Selama Maria sakit, Maria tetap menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Membereskan rumah, memasak, berbelanja ke pasar, dan aktivitas lainnya seperti dalam keadaan sehat.
Maria bukan memaksakan diri. Setiap Maria ingin merebahkan tubuhnya untuk istirahat, Marni selalu menyuruhnya ini itu walaupun Marni bisa menyuruh Sela yang ada di sampingnya.
Dan kali ini pun sama. Ketika Maria baru duduk di kursi makan untuk meredakan rasa sakit yang mendera kepalanya, Marni datang menyuruhnya membuat jus belimbing. Jus yang sering Marni minum dengan rutin agar darah tingginya berkurang.
Maria membuka kulkas dan mengambil belimbing yang selalu tersedia di tempat penyimpanan. Memotong-motongnya jadi bagian agak kecil lalu memblendernya. Setelah selesai, Maria mengantarkannya pada Marni yang tengah bercanda dengan Sela.
"Ini bu, jusnya." Maria meletakan jus itu di atas meja dekat Marni. Maria yang melihat Marni begitu lepas saat berbicara dan bercanda ria dengan Sela diam-diam merasa iri. Dari kecil Maria sudah ditinggalkan sang Ibu, bahkan hanya sekedar mengetahui wajahnya saja Maria tidak pernah tau. Maria begitu mendambakan pelukan sayang yang menghangatkan dari sosok Ibu. Ketika dulu dia menikah dengan Fiko, memang Marni memperlakukannya dengan baik. Tapi, entah kenapa selepas enam bulan pernikahannya sikap Marni pada dirinya langsung berubah. Dari saat itu, jangankan untuk tersenyum, sekedar menyapa dengan baik saja Marni tak pernah.
Marni yang merasa ditatap lekat oleh Maria sontak menghentikan pembicaraannya bersama Sela. Marni melirik Maria sengit. "Ngapain kamu melihat saya begitu? Kamu lagi nyusun rencana untuk nyelakain saya lagi."
Maria tersentak karena tak sadar dari tadi dia tengah berdiam diri sambil memperhatikan Marni. "Tidak bu!" Maria menggeleng membantah. "Saya tidak pernah sekalipun berniat untuk mencelakai ibu. Kenapa ibu selalu menuduhku begitu?"
"Karena kenyataannya, memang wajahmu selalu terlihat menunjukan niat jahat begitu memandangku!" Marni berucap ketus. Tak betah dia berlama-lama memandang wajah kesakitan Maria akibat ucapannya. Sejujurnya Marni memang sengaja mengatakan hal-hal menyakitkan agar wanita yang dibencinya itu menyingkir dengan sendirinya.
Sekuat tenaga Maria menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata. Bukannya tidak pernah, Maria selalu menanyakan pada Marni alasan kenapa begitu membencinya. Tapi, sampai sekarang Marni hanya bungkam. "Mau sampai kapan ibu memandangku seperti itu?"
Marni menggeser roda kursinya agar bisa mengarah pada Maria sepenuhnya. Marni mendongak agar bisa melihat wajah Maria yang tengah berdiri "Dengar! Sampai kapanpun kebencian saya pada kamu tidak akan berkurang apalagi berhenti. Sampai saya mati sekalipun, kebencian itu akan saya bawa."
Air mata yang Maria tahan akhirnya luruh juga. Sebegitu mendalam kah rasa benci ibu mertuanya itu. "Apa ibu tidak merasa bahwa kebencian itu tidak mendasar?" Maria berucap serak. "Hanya karena Ibu aku mungkin adalah orang yang pernah menyakiti ibu di masa lampau, lalu ibu melampiaskannya padaku. Apakah menurut ibu, itu adil untuku?"
"DIAAAM!" Marni berteriak murka. "Kamu mau tau Ibumu itu orang yang seperti apa?" Marni berucap pelan.
Maria diam mendengarkan. Sesungguhnya dia begitu penasaran pada sosok ibu yang meretakan hubungan baik dirinya dan ibu mertuanya walau tak pernah Maria ingat pernah hadir atau tidak dalam hidupnya. Dia tidak akan membenci sosok Ibu yang melahirkannya itu sebelum mengetahui kebenaran yang sebenarnya. Begitu banyak teka-teki tentang Ibu kandungnya sampai membuat Maria bingung sendiri harus bagaimana menyikapinya.
