinya aku tidak perlu diganggu sama mahluk-mduduk tak kasat mata itu.
Karena ia akan terasa hadir bila aku seorang diri tanpa teman yang menemani. Kalau tidak, aku akan terus berurusan dengan mereka.
Rasanya sudah tidak sabar menunggu waktu pulang kantor.
Akhirnya semua pekerjaan telah kuselesaikan dan jam pulang pun sudah tiba. Aku meraih tas dan juga ponsel dan segera berjalan ke depan. Terlihat satu persatu karyawan sudah meninggalkan kantor sedang aku masih berdiri di sofa ruang tunggu.
Saat jemariku menari lincah di atas layar saking bosannya menunggu, tiba-tiba aku dikejutkan dengan sepatu hitam mengkilap yang sudah berdiri di depan. Ternyata Pak Beni sudah berdiri beberapa detik menungguku.
“Yuk!” Pak beni mengajakku dengan memegang erat tanganku dan berjalan beriringan dengannya. Kali ini jantungku normal tidak seperti biasanya bahkan, aku nyaman berada di dekatnya.
Beberapa menit kemudian, kami sudah berada dalam mobil mewah yang suasanya sejuk dan nyaman.
Sejak tiga bulan aku bekerja dan bertemu lelaki dengan rambut belah samping, hari-hariku di kantor semakin menyenangkan terlebih saat beberapa kali Pak Beni kepergok sedang mencuri pandang padaku. Entah, mungkin aku mulai jatuh cinta padanya dan percaya bahwa ia lelaki yang baik.
Aku melirih rambut belah tengahnya, menyusuri lekuk garis di wajahnya. Ah, ia cukup membuat diri ini terpesona.
“Adinda, sebenarnya saya ingin mengajak kamu makan malam dengan saya. Apa kamu keberatan?” ucap Pak Beni membuat diriku tidak dapat menolak ajakannya.
“Boleh juga, Pak,” jawabku singkat dan tidak berani menatap wajahnya.
“Mulai sekarang kamu nggak usah panggil saya dengan sebutan ‘Pak Beni’ lagi. Panggil saja Beni, Oke.”
Astaga, kenapa ia menatapku lagi! Sumpah, aku malu.
“Iya, Pak, eh … Beni,” jawabku masih dengan nada kaku.
Tanpa terasa kenyamanan menghentikan kendaraan beroda empat itu di sebuah restoran mewah di tengah kota.
Aku kaget ketika Beni membukakan pintu untukku dan memperlakukan diriku seperti putri dari kerajaan.
Dari jauh beberapa meter kami berjalan, tampak ruangan sedang dengan temaram cahaya lampu yang dihiasi bunga mawar di atas meja.
Pemandangan yang sungguh indah. Aku baru sadar ternyata Beni membawaku ke tempat makan malam yang romantis. Lagi, tatapannya tidak berkedip sedikitpun ke arahku.
Kami duduk berhadapan dengan dipenuhi menu makan malam yang istimewa pastinya.
“Kamu suka, Adinda?” tanya Beni tersenyum kecil padaku.“Suka banget, Beni,” jawabku ikut membalas senyumnya juga.
Tanpa menunggu lama, kami akhirnya menikmati makan malam di suasana hangat ini bersama dan saling mencuri pandang.
Keheningan seolah menjadi saksi pertemuan indah ini. Setelah selesai aku meraih tisu bermaksud mengelap sisa makanan yang menempel di mulut hingga dengan gerakan cepat tangan Beni menghilangkan noda di sana dengan sentuhannya yang lembut.
“Sejak pertama melihatmu, saya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama sama kamu, Adinda.” Beni meraih jemariku dan menatapku lekat-lekat.
Oh, Tuhan. Jadi, Beni punya perasaan yang sama denganku?
“Kamu, mau kan jadi istri saya, Adinda?” Beni menaruh satu tangannya lagi di atas punggung tanganku.
Tanpa bersuara, aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum pada lelaki dengan rambut belah samping yang baru saja melamarku.
“Saya janji akan menjadi suami yang baik buat kamu.” Beni menarik tanganku hingga saat ini berdiri di hadapannya. Terasa hangat saat bibirnya menyentuh tepat di keningku. Lantas tubuhnya mendekapku seolah tak terlepas lagi.
