Sudah seminggu lewat setelah insiden di mana Maria jatuh pingsan. Kini kondisinya sudah jauh lebih membaik. Hanya lemas dan sesekali batuk saja yang masih terasa. Selepas shalat subuh, Maria bergegas membereskan rumah sampai pagi menjelang. Karena bahan makanan di kulkas habis, Maria memutuskan untuk belanja sayuran dan bahan lainnya ke pasar. Setelah siap dengan bawannya, Maria keluar rumah.
Sesampainya di sisi jalan, Maria tidak menemukan angkot yang bisanya nagkring di sini. Maria menghela napas pasrah karena terpaksa harus berjalan kaki untuk ke pasar.
Di tengah perjalanan ketika Maria hendak menyebrang, seorang pengendara motor melaju kencang dan tak sadar ada orang yang lewat. Maria yang saat ini melihat sepeda motor melaju kearahnya hanya bisa terpaku di tempat karena shock. Ketika motor itu hampir menabraknya, seseorang dari arah belakang memegang tangannya lalu menarik hingga mereka terguling bersama.
Pengendara motor yang melihat dua orang yang nyaris ditabraknya hanya menoleh singkat sebelum melajukan kembali motornya untuk kabur.
Debaran di hati Maria begitu menggila. Badannya pun masih bergetar shock. Saat ini kesadaraan Maria benar-benar terguncang sampai tak sadar dirinya kini sedang dalam pelukan seseorang.
"Tenang. Kakak di sini, kakak memelukmu. Jangan takut, Uri!" Bisikan menenangkan itu ampuh membuat badan bergetar Maria rileks.
Setelah merasa lebih tenang. Barulah laki-laki itu melepaskan pelukannya pada Maria. Dia memandang Maria penuh kasih. "Merasa lebih baik?"
Maria mengangguk. Setelah sadar dengan apa yang menimpanya, repleks Maria menjauhi tubuh laki-laki misterius yang madih menempel padanya. "Maaf, terlalu dekat." Maria meringis ketika menyadari raut kecewa orang yang menolongnya.
"Aku mengerti." Akunya dengan memaksakan tersenyum. Laki-laki itu memindai tubuh Maria dari atas ke bawah. "Apa ada yang terluka?" Tanyanya khwatir.
Maria ikut meneliti dan merasakan rasa di tubuhnya. Setelah di rasa tidak ada yang terasa sakit, Maria menggeleng sambil tersenyum.
"Syukurlah." Ucap laki-laki itu lega.
Maria membelalak terkejut begitu melihat ada darah di siku laki-laki yang telah menolongnya itu. "Sikumu berdarah. Itu harus cepat-cepat diobati!" Maria histeris karena darah itu tidak sedikit, bahkan sampai menetes ke aspal jalan.
Laki-laki itu meringis melihat wajah khawatir Maria. Sikunya memang nyeri. Namun, demi menenangkan perempuan yang histeris di depannya laki-laki itu berusaha untuk tersenyjm menenangkan. "Ini tidak parah, kok. Kamu tidak usah khawatir begitu, saya padti mengobatinya."
Maria mengangguk walau masih ada sisa kekhawatiran dari raut wajahnya. Mari mendongak untuk melihat wajah penolongnya, merasa familiar dengan sosok laki-laki di depannya. Maria mengingat-ngitat sepertinya mereka pernah bertemu. "Apa kita pernah beretemu?"
"Menurutmu?" Laki-laki itu malah balik bertanya. Senyum usil jelas terpampang di wajah tampannya.
Maria mencebikan bibirnya karena tidak bisa menggali ingatannya tentang laki-laki ini. "Kurasa saya salah orang?" Akunya sambil menggaruk pipi bingung. Kenapa tadi, dia begitu yakin kalau pernah ketemu sama laki-laki ini. Mungkinkah hanya mirip dengan seseorang?
Laki-laki itu mendesah pasarah. "Kita beretemu di kedai bubur ayamnya Mang Ahmad. Ingat?" Dia memandang Maria penuh harap. Laki-laki itu lebih berharap kalau Maria akan mengingat sosoknya dulu.
Mari menjentikan jarinya setelah mengingat waktu pertama kali mereka bertemu. Seketika senyum lebar Maria redup begitu mengingat kejadian memalukan waktu di kedai bubur ayam Mang Ahmad. "Oh, kamu ternyata kamu-laki itu."
Laki-laki itu mengangkat sebelah alisnya karena melihat wajah malu perempuan di hadapannya. "Kamu masih malu dengan kejadian waktu itu?" Tanya disertai senyuman jahil.