"Ibumu itu seorang pelacur rendahan dan tidak tau diri." Marni menyeringai puas begitu mendapati wajah shock Maria. Marni tau Maria kini tengah menolak informasi yang dia keluarkan. Tapi, jangan salahkan Marni kalau pada akhirnya Maria akan membenci setengah mati pada sosok yang selalu diharapkannya itu. "Dan, Ibumu itu yang membuat kondisiku memburuk dari hari keharinya. Dia yang membuatku menderita sesakit-sakitnya. Dia yang menghancurkan kehidupannku. Ibumu itu wanita serakah yang rela menukar penderitaan orang-orang di sekitarnya hanya untuk dijadikan kebahagiaannya sendiri."
Maria linglung. Berkali-kali dia hampir terjatuh karena keseimbangan tubuhnya tak menententu. Maria menyangkal tuduhan Marni dengan menggelengkan kepalanya. Tidak mungkin Ibunya orang seperti itu. "Ibu bohong, kan?" Maria berucap serak.
"Kenapa saya harus berbohong." Marni melengos membuang wajah. "Sekarang kamu tau kenapa saya begitu membencimu. Itu karena perbuatan ibumu sendiri."
Maria terduduk karena kedua kakinya sudah tidak bisa lagi menyangga tubuh. Tubuhnya lemas, pusing di kepalanya bertambah. Berkali-kali Maria menggelengkan kepala berharap kesadarannya tetap terjaga. Tapi, harapannya tidak membuahkan hasil. Maria limbung ke samping dan menghantam lantai.
Marni tersentak ketika mendengar suara jatuh. Dia membelalakan matanya begitu menoleh ke samping, Maria sudah terbaring tak sadarkan diri.
Sela yang dari tadi hanya diam mendenarkan sontak berdiri begitu menyadari Maria pingsan. Sela melangkah mendekati Maria dan mengecek keadaannya. "Dia pingsan, bu!" Ceritanya sambil mendongak ke arah Marni yang duduk di atas kursi roda.
Raut terkejut Marni berubah dalam sekejap menjadi acuh tak acuh. "Biarkan saja dia!"
Sebenarnya Sela sependapat dengan Marni, namun dia bingung nanti menjelaskan pada Fiko kalau Maria mengadu tentang sakitnya dan dirinya bersama Marni malah memperlakukan Maria tidak baik. Ya, setidaknya jangan ada aduan tentang dirinya yang sengaja membiarkan Maria pingsan begitu saja dan tergeletak mengenaskan di atas lantai yang dingin. Oh, dia tidak akan membiarkan citra baik, sopan, dan penyayangnya rusak begitu saja hanya karena insiden penuh drama ini. Sela masih menyayangi statusnya, tentu saja.
"Ibu, kasihan Maria kalau dibiarkan tergeletak di lantai begitu saja. Kalau Fiko mengetahuinya bagaimana?" Sela berucap lembut guna menyentuh ibu mertuanya yang angkuh dan sombong. "Maria pasti mengadukannya pada Fiko."
Marni yang tadinya mau membiarkan Maria tetap di lantaipun terpaksa menyetujui pendapat Sela. Dia sendiripun menyadari konsekuensi dari perbuatannya bila tetap egois hanya akan membuat anak semata wayang yang begitu dikasihinya itu marah. "Ya sudah, tolong angkatin dia dan pindahkan ke sopa itu saja!" Marni menunjuk sopa panjang yang terletak di samping tempat duduk Sela tadi.
Dalam hati Sela mendengus kesal dan menyumpah serapahi wanita cacat yang sayangnya harus menjadi ibu mertuanya itu. Dengan terpaksa Sela memapah Maria dan membaringkannya di atas sopa.
Sela menghembuskan napas lelah begitu selesai memindahkan Maria. Dia memandang datar Maria yang terbaring tak sdarkan diri, lalu matamya bergulir ke arah Marni. Sela menyeringai licik ketika rencananya akan segera tercapai.
"Ibu." Sela memanggil lembut sang mertua. Dia melangkah mendekati Marni dan mendudukan dirinya di kursi yang bersebelahan dengan kursi roda Marni. "Ibu jangan sedih! Kalau ibu butuh tempat bercerita, aku siap mendengarkannya."
Marni yang tengah melamun kini melihat penuh ke arah Sela. Melihat pancaran keseriusan di mata menantunya itu, seketika hati Marni tergerak untuk mencurahkan isi hatinya yang selama ini ia pendam sendiri. Marni mengangguk dan tersenyum manis pada Sela.
***
Jangan lupa tinggalkan jejak untuk mendukung ai.
