Aku masih mematung di hadapan cermin, menatap dua bola mata sendiri sedang satu tangan sebelah kanan memegang alat uji tes kehamilan. Jujur, ini pengalaman pertama buat aku dan wajar kan jika saat ini tanganku bergetar. Kutatap wadah kecil yang berisi air seni yang baru saja kutampung dan lagi-lagi tanganku kaku ketika mencelupkan benda pipih kecil berwarna putih itu. Saat ini rasa gelisah mulai menguasai pikiran seakan tidak siap menerima kenyataan akan sebuah hasil yang akan mengecewakan.
Menunggu selama tiga menit cukup buat diri ini menggigit bibir dan melangkah maju mundur di ruangan mungil ini berharap sang suami tidak menyadari keberadaanku di sini karena biasanya ia selalu mencari jika aku tiba-tiba menghilang dari kamar. Akhirnya kuberanikan diri untuk mengangkat benda kecil itu dan sesaat kupejamkan mata ini lalu perlahan kubuka.
Seketika mata membelalak dan mulut pun menganga, dua garis merah tercetak jelas di alat uji itu. Akhirnya spontan aku meloncat girang dan segera kubawa hasilnya keluar dan melangkah ke depan suamiku yang masih terbaring dengan lelapnya di tempat tidur.
“Sayang! Aku berteriak kencang mendekati mulutku ke telinga Beni saking rasa bahagia yang membuncah dalam diri dan tidak dapat tertahan ingin segera memberitahu lelaki di hadapanku.
“Iya, Sayang. Kamu kenapa berteriak gitu sih? Bangunin orang lagi tidur aja. Emangnya ada apa?” tanya Beni begitu paniknya dan juga tampak kesal dari raut wajahnya itu.
“Aku hamil anak kamu, Sayang.” Aku langsung meloncat dan melingkarkan kedua tanganku ke tubuh Beni.
“Apa? Kamu hamil?” tanya suamiku lagi seolah tidak percaya kabar bahagia ini.
“Iya, Sayang. Sebentar lagi kamu akan jadi seorang ayah dan aku jadi ibunya.”
Akhirnya Beni mengangkat tubuhku lalu mendekapnya dengan sangat hangat. Ternyata begini rasanya menjadi seorang ibui saja. Ah, andai saja Ibuku masih ada pasti akan sangat bahagia mendengar berita bahagia ini tapi, tak mengapa. Toh, masih ada Nenek Idah yang akan selalu menyayangiku.
Selesai sarapan, akhirnya kami berangkat besama ke kantor. Kali ini Beni sangat berbeda dari biasanya, perhatiannya untukku bertambah dan berlipat-lipat besarnya. Bagaimana tidak, ia menggendongku lalu membawaku masuk ke mobil.
“Sayang, hari ini kamu jangan capek-capek ya, kalau bisa jangan terlalu banyak gerak. Nanti di kantor, kamu duduk di ruangan aku aja,” ucap Beni sembari memutar arah setirnya.
“Iya, Sayang. Aku tahu kok, gimana caranya ngejaga kandunganku. Kamu tenang, ya?” jawabku menoleh ke arah suamiku.
Tak berapa lama, akhirnya kami sampai ke kantor. Aku menuju tempat kerjaku dan Beni masuk ke ruangan kerjanya. Hari ini tidak terlalu banyak pekerjaan karena belum ada proyek baru untuk dikerjakan melainkan hanya beberapa berkas dokumen dan beberapa laporan keuangan yang perlu diketik. Sesaat aku baru mengetik, tiba-tiba aku mendengar dering ponselku dan kulirik benda pipih yang menyala itu di meja. Tertera nama Nenek Idah memanggil, lantas aku menekan tombol hijau dan menjawabnya.
“Halo, Nenek Idah?”
“Iya, Adinda. Nenek telpon cuma mau nanya kabar kamu saja, Nak?” ucap Nenek Idah dari balik telingaku.
“Pas banget Nenek telpon, Dinda mau ngasih tahu kabar bahagia sama Nenek Idah. Dinda mengandung. Nek,” lanjutku dengan tersenyum bahagia.