Maria melotot, tangannya sibuk mengibas-ngibas untuk menyangkal pernyataan laki-laki itu. "Mana ada. Kejadian itu juga dilakukan secara tak sengaja. Kenapa harus malu?"
Laki-laki itu makin melebarkan senyumannya. Jari telunjuknya sudah ada di depan wajah Maria. "Itu pipi kamu merah. Kalau bukan karena malu, apalagi?"
"Ish, jangan gitu. Udah gak usah dibahas, yang lalu biarlah berlalu. Kamu ini, baru kenal aja udah ngeledekin orang." Sungut Maria tidak terima. Kalau laki-laki ini bukan orang yang telah menolongnya karena hampir kecelakaan, Maria tidak akan mau meladeni ucapannya.
Laki-laki itu memandang Maria lembut. Di bibirnya masih ada sisa senyuman jahil. Tak ingin membuat Maria lebih marah, laki-laki itu memutuskan untuk tidak menggoda Maria lagi. "Kenalakan, saya Arkan Adiaksa!"
Maria terdiam. Lagi-lagi nama itu terngiang begitu familiar. Namu, kenap Maria tidak juga bisa mengingatnya. Sebenarnya ada dengan ingatan Maria. Apa sekarang Maria mengidap Alzheimer, penyakit yang suka diidap para orang lanjut usia?
"Hei, kenapa melamun?" Arkan sudah melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Maria. Dia sedikit heran. Ketika gadis lain yang diajaknya kenalan selau meresponnya dengan cepat, perempuan ini malah bengong gak jelas.
Maria mengerjap begitu menyadari ada sebuah tangan yang melambai di depan wajahnya. "Hah?"
"Kenapa melamun? Saya ngajak kenalan, loh!" Arkan kini sudah memasukan kedua tangannya kedalam saku celana. Tubuhnya dia senderkan ketiang rambu lalulintas yang berada di belakangnya.
"Oh, namanya Arkan Adiaksa kan?" Maria takut salah dengar tadi. Makanya sekarang dia ingin memastikan lagi kalau pendengarannya gak salah.
Arkan mengangguk membenarkan. "Ya."
"He he, namamu terasa familiar. Makanya tadi saya agak melamun sedikit." Maria memutuskan untuk mengakui alasan tadi melamun. Seenggaknya kalau memang Arkan ini dulu pernah kenal dengan dirinya, dia akan membantu untuk memberitahunya.
"Familiar, ya." Arkan tersenyum manis. Tangannya terulur hendak mengusap kepala Maria. Sadar dengan tindakannya, buru-buru Arkan menurunkan kembali tangannya. "Gak usah banyak berpikir. Sebut saja namamu siapa!"
"Baiklah. Namaku Maria Nurindah. Salam kenal, ok!" Maria berucap dengan riang.
Arkan tertawa renyah lalu jari telunjuk dan jempolnya ia pertemukan membentuk hurup o. "Ok."
"Terima kasih karena telah menolong saya." Ucap Maria disertai senyuman tulus. Dia sangat bersyukur karena ada Arkan yang datang dengan telat waktu untuk menyelamatkannya. Dia tidak dapat membayangkan kalau Arkan telat sedetik saja.
Laki-laki itu ikut tersenyum sambil mengibaskan tangannya. "Bukan apa-apa." Arkan melihat keranjang yang Maria bawa. Dia menyimpulkan kalau Maria akan pergi kepasar atau supermarket. "Sepertinya kamu mau berbelanja, mau saya antar?".
"Tidak usah." Maria menolak. Selain karena tak ingin merepotkan Arkan, mereka juga bukan Mahram. Akan banyak gosip kalau sampai terlihat orang yang dikenalnya.
Arkan mengangguk mengerti. "Baiklah, hati-hati di jalan. Jangan sampai keserempet motor lagi!" Nasehatnya. Dia cukup menghargai keputusan Maria untuk tidak melebihi batasnya saat ini.
Maria mengangguk. Ketika berbalik, dia dikejutan dengan seorang yang tengah memandangnya sambil duduk di atas jok motor.
