Share

Bab 7. Arkan Adiaksa

Sudah seminggu lewat setelah insiden di mana Maria jatuh pingsan. Kini kondisinya sudah jauh lebih membaik. Hanya lemas dan sesekali batuk saja yang masih terasa. Selepas shalat subuh, Maria bergegas membereskan rumah sampai pagi menjelang. Karena bahan makanan di kulkas habis, Maria memutuskan untuk belanja sayuran dan bahan lainnya ke pasar. Setelah siap dengan bawannya, Maria keluar rumah.

Sesampainya di sisi jalan, Maria tidak menemukan angkot yang bisanya nagkring di sini. Maria menghela napas pasrah karena terpaksa harus berjalan kaki untuk ke pasar.

Di tengah perjalanan ketika Maria hendak menyebrang, seorang pengendara motor melaju kencang dan tak sadar ada orang yang lewat. Maria yang saat ini melihat sepeda motor melaju kearahnya hanya bisa terpaku di tempat karena shock. Ketika motor itu hampir menabraknya, seseorang dari arah belakang memegang tangannya lalu menarik hingga mereka terguling bersama.

Pengendara motor yang melihat dua orang yang nyaris ditabraknya hanya menoleh singkat sebelum melajukan kembali motornya untuk kabur.

Debaran di hati Maria begitu menggila. Badannya pun masih bergetar shock. Saat ini kesadaraan Maria benar-benar terguncang sampai tak sadar dirinya kini sedang dalam pelukan seseorang.

"Tenang. Kakak di sini, kakak memelukmu. Jangan takut, Uri!" Bisikan menenangkan itu ampuh membuat badan bergetar Maria rileks.

Setelah merasa lebih tenang. Barulah laki-laki itu melepaskan pelukannya pada Maria. Dia memandang Maria penuh kasih. "Merasa lebih baik?"

Maria mengangguk. Setelah sadar dengan apa yang menimpanya, repleks Maria menjauhi tubuh laki-laki misterius yang madih menempel padanya. "Maaf, terlalu dekat." Maria meringis ketika menyadari raut kecewa orang yang menolongnya.

"Aku mengerti." Akunya dengan memaksakan tersenyum. Laki-laki itu memindai tubuh Maria dari atas ke bawah. "Apa ada yang terluka?" Tanyanya khwatir.

Maria ikut meneliti dan merasakan rasa di tubuhnya. Setelah di rasa tidak ada yang terasa sakit, Maria menggeleng sambil tersenyum.

"Syukurlah." Ucap laki-laki itu lega.

Maria membelalak terkejut begitu melihat ada darah di siku laki-laki yang telah menolongnya itu. "Sikumu berdarah. Itu harus cepat-cepat diobati!" Maria histeris karena darah itu tidak sedikit, bahkan sampai menetes ke aspal jalan.

Laki-laki itu meringis melihat wajah khawatir Maria. Sikunya memang nyeri. Namun, demi menenangkan perempuan yang histeris di depannya laki-laki itu berusaha untuk tersenyjm menenangkan. "Ini tidak parah, kok. Kamu tidak usah khawatir begitu, saya padti mengobatinya."

Maria mengangguk walau masih ada sisa kekhawatiran dari raut wajahnya. Mari mendongak untuk melihat wajah penolongnya, merasa familiar dengan sosok laki-laki di depannya. Maria mengingat-ngitat sepertinya mereka pernah bertemu. "Apa kita pernah beretemu?"

"Menurutmu?" Laki-laki itu malah balik bertanya. Senyum usil jelas terpampang di wajah tampannya.

Maria mencebikan bibirnya karena tidak bisa menggali ingatannya tentang laki-laki ini. "Kurasa saya salah orang?" Akunya sambil menggaruk pipi bingung. Kenapa tadi, dia begitu yakin kalau pernah ketemu sama laki-laki ini. Mungkinkah hanya mirip dengan seseorang?

Laki-laki itu mendesah pasarah. "Kita beretemu di kedai bubur ayamnya Mang Ahmad. Ingat?" Dia memandang Maria penuh harap. Laki-laki itu lebih berharap kalau Maria akan mengingat sosoknya dulu.

Mari menjentikan jarinya setelah mengingat waktu pertama kali mereka bertemu. Seketika senyum lebar Maria redup begitu mengingat kejadian memalukan waktu di kedai bubur ayam Mang Ahmad. "Oh, kamu ternyata kamu-laki itu."

