Kiman meringkuk di atas meja dalam kamar jenazah. Dia berhasil tidur meski sesekali terbangun. Keadaan itu akibat dirinya sadar bahwa keadaan masih berbahaya. Sebenarnya dia ingin tetap terjaga, tetapi kantuk dan lelah menyerangnya, sehingga dia tak kuasa tetap terjaga. Akhirnya sejak dua jam lalu memutuskan beristirahat di atas meja karena berbaring di lantai tentu saja kedinginan.Tiba-tiba Kiman tersentak dari tidurnya karena mendengar suara gaduh. Dia langsung duduk karena terkejut bukan main. Dia mengusap wajah dengan batin bertanya-tanya. Dia meyakinkan diri, bahwa saat ini tengah mendengar suara langkah kaki. Dia bahkan bisa meyakinkan bahwa itu adalah suara sepatu TNI atau polisi yang berlari di koridor rumah sakit. Dia lantas turun dari meja.Itu pasti para Patriot yang udah berhasil masuk ke rumah sakit, tandas batin Kiman dengan hati diletupi kebahagiaan. Mereka akan nyelamatin gue, sambung batinnya. Meksi begitu, Kiman tetap melangkah hati-hati menuju pintu kaca. Dia
Pak Sapto memarkirkan motornya di depan rumah kontrakan. Dia mengucapkan salam, tetapi tidak ada yang menjawab. Dia masuk ke ruang depan dan tidak mendapati siapa pun. Di ruang tengah yang dijadikan kamar pun tidak ada orang. Dia ke ruang belakang, di mana dapur kecil berselebahan kamar mandi yang juga tidak ada anak dan istrinya. Dia yang baru pulang mengojek merasa lapar. Dibukanya tudung saji. Dia tidak mendapati makanan sedikit pun. Ditelannya ludah dengan kecewa.Dia masuk ke kamar mandi. Dicucinya muka yang kotor dan berminyak. Dia kemudian mendengar suara Wati dan Bu Erna—istrinya—di ruang tengah. Dia lantas menyeka air di mukanya seraya menghampiri mereka. “Pada dari mana?” tanyanya yang berdiri di dekat Bu Erna.Alih-alih Bu Erna menjawab, justru Wati yang lebih dulu menyahut, “Dari rumah nenek, Pak.”Pak Sapto mendadak kesal. Ini bukan kali pertama Bu Erna mengajak Wati ke rumah mertuanya itu. Dia yakin Bu Erna bukan hanya main atau bertamu biasa, pastinya istrinya itu m
Jam lima pagi Pak Sapto sudah keluar mengojek. Dia hanya minum teh manis hangat buatan sendiri. Dia tidak mau meminta Bu Erna yang sedang mencuci pakaian di kamar mandi membuat sarapan untuknya. Pertama, memang tidak ada stok makanan. Hanya ada beras tinggal satu liter. Tidak ada nasi sisa semalam. Tidak ada bumbu penyedap. Tidak ada cabai, bawang, dan bumbu dapur lainnya. Kedua, dia tidak mau membuat Bu Erna marah lagi dengan hanya meminta dibuatkan minuman hangat. Daripada pagi yang masih lumayan dingin ini menjadi panas, dia memilih pergi bahkan tanpa pamitan. Semalam juga dia tidur di lantai ruang depan. Dibiarkannya Wati dan Bu Erna tidur di kasur di ruang tengah.Dia sengaja berusaha keluar rumah sepagi mungkin untuk mendapatkan penumpang yang mau berangkat kerja. Meski dia tahu dan sudah merasakan persaingan yang berat melawan ojek daring, tetap saja mau tak mau keadaan itu terus dilalui. Dia tidak dapat berpikir hal lain selain mengojek. Dia tidak punya keahlian lain. Mungki
Arus kendaraan Jalan Tol Jakarta-Cikampek siang ini ramai lancar. Dari arah Bekasi ke Jakarta maupun sebaliknya didominasi kendaraan pribadi. Cahaya matahari cukup terik menyinari sehingga aspal jalanan tampak panas, terlebih suhu di kota ini mencapai 34 derajat celcius. Sebuah mobil berwarna hitam berpindah dari lajur cepat ke lajur lambat. Sang sopir kemudian mengarahkan mobilnya keluar dari tol menyusuri jalur menuju Gerbang Tol Bekasi Barat. Sopir bernama Hadi ini menghentikan mobilnya karena harus mengantre lima mobil di depan gerbang tol tersebut. Gugun yang duduk di sebelah Pak Hadi menoleh ke belakang karena mendengar Anja terbatuk-batuk. “Nanti pas sampe rumah, lu harus istirahat total,” tegurnya kemudian. Laki-laki berkulit putih dan bermata sipit ini tampak khawatir pada Anja, terlebih dia yang paling dituakan dalam kelompok pertemanan. Anja tidak menyahut. Cowok berkulit sawo matang berusia 18 tahun ini menatap Gugun dengan m