***
Maria sontak tersenyum lebar begitu melihat Fiko tengah menungguinya. Dengan terburu, Maria menghampiri Fiko yang tengah duduk di atas jok motornya. "Mas, udah lama di sini?" Maria bertanya penasaran. Pasalnya Maria tidak mendengar suara motor berhenti, tau-tau suaminya itu sudah menungguinya.Fiko tidak menjawab, namun matanya menyorot lurus ke arah laki-laki yang sedang menyenderkan tubuhnya di tiang rambu lalau lintas dengan tenangnya.Maria yang pertanyaannya tidak digubris sang suami, ikut menolehkan kepalanya mengikuti arah tatapan Fiko. Maria kini tau, objek tatapan Fiko adalah Arkan. "Mas, ini Arkan."Fiko mengalihkan atensinya pada Maria. Dia sedikit tidak senang ketika Maria menyebut nama laki-laki lain selain dirinya dengan nada riang begitu. Fiko cemburu, dan dia tidak suka rasa itu.Maria mencebik ketika mendapati wajah suram suaminya. "Gak usah curiga gitu, Arkan.."Fiko langsung menyimpan jari telunjuknya di depan b
Begitu Fiko memberhentikan motornya di depan rumah. Maria langsung turun dan berlari masuk tanpa menunggu Fiko. Fiko yang ditinggalkan hanya bisa menghela napas lelah. Kenapa Maria tidak mengerti juga? Fiko melakukan semua ini untuknya juga. Fiko tau Maria juga sudah menginginkan anak. Harusnya Maria mengerti, dengan adanya Sela hamil berarti dia ikut dipanggil Ibu juga.Selama ini memang dia dan Maria tak pernah memeriksakan kondisi kesehatannya karena Fiko yakin dirinya tidak mengalami kesusahan dalam kesuburannya. Satu-satunya alasan yang terpikirkan olehnya adalah Maria. Fiko jelas tau di keluarganya tidak ada yang mandul, sedangkan Maria yang asal usulnya tidak jelas sudah cukup menjadi bukti kalau kemungkinan besar di keluarganya ada yang mandul. Kadi, untuk apa mereka memeriksakan kesuburannya kalau Fiko jelas sudah tau yang mandul di sini adalah Maria. Sadar tidak sadar, perlakuan Fiko selama ini semata karena ketidak puasannya terhadap Maria.Fiko membuk
Lelah menangis, Maria keluar rumah untuk mengisi perutnya yang sudah melilit perih. Maria memang mempunyai penyakit mag yang telat makan sebentar saja sudah kambuh. Apa lagi sekarang dia telat makan sudah berjam-jam lamanya. Dia merutuki dirinya sendiri karena lalai dalam menjaga kesehatannya. Setelah memeriksa seluruh ruangan yang terdiri dari ruang tamu, dapur, kamar Fiko dan Sela, kamar Marni yang kini juga ia tempati, terakhir kamar mandi. Maria tidak menemukan siapa-siapa. Kenapa mereka belum pulang juga, ini sudah hampir tengah hari? Apa mereka pergi lagi setelah acara makan? Tanpa di cegah, air mata Maria mengalir lagi, namun buru-buru Maria hapus. Maria mengambil es batu dari kulkas untuk mengompres mata bengkaknya. Setelah di rasa matanya agak lumayan, Maria pergi keluar rumah untuk mencari makan sekaligus obat mag. Karena perutnya yang dari pagi tidak terisi papaun, di tengah jalan Maria berkaali-kali oleng ha
Maria tengah di periksa oleh Dokter perempuan begitu Arkan kembali ke ruangannya. Maria melambaikan tangannya sebagai bentuk sapaan yang dibalas lambaian tangan juga oleh Arkan. "Gimana ke adaannya Dokter Ema?" Arkan langsung bertanya begitu Dokter Ema selesai memeriksa ke adaan Maria. Dokter Ema menurunkan stetoskop dan melepas alat pengukur tekanan darah di lengan Maria. Setelah melepas masker yang menutupi sebagian wajahnya, barulah Dikter berusia ahir 40-an itu angkat suara. "Alhamdulillah. Keadaan bu Maria kini sudah membaik." Dokter Ema berjalan ke arah mejanya dan menuliskan beberapa resep lalu menyerahkannya pada Arkan. "Jangan lupa berikan tiga kali sehari pada masing-masing lembar! Obatnya bisa di tebus di apotek." Arkan menerima lertas berisi resep obat Maria. "Terima kasih Dokter Ema. Kalau begitu kami permisi." Dokter Ema mengangguk mempersilahkan Arkan untuk membawa Maria keluar. Arkan menghampiri Maria dan berniat membantu
