Share

Bab 6. Kenyataan tentang Ibu Maria

Selama Maria sakit, Maria tetap menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Membereskan rumah, memasak, berbelanja ke pasar, dan aktivitas lainnya seperti dalam keadaan sehat. 

Maria bukan memaksakan diri. Setiap Maria ingin merebahkan tubuhnya untuk istirahat, Marni selalu menyuruhnya ini itu walaupun Marni bisa menyuruh Sela yang ada di sampingnya.

Dan kali ini pun sama. Ketika Maria baru duduk di kursi makan untuk meredakan rasa sakit yang mendera kepalanya, Marni datang menyuruhnya membuat jus belimbing. Jus yang sering Marni minum dengan rutin agar darah tingginya berkurang.

Maria membuka kulkas dan mengambil belimbing yang selalu tersedia di tempat penyimpanan. Memotong-motongnya jadi bagian agak kecil lalu memblendernya. Setelah selesai, Maria mengantarkannya pada Marni yang tengah bercanda dengan Sela.

"Ini bu, jusnya." Maria meletakan jus itu di atas meja dekat Marni. Maria yang melihat Marni begitu lepas saat berbicara dan bercanda ria dengan Sela diam-diam merasa iri. Dari kecil Maria sudah ditinggalkan sang Ibu, bahkan hanya sekedar mengetahui wajahnya saja Maria tidak pernah tau. Maria begitu mendambakan pelukan sayang yang menghangatkan dari sosok Ibu. Ketika dulu dia menikah dengan Fiko, memang Marni memperlakukannya dengan baik. Tapi, entah kenapa selepas enam bulan pernikahannya sikap Marni pada dirinya langsung berubah. Dari saat itu, jangankan untuk  tersenyum, sekedar menyapa dengan baik saja Marni tak pernah.

Marni yang merasa ditatap lekat oleh Maria sontak menghentikan pembicaraannya bersama Sela. Marni melirik Maria sengit. "Ngapain kamu melihat saya begitu? Kamu lagi nyusun rencana untuk nyelakain saya lagi." 

Maria tersentak karena tak sadar dari tadi dia tengah berdiam diri sambil memperhatikan Marni. "Tidak bu!" Maria menggeleng membantah. "Saya tidak pernah sekalipun berniat untuk mencelakai ibu. Kenapa ibu selalu menuduhku begitu?" 

"Karena kenyataannya, memang wajahmu selalu terlihat menunjukan niat jahat begitu memandangku!" Marni berucap ketus. Tak betah dia berlama-lama memandang wajah kesakitan Maria akibat ucapannya. Sejujurnya Marni memang sengaja mengatakan hal-hal menyakitkan agar wanita yang dibencinya itu menyingkir dengan sendirinya.

Sekuat tenaga Maria menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata. Bukannya tidak pernah, Maria selalu menanyakan pada Marni alasan kenapa begitu membencinya. Tapi, sampai sekarang Marni hanya bungkam. "Mau sampai kapan ibu memandangku seperti itu?"

Marni menggeser roda kursinya agar bisa mengarah pada Maria sepenuhnya. Marni mendongak agar bisa melihat wajah Maria yang tengah berdiri "Dengar! Sampai kapanpun kebencian saya pada kamu tidak akan berkurang apalagi berhenti. Sampai saya mati sekalipun, kebencian itu akan saya bawa." 

Air mata yang Maria tahan akhirnya luruh juga. Sebegitu mendalam kah rasa benci ibu mertuanya itu. "Apa ibu tidak merasa bahwa kebencian itu tidak mendasar?" Maria berucap serak. "Hanya karena Ibu aku mungkin adalah orang yang pernah menyakiti ibu di masa lampau, lalu ibu melampiaskannya padaku. Apakah menurut ibu, itu adil untuku?"

"DIAAAM!" Marni berteriak murka. "Kamu mau tau Ibumu itu orang yang seperti apa?" Marni berucap pelan.

Maria diam mendengarkan. Sesungguhnya dia begitu penasaran pada sosok ibu yang meretakan hubungan baik dirinya dan ibu mertuanya walau tak pernah Maria ingat pernah hadir atau tidak dalam hidupnya. Dia tidak akan membenci sosok Ibu yang melahirkannya itu sebelum mengetahui kebenaran yang sebenarnya. Begitu banyak teka-teki tentang Ibu kandungnya sampai membuat Maria bingung sendiri harus bagaimana menyikapinya. 

