Share

2. Andin dan Andita

Aku masih mematung di hadapan cermin, menatap dua bola mata sendiri sedang satu tangan sebelah kanan memegang alat uji tes kehamilan. Jujur, ini pengalaman pertama buat aku dan wajar kan jika saat ini tanganku bergetar. Kutatap wadah kecil yang berisi air seni yang baru saja kutampung dan lagi-lagi tanganku kaku ketika mencelupkan benda pipih kecil berwarna putih itu. Saat ini rasa gelisah mulai menguasai pikiran seakan tidak siap menerima kenyataan akan sebuah hasil yang akan mengecewakan.

Menunggu selama tiga menit cukup buat diri ini menggigit bibir dan melangkah maju mundur di ruangan mungil ini berharap sang suami tidak menyadari keberadaanku di sini karena biasanya ia selalu mencari jika aku tiba-tiba menghilang dari kamar. Akhirnya kuberanikan diri untuk mengangkat benda kecil itu dan sesaat kupejamkan mata ini lalu perlahan kubuka.

 Seketika mata membelalak dan mulut pun menganga, dua garis merah tercetak jelas di alat uji itu. Akhirnya spontan aku meloncat girang dan segera kubawa hasilnya keluar dan melangkah ke depan suamiku yang masih terbaring dengan lelapnya di tempat tidur.

“Sayang! Aku berteriak kencang mendekati mulutku ke telinga Beni saking rasa bahagia yang  membuncah dalam diri dan tidak dapat tertahan ingin segera memberitahu lelaki di hadapanku.

“Iya, Sayang.  Kamu kenapa berteriak gitu sih? Bangunin orang lagi tidur aja. Emangnya ada apa?” tanya Beni begitu paniknya dan juga tampak kesal dari raut wajahnya itu.

“Aku hamil anak kamu, Sayang.” Aku langsung meloncat dan melingkarkan kedua tanganku ke tubuh Beni.

“Apa? Kamu hamil?” tanya suamiku lagi seolah tidak percaya kabar bahagia ini.

“Iya, Sayang. Sebentar lagi kamu akan jadi seorang ayah dan aku jadi ibunya.” 

Akhirnya Beni mengangkat tubuhku lalu mendekapnya dengan sangat hangat. Ternyata begini rasanya menjadi seorang ibui saja. Ah, andai saja Ibuku masih ada pasti akan sangat bahagia mendengar berita bahagia ini tapi, tak mengapa. Toh, masih ada Nenek Idah yang akan selalu menyayangiku. 

Selesai sarapan, akhirnya kami berangkat besama ke kantor. Kali ini Beni sangat berbeda dari biasanya, perhatiannya untukku bertambah dan berlipat-lipat besarnya. Bagaimana tidak, ia menggendongku lalu membawaku masuk ke mobil.

“Sayang, hari ini kamu jangan capek-capek ya, kalau bisa jangan terlalu banyak gerak. Nanti di kantor, kamu duduk di ruangan aku aja,” ucap Beni sembari memutar arah setirnya. 

“Iya, Sayang. Aku tahu kok, gimana caranya ngejaga kandunganku. Kamu tenang, ya?” jawabku menoleh ke arah suamiku.

Tak berapa lama, akhirnya kami sampai ke kantor. Aku menuju tempat kerjaku dan Beni masuk ke ruangan kerjanya. Hari ini tidak terlalu banyak pekerjaan karena belum ada proyek baru untuk dikerjakan melainkan hanya beberapa berkas dokumen dan beberapa laporan keuangan yang perlu diketik. Sesaat aku baru mengetik, tiba-tiba aku mendengar dering ponselku dan kulirik benda pipih yang menyala itu di meja. Tertera nama Nenek Idah memanggil, lantas aku menekan tombol hijau dan menjawabnya.

“Halo, Nenek Idah?” 

“Iya, Adinda. Nenek telpon cuma mau nanya kabar kamu saja, Nak?” ucap Nenek Idah dari balik telingaku.

“Pas banget Nenek telpon, Dinda mau ngasih tahu kabar bahagia sama Nenek Idah. Dinda mengandung. Nek,” lanjutku dengan tersenyum bahagia.