Arkan tertawa bangga karena bisa membungkam mulut Maria yang menuduhnya macam-macam. Lagian, mana ada tampang paras rupawan seperti dirinya yang tega menuduhnya pencuri kecuali Maria. Kalau tidak mengingat siapa Maria, Arkan sudah menyeretnya ke kantor polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik. Maria memutar bola matanya malas saat mendengar tawa Arkan yang begitu lepas karena berhasil membuatnya kicep. Memang, dari penampilnya Arkan bukan termasuk orang biasa, pakaian necis dan mahal, mobil mewah Mercedes Benz, Dan jangan lupakan wajah yang tampan di dukung tubuh atletisnya. Maria sebel sendiri jadinya. "Masuk, gih!" Arkan mengedikan dagunya ke arah rumah Maria. "Istirahat yang banyak dan jangan kecapean." "Lagamu sudah seperti kakak beneran." Maria mencibir. Namun, tak urung Maria membuka pagar. "Maria." Arkan memanggil saat Maria sudah menutup kembali pagar. "Apa?" "Kamu bertahan sampai sejauh ini sampai rela ters
Sesampainya di Kantor Polisi Maria langsung meminta pihak Polisi untuk mengantarnya bertemu dengan Fiko dan yang lainnya.Polisi mengantar Maria di mana Fiko, Marni, dan Sela tengah meringkuk di dalam sel jeruji besi. Maria memandang mereka bergantian, tatapannya jatuh pada tangan Sela yang tengah di pegang erat sambil dielus pelan oleh tangan Fiko.Sela yang sudah menyadari Maria tengah berdiri memperhatikan kegiatannya dan Fiko menyeringai sinis. Tatapan puas dia layangkan pada Maria yang tengah mengepalkan tangannya kuat."Akhirnya kamu datang juga. Lama banget, sih." Marni yang baru saja menyadari ada Maria langsung membentaknya karena begitu membutuhkan waktu lama untuk menyusulnya ke sini.Maria melirik Marni yang terduduk di kursi roda depan Fiko dan Sela yang terduduk di atas tikar tipis. Maria tidak membalas ucapan Marni melainkan langsung kembali untuk meminta penjelasan pada Polisi membuat Marni mencebikan bibirnya kesal."Lihat tu
Pagi ini suasanarumah begitu ricuh. Fiko yang uring-uringan karena kesiangan berangkat kerja, Marni yang misuh-misuh karena lapar dan tidak ada makanan sedikitpun di atas meja, terakhir Sela yang terus-terusan kena teguran Fiko karena tidak becus menyiapkan segala perlengkapannya dari mulai baju, celana, dan segala sesuatu yang dia pakai untuk kerja. "Kamu ini gimana sih, udah hampir dua bulan jadi istri Mas. Kok masih keteteran gini nyiapin segala keperluan Mas untuk kerja." Fiko mengerang frustasi karena Sela belum menemukan juga baju dinasnya. Fiko saat ini masih menggunakan celana bahan dan dalaman baju saja, Sedangakan waktu kerjanya sudah telat setengah jam yang. Sela yang tengah mengacak-ngacak lemari pakaian sontak mendelik ke arah Fiko. "Loh, kok Mas malah nyalahin aku. Harusnya Mas dong yang tidak naruh sembarangan bajunya, kalau begini siapa juga yang susah." "Kok gitu, selama ini Mas sudah bekerja untuk membiyayai kalian, masa baju jug
Fiko menelan saliva susah payah. Dia melupakan satu hal, tentang kamar itu. Dulu, Fiko sebenarnya hanya mencari alasan untuk membujuk Maria agar mau pindah. "Itu... nanti kamu bisa pakai kamar itu lagi." Fiko menjawab tidak yakin. Dia melirik Sela yang saat ini memandangnya tak percaya. "Loh, kok gitu Mas. Bukannya kamar itu sudah menjadi miliku?" Napas Sela memburu karena kesal merasa sudah dibohongi. Maria menyipitkan mata, tapi tetap diam menunggu balasan Fiko pada Sela. Fiko menggosok lehernya canggung, bingung dengan apa yang harus ia ucapkan agar tidak menyinggung kedua istrnya. Melihat kebingungan Fiko, Maria tersenyum sinis. "Bingungkan kamu. Sok-sokan punya istri dua, ngasih tempat tinggal aja belum mampuh. Kamu kira wanita itu apa, hanya pemuas nafsumu atau pemberi keturunan. Memangnya tidak dosa apa kalau mempersatukan wanita yang dipoligami dalam satu atap? Ingat Mas, kelakuanmu ini bisa me