"Ibumu itu seorang pelacur rendahan dan tidak tau diri." Marni menyeringai puas begitu mendapati wajah shock Maria. Marni tau Maria kini tengah menolak informasi yang dia keluarkan. Tapi, jangan salahkan Marni kalau pada akhirnya Maria akan membenci setengah mati pada sosok yang selalu diharapkannya itu. "Dan, Ibumu itu yang membuat kondisiku memburuk dari hari keharinya. Dia yang membuatku menderita sesakit-sakitnya. Dia yang menghancurkan kehidupannku. Ibumu itu wanita serakah yang rela menukar penderitaan orang-orang di sekitarnya hanya untuk dijadikan kebahagiaannya sendiri."

Maria linglung. Berkali-kali dia hampir terjatuh karena keseimbangan tubuhnya tak menententu. Maria menyangkal tuduhan Marni dengan menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin Ibunya orang seperti itu. "Ibu bohong, kan?" Maria berucap serak.

"Kenapa saya harus berbohong." Marni melengos membuang wajah. "Sekarang kamu tau kenapa saya begitu membencimu. Itu karena perbuatan ibumu sendiri."

Maria terduduk karena kedua kakinya sudah tidak bisa lagi menyangga tubuh. Tubuhnya lemas, pusing di kepalanya bertambah. Berkali-kali Maria menggelengkan kepala berharap kesadarannya tetap terjaga. Tapi, harapannya tidak membuahkan hasil. Maria limbung ke samping dan menghantam lantai.

Marni tersentak ketika mendengar suara jatuh. Dia membelalakan matanya begitu menoleh ke samping, Maria sudah terbaring tak sadarkan diri. 

Sela yang dari tadi hanya diam mendenarkan sontak berdiri begitu menyadari Maria pingsan. Sela melangkah mendekati Maria dan mengecek keadaannya. "Dia pingsan, bu!" Ceritanya sambil mendongak ke arah Marni yang duduk di atas kursi roda.

Raut terkejut Marni berubah dalam sekejap menjadi acuh tak acuh. "Biarkan saja dia!"

Sebenarnya Sela sependapat dengan Marni, namun dia bingung nanti menjelaskan pada Fiko kalau Maria mengadu tentang sakitnya dan dirinya bersama Marni malah memperlakukan Maria tidak baik. Ya, setidaknya jangan ada aduan tentang dirinya yang sengaja membiarkan Maria pingsan begitu saja dan tergeletak mengenaskan di atas lantai yang dingin. Oh, dia tidak akan membiarkan citra baik, sopan, dan penyayangnya rusak begitu saja hanya karena insiden penuh drama ini. Sela masih menyayangi statusnya, tentu saja.

"Ibu, kasihan Maria kalau dibiarkan tergeletak di lantai begitu saja. Kalau Fiko mengetahuinya bagaimana?" Sela berucap lembut guna menyentuh ibu mertuanya yang angkuh dan sombong. "Maria pasti mengadukannya pada Fiko." 

Marni yang tadinya mau membiarkan Maria tetap di lantaipun terpaksa menyetujui pendapat Sela. Dia sendiripun menyadari konsekuensi dari perbuatannya bila tetap egois hanya akan membuat anak semata wayang yang begitu dikasihinya itu marah. "Ya sudah, tolong angkatin  dia dan pindahkan ke sopa itu saja!" Marni menunjuk sopa panjang yang terletak di samping tempat duduk Sela tadi.

Dalam hati Sela mendengus kesal dan menyumpah serapahi wanita cacat yang sayangnya harus menjadi ibu mertuanya itu. Dengan terpaksa Sela memapah Maria dan membaringkannya di atas sopa. 

Sela menghembuskan napas lelah begitu selesai memindahkan Maria. Dia memandang datar Maria yang terbaring tak sdarkan diri, lalu matamya bergulir ke arah Marni. Sela menyeringai licik ketika rencananya akan segera tercapai. 

"Ibu." Sela memanggil lembut sang mertua. Dia melangkah mendekati Marni dan mendudukan dirinya di kursi yang bersebelahan dengan kursi roda Marni. "Ibu jangan sedih! Kalau ibu butuh tempat bercerita, aku siap mendengarkannya."

Marni yang tengah melamun kini melihat penuh ke arah Sela. Melihat pancaran keseriusan di mata menantunya itu, seketika hati Marni tergerak untuk mencurahkan isi hatinya yang selama ini ia pendam sendiri. Marni mengangguk dan tersenyum manis pada Sela.

***

Jangan lupa tinggalkan jejak untuk mendukung ai. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status