“Aaa!! Bang Rafa!! Ada belatung!!” teriak Adhisti gadis yang kala itu tengah asik berbaring di ranjang kamarnya sambil mengutak-atik benda pipih bercasing coklat itu.
“Bang Rafa!!” Kini dengan cepat ia melompat dari singgasana ternyamannya itu lalu menatap ngeri ke kasur juga selimut yang tergeletak sembarangan.
Puluhan hewan kecil putih cenderung cream tampak menggeliat di atas seprai putih bercorak kotak milik Adhisti. Napas gadis itu langsung terengah-engah saat melihat ranjangnya menjadi tempat puluhan belatung berwisata.
“Bang Rafa sialan!! Lo budeg ya?!” sergah Adhisti sembari langsung menukikkan badannya ke kiri dan berlari ke arah luar kamarnya. Namun di saat yang bersamaan rupanya Rafa tengah berlari ke arah kamar Adhisti. Alhasil keduanya mengalami benturan.
“Bego banget, sih! Bisa jalan pake mata gak sih lo?!” sergah Rafa sambil mencekal kedua bahu adiknya itu.
“Lo yang bego, Bang! Dari tadi gue manggil kenapa baru muncul sekarang?! Kalau gue lagi disekap pembunuh udah mati duluan gue! Mau lo dihantuin arwah abah gegara gagal jaga anak perempuan semata wayangnya?!” omel Adhisti malah tampak lebih berapi-api dibanding Rafa.
Bukannya segera membalas omelan sang adik, Rafa malah tampak mengibaskan kedua tangannya di depan hidung sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar Adhisti.
“Heh, lo nyimpen bangkai tikus atau kucing di sini?! Kamar lo busuk banget, Chaay!” sergah Rafa langsung menatap tajam ke arah Adhisti.
“Cih! Ngapain gue nyimpen bangkai, Bang! Ngaco lo! Yang ada, mereka yang sengaja mati di kamar gue dan bikin bau busuk kaya gini! Lo liat tuh kasur gue! Penuh belatung!” sergah Adhisti alias Chaaya sambil menunjuk ke arah ranjangnya.
“Belatung?!” Rafa langsung berjalan mendekat ke arah ranjang Adhisti. Matanya langsung membulat sempurna saat melihat hewan-hewan kecil itu menggeliat.
“Chaay! Gila lo! Lo tidur sama hewan kaya gini?! Manusia apa mayat hidup sih lo?! Nggak bisa apa berteman sama hewan yang wajar aja?!” Rafa langsung menyingkap selimut tebal Adhisti dan mengibaskannya ke sisi lain kamar.
Tak tunggu aba-aba lain, seluruh belatung yang ada di atas selimut itu langsung berjatuhan ke lantai. Dan seperti yang keduanya lihat, kini jumlahnya malah bertambah dua kali lebih banyak saat berjatuhan di lantai berwarna cokelat itu.
“Gila! Sebanyak itu?! Jadi sedari tadi gue tiduran sama para belatung itu?! Bajingan! Huwekk!!” Adhisti langsung berlari keluar kamarnya sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya rapat-rapat.
Rafa yang kala itu ditinggalkannya di kamar langsung memeriksa plafon kamar sang adik. Sebuah celah hadir di sana membuat tampak seperti lubang hitam.
“Pasti jatuh dari sana! Dasar! Chaaya manusia apa bukan sih?! Dia kena covid?! Kamar bau busuk kaya gini bisa gak bau! Dasar jorok!” gerutu Rafa lalu langsung melepaskan pegangannya pada selimut itu dan menyusul sang adik.
Adhisti tampak mengeluarkan semua isi mulutnya yang hanya cairan encer itu di wastafel dapur mereka. Rafa berdiri di sebelahnya sambil memangku dagu mengamati Adhisti.
“Dari pada ngeliatin gue kaya gitu mending bikinin gue teh anget, Bang!” Tangan kiri Adhisti langsung menampol wajah kakaknya yang asik mengamatinya itu.
Seperti seorang kakak yang sangat menyayangi sang adik, Rafa langsung menjalankan permintaan sang adik dan membuatkannya teh hangat.
“Nih, minum! Gue perlu tanya banyak hal sama lo setelah ini! Awas sampe pura-pura pingsan!” sergah Rafa. Tanpa menunggu omelan lain, Adhisti segera meraih gelas itu dan meneguknya kasar. Seketika wajah Adhisti tampak lebih glowing akibat paparan uap yang menimpa wajahnya itu.
“Lo sakit?! Hidung lo udah bebal?! Nggak bisa bau aroma busuk kamar lo itu?!” Rafa menatap tajam sambil mengetuk-ketukkan telunjuknya ke meja makan.
