Di ruang keluarga Keluarga Alba, Rosella melihat ada enam orang anak laki-laki bersama seorang wanita dewasa, berambut pendek abu-abu dan cantik. Wanita itu merupakan asistennya Rex—wanita yang bertemu dengan Rosella saat ia menyelamatkan Jiro, dan dalam perjalanan untuk wawancara di rumah Keluarga Alba. Nama wanita itu Rhea.
"Rhea...." panggil Wendy saat melihat Rhea sedang duduk di antara enam orang anak laki-laki. Yang dipanggil lantas menoleh ke arahnya cepat, bangkit dari duduknya, dan ia lalu mengalihkan pandangannya pada Rosella yang berdiri di sampingnya. "Kenalkan...." Wendy menatap Rosella yang berdiri di sampingnya. "Ini Rosella—Tutor dan Pengasuh tinggal baru di rumah ini," terang Wendy pada asistennya Rex itu. Ia lalu menatap Rhea kembali. Rhea mengangguk mengerti. "Halo, Rosella. Aku Rhea—asisten Tuan Rex," terang Rhea, menyapa Rosella. Yang disapa mengangguk dan memperkenalkan dirinya. "Anak-anak tampan...." Rhea menatap keenam anak laki-laki yang tengah sambil bermain game, membaca komik dan menonton TV, silih berganti. "Ayo beri salam. Ini Guru Rosella, Tutor dan Pengasuh baru kalian," jelasnya. Meski Rhea sudah berbicara dengan lembut, tetap saja tidak ada satu pun anak yang mengikuti perintahnya. Keenam bocah laki-laki tersebut malah sibuk dengan apa yang mereka lakukan saat itu. Karena itulah, Wendy dan Rhea menghela napas panjang yang terasa berat serentak. Kedua wanita cantik ini seperti sedang menahan emosi kesal yang bergejolak dalam benak mereka saat melihat anak-anak di hadapan mereka sulit diatur. Untungnya, Rosella yang sangat menyukai anak-anak dengan segala baik dan buruknya mereka dapat memaklumi hal itu. Jadi, ia dengan wajah ceria memberi salam dan menyapa anak-anak asuhnya lebih dulu. "Hai, anak-anak. Senang bertemu kalian," kata Rosella. Mendengar Rosella memberi salam dan menyapa, keenam anak laki-laki tampan itu seketika menghentikan kegiatan mereka, dan kemudian menatap Tutor sekaligus Pengasuh baru mereka tersebut, tajam. "Oh... Jadi, kau Penyihir baru rumah ini?!" ujar anak kembar Wendy yang sebelumnya sedang bermain game di ponselnya, sinis. Ya, alih-alih membalas salam Rosella ramah, Riyu justru mengolok wanita cantik di hadapannya itu sebagai Penyihir baru di kediaman Alba. "Seleranya buruk sekali!" Riku—adik kembar Riyu, menimpali. Nadanya terdengar sangat ketus. Kendati begitu, Rosella tidak merasa kesal. Wanita itu justru tertawa usai mendengar komentar Riku tentang dirinya. "Benarkah begitu? Baiklah... Setelah ini Aku akan mulai memperbaiki gayaku," ungkap wanita ini pada Riku, lembut. Tapi yang diajak bicara terlihat tak peduli dengan penuturannya saat itu. Sementara, Wendy dan Rhea yang terkejut hingga merasa tak enak hati atas sikap Riyu dan Riku kepada Rosella hanya bisa diam sambil melotot tajam ke arah dua bocah laki-laki kembar yang duduk bersebelahan itu. Namun cara Wendy dan Rhea saat menegur Riyu dan Riku tidak berpengaruh untuk mereka. Dengan santai dan tanpa merasa bersalah, keduanya kembali bermain game di ponsel masing-masing. "Aku tak yakin jika dia seorang Tutor profesional," cetus anak kembar Rex—Jovan, dingin. "Haruskah kita memeriksa Penyihir baru ini?" Anak sulung Wendy—Mark, menatap Jovan, Riyu, Riku, Chio dan Jiro silih berganti. "Ya, tentu saja, Kak," balas Jovan, Riyu juga Riku, dan Chio cepat dan serentak. "Kita harus pastikan kalau Ayahku tidak salah pilih orang untuk menjadi Tutor dan Pengasuh tinggal keluarga kita," terang Jovan sinis. "Hey, Penyihir!" Mark memanggil Rosella tegas. "Apa benar kau datang kemari untuk menjadi Tutor dan Pengasuh tinggal untuk kami?" tanyanya sementara mata bocah ini menatap Rosella di hadapannya, nyalang. Tatapan nyalang Mark kepada Rosella itu ternyata tak lantas membuat wanita 40an itu merasa terintimidasi. Ia bahkan membalas tatapan nyalang milik Mark dengan matanya yang tersenyum. "Kau tahu, aku sudah datang sejauh ini. Jadi, tentu saja iya!" jawab Rosella lugas. Pernyataan Rosella itu membuat Mark dan ketiga adiknya tersenyum miring sementara Jovan, putra kembar Rex, berdecih. Kelima bocah itu jelas sekali meremehkan ucapan juga semangat Tutor dan Pengasuh baru mereka itu. "Apa kau benar-benar memenuhi syarat dan cukup