Gugun dan teman-temannya dikuasai kesedihan. Mereka terdiam dalam keterkejutan. Ingin rasanya tidak percaya bahwa Anja telah meninggal dunia. Namun, mereka dihadapkan pada bukti bahwa tubuh Anja sudah tidak bergerak, dan memang sudah tidak ada kehidupan lagi di wajah teman mereka itu. Sampai kemudian Gugun tersadar kalau dia yang sepatutnya paling bisa diandalkan. Gugun harus mampu mengatasi situasi sulit ini. Setelah sekilas melihat Anja yang sudah ditutupi selimut putih, Gugun berbicara kepada Candra, “Can, sekarang lu pulang.” Candra yang berdiri lunglai tidak mendengar ucapan Gugun. Dia menunduk dengan pikiran yang kacau. Gugun mendekati Candra. Dia mengguncang kedua bahu temannya itu. “Can, dengarin gue!” katanya dengan suara lebih keras. Candra mengangkat wajahnya. Kedua matanya berkaca-kaca. Parasnya menampilkan kebingungan yang kian kentara. “Lu pulang. Taro semua tas di rumah lu atau titip aja di warkop Mbak Eli. Ter
Gugun sangat terkejut ditabrak oleh Anja, terlebih kepala belakangnya membentur lantai. Dia mendadak pening dengan pandangan memburam. Kendati dalam kondisi telentang seperti itu, dia tetap refleks mencekik leher Anja yang kini berada di atas tubuhnya. Gendang telinganya dipukul oleh suara geraman Anja yang menakutkan, tetapi karena itu pandangannya kembali fokus. Dia pun sadar betul tengah dalam kondisi genting, di mana nyawanya seolah hendak dicabut oleh Anja.Kedua mata Anja yang semerah darah tak pernah berkedip. Kedua tangannya terus menggapai-gapai tubuh Gugun, sampai kemudian berhasil mencekik leher temannya itu. Sambil menggeram, sesekali giginya bergemelutuk karena hendak menggigit Gugun. “To-tolonggg …,” tandas Gugun seraya menoleh ke kiri. Dia melihat Dokter Idrus dan Suster Ana berjongkok di bawah meja. Dokter Idrus dan Suster Ana bersitatap dengan wajah tegang. Keduanya masih belum berani bergerak barang sedikit pun. Mereka takut salah
Dokter Idrus berdiri kaku ketika Anja menabraknya. Dia tak sanggup menghindar, seolah otak dan kedua kakinya dibekukan oleh jantungnya yang berdebar-debar. Punggung dan kepala belakangnya membentur lantai dengan keras. Sementara dia tahu betul Anja menyerangnya dengan semakin beringas. Karena tak sempat menahan atau melawan, Dokter Idrus langsung kepayahan. Ketakutan benar-benar membuatnya tak berdaya. Sesaat dia menyesal, kenapa tadi tak bisa berlari atau dia saja yang memanggil sekuriti? Tak bisa dia berpikir lagi, Anja langsung menerkam lehernya. Bagian otot yang menghubungkan kepala dengan badan itu digerogot Anja. Seperti setan kelaparan Anja menarik daging leher Dokter Idrus. Namun, dia tidak mengunyah dan menelan otot yang terlepas dari leher Dokter Idrus, tetapi dia memuntahkannya ke lantai. Dia kembali menggigit luka menganga di leher Dokter Idrus yang mengeluarkan darah. Lalu kelenjar air liurnya berproduksi sangat cepat dan lebih banyak.
Anja tak sempat menerkam Gugun atau Suster Ana yang dengan cepat bersembunyi di dalam toilet. Anja lantas mengejar seorang pria berusia lima puluh tahun yang berlari ke balik tirai ranjang pasien. Anja menerjang pria itu, sehingga tirai terlepas dari anternit dan menimbulkan suara gedebuk karena pria itu tertubruk. Dengan ganas Anja menarik-narik tirai sampai mendapati wajah pria yang ditindihnya itu. “To-tolong, jangan bunuh saya,” pinta pria paruh baya itu mengiba. Anja menggeram dan semakin menguatkan tindihan kedua tungkainya. Darah menetes dari sela mulutnya yang menganga.Pria itu mencoba berontak, tapi gerakannya tak bisa menyingkirkan Anja dari atas tubuhnya.Anja memegang kedua lengan pria itu dengan kuat seraya membenamkan wajahnya ke leher pria tersebut.“AAAAA…!” pekik pria itu semakin membuat semua orang yang berada di IGD ketakutan.Seorang gadis usia belasan yang telentang di ranjang pasien dihantam kegentaran dengan tubuh gemetar. Di