“Bang, satu-satu kalau nanya! Okey? Gue nggak sakit! Hidung gue juga bisa bau tuh aroma busuk kok! Cuma gimana lagi? Masa gue harus manjat plafon?! Ya udah gue biarin aja! Eh, ternyata lama-lama gue terbiasa, ya udah, gue berharap tuh bau hilang! Lagian kucing atau tikus ‘kan nggak sebesar manusia! Keringnya juga bakalan cepet!” papar Adhisti.
“Bego lo, Chaay! Sekarang liat! Kelar ga masalah lo?! Yang ada makin-makin ‘kan?! Tuh pasti di balik plafin lo lebih banyak belatung lagi! Kalau udah gini ini siapa suruh bersihin? Gue?!” Rafa mengubah posisi duduknya, tangannya dengan lantang menunjuk ke arah kamar Adhisti.
“Ya maaf, Bang! Niat Adhis awalnya ‘kan nggak mau nyusahin. Terus sekarang gimana? Abang mau biarin Adhisti tidur di kamar itu bareng semua belatungnya??” Adhisti dengan mahir dan tanpa rasa bersalah sekarang malah memberikan puppy eyes untuk Rafa.
“Terus? Lo nyuruh gue tidur di sofa dan lo pakai kamar gue?! Ogah! Sudah gede masih aja hobi nyusahin! Siapa suruh bikin huru-hara malem-malem kaya gini?!” sergah Rafa lalu langsung bangkit dari kursi meja makan dan berjalan ke arah kamarnya.
“Lho, Bang! Bang! Mau ke mana?! Ini gimana sama kamar Adhis??” pekik Adhisti yang ikut menyusul langkah cowok yang tingginya lima senti di atasnya itu.
“Bodo amat! Urus aja sendiri! Gue ngantuk!” sergah Rafa lalu langsung masuk ke kamarnya dan menggebrak pintu kamar tepat sebelum Adhisti masuk.
“Bang Rafa jahat!! Dasar tua menyebalkan!!” teriak Adhisti hingga menghantamkan kepalan tangannya ke pintu kayu itu.
Dengan langkah penuh emosi dan hentakan, Adhisti berjalan menuju pintu utama unit apartemen itu.
Satu tujuannya saat ini, salah satu kios kawan dekat Rafa bernama Rio yang ada di bawah lantai apartemennya.
Baru beberapa anak tangga ia pijak, ponsel yang ia masukkan ke saku jeans belakangnya bergetar. Saat dilihatnya layar ponsel itu dua buah kata nama kontak langsung membuatnya mendengus kesal.
“Bajingan! Lintah darat ini! Kenapa selalu muncul di saat yang gak tepat!” gerutunya sembari menyeret tombol terima telepon itu.
“Halo! Kenapa lagi?!” sergah Adhisti.
[“Kenapa lagi, kenapa lagi!! Lo buta? Nggak bisa liat sekarang jam berapa?! Atau pikun?! Lo belum upload film terbaru yang lo janjiin ke gue hari ini, Dhis! Kalau sampai malam ini lo nggak buruan kirim film itu! Lihat aja! Gaji lo nggak bakalan cair bulan ini!”] sergah Guntur—pemilik Guntur Corporation yang menaungi bisnis gelap Adhisti.
“Eh, jangan Bos! Duh, Bos! Kasih waktu dikit lagi! Ada insiden di kamar kerja gue, Bos! Gue janji deh sebelum jam delapan pagi gue upload!” bujuk Adhisti.
[“Kenapa sama kamar kerja lo?! Ada orang mati di sana?! Atau ada tsunami?!”]
“Nah itu, Bos! Ada mayat manusia di kamar gue! Gue mesti urus dulu ‘kan?!” sahut Adhisti tanpa rasa bersalah.
“Mayat manusia apa, Dhis?!” celetuk suara pria lain.