“Wah, kabar bahagia sekali itu, Sayang. Kamu jaga baik-baik ya, jangan sampai kecapean karena bisa bahaya buat janinmu lho,” ujar Nenek Indah mengingatkan.
“Iya, Nenek Idah Sayang.” Aku lalu mengakhiri pembircaraanku dengan perempuan tua yang selama ini merawatku hingga sekarang.
Akhirnya kulanjutkan proses mengetik hingga selesai. Saat menyusun beberapa file ke atas rak tiba-tiba pinggangku terasa nyeri dan segera aku taruh file tadi kembali ke meja. Aku beristirahat sejenak di kursi sampai Beni menghampiriku.
“Sayang, kan, udah aku bilang kamu jangan kerja terlalu lama. Tuh kan, pasti sakit ya di pinggangnya? Beni menatap ke arahku yang dari tadi memegang pinggang.
Suamiku datang ternyata ingin mengajak makan siang, kebetulai ada kafe terdekat dengan kantor. Usai makan, kami kembali bekerja hingga kembali pulang bersama.
Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat. Aku dengan kesibukanku di kantor dan di rumah, begitu juga denga Beni yang mulai mengerjakan proyek ke luar kota tepatnya di bogor. Saat ini usia kandunganku sudah tujuh bulan dan ini saatnya aku memeriksakan kandunganku. Kebetulan Beni tidak masuk kantor hari karena ia juga ingin menjaga aku dan calon bayi dalam perutku.
Aku terpaku menatap kea rah layar yang didalamnya ada mahluk mungil yang bernama janin bergerak-gerak ke kanan dan kiri dan perlahan aku tersenyum bahagia begitu juga Beni ikut mengusap rambut ikalku yang tergerai.
“Sayang, bayi kita lincah banget deh, geraknya,” ucap Beni mengarahkan telunjuknya ke layar monitor.
“Iya, Sayang,” jawabku menatap sang suami yang terpana dengan calon bayi kami.
“Selamat, ya, Bapak dan Ibu karena kalian akan mempunyai bayi perempuan yang kembar,” ucap seorang dokter perempuan yang tengan menggerakkan alat USG-nya ke atas perut buncitku.
“Terima kasih, dok,” jawabku tersenyum kecil pada perempuan paruh baya itu.
“Sayang, teryata anak kita kembar.” Aku kembali memeluk suamiku dan tak peduli meski itu di hadapan dokter. Akhirnya kebahagiaanku utuh dalam sebuah keluarga.
Sebenarnya, selama kehamilan aku tidak terlalu tenang karena hamper setiap malam keberadaan mereka yang tak tampak bisa kurasakan. Aku juga takut akan kesehatan dua janin yang ada dalan perutku ini karena tekanannya langsung kontak ke perutku jika aku bereaksi dan merasa ketakutan akan kehadiran mahluk halus yang mengelilingiku.
Dengan sekuat tenaga mencoba menghadapinya setiap gangguan itu hingga kehamilanku beranjak Sembilan bulan dan hanya tinggal menunggu waktu saja untuk melahirkan.
Lagi-lagi malam mini aku harus tidur sendiri karena suamiku masih berada di lokasi proyek. Mungkin Beni besok pagi baru pulang ke rumah. Entah kenapa aku merasa sebentar lagi waktunya. Tiba-tiba hujan turun begitu deras disertai angin kencang, aku segera menutupi tubuhku dengan selimut tebal agar tidak merasa menggigil. Kutatap kea rah jendela dengan tirai putih yang berayun-ayun di hempas angin. Dengan sangat jelas aku mulai mencium aroma seperti bangkai bercampur anyir yang menyeruak ke seluruh kamar. Benar saja, sosok- sosok tanpa jiwa melayang bagai asap yang mengepul yang sesekali menampakkan sisi buruknya itu. Spontan aku memegang perutku dan berharap keadaan ini menghilang tanpa jejak.
Akhirnya mahluk-mahluk itu lenyap bersama redanya hujan dan aku pun melanjutkan tidurku.