***
Sudah seminggu lewat setelah insiden di mana Maria jatuh pingsan. Kini kondisinya sudah jauh lebih membaik. Hanya lemas dan sesekali batuk saja yang masih terasa. Selepas shalat subuh, Maria bergegas membereskan rumah sampai pagi menjelang. Karena bahan makanan di kulkas habis, Maria memutuskan untuk belanja sayuran dan bahan lainnya ke pasar. Setelah siap dengan bawannya, Maria keluar rumah.Sesampainya di sisi jalan, Maria tidak menemukan angkot yang bisanya nagkring di sini. Maria menghela napas pasrah karena terpaksa harus berjalan kaki untuk ke pasar.Di tengah perjalanan ketika Maria hendak menyebrang, seorang pengendara motor melaju kencang dan tak sadar ada orang yang lewat. Maria yang saat ini melihat sepeda motor melaju kearahnya hanya bisa terpaku di tempat karena shock. Ketika motor itu hampir menabraknya, seseorang dari arah belakang memegang tangannya lalu menarik hingga mereka terguling bersama.Pengendara m
Maria sontak tersenyum lebar begitu melihat Fiko tengah menungguinya. Dengan terburu, Maria menghampiri Fiko yang tengah duduk di atas jok motornya. "Mas, udah lama di sini?" Maria bertanya penasaran. Pasalnya Maria tidak mendengar suara motor berhenti, tau-tau suaminya itu sudah menungguinya.Fiko tidak menjawab, namun matanya menyorot lurus ke arah laki-laki yang sedang menyenderkan tubuhnya di tiang rambu lalau lintas dengan tenangnya.Maria yang pertanyaannya tidak digubris sang suami, ikut menolehkan kepalanya mengikuti arah tatapan Fiko. Maria kini tau, objek tatapan Fiko adalah Arkan. "Mas, ini Arkan."Fiko mengalihkan atensinya pada Maria. Dia sedikit tidak senang ketika Maria menyebut nama laki-laki lain selain dirinya dengan nada riang begitu. Fiko cemburu, dan dia tidak suka rasa itu.Maria mencebik ketika mendapati wajah suram suaminya. "Gak usah curiga gitu, Arkan.."Fiko langsung menyimpan jari telunjuknya di depan b
Begitu Fiko memberhentikan motornya di depan rumah. Maria langsung turun dan berlari masuk tanpa menunggu Fiko. Fiko yang ditinggalkan hanya bisa menghela napas lelah. Kenapa Maria tidak mengerti juga? Fiko melakukan semua ini untuknya juga. Fiko tau Maria juga sudah menginginkan anak. Harusnya Maria mengerti, dengan adanya Sela hamil berarti dia ikut dipanggil Ibu juga.Selama ini memang dia dan Maria tak pernah memeriksakan kondisi kesehatannya karena Fiko yakin dirinya tidak mengalami kesusahan dalam kesuburannya. Satu-satunya alasan yang terpikirkan olehnya adalah Maria. Fiko jelas tau di keluarganya tidak ada yang mandul, sedangkan Maria yang asal usulnya tidak jelas sudah cukup menjadi bukti kalau kemungkinan besar di keluarganya ada yang mandul. Kadi, untuk apa mereka memeriksakan kesuburannya kalau Fiko jelas sudah tau yang mandul di sini adalah Maria. Sadar tidak sadar, perlakuan Fiko selama ini semata karena ketidak puasannya terhadap Maria.Fiko membuk
Lelah menangis, Maria keluar rumah untuk mengisi perutnya yang sudah melilit perih. Maria memang mempunyai penyakit mag yang telat makan sebentar saja sudah kambuh. Apa lagi sekarang dia telat makan sudah berjam-jam lamanya. Dia merutuki dirinya sendiri karena lalai dalam menjaga kesehatannya. Setelah memeriksa seluruh ruangan yang terdiri dari ruang tamu, dapur, kamar Fiko dan Sela, kamar Marni yang kini juga ia tempati, terakhir kamar mandi. Maria tidak menemukan siapa-siapa. Kenapa mereka belum pulang juga, ini sudah hampir tengah hari? Apa mereka pergi lagi setelah acara makan? Tanpa di cegah, air mata Maria mengalir lagi, namun buru-buru Maria hapus. Maria mengambil es batu dari kulkas untuk mengompres mata bengkaknya. Setelah di rasa matanya agak lumayan, Maria pergi keluar rumah untuk mencari makan sekaligus obat mag. Karena perutnya yang dari pagi tidak terisi papaun, di tengah jalan Maria berkaali-kali oleng ha