dewasa untuk menjadi tutor dan pengasuh kami?" tanya Jovan, dingin selagi ia menatap Rosella dengan tatapan mengintimidasi. Sekali lagi, Rosella bukanlah lawan yang mudah. Ia sosok yang tak mudah terintimidasi dan dikalahkan begitu saja. Buktinya, dengan cepat dan tanpa ragu wanita cantik 40an itu mengangguk. "Aku siap menerima semua tugas itu," jawabnya. Nadanya terdengar pongah. "Benarkah begitu?" Satu alis Riyu naik ke atas saat ia menatap Rosella sementara bibirnya tersenyum miring setelah ia bertanya pada gurunya tersebut. Yang ditanya hanya menganggukkan kepalanya dengan tegas. "Kalau begitu, mari kita buktikan," sahut Riku yang melipat kedua tangannya di depan dada. "Ada dua orang tua, satu orang wanita dewasa, dua orang pria dewasa, lima orang remaja laki-laki, dua orang anak-anak, serta anjing juga kucing di rumah ini," beber Mark dengan runut kali ini. "Tak masalah! Menurutku, semua makhluk hidup harus dijaga dengan baik." Rosella tersenyum lebar pada Mark. Namun, yang disenyumi justru melihatnya dengan ekspresi jijik. "Astaga...." Riyu menggeleng tak percaya. "Penyihir baru ini terdengar seperti menjawab pertanyaan terakhir kontes kecantikan yang sering Ibu tonton," cicitnya. "Jika kau kehilangan kendali selagi mengemudi mobil, dan kau harus memilih antara menabrak orang tua, wanita dan pria dewasa, anak-anak dan remaja, anjing dan kucing. Mana yang akan kau pilih?" Mark yang terkenal dengan sosoknya yang dingin, dan tidak mudah puas hati kembali bertanya pada Rosella dengan sinis. Kontan Rosella, Wendy, dan Rhea memasang raut wajah terkejut setelah mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut si cerdas dan tampan, Mark. "Aku memilih...." Rosella ragu-ragu. Ia berpikir dan memilih kata-kata yang tepat untuk jawabannya agar tak jadi boomerang untuknya. Sementara, Wendy juga Rhea dan kelima anak laki-laki lain yang duduk di sofa menatap sang Tutor dan Pengasuh tinggal baru itu, penasaran. "Aku memilih...." Rosella mengulangi kalimatnya. Hal ini tentu saja membuat mereka yang penasaran makin gregetan. "Kau pilih apa?! Cepat katakan!" Jovan membentak dan matanya melotot saat bertitah pada Rosella. "Kau ini lama sekali!" katanya dengan wajah marah. "Ck!" Riyu berdecak kesal. "Tadi kau lantang sekali bahkan berani saat bersuara. Tapi... Sekarang kau seperti orang yang miskin bahasa. Atau orang bisu!" hardiknya. Rosella mengambil napas dalam-dalam kemudian perlahan-lahan ia menghebuskanya. "Aku... Aku memilih... Menginjak rem," jawab wanita ini, lalu tersenyum lebar."Siapa yang membantumu melakukan ini?" tanya Rex. Rosella tidak menjawab. "Kau tidak akan menjawab pertanyaanku?" Rosella mengangkat bahu. Ia sama sekali tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Semakin berat beban ini, semakin Rosella pikir Chris berbohong kepadanya tentang banyak hal. Rasa bersalah mulai mengganggu Rosella. Matanya berkaca-kaca. Ia memalingkan wajahnya, tidak ingin Rex melihatnya. "Aku pikir dia sedang membalas kematian Rimba, tapi yang dia lakukan hanyalah pekerjaan kotor untuk Chris. Bagaimana aku bisa begitu naif?" sesal Rosella dari dalam hatinya. Rosella mencoba mengendalikan diri saat mereka memasuki tempat Rex. Pintu tertutup dengan bunyi klik keras di belakang mereka. "Bagaimana kepalamu?" tanya Rex lagi. Rosella heran dengan Rex yang peduli padanya. Ia cukup yakin ia hanya di sini untuk semacam interogasi. Ia rasa mungkin ia harus meletakkan semua kartunya di atas meja. Cari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Rimba. "Baik-baik saja," jawab Rose
Polisi itu melakukan apa yang Rex katakan dan meninggalkannya. Pergelangan tangan Rosella memiliki sedikit tanda merah di tempat borgol menggores kulitnya.“Polisi sialan,” gerutu Rex dan mencari-cari lotion. Ia menemukan sesuatu yang encer di kamar mandi dan mengisi telapak tangannya dengannya. Rex bergegas kembali ke samping tempat tidur dan mengoleskan krim ke pergelangan tangan dan lengan Rosella. Wanita itu merasa lemah dan rentan."Dia pasti kembali ke menara D1 dan tidak dapat menemukanku, jadi dia membunyikan alarm kebakaran. Dia bukan orang di balik kesepakatan Park Hill. Dia tidak akan berbohong kepadaku seperti itu. Dia tidak akan membiarkanku menyentuhnya, mencintainya, menghargainya jika yang ingin dia lakukan hanyalah membuatku bertekuk lutut...bukan?" kata Rex, bergumam. ***Suara bip adalah hal pertama yang Rosella dengar saat ia mulai terbangun. Semuanya kembali berhamburan seperti gelombang pasang yang menghantam udara keluar dari paru-parunya
