Share

Bab 6

Hampir seminggu berlalu dari pertemuan terakhir Aya dengan Senja. Sejak itu pula, pria bernama lengkap Senja Adikaya itu seperti menghilang. Jadwal temu dibatalkan dua kali dengan alasan kesibukan. Padahal Aya sudah mempersiapkan dirinya dengan baik. Malam hari Aya sampai rutin menggunakan masker di seluruh wajahnya agar semakin cantik bersinar.

Namun sayangnya usahanya itu tidak ada hasil sama sekali. Senja tidak ada waktu untuk melihat wajahnya.

“Ada apa dengan wajahmu itu, hah?” tanya Adimas.

Aya yang duduk di teras rumah melihat abangnya membawa celana jeans yang robek, entah karena apa. Kening Aya berkerut sambil membetulkan duduknya menjadi tegap di kursi rotan itu.

“Jahitkan celanaku,” pinta abangnya. Celana jeans tadi diletakkan di atas meja beserta kotak berisi jarum dan benang.

Mengingat kejadian seminggu lalu, saat abangnya hampir mengamuk di danau, Aya kembali emosi. Aya tidak mengindahkan pemintaan Adimas. Gadis itu hanya duduk-duduk sambil bermain ponsel.

Adimas heran dan duduk di kursi samping adiknya. “Kau gak dengar?” tanyanya.

Aya mendengus, memasang tampang kesal. Bisa-bisanya abangnya ini tidak ingat semua perlakuan buruknya pada Aya. Abangnya itu kalau sedang sadar, wajahnya akan datar bagai tidak berdosa.

“Jahit ya,” pinta abangnya lagi.

“Huft!!” Aya menghembuskan nafas kasar. Sungguh sial nasibnya harus mengurusi abang yang punya keterbelakangan mental seperti ini. Melihat abangnya, kadang Aya merasa ingin menonjok wajah itu hingga babak belur.

Tapi, Aya keseringan merasa kasihan dan tidak tegaan. Apalagi jika abangnya sampai babak belur akibat berkelahi dengan preman-preman pasar. Untungnya selama ini geng abangnya yang juga merupakan teman-teman kecil Aya tetap setia pada Adimas. Jika tidak ada mereka, mungkin Aya tidak tau lagi harus meminta bantuan kepada siapa untuk menjaga abangnya. Yah, walaupun kebiasaan buruk mereka mabuk-mabukan masih jadi hal memuakkan bagi gadis itu.

“Iya, nanti akan kujahit. Sekarang aku lagi malas,” ucap Aya mencebikkan bibirnya.

“Ya sudah.” Adimas berdiri dan masuk kembali ke dalam rumah. Aya melirik celana jeans abangnya di atas meja. Merentangkannya, Aya bisa melihat banyaknya sobekan pada bagian paha. Sepertinya juga celana itu sudah lama dipakai, karena terlihat usang.

“Hahh, mananya juga yang mau dijahit? Ini dijadikan kain lap juga gak layak.” Aya terus mengoceh begitu jahitannya terlepas lagi disebabkan kain yang mudah robek.

“Bang!” Aya masuk ke dalam rumah, menghampiri Adimas yang masih memperbaiki radio rusak di kamar pria itu. Aya melemparkan celana jeans di tangannya ke meja. “Ini sudah gak layak lagi dipakai. Dijahit juga gak bisa lagi!” kesal Aya.

Adimas memungut celananya, “Apanya yang rusak? Ini masih bagus.”

“Ya sudahlah, terserah! Pakai aja itu sampai bolong-bolong semua,” jawab Aya ketus, lalu pergi menuju kamarnya.

“Hoi, Aya. Mau kemana kau?” Adimas menahan tangan Aya.

“Kau tidak lihat, Bang? Aku mau pergi ke pasar. Mending beli celana yang baru dari pada pakai yang itu,” tunjuk Aya pada celana yang masih menggantung di tangan abangnya.

Seperti bocah mendapat permen, Adimas menyengir sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Rambutnya yang gondrong terlihat makin berantakan. “Aku kan tidak punya uang. Kau mau ngutangin celanaku?” tanya Adimas, matanya memancarkan harapan.

“Ck! Lepasin tanganku, Bang. Gak usah lebai lah. Biasanya juga ngutang gak pernah ingat tuh,” cerocos Aya lalu segera melangkah menuju teras rumah. Aya pikir setelah memasang sepatunya, dia bisa pergi ke pasar dengan tenang. Tapi ternyata abangnya yang tadi masih terlihat seperti preman gembel sekejap mata sudah berpakaian sedikit lebih rapi dan saat ini sedang mengunci pintu rumah.