Seminggu kemudian, aku merasakan kontraksi hebat di perutku sampai tekanannya semakin kuat hingga pertahananku juga melemah. Aku masih membereskan beberapa piring kotor bekas kami makan malam bersama. Sementara suamiku sibuk menonton acara pertandingan bola di televisi.
“Beni!” teriakku memanggil suamiku karena perutku semakin kuat kontraksinya.
“Sayang? Kamu kenapa, kok udah lemas dan pucat begitu. Atau jangan-jangan ini tandanya kamu akan melahirkan,” tanya Beni yang panic melihat posisiku terdudul tak berdaya di lantai.
“Ayo kita ke rumah sakit, Sayang!” ajak Beni seraya belalu menyambar kunci mobilnya.
Sesampai di rumah sakit, aku segera dilarikan ke ruangan bersalin. Sementara suamiku menunggu di luar. Aku juga meminta Beni untuk mengabari Nenekku dan Nadia—sepupuku karena mereka wajib tahu keadaanku saat ini.
Setelah aku merasakan perjuangan untuk melahirkan sang buat hati ke dunia ini, akhirnya aku dapat melihat kedua bayi kembarku yang sangat menggemaskan. Tuhan, terima kasih atas anugerahmu pada kami. Aku bahagia karena orang-orang tersayang kini berada di dekatku.
“Adinda, bagaimana penglihatan kamu sekarang?” tanya Nenek Idah yang terlihat menatap serius padaku.
Saat ini hanya kami berdua dan bayi kembarku di sebelah karena Beni dan Nadia keluar mencari makan malam.
“Ada apa Nek? Kok, kelihatannya ada sesuatu yang Nenek ingin bicarakan sama Dinda,” lanjutku masih penasaran.
“Tidak apa-apa. Nenek hanya ingin memastikan kesehatan kamu dan juga bayi kamu, Sayang. Karena nenek merasakan ada bahaya dengan mata batinmu dan itu akan member pengaruh besar terhadap putrid-putri nantinya,” ucap Nenek Idah mencoba menjelaskan kondisi yang ku alami.
“Nggak, Nek. Dinda nggak mau membahayakan anak-anak, Dinda, Nek. Jadi, Dinda harus gimana, Nek?” tanyaku dengan gelisah dan panik seketika.
“Mata batinmu itu ada dua tingkatan. Pertama, penglihatan yang peka terhadap keberadaan mahluk gaib dan melihat penampakannya sedangkan kedua, penglihatan yang mampu menembus ke masa lalu kelam seseorang. Dan yang kedua ini adalah yang terberat untukmu, Adinda,” terang Nenek Idah padaku yang membuat diri ini ketakutan akan bahaya yang menghampiri kedua putriku.
“Nenek, Dinda ingin menutup mata batin Dinda, Nek. Karena ini akan sangat berbahaya bagi pertumbuhan anak-anak Dinda nantinya. Setidaknya sampai mereka besar,” balasku yang masih belum bisa tenang.
“Tapi, Nenek hanya bisa menutup satu tingkatan saja, Sayang. Baiklah, Nenek akan menutup mata batinmu di tingkatan kedua karena tidak bisa tertutup seluruhnya.” Nenek Iah mengusap bahuku lalu memelukku dengan hangat.