Dengan cepat Adhisti menarik ponselnya dari telinga dan memasukkannya ke saku kembali. Wajahnya langsung meringis saat melihat seorang lelaki jangkung dengan kaos yang sedikit oversize di berdiri di ujung tangga bawah “Bang Rio? Kok di sini? Sudah tutup ya, Bang? Tokonya? Ehm, anu!” pekik Adhisti langsung menuruni tangga dan menghampiri lelaki tinggi bernama Rio itu.Adhisti langsung mencekal pergelangan tangan kiri Rio dan menariknya menuju arah yang berlawanan.“Kok sudah di sini sih, Bang?! Baru aja Adhis mau ke kios Abang! Tolong bukain lagi ya, Bang! Ini urgent banget! Please!” bujuk Adhisti lagi-lagi menggunakan trik yang sama dengan yang ia tunjukan pada Rafa beberapa menit lalu.“Mau beli apa?” tanya Rio menatap Adhisti dengan penuh curiga. Matanya benar-benar menyipit dan membuat Adhisti sebentar merasa terintimidasi. “Anu, mau beli lakban sama pengharum ruangan!” pekik Adhisti berusaha meyakinkan mungkin.Sambil membuka lagi tautan gembok pada kiosnya dan mengerek rolling
Malam itu Adhisti benar-benar kekeh dengan permintaannya untuk tidur bersama Rafa dan saat itu juga Rafa tak bisa lagi menahan semua keluhan serta rengekan Adhisti. Setelah membuka tiga buah pengharum ruangan di kamar Adhisti, gadis itu menenteng bantal dan ponselnya ke kamar Rafa lalu langsung berbaring di sebelah sang kakak lalu memeluknya erat. Rafa tak bisa berkutik, cowok itu hanya bisa terdiam menatap atap dengan napas yang sedikit ia tahan hingga Adhisti tampak tertidur pulas. “Dasar dari kecil tiap mau tidur sama gue ngeyel mulu nggak bisa dibantah! Andai saja dia tahu kenyataannya, gue yakin dia nggak bakal lakuin hal termasuk peluk gue kaya gini!” gumam Rafa sebelum akhirnya memindah dekapan Adhisti dan beranjak dari ranjangnya. Malam itu, ia membiarkan Adhisti menguasai kamarnya dan ia tidur di sofa. Ia tak ingin sesuatu terjadi malam itu antara dirinya dan Adhisti. Sejak kematian kedua orang tuanya, hal itu yang selalu dilakukan Rafa setiap Adhisti merengek ingin tidu
“Chaay! Lo kenapa, sih!? Kenapa malah marah-marah?! Ini kasus kriminal, Chaay! Kita nggak tahu siapa dia dan apa yang terjadi sama dia, lo mau disalahkan kalau biarin ini?!” sergah Rafa mengamuk.“Bang, kalau kalian manggil polisi ke mari, abang mau liat aku dibawa sama mereka?! Abang mau aku dipenjara, hah?!” sergah Adhisti kini melepaskan dirinya dari rangkulan Rafa yang membantunya berjalan.“Dhis, lo ngomong apaan, sih? Kenapa lo jadi seolah nutupin masalah ini?! Jangan bilang lo ada hubungannya sama kasus ini?! Lo yang bunuh orang itu dan letakin jasadnya di balik plafon rumah lo sendiri?!” sergah Rio menyela.“Jaga omongan lo ya, Bang Rio! Lo itu nggak tahu apa-apa! Nggak usah ikut campur!! Mending balik aja sana ke unit lo! Nggak usah turut campur sama masalah gue dan keluarga gue!” sergah Adhisti menatap nyalang ke arah Rio.“Raf, gue rasa ada yang nggak beres sama adek lo ini! Ngapain dia ngelarang kita lapor ke polisi kalau dia aja nggak tahu apa-apa?! Kenapa dia ketakutan s
“Kalau begitu, usai pemeriksaan yang ada di sini selesai, bantu Ganendra terlebih pada gadis itu. Laksanakan dua kali pemeriksaan pun tak apa.” Anas menginstruksi. Dengan patuh Abbiyya hanya mengangguk lanjut mengecek beberapa hal di kamar Adhisti itu. Saat Abbiyya telah selesai dengan pemeriksaannya, ia pergi keluar dari kamar Adhisti dan berjalan menuju ruang tamu tempat Ganendra tengah mewawancarai Rio dan Rafa bergantian.“Anda, Nona Chaaya Adhisti, silakan ikut saya untuk pemeriksaan di ruangan lain!” titah Abbiyya dengan porsi tubuh tegap yang memesona. “Gue? Kenapa? Katanya sama petugas yang ini? Kenapa malah jadi lempar tangan gini?” sergah Adhisti malah tampak lebih galak dibandingkan Abbiyya.“Heh, Chaay! Jangan ngaco! Gak liat lagi ngomong sama siapa?! Sudah buruan ikut aja!” sergah Rafa sambil menepuk lengan tangan Adhisti.Dengan perasaan yang tak ramah dan hentakan di mana-mana, akhirnya Adhisti bangkit dari sofa dan berjalan mengikuti Abbiyya ke ruang makan unit terse
