Share

Mau Dimadu Demi Membalas Suami Peselingkuh
Mau Dimadu Demi Membalas Suami Peselingkuh
Penulis: Mokaciinoo

1 | Memergoki Suami Selingkuh (1)

"Fi, Ibu liat kamu kayaknya belum isi ya?"

Fiona meneguk teh hangatnya dengan susah payah ketika mendengar pertanyaan ini lagi. Semenjak memasuki tahun ketiga pernikahan, pertanyaan ini tidak pernah absen ditanyakan oleh seluruh anggota keluarga suaminya. Terutama sang ibu mertua. Fiona sampai bosan mendengarkan.

"Fio juga maunya cepat hamil, Bu. Tapi Allah 'kan belum ngasih," jawab Fiona sekenanya. Hatinya teriris setiap kali dia mengulang kalimat yang sama untuk yang kesekian kali.

Kenapa sih orang-orang tidak bisa mengerti bahwa kelahiran, kematian, dan rezeki itu hanyalah kuasa Tuhan. Sedangkan manusia hanya bisa berusaha. Apa orang-orang ini pikir dia tidak ingin memiliki keturunannya sendiri?

Orang-orang ini tidak tahu saja bahwa bahkan ditengah kesibukannya, dia sudah pernah menyempatkan diri ke rumah sakit untuk memeriksa kesehatannya. Dia pun takut jika ternyata masalah terdapat pada dirinya sendiri. Namun, tidak!

Dokter mengatakan bahwa dia sehat dan tak ada masalah. Bahkan menyarankan agar dia tidak berhenti berusaha.

See, hal-hal tentang anak tidak bisa kamu paksakan hanya karena kamu menginginkannya, bukan?

"Kamu gak mandul 'kan, Mbak?"

Mendengar pertanyaan ini tiba-tiba terlontar dari bibir adik iparnya di hadapan anggota keluarga yang lain membuat Fiona terperangah. Dia tidak langsung menjawab. Dalam kondisi ini dia hanya bisa mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruang keluarga. Sepasang netra hitam kelamnya mencari-cari sosok sang suami untuk meminta bantuan, tapi nihil. Sejak tadi dia tidak menemukan keberadaan Mas Jaya di ruangan ini.

"Jangan bilang kamu beneran mandul?!" nada suara mertuanya terdengar meninggi.

Sepertinya aksi diamnya membuat wanita paruh baya ini mengambil kesimpulan sendiri. Bahwa diamnya Fiona berarti membenarkan dugaan bahwa dia memang mandul.

Fiona mengirim delikan tak puas pada Aruna, adik iparnya yang baru saja mengenal bangku perkuliahan itu. Sebelum kemudian dia sendiri menghela nafas pelan. "Fio sih udah periksa ke dokter. Dan dokter bilangnya Fio sehat-sehat aja. Tapi enggak tau nih sama Mas Jaya, gak pernah mau diajak periksa bareng," ungkap Fiona dengan nada halus sambil menatap penuh arti pada mertuanya.

Tapi siapa yang tidak tahu, nada santai dan tutur kata sopan yang dia lemparkan mengandung sindiran yang bahkan tidak tersamarkan. Beberapa orang di ruang keluarga yang memiliki pikiran terbuka bisa menebak indikasi dari ucapannya itu.

"Jadi maksud kamu, yang mandul itu Jaya?!" desis mertuanya tampak tidak terima. Bahkan mata keriput wanita itu melotot lebar padanya.

Fiona hanya tersenyum menanggapi. "Fio enggak pernah ngomong gitu," balasnya dengan acuh tak acuh. Tapi dalam hati, entah sudah berapa kali dia merutuki suaminya yang tidak kunjung muncul disepanjang dia diinterogasi oleh mertuanya ini.

"Ini pasti karena kamu terlalu kecapekan setiap kali pulang kerja. Kamu harusnya di rumah aja, fokus urus rumah, dan urus suami. Cukuplah suami kamu yang cari nafkah," tukas ibu mertuanya dengan nada jumawa.

Fiona hampir mendengus mendengar ucapan mertuanya itu. Mengandalkan gaji dari Mas Jaya? Kecuali ibu mertuanya tidak minta jatah gaji suaminya, mungkin Fiona akan menuruti saran ini. Tapi sepertinya sang mertua lupa, bahwa lebih dari setengah gaji suaminya itu masuk ke dalam kantong mertuanya ini.

Tentu saja Fiona tidak mengutarakan keluhannya. Dia malas harus berdebat dengan orang tua, toh ujung-ujungnya tetap dia yang akan dipersalahkan.