“Dinda setuju, Nek. Lagian yang penglihatan Dinda yang pertama itu tidak terlalu berbahaya kok, Dinda yakin bisa mengatasinya,” jawabku meyakinkan Nenek Idah dengan jawabanku.Setelah petemuanku dengan Nenek Idah, aku merasa lega. Selama masa nifas, Nadia menemaniku dan membantu merawak bayi kembarku. Aku dan suami member nama si kembar Andin dan Andita, dan itu namayang sangat indah untu buah cinta kami. Sesaat setelah menidurkan putrid kembarku tiba-tiba aku melihat sosok aneh sedang menatap ke dua putriku dengan tangan yang berkuku runcing dan panjang mencengkram kuar ranjang bayi. Astaga! Apa yang harus aku lakukan?BersambungMahluk buruk rupa itu menatap tajam dengan kedua bola mata merah menyala ke arahku. Tanpa rasa takut, kugerakkan langkah dan meraih ranjang bayiku. Anehnya, ketika kudekati , iblis itu menghilang begitu saja. Dengan cepat kedua tanganku memeluk mereka yang masih terkulai lemah saking lelapnya tertidur. “Sayang! Ternyata kamu di sini. Aku dari tadi manggil kamu,” seru Beni yang baru pulang dari kantor. “Iya, Sayang. Aku cuma mau lihat si kembar aja kok,” jawabku singkat. “Kamu sendiri udah selesai urusan kantor?” tanyaku penasaran. “Udah, Sayang. Yuk kita tidur!” ajak suamiku sembari merangkul bahuku dan melangkah ke arah kamar kami. Saat tidur, pikiranku menerawang entah kemana. Aku
Hingga kejadian malam itu membuatku bergidik, melihat suamiku berdiri cukup lama di sisi ranjang bayi kami. Lelaki yang kucintai nyaris mengarahkan kedua tangannya ke leher Andin dan untung saja aku segera menegurnya. Namun, ketika kutanya Beni dan menuduhnya bermaksud jahat pada putri kami, dia berdalih karena dia ingin menggendong Andin yang masih tertidur pulas. Walau kadang rasa hati ingin membenarkan pendapat diri sendiri akan tetapi aku lebih percaya kepada suamiku sendiri karena tidak akan mungkin menyakiti anaknya sendiri terlebih kini kami mempunyai dua putri kembar yang sangat manis dan lucu. “Mbak, sampai sekarang belum ada kabar dari perusahaan tempat aku interview kemarin. Kok, aku jadi sedih, ya, mbak?” ucap Nadia sembari memainkan tangan mungil Andin dan Andita.
“Terkadang mencoba untuk hidup damai berdampingan dengan mereka itu tidak terlalu buruk asal kita sebagai manusia tidak mempunyai niat buruk untuk mempersekutukan dirinya dengan Tuhan.” “Ma, apa Papa nggak sayang, ya, sama kita?” ucap Andita yang ikut memelukku dengan matanya yang berkaca-kaca. “Stt … Jangang bilang gitu, ah, Sayang. Papa kalian itu sayang banget sama kalian berdua hanya sama mungkin Papa lagi kelelahan aja karena di kantor banyak kerjaan yang harus diselesaikan.” Aku menatap kedua putriku dengan rasa gelisah yang mendera, berharap apa yang mereka pikirkan tidak benar-benar terjadi. “Mama! Andin mau es krim,” seru gadis kecil itu dengan nada agak tinggi. Itulah sifat Andin setiap punya kemauan ingin segera dituruti.  
Udara pagi ini begitu sejuk hingga membuatku betah berlama-lama berjalan dengan langkah kecil di seputaran halaman rumah yang lumayan luas. Dengan senyum ceria kedua putriku ikut mengiringi langkah Mamanya. Pun aku ikut terbawa dalam gelak tawa mereka beberapa saat, memainkan beberapa helai rambutnya yang terurai panjang hingga ke punggung mungilnya.Ternyata sebagai seorang Ibu yang mengurus anak kembar tidak terlalu buruk juga.Bahkan, aku sangat menikmatinya terlebih kala dua senyum yang begitu manis mengembang dengan kelembutan antara keduanya.Aku masih ingat bagaimana manjanya Andin memintaku untuk setiap hari merapikan rambutnya dan memakaikan bando berpita untuknya. Pun tingkahnya andita yang selalu ingin terlihat cuek tanpa harus memakai bando yang menempel terus di kepalanya seperti kakaknya. Rasa syukur terus terucap kala menatap dua pasang bola mata yang indah dan bening terpaku ikut menatapku dengan ribuan rasa cinta yang mereka punyai.B
