Share

Bab 4

Kenta menghampiri istrinya yang sedang duduk di atas sofa dengan wajah yang loyo. ‘Tidak biasanya seperti ini, dan tidak mungkin di masa hamil masuk lima bulan, Seya loyo karena muntah-muntah. Pasti ada yang sedang dipikirkan istrinya ini,’ batin Kenta.

Kenta mendekat dan duduk di samping Seya. “Kenapa wajahmu macam kucing ditinggal kawin begitu?” cerocos Kenta seperti kebiasaannya sejak dulu. Tidak peduli apakah Seya sekarang sudah berganti status menjadi istrinya dan sedang mengandung darah daging pria itu.

Seya yang merasa kesal dikatai kucing langsung mencubit perut Kenta dengan kuat.

“Aww stop stop ampun, Sayang,” ringis Kenta. Dahinya berkerut serta kedua alis terangkat naik, tangannya berusaha melepaskan tangan Seya dari perutnya.

“Makanya jangan sembarangan ngatain istri, ck! Buat kesal aja!” cibir Seya kesal.

“Nah itu, kutanya kan tadi kenapa muka kau kesal sayang?” ucap Kenta membela dirinya. Seya menjadi murung.

“Kent, kenapa ya tadi pas aku gak sengaja bahas masa lalu, Kemuning tiba-tiba diam trus dia langsung pamit katanya ponakannya mau datang ke rumahnya. Padahal tadi jelas dia bilang gak ada acara sama sekali.”

Kenta sekarang mengerti kenapa Seya tiba-tiba jadi loyo, ternyata diakibatkan oleh sababatnya yang jauh di sana. “Kan mereka pisah itu gak baik-baik dulu. Jadi masih sensitif lah, abangmu juga masih terus menggalau kalau gak sengaja bertemu dia,” jelas Kenta. Kali ini pria itu memijit pundak istrinya yang sering lelah semejak kehamilannya.

“Ahh, andai mereka tidak terlalu keras kepala, saat ini pasti kami sedang mengalami fase yang sama.” Seya mulai menghayal dirinya bersama sabahatnya itu sama-sama sedang hamil sehingga Seya tidak perlu kesepian atau menahan keinginan cerita tentang sakit pinggang yang sangat mengganggunya.

Kenta menatap wajah istrinya sendu. Jelas dia tau apa yang dikatakan istrinya, karena dulu mereka berada di lingkar pertemanan yang sama.

Kenta adalah saksi bagaimana cinta membuat seseorang berubah menjadi terlalu senang, berubah dan buta di saat bersamaan. Jauh dalam lubuk harinya, Kenta juga berharap hal yang sama. Dia ingin Senja bahagia, mengejar hidup dan mimpinya.

“Sudahlah, sebaiknya sekarang kau jaga pikiran dulu. Jangan terlalu stres memikirkan urusan mereka. Lagian jika mereka memang jodoh, akan bertemu juga,” ucap Kenta menenangkan Seya. Perkataan yang membuat Seya itu semakin merasa kesal karena Nada Kenta yang terdengar tidak peduli.

***

Saat ini Senja berada di apartemennya seorang diri. Pria itu hanya duduk diam di kamar, di meja kerjanya tepat di depan kaca apartemen yang membentang dari lantai sampai langit-langit kamar. Senja menyesap kopi yang masih hangat. Sejujurnya dia tidak tau akan melakukan apa di akhir pekan seperti ini.

Setelah berpikir cukup lama, hingga matahari sudah tinggi, Senja memutuskan untuk berjalan-jalan di taman dekat danau. Dia perlu menyegarkan ingatan tentang kenangan dulu. Bagaimana lagi, kerinduan Senja sudah mirip baja berkarat.

“Tidak ada yang berubah,” gumam Senja seperti sudah lama tidak melihat tempat itu. Padahal setiap hari Senja melintas dari jalan sekitar danau jika hendak ke kantor. Hanya saja, sangat jarang baginya untuk duduk di atas dataran lumayan tinggi seperti ini untuk mengamati pemandangan dengan tenang. Dari lapangan rumput tempatnya duduk, Senja bisa melihat keramaian di sekitar danau. Mulai dari orang yang lari pagi, jalan-jalan sampai selfie-selfie. Semua ada di sana.

