Share

Bab 7

Pasar loak adalah pasar tradisional yang menjual segala macam kebutuhan rumah tangga termasuk pakaian, makanan dan juga perabotan. Aya suka belanja ke tempat yang ramai ini karena harganya lebih murah dari pakaian di mall. Apalagi jika penjualnya cuci gudang, beuh... Aya paling senang. Dia rela desak-desakan dengan yang lain demi mendapat barang diskon yang bagus. Dan tentunya pilihan Aya tidak kalah bagusnya dengan baju-baju di mall.

Tapi kini, rasa senang itu tergantikan dengan rasa was-was. Sepanjang mengekori abangnya, Aya selalu melirik kiri-kanan depan-belakang, untuk jaga-jaga siapa tahu ada musuh abangnya.

“Pak, itu celananya ukuran berapa?” tanya Aya. Adimas yang mendengar Aya singgah di salah satu lapak pakaian berhenti dan mendekat.

“Ukuran XL ini, Neng. Untuk siapa celananya, Neng?” tanya si bapak yang berjualan.

“Ini untuk abang saya, Pak,” jawab Aya, mengambil celana itu dan meneliti mereknya. Apakah celana itu memang asli atau kw, “Bang, ini bagus. Beli ini aja,” tambah Aya lagi. Tangannya mengulurkan celana di tangannya kepada Adimas.

Sementara Adimas masih menimbang-nimbang celana yang dipilih Aya dengan yang baru dilihatnya, Aya mengambil beberapa potong kaos oblong dan kemeja. “Bang, cobain kemeja ini. Cocok gak?”

Aya mengangguk-angguk setelah melihat penampilan Abangnya. Kemeja batik itu sangat pas di badan kekar abangnya itu. “Pak, kita beli yang ini sama yang itu,” ucap Aya sambil menyerahkan dua lembar uang seratus ribu rupiah.

“Kenapa pulak tiba-tiba baik ini?” tanya Adimas. Tangannya menenteng semua belanjaan mereka dan mengikuti langkah Aya dari belakang. Mereka saat ini masuk ke dalam pusat pasar untuk membeli minuman kesukaan Aya. Jika menyangkut hal yang diinginkannya, Aya akan lupa dengan segalanya.

“Ck, udah terima aja. Bilang makasih kek, udah dibeliin,” omel Aya di sepanjang jalan tanpa melihat ke belakang. Sampai mereka tiba di penjual es cendol langganan Aya, gadis itu langsung memesan dengan lantang “Bang, esnya 2 bungkus!”

“Lagian itu kemeja bisa abang pakai ke gereja. Jangan cuma pakai kemeja yang biru itu. Bisa-bisa dua bulan lagi kemejanya udah pudar,” Aya masih terus mengomel. Matanya terus mengawasi es cendolnya yang sedang dibuat. Tidak lupa Aya meminta bahan-bahan tertentu dilebihkan dalam es nya, seperti santan dan gula merah.

“Nah, Bang,” Aya meyerahkan kantongan es cendol itu ke belakangnya, kepada Adimas.

“Eh, Bang?” tanya Aya, abangnya tidak ada di belakangnya lagi. Aya tiba-tiba dilanda rasa khawatir.

“Kemana, sih?” kesal Aya. Setelah melihat sekeliling, Aya tidak menemukan batang hidung abangnya.

Aya memutuskan duduk di kursi samping bang penjulan cendol tadi menunggu Adimas. Sembari menelepon, Aya menikmati es cendol miliknya.

Es cendol miliknya sudah habis, tapi Adimas tidak kunjung kelihatan. Pria itu bahkan tidak mengangkat ponselnya.

“Gak bisa dibiarin, kalo gini!” Aya menghentakkan kaki, setengah berlari mencari sosok Adimas. Tapi di pasar yang seluas ini, tidak kunjung terlihat juga. Saat Aya menuju parkiran, di sana masih ada si Jago, motor abangnya. Aya melangkah ke sana. Menatap cemas ke seluruh parkiran yang berada di belakang pasar. Walaupun kawasan itu cukup ramai, tapi di beberapa sudut tempat adalah sarang rampok dan geng motor.

Mengambil resiko, Aya melangkah menyusuri beberapa gang yang tidak jauh dari tempat parkir.

“Bugh! Bugh! Rasain kau Bangs*t! Makanya jangan sok jagoan. Sendirimu itu tidak ada apa-apanya tanpa gengmu!” suara-suara dari belokan di depannya membuat Aya terkejut. Di sana sepertinya ada orang berkelahi.