Lagipula tujuannya untuk bekerja selain untuk menutupi kekurangan nafkah yang diberikan Mas Jaya, dia juga tidak mau hidup terlalu bergantung dari keringat suaminya. Kepalanya pusing jika harus memikirkan semisal akun bank-nya yang menipis apalagi sampai kosong. Lebih penting lagi, dia pasti muak jika harus mengiba pada Mas Jaya agar diberikan jatah lebih tiap bulan. Suaminya itu tidak akan menggubris keluhannya. Karena bagi Mas Jaya, kebutuhan ibu dan adiknya jauh lebih penting daripada kebutuhan dapur mereka sendiri.

Setidaknya dengan memiliki gaji sendiri, Fiona bisa bebas membeli segala kebutuhannya tanpa harus pusing-pusing menunggu untuk dinafkahi.

"Gimana saran Ibu? dari tadi diam aja, mbok ya dijawab," teguran ibu mertuanya menyadarkan Fiona dari segala macam isi pikirannya.

"Maaf, Bu. Fio gak bisa berhenti kerja," jawab Fiona dari balik gigi yang terkatup rapat.

Setiap kali mertuanya mulai membicarakan anak dan kehamilan, sang mertua selalu lari ke pembahasan seputar pekerjaannya. Apa sih yang salah dari seorang istri yang bekerja? Toh dia masih menjalankan perannya sebagai istri dengan baik. Dengan dia bekerja, suaminya tidak serta merta dia telantarkan.

Dia masih menyiapkan pakaian kerja dan sarapan pagi untuk mereka sebelum berangkat kerja. Sepulang kerja dia juga masih menyempatkan diri untuk menyiapkan makan malam sendiri. Belum lagi jika suaminya ingin bercinta dengan berbagai macam gaya, dia masih bisa meladeninya. Lebih penting lagi, dia tidak banyak mengeluh ketika suaminya memberi nafkah seadanya. Dan suaminya sendiri tidak pernah komplain tentang pekerjaannya. Jadi kenapa ibu mertuanya begitu getol ingin dia menjadi ibu rumah tangga?

"Kamu itu memang susah sekali diatur ya. Enggak kayak Zoya!"

Fiona memutar mata dalam hati. Inilah alasan kenapa dia terkadang enggan mendekatkan diri dengan keluarga suaminya. Dia benci harus disudutkan seperti ini setiap kali mereka berkumpul. Apalagi jika dia sudah dibanding-bandingkan dengan ipar suaminya itu.

"Zoya itu ya, dia pandai ngurus rumah. Pandai juga ngurus suami,"

Fiona mengangguk kecil sebagai tanggapan. "Ngomong-ngomong, Fio kok gak liat Mbak Zoya dari tadi?" tanya Fiona.

Sebenarnya dia tidak benar-benar ingin tahu dimana ipar suaminya itu berada. Dia hanya berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan.

"Zoya pasti lagi sibuk ngurus anaknya! emang kamu ... " balas mertuanya dengan ketus.

Fiona menggelengkan kepala melihat tingkah tak masuk akal mertuanya ini. Padahal mertuanya ini sudah memiliki empat orang cucu yang masih kecil-kecil. Dua dari almarhum Mas Agung dan Mbak Zoya. Dua lagi dari Mas Fadli dan Mbak Arum. Kenapa pula dia masih didesak untuk buru-buru punya anak? Ini tidak seperti mertuanya akan membantu mereka mengurus anak-anak mereka.

Setelah menghela nafas panjang dan menghembuskannya dengan pelan, Fiona memutuskan untuk beranjak dari sofa yang dia duduki.

"Kamu mau kemana?" tanya ibu mertuanya yang semakin tidak puas ketika melihat tindakan Fiona yang hendak kabur dari interogasinya.

"Mau ke kamar, kepala Fiona pusing," jawab Fiona beralasan sambil berjalan menjauh dari ruang keluarga itu.

Fiona langsung berjalan menaiki tangga menuju lantai dua, dimana kamar suaminya berada. Dia ingin istirahat, pertanyaan mertuanya sungguh telah menguras seluruh energinya.

Namun, belum sempat Fiona membuka pintu kamar, desahan samar dari balik pintu itu tertangkap indera pendengarannya.

Deg,

Jantung Fiona menghentak dengan kencang. Pikiran buruk seketika melintas dalam benaknya.

'Eihh. Enggak mungkin!' batinnya.

* * *

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Shelly Bani
jd pnasaran ni
goodnovel comment avatar
Alang Babega
cerita nya cukup menarik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status