Senja juga dulu melakukan hal itu semua bersama seseorang. Ah, tepatnya ada seorang yang memaksa Senja melakukannya. Jika Senja menutup mata, masih terbayang kenangan saat dirinya duduk berduaan dan tersenyum secerah mentari pada orang itu.

“Untuk apa kau kesini? Aku sudah bilang jangan pernah mengikutiku tolol!” Senja mengutuki suara itu dalam hatinya. Sepertinya dia tidak dibiarkan tenang barang sebentar saja. Entah kenapa ada saja orang-orang yang ingin ribut di sampingnya. Padahal tadi dia sengaja memilih pojokan yang sepi dimana tidak seorang pun tertarik untuk mendekat.

“Apa kau bilang? Tolol? Kau bilang aku yang seorang dokter yang pintar ini tolol, hah?” Senja menghela nafas. Rupanya perdebatan sepasang kekasih di sana. Haruskah Senja menggelar tikar untuk menonton pertunjukan itu atau merekam mereka?

“Kubilang kau harus pulang! Ngapain duduk-duduk di sini, bisa-bisa nanti semua orang akan melaporkanmu ke polisi karena kau tiba-tiba mengamuk tidak jelas!” Masih dari sang perempuan dengan suara yang naik satu oktaf.

“Sepertinya dia seorang kekasih yang cemburuan,” gumam Senja. Masih memilih menjadi pendengar yang baik.

“Agrh, kau benar-benar membuatku emosi. Pergi kau sana! Atau aku akan menye,” Si pria mulai ikut-ikutan emosi. Senja sendiri bisa merasakan kesan mengancam yang besar dari kalimat itu.

“Apa? Menyeretku huh?” potong sang perempuan. “Dasar banci, beraninya cuman sama adik sendiri!” teriak perempuan.

Senja tersentak, semakin tertarik dengan masalah dua insan itu. Rupanya mereka bukan sepasang kekasih, tapi kakak adik. Ketenangan Senja terusik, pasalnya dia tidak suka jika ada pria yang berani menyakiti saudara perempuannya sendiri. Senja jadi terbayang wajah Seya.

Senja berdiri dan mendekat ke arah kedua orang itu saat si pria mencengkram lengan adiknya. Senja menatap tajam pria yang terlihat hendak menekan mahluk di depannya. Urat-urat leher pria itu bahkan sampai terlihat.

“Jika kau sampai berbuat kasar pada gadis itu, maka tentara di sana akan menangkapmu!” teriak Senja kuat. Tangannya menunjuk pada sepasang kekasih yang sedang melakukan photoshot.

Pria tadi tersentak kaget, perhatiannya terfokus pada Senja. Lalu memperhatikan ke arah pria yang memakai baju loreng, di pinggangnya ada benda panjang, sepertinya pedang. Pria itu juga mengedarkan pandangan kepada sekitar, orang-orang mulai tertarik pada masalah mereka.

Pria itu melepaskan cengkraman tangannya pada gadis yang masih membelakangi Senja. “Kau, awas jangan sampai kau macam-macam denganku!” ancam pria itu, telunjuknya menunjuk dan menekan bahu Senja kuat.

“Kau tidak terluka kan?” tanya Senja setelah pria tadi pergi menaiki motor bersuara cempreng. Tidak lupa dengan asap knalpot yang mencemari udara sepanjang jalan dilewatinya.

Gadis tadi menggeleng, lalu mengusap lengannya yang memerah, masih membelakangi Senja.

“Ya sudah,” ucap Senja tidak peduli. Urusannya sudah selesai, baginya tidak perlu sampai memperpanjang masalah dengan bertele-tele.

“Ehh, mas tunggu dulu!” seru gadis tadi. Senja berbalik dan terdiam mendapati wajah yang tidak asing baginya.

“Pa..Pak Senja?” seru gadis itu, tangannya menunjuk wajah Senja. Senja yang merasa familiar dengan adegan itu merutuki dalam hati, dasar dua bersaudara sama saja, sukanya menunjuk-nunjuk orang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status