“Nggak! Nggak mungkin!! Lepasin gue! Ini pasti salah paham! Ada yang jebak gue! Bukti kalian pasti cuma rekayasa ‘kan?! Lepasin gue!” sergah Adhisti kini dengan kuat ia menepis kedua tangannya yang dicekal kuat oleh dua polisi wanita itu.Karena kekuatannya yang cukup keras dan mendadak, akhirnya Adhisti bisa meloloskan diri dari cengkeraman tangan dua polisi wanita itu. Tanpa menunggu hal lainnya, Adhisti langsung menghamburkan tubuhnya ke arah Rafa yang tampak diam bagai patung di sebelah Rio yang tampak kesusahan bangkit.“Bang, mereka mau bawa Chaaya ke kantor polisi! Kenapa lo diem aja?! Cegah dong, Bang! Lo mau liat adek lo di penjara, hah!?” sergah Adhisti seraya terus menggerak-gerakkan bahu kanan dan kiri Rafa dengan kedua tangannya.“Nona Adhisti, sebaiknya anda menurut saja. Penolakan hanya membuat tuntutan anda semakin besar!” celetuk Abbiyya.“Tuntutan apa hah?! Tuntutan apa yang lo bilang?! Gue nggak salah!” Mata Adhisti tampak melotot seolah hendak keluar dari tempatnya
“Da-dari mana lo tahu soal itu?!” Abbiyya terkekeh lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Pria itu kini menatap Adhisti yang tampak amat cemas.“Tak penting dari mana saya tahu tentang hal itu. Satu yang perlu anda tahu, saya bisa melaporkan masalah hak cipta film itu dan membuat anda terkena pasal berlapis kapan saja. Jadi, lakukanlah pemeriksaan ini dengan baik. Anda mengerti, Nona?” ujar Abbiyya.Adhisti kini hanya bisa terdiam sambil menahan emosinya pada Abbiyya. Sementara itu, Abbiyya tampak kembali menegakkan tubuhnya lagi dan menunjuk foto seorang wanita muda di map itu.“Mawar! Kami mengidentifikasi korban dari sisa-sisa potongan tubuh yang masih bisa kami selidiki. Dan darinya, kami mendapat informasi bahwa korban adalah wanita berusia 24 tahun bernama Mawar. Anda mengenalnya bukan?” tanya Abbiyya kini sedikit mendongak ke arah Adhisti yang masih mengamati foto itu.“Gue nggak kenal! Gue nggak tahu dia siapa!” sergah Adhisti.“Benarkah? Tapi, Nona! Ada satu fakta m
“Kenapa anda diam, Nona Adhisti? Amda terkejut bagaimana saya dan tim saya bisa menemukan beda ini padahal anda telah menyembunyikannya di sebuah ruang rahasia di kamar anda?” tutur Abbiyya semakin membuat degup jantung Adhisti berpacu kencang.“Itu bukan punya gue! Itu mungkin punya pelaku yang sengaja ditaruh di sana buat jebak gue! Pokoknya itu bukan punya gue!” sergah Adhisti usai menolehkan wajahnya menghadap Abbiyya yang memandangnya sambil berdiri.“Jangan berbohong, Nona! Semakin anda berbohong, semakin kami mencurigai anda. Kami telah mengetahui semua jawabannya. Jadi jika anda berbohong, itu tak akan menyelamatkan anda dari hukuman melainkan semakin menjatuhkan anda!” terang Abbiyya lalu kembali duduk di kursi yang ada di hadapan Adhisti.Tangan pria itu membalik peti kayu ke arah lain. Sebuah ukiran amatir yang diduga diukir dengan sebuah cutter berkarat hadir di sana.“Bukankah Chaaya adalah nama anda, Nona? Ini adalah milik anda. Bahkan nota pembeliannya ada di dalam sana
Abbiyya berjalan menyusuri koridor Apartemen Bumi Tua 1996 yang sepi seraya menutup resleting jaket dinasnya yang berwarna hitam itu. Pria itu berjalan menaiki tangga hingga akhirnya kaki kananya memijak lantai yang beberapa saat lalu ia datangi. Lantai tujuh. “Selamat sore!” pekik Abbiyya sementara tangannya sekali mengetuk pintu apartemen kayu bernomor 702 tersebut. Pintu itu sedikit menampakkan celah tanda sang penyewa apartemen tak menutupnya dengan benar. Saat tangan Abbiyya hendak kembali mengetuk, sedikit suara ia dengar dari dalam sana. “Lo kenapa nggak jenguk Adhisti, Raf! Kasihan dia di sana pasti ketakutan! Lo satu-satunya keluarga yang dia punya, dia nggak punya siapa-siapa lagi selain lo, lo tega biarin dia?” Suara Rio dengan cepat mampu dikenali oleh Abbiyya. “Gue juga khawatir sama dia, Ri! Cuma gimana lagi? Polisi nemuin pisau dengan noda darah korban dan sidik jari Chaaya di sana. Selama ini gue nggak pernah tahu Chaaya punya benda itu. Dan sekarang gue tahu denga