“Sayang, kok, berdiri aja? Sini peluk anak-anak kita!” Aku mencoba menepis pikiran buruk ini dengan mengajak suamiku ikut memeluk Andin dan Andita—putri kembar kami tersayang.“Udah nggak ada waktu lagi berpelukan sekarang, Dinda. Kita harus segera pindah dari rumah ini,” ujar suamiku yang terlihat kelelahan abis dalam perjalanan ke sini.“Papa … Andin senang banget bisa tinggal bareng sama Papa sekarang, Yeiii!” teriak gadis kecilku dengan penuh senyum bahagia yang terpancar jelas di wajah mungilnya.“Iya, iya tapi jangan nakal, ya, kalian?” lanjut Beni membulatkan matanya pada kedua putri kecil di depannya.“Iya, Pa,” jawab mereka serempak.Aku membantu Beni mengangkat semua koper kami dari kamar dan disusul ke kamar putri kami hingga berpindah turun ke bawah. Sebelumnya Beni telah memesan mobil angkutan untuk membawa semua bara-barangnya, lantas ti
Sepersekian detik aku masih mematung di tempat itu sampai kumpulkan seluruh keberanian untuk menoleh.“Dinda! Kamu ngapain di sini mendingan cek dulu barang-barang kita, sini!” Belum sempat aku melirik ke belakang tiba-tiba terdengar suara Beni memanggil. Aku lega karena tangan yang menyentuh tadi adalah milik suamiku.Aku dan Beni berjalan menuju halaman depan. Di sana terlihat Andin dan Andita sedang duduk di teras dengan raut wajah yang kelelahan. Kemudian aku mencoba untuk mengecek semua barang yang kami bawa sejak sore tadi ke rumah baru sekarang yang akan kami tempati. Sebagian sudah dimasukkan ke dalam sana hanya tersisa koper pakaian saja yang masih di luar.Setelah menunggu selama tiga puluh menit, akhirnya semua barang telah tertata seadanya untuk sementara. Mungkin nanti kami akan mengaturnya kembali secara bertahap karena waktu dipastikan selalu ada untuk berbenah.Usai membayar semua biaya pada dua orang pria yan
"Sayang, bangun!" Aku mendengar suara suamiku dari dekat, ternyata sudah balik ke rumah."Iya, Sayang," jawabku dengan malas membuka mata karena masih terasa sangat berat."Yuk, makan dulu! Kamu belum makan, kan? Panggil Andin dan Andita juga, mereka harus ikut makan takutnya masuk angin pula." Beni mengajak kami semua makan malam padahal juga sudah sangat larut.Dengan tubuh yang masih terasa lemah aku melangkah ke kamar putri kembar ku. Perlahan membuka pintu dan berjalan ke arah dua gadis mungil yang masih pulas di alam mimpinya."Sayang, bangun! Kita makan malam dulu, Yuk!" ajakku dengan mengguncang ke dua bahu mungil mereka."Ma, tapi Andin masih ngantuk banget. Andita masih tidur tu, dia, Ma." Andin menoleh pada adiknya kemudian bangun menatap aku yang tersenyum kecil."Andita ... Andita ... Bangun, Sayang!" Adinda membangunkan putrinya untuk kedua kalinya."Ya udah, Sayang. Kamu duluan aja ada Papa nunggu di sana." Aku me
"JANGAN!"Aku berteriak sekeras mungkin agar suamiku segera bangun dari tidurnya.Sumpah!Aku takut setengah mati kali ini. Tapi, bagaimana caranya hantu itu tidak menggubris sama sekali teriakanku melainkan kukunya yang tajam itu telah mencengkram kuat leher Beni. Aku menatap wajah suamiku yang sudah tidak berdaya dengan matanya yang melotot menahan cekik sosok yang mengambang itu hingga darah mengucur begitu deras saking tajam kukinya mencengkram.Setelah Beni tak bernyawa lagi, kini kedua tangan perem puan itu menjulur ke arah batang leherku. Dengan sekuat tenaga aku meronta-ronta berusaha keras melepaskan tangan yang mengerikan itu dari leherku.Aku terbangun dengan keringat yang membanjiri seluruh tubuhku. Kupalingkan wajahku ke samping dan ternyata Beni masih tertidur di sebelahku.Astaga! Ternyata ini semua cuma mimpi? Aku mengucap syukur tanpa henti lantas kuedarkan pandangan ke seluruh sisi kamar, lega karena