Maria tengah di periksa oleh Dokter perempuan begitu Arkan kembali ke ruangannya. Maria melambaikan tangannya sebagai bentuk sapaan yang dibalas lambaian tangan juga oleh Arkan. "Gimana ke adaannya Dokter Ema?" Arkan langsung bertanya begitu Dokter Ema selesai memeriksa ke adaan Maria. Dokter Ema menurunkan stetoskop dan melepas alat pengukur tekanan darah di lengan Maria. Setelah melepas masker yang menutupi sebagian wajahnya, barulah Dikter berusia ahir 40-an itu angkat suara. "Alhamdulillah. Keadaan bu Maria kini sudah membaik." Dokter Ema berjalan ke arah mejanya dan menuliskan beberapa resep lalu menyerahkannya pada Arkan. "Jangan lupa berikan tiga kali sehari pada masing-masing lembar! Obatnya bisa di tebus di apotek." Arkan menerima lertas berisi resep obat Maria. "Terima kasih Dokter Ema. Kalau begitu kami permisi." Dokter Ema mengangguk mempersilahkan Arkan untuk membawa Maria keluar. Arkan menghampiri Maria dan berniat membantu
Arkan tertawa bangga karena bisa membungkam mulut Maria yang menuduhnya macam-macam. Lagian, mana ada tampang paras rupawan seperti dirinya yang tega menuduhnya pencuri kecuali Maria. Kalau tidak mengingat siapa Maria, Arkan sudah menyeretnya ke kantor polisi dengan tuduhan pencemaran nama baik. Maria memutar bola matanya malas saat mendengar tawa Arkan yang begitu lepas karena berhasil membuatnya kicep. Memang, dari penampilnya Arkan bukan termasuk orang biasa, pakaian necis dan mahal, mobil mewah Mercedes Benz, Dan jangan lupakan wajah yang tampan di dukung tubuh atletisnya. Maria sebel sendiri jadinya. "Masuk, gih!" Arkan mengedikan dagunya ke arah rumah Maria. "Istirahat yang banyak dan jangan kecapean." "Lagamu sudah seperti kakak beneran." Maria mencibir. Namun, tak urung Maria membuka pagar. "Maria." Arkan memanggil saat Maria sudah menutup kembali pagar. "Apa?" "Kamu bertahan sampai sejauh ini sampai rela ters
Sesampainya di Kantor Polisi Maria langsung meminta pihak Polisi untuk mengantarnya bertemu dengan Fiko dan yang lainnya.Polisi mengantar Maria di mana Fiko, Marni, dan Sela tengah meringkuk di dalam sel jeruji besi. Maria memandang mereka bergantian, tatapannya jatuh pada tangan Sela yang tengah di pegang erat sambil dielus pelan oleh tangan Fiko.Sela yang sudah menyadari Maria tengah berdiri memperhatikan kegiatannya dan Fiko menyeringai sinis. Tatapan puas dia layangkan pada Maria yang tengah mengepalkan tangannya kuat."Akhirnya kamu datang juga. Lama banget, sih." Marni yang baru saja menyadari ada Maria langsung membentaknya karena begitu membutuhkan waktu lama untuk menyusulnya ke sini.Maria melirik Marni yang terduduk di kursi roda depan Fiko dan Sela yang terduduk di atas tikar tipis. Maria tidak membalas ucapan Marni melainkan langsung kembali untuk meminta penjelasan pada Polisi membuat Marni mencebikan bibirnya kesal."Lihat tu
Pagi ini suasanarumah begitu ricuh. Fiko yang uring-uringan karena kesiangan berangkat kerja, Marni yang misuh-misuh karena lapar dan tidak ada makanan sedikitpun di atas meja, terakhir Sela yang terus-terusan kena teguran Fiko karena tidak becus menyiapkan segala perlengkapannya dari mulai baju, celana, dan segala sesuatu yang dia pakai untuk kerja. "Kamu ini gimana sih, udah hampir dua bulan jadi istri Mas. Kok masih keteteran gini nyiapin segala keperluan Mas untuk kerja." Fiko mengerang frustasi karena Sela belum menemukan juga baju dinasnya. Fiko saat ini masih menggunakan celana bahan dan dalaman baju saja, Sedangakan waktu kerjanya sudah telat setengah jam yang. Sela yang tengah mengacak-ngacak lemari pakaian sontak mendelik ke arah Fiko. "Loh, kok Mas malah nyalahin aku. Harusnya Mas dong yang tidak naruh sembarangan bajunya, kalau begini siapa juga yang susah." "Kok gitu, selama ini Mas sudah bekerja untuk membiyayai kalian, masa baju jug