Dan malam itu menjadi malam terindah dalam hidupku. Satu minggu kami mempersiapkan pernikahan kami hingga akhirnya kami sah menjadi suami istri.
Kutatap Beni—suamiku dengan menggoda hingga langkahnya seketika berhambur ke pelukanku dan bibirnya berpautan dengan bibirku. Hangat.
Malam pertama kami lalui dengan penuh cinta dan sentuhan mesra. Memiliki Beni adalah hal terindah di setiap episode kehidupanku esok dan seterusnya.
“Sayang, kita ambil cuti dulu berapa hari, Oke? Kan kita lagi bulan madu,” ucapku selagi mengolesi selai coklat di roti untuk kami sarapan pagi.
“Iya, Sayang,” jawab suamiku seraya melingkari tangannya ke pinggangku. Iya, Beni semakin agresif setelah kami menikah.
Selesai sarapan, kami berangkat ke kantor bersama. Terkadang saking mesranya sampai-sampai sebutan panggilan ‘pengantin baru’ selalu terdengar saat kami di kantor dan bertemu dengan siapa saja karyawan di sana.
Sekarang, Beni tidak memperkerjakan sekretarisnya lagi melainkan aku memintanya untuk menggantikan seluruh pekerjaanya. Itu semua kulakukan agar bisa selalu dekat dengan suami tersayangku.
Rasanya sehari saja tak bertemu dengan lelaki rambut belah samping itu hidupku sepertinya ada yang kurang.
“Sayang, kamu jangan terlalu banyak bekerja dong, kan, kamu sekarang sudah jadi isrti seorang direktur perusahaan. Jadi, santai sajalah, ya? Aku nggak mau nanti kamu sakit dan kecapean,” ucap Beni penuh perhatian dengan ikut membereskan dan membantu pekerjaanku.
“Iya, Sayang. Makasih banget, jadi makin sayang, deh,” lanjutku menggodanya dengan satu kedipan mata.
Tanpa terasa satu bulan telah berlalu, aku masih setia membantu suamiku menyelesaikan pekerjaannya.Aku merasa hari ini sangat melelahkan dan kepalaku mendadak ikut pusing sepertinya. Perlahan aku mencari kursi untuk menopang tubuhku yang lemah ini.
Aku tidak ingin memberitahu Beni takut nantinya malah mengganggu pekerjannya. Aku pulang lebih awal sore tadi sedang suamiku ada rapat penting yang harus ia hadiri.
Entah kenapa bulu kudukku terasa meremang sepertinya hawa juga mulai dingin dan angin perlahan mengibas rambutku.
Astaga! Kenapa harus malam ini aku merasakan kehadiran mereka? Benar saja, malam ini suamiku tidak ada di rumah.
Tiba-tiba isi dalam perutku seperti diaduk-aduk dan lama –lama semakin menjadi. Dan membuat langkah ini meluncur hingga ke kamar mandi dan saat itu juga aku menumpahkan segala isinya ke dalam kloset.
Akhirnya aku merasa lega dan tenang, lantas aku melangkah menuju ke kamar dan beristirahat.
Benar saja, aku lagi- lagi merasakan aura kahadiran mahluk tak kasat mata itu. Namun, seperti biasa aku tak ingin menghiraukannya apa lagi mengganggunya. Kuputuskan untuk menarik selimut dan terlelap sejenak.
Aku terbangun saat mendengar deru mesin dari arah luar. Sepertinya suamiku pulang dan kulirik jam dinding yang menunjukkan pukul 11.00 malam.
Perlahan kuturuni anak tangga satu per satu untuk membukakan pintu kepulangan suamiku.
“Sayang, kamu belum tidur?” tanya Beni usai memberikan jas dan ponselnya padaku.
“Udah sih, tadi sebentar, Sayang.”
Akhirnya aku lega karena hawa yang menyengat itu menghilang dalam sekejap sesaat suamiku tidur di sebelahku.
Esok paginya, kembali aku merasakan nyeri di lambungku. Iya, aku mual-mual hingga aku sadar bahwa sebulan sudah aku terlambat haid.