Dengan hati-hati, Aya mendekat dan mengintip. Dia terkejut melihat Abangnya sedang dipukuli oleh tiga orang preman. Bulu kuduk Aya berdiri. Keinginan menerjang para preman itu sangat besar, tapi dia tidak ingin mengambil risiko. Wajah abangnya saja sudah tidak berbentuk, darah mengalir kemana-mana.

Aya berlari sekuat tenaga, menuju parkiran. Dia menuju ke arah bapak-bapak yang sedang minum kopi di salah satu kedai. Air mata Aya mengalir, mengingat abangnya di sana. Aya mencengkram salah satu tangan dari bapak-bapak itu.

“Pa..Pak, tolong!! Abang saya, abang saya digebukin tiga preman,” ucap Aya. Suaranya bergetar dan mukanya memerah. Sementara air mata mengalir di sudut pipinya.

Bapak-bapak yang melihat Aya terkejut. Mereka saling pandang satu sama lain. Melihat Aya seperti itu, mereka bangkit dan menuju ke arah yang di tunjuk Aya.

Aya kuat hingga bapak-bapak yang tadi sudah di depan jadi berada di belakang Aya. Gadis itu berlari menuju gang tadi.

Preman yang menghajar Adimas melihat seorang gadis berlari tergesa ke arah mereka. Gadis berwajah merah itu menatap mereka marah.

“Ah, rupanya ada tamu,,” ejek para preman itu kepada Aya.

“Dasar preman brengsek! Lepas abangku!” bentak Aya. Tangannya terkepal erat melihat abangnya, pria itu sudah terkapat di tanah, kedua matanya tidak bisa terbuka karena sudah bengkak.

Dua preman bertubuh sedang menghampiri Aya, senyum mengejek di wajah mereka membuat Aya jijik. “Wah, wah, wah. Kami tebak, kau pasti Aya si dokter itu ya? Cantik juga.” Suara mereka yang menggoda terdengar bagai suara anjing di telinga Aya.

Aya melepaskan sepatunya dan tiba-tiba sepatu itu sudah terkena dahi salah satu preman itu. “Kurang ajar, gadis sialan!” teriak si preman.

Aya melepas sepatu satunya dan mengarahkannya kepada preman marah itu. “Dimana bapak-bapak itu?” batin Aya. Sesungguhnya gadis itu tidak akan sanggup jika harus menghadapi para preman itu seorang diri.

Dugh! Serangan pertama sepatunya berhasil dan mendarat mulus pada paha preman itu. Pukulan balasan dihindari Aya dengan gesit berkat latihan bela dirinya waktu sekolah.

Dugh! dugh! Serangan selanjutnya pun berhasil.

“Bisa juga adekmu ini, Adi!” Pria yang tadi hanya melihat aksi Aya melangkah maju. Dengan sekali langkah, tangan Aya berhasil dipelintir ke belakang.

“Argh!” jerit Aya. “TOLONG! TOLONG! PREMAN INI INGIN MEMBUNUH SAYA DAN ABANG SAYA!” jerit Aya. Pria yang masih mengunci pergerakan tangannya bingung. Saat pria itu melihat ke depan gang, dari sana muncul bapak-bapak penjaga pasar.

“Hoi, brengsek, dia manggil orang-orang!” panik salah satu preman itu. Aya bersyukur dalam hati. Bapak-bapak tadi datang tepat waktu. Sekuat tenaga, Aya menendang tulang kering si pria di belakangnya hingga dia terlepas.

“Tangkap mereka, Pak!” ujar Aya. Ketiga preman tadi kalang-kabut mencari jalan kabur. Ketika bapak-bapak dan para preman itu saling kejar-kejaran, Aya mendesah lega. Aya menghampiri abangnya di sana yang terletak tidak berdaya.

“Bang! Bang!” Aya mencoba menyadarkan Adimas.

“Bang. Abang belum mati kan?” tanya Aya memastikan karena Adimas tak kunjung sadar. Padahal denyut nadi nafas pria itu normal.

“Uhuk,” Adimas batuk, tenggorokannya perih karena dadanya tadi terkena bogeman mentah.

“Makanya jangan cari musuh aja kerjaan abang! Ayo berdiri, Aya ini gak kuat mapah abang tau gak?” bentak Aya. Tangannya yang tadi dipelintir masih terasa sakit. Adimas berusaha berdiri dengan sebelah tangan yang bergantung pada bahu Aya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status