Kening Aya berkerut, firasatnya buruk tentang ini. Dalam hati dia berharap semoga Adimas tidak minta ikut ke pasar. “Semoga dia pergi nongkrong sama gengnya,” batin Aya.

Adimas bergegas naik ke motor ninjanya lalu dia menyalakan mesin yang langsung mengeluarkan bunyi cempreng. Aya masih diam memperhatikan.

“Ayo, cepat! Ngapain diam di sana? Mau ke pasar kan, aku yang antarin!” seru Adimas.

Aya buru-buru mengipaskan tangan menolak, dia kesal. “Gak usah, Bang! Kan Aya gak minta. Aya udah mesan ojol tadi. Ini mau sampai.” Aya berlalu melewati motor abangnya dan menunggu ojol langganannya di depan pagar.

Segera setelah ojol langganan Aya tiba, Adimas turun dari motor dan berkata, “Gak usah, Mang! Aya, aku yang antar!” titahnya.

“Eh, jangan Mang. Saya ikut Mamang saja. Abang itu mau pergi ke komplek sebelah,” bohong Aya. Dirinya segera berlari menuju Mamang ojol dan bersiap menaiki motornya.

“Ya sudah. Tapi besok geng abang tawuran sama ojol di kompleks sini, kita hajar semua terutama Mamang Kasep,” ucap Adimas. Dia menaikkan lengan jaketnya hingga tato di tangannya terlihat. Aya menghela nafas, melihat Mamang Kasep mulai takut.

“Neng, Anu.. Sebaiknya neng ikut sama abangnya neng saja, ya. Mamang masih mau hidup sehat, Neng. Anak istri saya nanti gak makan,” pinta Mamang Kasep tak enak hati. Aya geram dan mengepalkan tangannya kesal. Padahal dia sudah posisi nyaman di atas motor, tapi selalu terganggu karena abang brengseknya.

Aya memilih mengalah. Dia tidak mungkin memaksa Mang Kasep. Bisa-bisa abangnya,Gatot, Andi dan yang lainnya benaran tawuran. Jika itu terjadi, tidak ada lagi ojol yang mau berlangganan dengan Aya. Mau naik pakai apa dia ke rumah sakit?

Aya menghentakkan kakinya setelah Mang Kasep putar arah dan pergi. “Ck! Ya sudah ayo cepat!” bentaknya pada Adimas.

Bukan rasa malu yang hindari Aya. Sekompleks, bukan, se-kecamatan mungkin sudah tahu bahwa Adimas adalah abang Aya. Kalian tahu kenapa? Karena geng Adimas selalu membawa-bawa nama Aya di setiap pembicaraan mereka. Baik dalam konteks bicara santai atau saat adegan ancam-mengancam antar geng terjadi.

Yang ditakutkan Aya hanyalah jika mereka bertemu dengan geng lain yang mengincar abangnya. Jika terjadi, maka abangnya akan berkelahi dan mereka berdua akan terluka.

“Awas aja nanti ya, Bang. Jangan sampai buat onar di pasar!” titah Aya sambil mencubit bahu Adimas sesekali jika abangnya sengaja membawa motor lewat jalan yang berlubang.

Adimas mengangguk patuh. Abangnya itu sepertinya fokus pada jalanan. Melintasi jalan menuju pasar dengan naik si Jago-nama motor abangnya, terasa seperti dulu. Ketika Aya masih kuliah dan abangnya masih belum seperti sekarang.

Dulu, Adimas adalah cerminan abang yang baik. Aya selalu bersyukur mempunyai saudara seperti itu. Tapi rasa syukur Aya rupanya masih kurang, setelah koas masalah besar menimpa keluarganya. Hasilnya adalah abangnya yang seperti saat ini.

“Hoi, Aya! Sudah sampai, turun gak?” Adimas membuyarkan lamunannya. Ternyata mereka sudah sampai di Pasar Loak. Aya mengangguk dan segera turun dari si Jago.

“Abang langsung pulang aja. Nanti Aya gak usah di jemput,” ucap Aya sambil melepaskan helm dan meletakkannya di atas kepala motor abangnya.

“Aku ikutlah.. Lagian kan kalau celana yang kau beli kurang pas, rugilah kita,” bantah Adimas. “Ayo, Aya cepat pasarnya nanti tutup!” ajak Adimas yang sudah jauh di depan dan mulai melihat-lihat jeans untuknya.

“Sudahlah,” keluh Aya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status