Aku masih mematung di hadapan cermin, menatap dua bola mata sendiri sedang satu tangan sebelah kanan memegang alat uji tes kehamilan. Jujur, ini pengalaman pertama buat aku dan wajar kan jika saat ini tanganku bergetar. Kutatap wadah kecil yang berisi air seni yang baru saja kutampung dan lagi-lagi tanganku kaku ketika mencelupkan benda pipih kecil berwarna putih itu. Saat ini rasa gelisah mulai menguasai pikiran seakan tidak siap menerima kenyataan akan sebuah hasil yang akan mengecewakan. Menunggu selama tiga menit cukup buat diri ini menggigit bibir dan melangkah maju mundur di ruangan mungil ini berharap sang suami tidak menyadari keberadaanku di sini karena biasanya ia selalu mencari jika aku tiba-tiba menghilang dari kamar. Akhirnya kuberanikan diri untuk mengangkat benda kecil itu dan sesaat kupejamkan mata ini lalu perlahan kubuka. Seketika mata membelalak dan mulut pun menganga, dua garis merah tercetak jelas di alat uji i
Mahluk buruk rupa itu menatap tajam dengan kedua bola mata merah menyala ke arahku. Tanpa rasa takut, kugerakkan langkah dan meraih ranjang bayiku. Anehnya, ketika kudekati , iblis itu menghilang begitu saja. Dengan cepat kedua tanganku memeluk mereka yang masih terkulai lemah saking lelapnya tertidur. “Sayang! Ternyata kamu di sini. Aku dari tadi manggil kamu,” seru Beni yang baru pulang dari kantor. “Iya, Sayang. Aku cuma mau lihat si kembar aja kok,” jawabku singkat. “Kamu sendiri udah selesai urusan kantor?” tanyaku penasaran. “Udah, Sayang. Yuk kita tidur!” ajak suamiku sembari merangkul bahuku dan melangkah ke arah kamar kami. Saat tidur, pikiranku menerawang entah kemana. Aku
Hingga kejadian malam itu membuatku bergidik, melihat suamiku berdiri cukup lama di sisi ranjang bayi kami. Lelaki yang kucintai nyaris mengarahkan kedua tangannya ke leher Andin dan untung saja aku segera menegurnya. Namun, ketika kutanya Beni dan menuduhnya bermaksud jahat pada putri kami, dia berdalih karena dia ingin menggendong Andin yang masih tertidur pulas. Walau kadang rasa hati ingin membenarkan pendapat diri sendiri akan tetapi aku lebih percaya kepada suamiku sendiri karena tidak akan mungkin menyakiti anaknya sendiri terlebih kini kami mempunyai dua putri kembar yang sangat manis dan lucu. “Mbak, sampai sekarang belum ada kabar dari perusahaan tempat aku interview kemarin. Kok, aku jadi sedih, ya, mbak?” ucap Nadia sembari memainkan tangan mungil Andin dan Andita.
“Terkadang mencoba untuk hidup damai berdampingan dengan mereka itu tidak terlalu buruk asal kita sebagai manusia tidak mempunyai niat buruk untuk mempersekutukan dirinya dengan Tuhan.” “Ma, apa Papa nggak sayang, ya, sama kita?” ucap Andita yang ikut memelukku dengan matanya yang berkaca-kaca. “Stt … Jangang bilang gitu, ah, Sayang. Papa kalian itu sayang banget sama kalian berdua hanya sama mungkin Papa lagi kelelahan aja karena di kantor banyak kerjaan yang harus diselesaikan.” Aku menatap kedua putriku dengan rasa gelisah yang mendera, berharap apa yang mereka pikirkan tidak benar-benar terjadi. “Mama! Andin mau es krim,” seru gadis kecil itu dengan nada agak tinggi. Itulah sifat Andin setiap punya kemauan ingin segera dituruti.  