Laki-laki itu mengangkat sebelah alisnya karena melihat wajah malu perempuan di hadapannya. "Kamu masih malu dengan kejadian waktu itu?" Tanya disertai senyuman jahil.

Maria melotot, tangannya sibuk mengibas-ngibas untuk menyangkal pernyataan laki-laki itu. "Mana ada. Kejadian itu juga dilakukan secara tak sengaja. Kenapa harus malu?"

Laki-laki itu makin melebarkan senyumannya. Jari telunjuknya sudah ada di depan wajah Maria. "Itu pipi kamu merah. Kalau bukan karena malu, apalagi?"

"Ish, jangan gitu. Udah gak usah dibahas, yang lalu biarlah berlalu. Kamu ini, baru kenal aja udah ngeledekin orang." Sungut Maria tidak terima. Kalau laki-laki ini bukan orang yang telah menolongnya karena hampir kecelakaan, Maria tidak akan mau meladeni ucapannya.

Laki-laki itu memandang Maria lembut. Di bibirnya masih ada sisa senyuman jahil. Tak ingin membuat Maria lebih marah, laki-laki itu memutuskan untuk tidak menggoda Maria lagi. "Kenalakan, saya Arkan Adiaksa!"

Maria terdiam. Lagi-lagi nama itu terngiang begitu familiar. Namu, kenap Maria tidak juga bisa mengingatnya. Sebenarnya ada dengan ingatan Maria. Apa sekarang Maria mengidap Alzheimer, penyakit yang suka diidap para orang lanjut usia?

"Hei, kenapa melamun?" Arkan sudah melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Maria. Dia sedikit heran. Ketika gadis lain yang diajaknya kenalan selau meresponnya dengan cepat, perempuan ini malah bengong gak jelas.

Maria mengerjap begitu menyadari ada sebuah tangan yang melambai di depan wajahnya. "Hah?"

"Kenapa melamun? Saya ngajak kenalan, loh!" Arkan kini sudah memasukan kedua tangannya kedalam saku celana. Tubuhnya dia senderkan ketiang rambu lalulintas yang berada di belakangnya.

"Oh, namanya Arkan Adiaksa kan?" Maria takut salah dengar tadi. Makanya sekarang dia ingin memastikan lagi kalau pendengarannya gak salah.

Arkan mengangguk membenarkan. "Ya."

"He he, namamu terasa familiar. Makanya tadi saya agak melamun sedikit." Maria memutuskan untuk mengakui alasan tadi melamun. Seenggaknya kalau memang Arkan ini dulu pernah kenal dengan dirinya, dia akan membantu untuk memberitahunya.

"Familiar, ya." Arkan tersenyum manis. Tangannya terulur hendak mengusap kepala Maria. Sadar dengan tindakannya, buru-buru Arkan menurunkan kembali tangannya. "Gak usah banyak berpikir. Sebut saja namamu siapa!"

"Baiklah. Namaku Maria Nurindah. Salam kenal, ok!" Maria berucap dengan riang.

Arkan tertawa renyah lalu jari telunjuk dan jempolnya ia pertemukan membentuk hurup o. "Ok."

"Terima kasih karena telah menolong saya." Ucap Maria disertai senyuman tulus. Dia sangat bersyukur karena ada Arkan yang datang dengan telat waktu untuk menyelamatkannya. Dia tidak dapat membayangkan kalau Arkan telat sedetik saja.

Laki-laki itu ikut tersenyum sambil mengibaskan tangannya. "Bukan apa-apa." Arkan melihat keranjang yang Maria bawa. Dia menyimpulkan kalau Maria akan pergi kepasar atau supermarket. "Sepertinya kamu mau berbelanja, mau saya antar?".

"Tidak usah." Maria menolak. Selain karena tak ingin merepotkan Arkan, mereka juga bukan Mahram. Akan banyak gosip kalau sampai terlihat orang yang dikenalnya.

Arkan mengangguk mengerti. "Baiklah, hati-hati di jalan. Jangan sampai keserempet motor lagi!" Nasehatnya. Dia cukup menghargai keputusan Maria untuk tidak melebihi batasnya saat ini.

Maria mengangguk. Ketika berbalik, dia dikejutan dengan seorang yang tengah memandangnya sambil duduk di atas jok motor.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status