Share

Bab 3

Sudah lima menit mereka di dalam mobil Senja dan selama itu pula mereka hanya diam. Semua pertanyaan Aya hanya tertahan dalam kepala. Keberaniannya menguap tanpa sisa kala aura dingin senja mewarnai perjalanan mereka.

“Gang nomor berapa rumahmu?” tanya Senja tanpa menoleh.

Aya yang tadi sibuk dengan pikirannya tersentak pelan dan melihat ke arah depan. Ternyata mereka sudah sampai di depan perumahan. “Ah nomor 10. Gang rumahku nomor 10 tepat di ujung.”

“Itu rumahku,” ucap Aya beberapa saat kemudian. Menunjuk rumah minimalis yang terang benderang. Terlihat pula beberapa pria duduk di teras yang terdapat beberapa kursi rotan.

“Ada pesta di rumahmu.” Bukan pertanyaan, tapi pernyataan yang disimpulkan Senja.

Aya meringis, dia teringat kebiasaan  abangnya yang selalu mengadakan pesta kecil-kecilan dengan teman-teman gengnya. Aya ingat pula bahwa itulah salah satu alasan yang membuatnya memilih lembur atau menginap di rumah orang lain.

“Ha ha sepertinya memang begitu. Abangku yang berulang tahun pasti mengundang teman-temannya ke rumah,” ucap Aya berbohong.

Senja menatap wajah tidak nyaman Aya dengan tajam. Dia tau bahwa dokter di sampingnya itu berbohong. Siapa pun bisa melihat bahwa pria-pria yang duduk di sana bukan lah orang baik-baik. Mereka lebih mirip preman atau semacamnya. Baru saja Senja ingin menyuruh Aya sementara menginap di hotel, gadis itu sudah duluan membuka pintu mobil dan keluar.

“Terima kasih tumpangannya, Pak Senja,” ucap Aya tersenyum, masih menghadap kaca mobil Senja dan membelakangi rumahnya.

Rahang Senja mengeras, dia benci orang yang berbohong. “Sampaikan selamat untuk abangmu yang ulang tahun,” ucapnya dingin lalu segera melajukan mobil dan pergi.

“Wah wah, dokter cinta kita udah pulang!” Seru salah satu teman abangnya yang setengah sadar dan melihat kedatangannya. Aya terdiam di depan pagar yang baru saja dia buka. Rasa kesal menjalar ke hatinya. Padahal, sudah sekitar dua jam dia menunggu di depan gang sampai teman-teman abangnya tertidur, sampai-sampai kaki dan tangan Aya digigiti nyamuk. Tapi ternyata masih saja ada yang sadar.

“Sial,” umpat Aya, masih berdiri di depan pagar.

“Obati abang dong, Dek. Sepertinya jiwaku sudah mulai gila karena kau tolak terus.” Pria yang masih mengoceh itu berdiri dan menghampiri Aya dengan kedua tangannya yang hendak memeluk Aya.

“Dalam mimpimu orang gila!” Aya menghempas tangan kurang ajar itu membuat si empunya terhuyung. Setelahnya, Aya melayangkan tinjunya dan menampar wajah teman abangnya itu. Mendengar keributan di pagar, seorang teman abangnya yang lain mulai sadar dan melihat ke depan pagar.

“Aya! Hoi Aya, kau apakan si Gatot?” tanyanya.

Aya yang kaget segera melepas pria yang barusan ditamparinya. Dengan secepat kilat Aya berdiri dan kabur sampai di depan kompleks.

“Hah.. hah.. hah.” Aya singgah di depan Ulfamidi dan mampir untuk membeli minuman. Sekaligus untuk meredakan nafas dan panas tubuhnya akibat lari di malam hari. Untung saja teman-teman abangnya tadi tidak lanjut mengejarnya. Sembari duduk, Aya yang frustasi hanya melihat-lihat kontak di ponsel. Sepertinya dia memang akan merepotkan sahabatnya lagi kali ini.

Halo, Ya..”

“Dis, aku nginap di tempat mu lagi ya, please..”

Aku lagi jalan sama Juan,Ya. Kalo kamu mau, duluan aja ke apartemenku. Ada martabak di dapur kalo mau makan aja, panasin dulu tapi ya.”