“Wah, kabar bahagia sekali itu, Sayang. Kamu jaga baik-baik ya, jangan sampai kecapean karena bisa bahaya buat janinmu lho,” ujar Nenek Indah mengingatkan.

“Iya, Nenek Idah Sayang.” Aku lalu mengakhiri pembircaraanku dengan perempuan tua yang selama ini merawatku hingga sekarang.

Akhirnya kulanjutkan proses mengetik hingga selesai. Saat menyusun beberapa file ke atas rak tiba-tiba pinggangku terasa nyeri dan segera aku taruh file tadi kembali ke meja. Aku beristirahat sejenak di kursi sampai Beni menghampiriku.

“Sayang, kan, udah aku bilang kamu jangan kerja terlalu lama. Tuh kan, pasti sakit ya di pinggangnya? Beni menatap ke arahku yang dari tadi memegang pinggang.

Suamiku datang ternyata ingin mengajak makan siang, kebetulai ada kafe terdekat dengan kantor. Usai makan, kami kembali bekerja hingga kembali pulang bersama. 

Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat. Aku dengan kesibukanku di kantor dan di rumah, begitu juga denga Beni yang mulai mengerjakan proyek ke luar kota tepatnya di bogor. Saat ini usia kandunganku sudah tujuh bulan dan ini saatnya aku memeriksakan kandunganku. Kebetulan Beni tidak masuk kantor hari karena ia juga ingin menjaga aku dan calon bayi dalam perutku.

Aku terpaku menatap kea rah layar yang didalamnya ada mahluk mungil yang bernama janin bergerak-gerak ke kanan dan kiri dan perlahan aku tersenyum bahagia begitu juga Beni ikut mengusap rambut ikalku yang tergerai.

“Sayang, bayi kita lincah banget deh, geraknya,” ucap Beni mengarahkan telunjuknya ke layar monitor.

“Iya, Sayang,” jawabku menatap sang suami yang terpana dengan calon bayi kami.

“Selamat, ya, Bapak dan Ibu karena kalian akan mempunyai bayi perempuan yang kembar,” ucap seorang dokter perempuan yang tengan menggerakkan alat USG-nya ke atas perut buncitku.

“Terima kasih, dok,” jawabku tersenyum kecil pada perempuan paruh baya itu.

“Sayang, teryata anak kita kembar.” Aku kembali memeluk suamiku dan tak peduli meski itu di hadapan dokter. Akhirnya kebahagiaanku utuh dalam sebuah keluarga. 

Sebenarnya, selama kehamilan aku tidak terlalu tenang karena hamper setiap malam keberadaan mereka yang tak tampak bisa kurasakan. Aku juga takut akan kesehatan dua janin yang ada dalan perutku ini karena tekanannya langsung kontak ke perutku jika aku bereaksi dan merasa ketakutan akan kehadiran mahluk halus yang mengelilingiku. 

Dengan sekuat tenaga mencoba menghadapinya setiap gangguan itu hingga kehamilanku beranjak Sembilan bulan dan hanya tinggal menunggu waktu saja untuk melahirkan.

Lagi-lagi malam mini aku harus tidur sendiri karena suamiku masih berada di lokasi proyek. Mungkin Beni besok pagi baru pulang ke rumah. Entah kenapa aku merasa sebentar lagi waktunya. Tiba-tiba hujan turun begitu deras disertai angin kencang, aku segera menutupi tubuhku dengan selimut tebal agar tidak merasa menggigil. Kutatap kea rah jendela dengan tirai putih yang berayun-ayun di hempas angin. Dengan sangat jelas aku mulai mencium aroma seperti bangkai bercampur anyir yang menyeruak ke seluruh kamar. Benar saja, sosok- sosok tanpa jiwa melayang bagai asap yang mengepul yang sesekali menampakkan sisi buruknya itu. Spontan aku memegang perutku dan berharap keadaan ini menghilang tanpa jejak.

 Akhirnya mahluk-mahluk itu lenyap bersama redanya hujan dan aku pun melanjutkan tidurku.