"Rex di sini," gertak Rex di telepon."Rex, aku minta maaf—""Kau belum menemukannya?" Rex menyela.Connor mendesah. "Tidak. Kami masih mengerjakannya, tetapi aku harus memberitahumu bahwa kesepakatan Park Hill—""Connor, aku tidak peduli tentang kesepakatan Park Hill—"“Kita kalah,” kata Connor. Itu menarik perhatian Rex. “Tunggu, apa?”“Kita kalah,” ulang Connor. “Bagaimana kita bisa kalah? Kesepakatan sudah dilakukan. Tangan sudah berjabat tangan. Janji diberikan,” kata Rex, terkejut tidak percaya. “Kontrak tidak ditandatangani,” jelas Connor. “Kata-kata seseorang adalah miliknya—”“Bos, aku tahu. Tapi Joe Rees mendapat tawaran menit terakhir, dan itu sekitar dua persen lebih tinggi darimu, jadi dia menerimanya,” beber Connor. “Dua persen?”“Ya, aku tahu. Itu margin yang sangat kecil. Hampir seperti mereka tahu berapa banyak yang kau tawarkan dan kemudian menaikkannya cukup untuk membuat Rees membatalkannya.”“Itu men
"Apa yang coba kau katakan?" tanya Rosella pada Chris. "Jangan seperti anak kecil. Aku akan menunggu informasi lebih lanjut besok." Chris mengakhiri panggilan. Rosella menyeka pipinya, tidak menyadari bahwa ia mulai menangis. Rosella pikir bahwa ia harus keluar. Pergi. Tapi ke mana ia akan pergi? Ke mana pun lebih baik daripada penjara, ia rasa.Rosella memeriksa tasnya, memastikan setidaknya ia membawa dompet. Ia bisa meninggalkan semua yang lain. Ia berputar kembali saat matahari mulai terbenam. Ia yakin semua orang sudah menjauh dari pandangan sekarang. Bahkan Rex. Ia bertanya-tanya apakah Rex keluar mencarinya atau apakah Rex kembali ke rumah.Butuh waktu hampir satu jam untuk kembali; kaki Rosella mulai sakit. Satu-satunya cahaya datang dari bulan purnama saat ia mendekati gedung itu. Rosella memeriksa sekeliling gedung dan mencetak skor saat ia melihat kayu di atas celah yang kemungkinan akan mereka pasang pintu. Rosella menyelinap masuk, dan ia berkeliaran di tem
Rex berhenti sejenak karena Rosella kesal, yang membuatnya terkejut. Rex pikir mereka akan segera bertemu, tetapi cara Rosella menuduh Rex bersikap mencurigakan, membuatnya bertanya-tanya apakah Rosella atau seseorang yang ia kenal kehilangan uang dalam transaksi tanah spekulatif.“Tidak. Itu penting. Ada beberapa orang yang kacau dalam bisnis real estat dan jika ada seseorang yang menurutku tidak mampu, aku mencoba memperingatkan mereka. Tetapi banyak orang tidak menginginkan bantuan, Rosella. Seperti beberapa minggu atau bulan yang lalu, seseorang bunuh diri setelah menginvestasikan seluruh tabungan hidupnya dalam skema investasi untuk membeli properti hotel ini. Orang yang menjalankan skema itu tidak memiliki cukup uang untuk tawaran minimum. Alih-alih memberi tahu investornya, dia kabur membawa uangnya,” beber Rex. “Tempat ini? Yang sedang kita lihat?” Rosella berputar pelan di tengah lobi yang penuh debu. Kaca untuk unit ritel sedang dipasang, dan meja resepsionis marm
Rosella memberitahu Chris tentang kesepakatan Park Hill. Ia mengambil file yang disimpan dan melampirkannya sebelum ia menghapus jejak informasi apa pun dari ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku. Rasa bersalah mulai menggerogoti Rosella.Rasa bersalah itu menyusup dari sekeliling Rosella. Rasa bersalah terhadap Rimba dan tidak bisa menjaga performanya. Rasa bersalah atas apa yang mungkin ia lakukan pada Hugo Kenyataan.Rex berkata dulu itu perusahaannya adalah milik ayahnya. Dan yang mengejutkan Rosella, bagian yang paling membuatnya merasa tidak enak adalah kenyataan bahwa ia mengkhianati Rex.Rosella seharusnya tidak merasa bersalah atas hal itu, tetapi ia merasa bersalah. Tidak peduli seberapa sering ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia sedang membalas kematian Rimba, rasa bersalah itu tetap ada.Rosella meraih handuk untuk menyeka wajahnya. Satu-satunya saat rasa bersalah dan amarah itu tidak mencoba menguasainya adalah ketika Rex memeganginya. Kendali yan