Udara pagi ini begitu sejuk hingga membuatku betah berlama-lama berjalan dengan langkah kecil di seputaran halaman rumah yang lumayan luas. Dengan senyum ceria kedua putriku ikut mengiringi langkah Mamanya. Pun aku ikut terbawa dalam gelak tawa mereka beberapa saat, memainkan beberapa helai rambutnya yang terurai panjang hingga ke punggung mungilnya.Ternyata sebagai seorang Ibu yang mengurus anak kembar tidak terlalu buruk juga.Bahkan, aku sangat menikmatinya terlebih kala dua senyum yang begitu manis mengembang dengan kelembutan antara keduanya.Aku masih ingat bagaimana manjanya Andin memintaku untuk setiap hari merapikan rambutnya dan memakaikan bando berpita untuknya. Pun tingkahnya andita yang selalu ingin terlihat cuek tanpa harus memakai bando yang menempel terus di kepalanya seperti kakaknya. Rasa syukur terus terucap kala menatap dua pasang bola mata yang indah dan bening terpaku ikut menatapku dengan ribuan rasa cinta yang mereka punyai.B
“Sayang, kok, berdiri aja? Sini peluk anak-anak kita!” Aku mencoba menepis pikiran buruk ini dengan mengajak suamiku ikut memeluk Andin dan Andita—putri kembar kami tersayang.“Udah nggak ada waktu lagi berpelukan sekarang, Dinda. Kita harus segera pindah dari rumah ini,” ujar suamiku yang terlihat kelelahan abis dalam perjalanan ke sini.“Papa … Andin senang banget bisa tinggal bareng sama Papa sekarang, Yeiii!” teriak gadis kecilku dengan penuh senyum bahagia yang terpancar jelas di wajah mungilnya.“Iya, iya tapi jangan nakal, ya, kalian?” lanjut Beni membulatkan matanya pada kedua putri kecil di depannya.“Iya, Pa,” jawab mereka serempak.Aku membantu Beni mengangkat semua koper kami dari kamar dan disusul ke kamar putri kami hingga berpindah turun ke bawah. Sebelumnya Beni telah memesan mobil angkutan untuk membawa semua bara-barangnya, lantas ti
Sepersekian detik aku masih mematung di tempat itu sampai kumpulkan seluruh keberanian untuk menoleh.“Dinda! Kamu ngapain di sini mendingan cek dulu barang-barang kita, sini!” Belum sempat aku melirik ke belakang tiba-tiba terdengar suara Beni memanggil. Aku lega karena tangan yang menyentuh tadi adalah milik suamiku.Aku dan Beni berjalan menuju halaman depan. Di sana terlihat Andin dan Andita sedang duduk di teras dengan raut wajah yang kelelahan. Kemudian aku mencoba untuk mengecek semua barang yang kami bawa sejak sore tadi ke rumah baru sekarang yang akan kami tempati. Sebagian sudah dimasukkan ke dalam sana hanya tersisa koper pakaian saja yang masih di luar.Setelah menunggu selama tiga puluh menit, akhirnya semua barang telah tertata seadanya untuk sementara. Mungkin nanti kami akan mengaturnya kembali secara bertahap karena waktu dipastikan selalu ada untuk berbenah.Usai membayar semua biaya pada dua orang pria yan
"Sayang, bangun!" Aku mendengar suara suamiku dari dekat, ternyata sudah balik ke rumah."Iya, Sayang," jawabku dengan malas membuka mata karena masih terasa sangat berat."Yuk, makan dulu! Kamu belum makan, kan? Panggil Andin dan Andita juga, mereka harus ikut makan takutnya masuk angin pula." Beni mengajak kami semua makan malam padahal juga sudah sangat larut.Dengan tubuh yang masih terasa lemah aku melangkah ke kamar putri kembar ku. Perlahan membuka pintu dan berjalan ke arah dua gadis mungil yang masih pulas di alam mimpinya."Sayang, bangun! Kita makan malam dulu, Yuk!" ajakku dengan mengguncang ke dua bahu mungil mereka."Ma, tapi Andin masih ngantuk banget. Andita masih tidur tu, dia, Ma." Andin menoleh pada adiknya kemudian bangun menatap aku yang tersenyum kecil."Andita ... Andita ... Bangun, Sayang!" Adinda membangunkan putrinya untuk kedua kalinya."Ya udah, Sayang. Kamu duluan aja ada Papa nunggu di sana." Aku me