Seminggu kemudian, aku merasakan kontraksi hebat di perutku sampai tekanannya semakin kuat hingga pertahananku juga melemah. Aku masih membereskan beberapa piring kotor bekas kami makan malam bersama. Sementara suamiku sibuk menonton acara pertandingan bola di televisi.

“Beni!” teriakku memanggil suamiku karena perutku semakin kuat kontraksinya.

“Sayang? Kamu kenapa, kok udah lemas dan pucat begitu. Atau jangan-jangan ini tandanya kamu akan melahirkan,” tanya Beni yang panic melihat posisiku terdudul tak berdaya di lantai.

“Ayo kita ke rumah sakit, Sayang!” ajak Beni seraya belalu menyambar kunci mobilnya.

Sesampai di rumah sakit, aku segera dilarikan ke ruangan bersalin. Sementara suamiku menunggu di luar. Aku juga meminta Beni untuk mengabari Nenekku dan Nadia—sepupuku karena mereka wajib tahu keadaanku saat ini.

Setelah aku merasakan perjuangan untuk melahirkan sang buat hati ke dunia ini, akhirnya aku dapat melihat kedua bayi kembarku yang sangat menggemaskan. Tuhan, terima kasih atas anugerahmu pada kami. Aku bahagia karena orang-orang tersayang kini berada di dekatku. 

“Adinda, bagaimana penglihatan kamu sekarang?” tanya Nenek Idah yang terlihat menatap serius padaku.

Saat ini hanya kami berdua dan bayi kembarku di sebelah karena Beni dan Nadia keluar mencari makan malam.

“Ada apa Nek? Kok, kelihatannya ada sesuatu yang Nenek ingin bicarakan sama Dinda,” lanjutku masih penasaran.

“Tidak apa-apa. Nenek hanya ingin memastikan kesehatan kamu dan juga bayi kamu, Sayang. Karena nenek merasakan ada bahaya dengan mata batinmu dan itu akan member pengaruh besar terhadap putrid-putri nantinya,” ucap Nenek Idah mencoba menjelaskan kondisi yang ku alami.

“Nggak, Nek. Dinda nggak mau membahayakan anak-anak, Dinda, Nek. Jadi, Dinda harus gimana, Nek?” tanyaku dengan gelisah dan panik seketika.

“Mata batinmu itu ada dua tingkatan. Pertama, penglihatan yang peka terhadap keberadaan mahluk gaib dan melihat penampakannya sedangkan kedua, penglihatan yang mampu menembus ke masa lalu kelam seseorang. Dan yang kedua ini adalah yang terberat untukmu, Adinda,” terang Nenek Idah padaku yang membuat diri ini ketakutan akan bahaya yang menghampiri kedua putriku.

“Nenek, Dinda ingin menutup mata batin Dinda, Nek. Karena ini akan sangat berbahaya bagi pertumbuhan anak-anak Dinda nantinya. Setidaknya sampai mereka besar,” balasku yang masih belum bisa tenang.

“Tapi, Nenek hanya bisa menutup satu tingkatan saja, Sayang. Baiklah, Nenek akan menutup mata batinmu di tingkatan kedua karena tidak bisa tertutup seluruhnya.” Nenek Iah mengusap bahuku lalu memelukku dengan hangat.

“Dinda setuju, Nek. Lagian yang penglihatan Dinda yang pertama itu tidak terlalu berbahaya kok, Dinda yakin bisa mengatasinya,” jawabku meyakinkan Nenek Idah dengan jawabanku.

Setelah petemuanku dengan Nenek Idah, aku merasa lega. Selama masa nifas, Nadia menemaniku dan membantu merawak bayi kembarku. Aku dan suami member nama si kembar  Andin dan Andita, dan itu namayang sangat indah untu buah cinta kami. Sesaat setelah menidurkan putrid kembarku tiba-tiba aku melihat sosok aneh sedang menatap ke dua putriku dengan tangan yang berkuku runcing dan panjang mencengkram kuar ranjang bayi. Astaga! Apa yang harus aku lakukan?

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status