Aya mengangguk dan tersenyum haru, untungnya dia masih punya sahabat sebaik Gladis yang bisa dia repotkan. “Makasih, Dis. Pulang jangan kelamaan, oh iya titip salam sama Juan, bilangin jangan ngebut.”

Oke bye, Ya..”

Setelah menutup telfon, Aya memesan taksi online untuk berangkat ke apartemen Gladis.

***

“Hayo..ada masalah apa sampai nginap lagi?” tanya Gladis yang baru sampai di apartemennya dan melihat Aya sedang menonton televisi.

“Masalah biasa, Dis. Bang Dimas bawa geng nya ke rumah.”

Gladis geleng-geleng kepala dan mendecak lalu duduk di samping Aya. “Kamu gak diapa-apain kan sama gengnya itu?”

Aya menggeleng pelan. Tentunya dia tidak akan diapa-apakan, malah sebaliknya yang sering terjadi.

“Kamu pindah ke sini aja ya, Ya. Udah berapa kali kubilangin kan rumahmu itu gak ada nyaman-nyamannya kalau Bang Dimas masih terus begitu. Mumpung di sini masih ada kamar kosong loh. Kemarin aja langsung laku dua kamar, sisa satu sekarang,” tawar Gladis sambil mengemil keripik di atas meja.

“Ck, kita ini sama-sama dokter tapi otak bisnismu itu gak pernah hilang,” cibir Aya.

“Hahaha,” Gladis tertawa. “Aku serius, Ya. Harganya bisa miring kalau ke teman. Nanti ku bilangin ke Juan kalo kamu jadi pindah.”

“Biar ku pikirkan dulu ya, Dis. Takutnya abang makin parah kalau aku pindah,” ucap Aya tak enak hati pada tawaran baik Gladis.

Gladis mengelus punggung Aya prihatin, “Ya udah, itu terserah kamu, Ya. Kalau berubah pikiran bilang aja ke aku atau Juan.”

“Makasih, Dis.” Aya yang tak tahan menahan haru, akhirnya memeluk Gladis.

“Udah ah, jangan sedih-sedih. Kita maraton drakor aja gimana? Ini nih yang lagi baru, udah ku cari, katanya ceritanya seru...” beber Gladis. Dan malam itu berlalu dengan Gladis dan Aya marathon menonton drama korea.

***

Seya duduk di sofa dan pandangannya terfokus pada wajah yang ada di layar. Sahabatnya tinggal di kota ini, tapi mereka hanya bisa mengobrol lewat video call atau bertemu diam-diam. Kadangkala Seya tidak bisa menahan dirinya dari kenangan mereka dulu.

“Sey, kenapa bengong gitu? Jangan sering ngelamun loh nanti bayimu kalo besar jadi suka bengong juga, mau?” seru suara dari layar laptop.

“Hush, amit amat jabang bayi woi. Jangan katain bayiku yang aneh-aneh. Bapaknya nanti dengar, disemprot kamu, Ning,” bela Seya sambil mengelusi perutnya yang masih belum terlalu besar. Seya memang masih hamil 4 bulanan.

Ah bapaknya cemen gitu ya gak mungkin berani lah, hahaha,” tawa dari layar laptop kembali terdengar.

“Woi Kemuning! Ini anak gak ada berubah-berubahnya. Masih suka ngejek bang Kenta. Kalo bang Kenta gak kena, ku aduin aja ke pawang mu!” balas Seya tak sadar sudah menyinggung hal yang sensitif.

Kemuning terdiam dan sesaat kemudian Seya menyadari kata-katanya.

“Maaf Ning. Tadi aku gak sengaja, serius. Jangan marah ya, Ning,” rayu Seya sambil menunjukkan tanda peace dengan kedua tangannya konyol.

“Mana berani aku marah sama bumil. Ya udah Sey, aku mau lanjut beres-beres rumah dulu ya. Nanti ponakanku mau datang ke rumah. Bye Seya, jaga kesehatan ya bumil.

Klik

Seya menghela nafas saat video call mereka dimatikan oleh Kemuning. Memang salahnya tadi tidak sengaja menyebut masa lalu. Tidak disangka hal itu masih sensitif bagi mereka berdua.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status