Dengan cepat Adhisti menarik ponselnya dari telinga dan memasukkannya ke saku kembali. Wajahnya langsung meringis saat melihat seorang lelaki jangkung dengan kaos yang sedikit oversize di berdiri di ujung tangga bawah
“Bang Rio? Kok di sini? Sudah tutup ya, Bang? Tokonya? Ehm, anu!” pekik Adhisti langsung menuruni tangga dan menghampiri lelaki tinggi bernama Rio itu.
Adhisti langsung mencekal pergelangan tangan kiri Rio dan menariknya menuju arah yang berlawanan.
“Kok sudah di sini sih, Bang?! Baru aja Adhis mau ke kios Abang! Tolong bukain lagi ya, Bang! Ini urgent banget! Please!” bujuk Adhisti lagi-lagi menggunakan trik yang sama dengan yang ia tunjukan pada Rafa beberapa menit lalu.
“Mau beli apa?” tanya Rio menatap Adhisti dengan penuh curiga. Matanya benar-benar menyipit dan membuat Adhisti sebentar merasa terintimidasi.
“Anu, mau beli lakban sama pengharum ruangan!” pekik Adhisti berusaha meyakinkan mungkin.
Sambil membuka lagi tautan gembok pada kiosnya dan mengerek rolling door itu ke atas, Rio kembali menyipitkan mata ke arah Adhisti.
“Lakban? Pengharum ruangan? Malem-malem kaya gini? Lo mau ngapain sama dua benda itu?” Rio melangkahkan kakinya ke dalam kios menuju salah satu saklar lampu kios diikuti oleh Adhisti di belakangnya.
“Adalah urusan, Bang! Lagian nggak perlu kali abang tahu buat apa semua pembeli di kios abang ini pakai barang-barang yang mereka beli di ini!” ujar Adhisti mencoba mengalihkan topik.
“Pengharumnya ada di rak, lo ambil sendiri! Lakbannya mau ambil berapa?” Rio langsung masuk ke area kasir dan membuka kunci salah satu etalase berisi alat tulis.
“Laban yang sedengan aja satu, Bang!” teriak Adhisti. Tak lama setelahnya, Adhisti kembali dengan tiga buah pengharum ruangan gantung dengan merek berinisial S di tangannya.
“Semua? Tiga-tiganya? Mau mukbang pengharum ruangan lo, Dhis?!”
“Enak aja! Ya nggaklah! Pokok ya ada deh buat ngusir bau di apartemen! Sudah ini aja berapa semuanya, Bang?” tanya Adhisti sembari merogoh saku kanan celana jeansnya dan mengeluarkan dompet dari sana.
Bukannya segera menyebutkan berapa nominal yang mesti Adhisti bayarkan, Rio malah asik mengamati Adhisti dengan tatapan tanpa kedipan sekalipun. Tatapannya yang berawal tajam dan penuh intimidasi kini seolah berubah melunak dan malah cenderung menjadi tatapan seorang penggoda.
“Bang? Halo?” Adhisti melambaikan kedua tangannya di depan wajah Rio dan membuat cowok itu sedikit tersentak. “Kok malah ngelamun? Berapa totalnya? Atau mau gratis aja?”
“Bawa aja! Hitung-hitung diskon malam!” sahut Rio masih dengan tatapan yang sama.
“Seriusan?” celetuk Adhisti yang merasa mulai aneh dengan tatapan yang diberikan Rio. “Nggak deh, Bang! Nih, lima puluh buat abang! Kalau kurang sorry! Gue pamit dulu, thanks!” pekik Adhisti lalu langsung menyabet kantong plastik hitam dari tangan Rio dan berbalik.
Namun dengan cepat Rio malah menahan tangan kiri Adhisti dan membuat gadis itu sedikit terhuyung ke belakang lalu terantuk tepian meja kasir.
“Kenapa buru-buru sih, Dhis? Di sini aja dulu! Gue terlanjur buka toko lagi! Senggaknya temenin gue sampe tengah malemlah!” ujar Rio sembari berjalan menghampiri Adhisti yang kini jantungnya telah berdegup puluhan kali lebih cepat.
“Bang, jangan macem-macem, ya! Gue laporin Bang Rafa biar lo tau rasa! Lepasin tangan gue, nggak?!” sergah Adhisti berusaha tampak sebrutal mungkin
“Bentar doang, Dis! Tinggal satu jam lagi, juga! Nggak bakalan lama kalau kita nikmati tiap momennya!” ujar Rio.
“Bajingan lo, Bang!” tukas Adhisti kini langsung menepis tangan Rio dan hendak berlari dari kios juga sang pemilik kios yang tampak mesum itu.
“Adhisti! Lo habis bunuh siapa?! Mayat manusia mana yang mau lo sembunyiin?! Mau lakban dia dan hilangin bau pakai pengharum itu? Nggak bakalan bisa, Adhisti Sayang!! Kalau lo izinin gue malam ini, gue bakal jaga semua rahasia lo! Gimana??” teriak Rio saat langkah kaki Adhisti semakin menjauh dari kiosnya.
Mendengar semua penuturan Rio itu, Adhisti menghentikan langkah kakinya sejenak lalu berbalik.
“Mayat apa?! Gue nggak mau sembunyiin apapun dari siapa pun kok! Dan dua barang ini bukan untuk dua tujuan itu!” sergah Adhisti.
“Halah! Jangan bohong, Adhisti Sayang! Gue denger kok pembicaraan lo sama entah siapa di telepon tadi. Lo sendiri yang bilang kalau lo nemuin mayat di dalam kamar kerja lo. So? Mayat siapa itu? Mau gue bantuin buang? Tapi dengan syarat! Ikut gue malam ini!” tawar Rio sambil berjalan perlahan menuju ke dekat Adhisti.
“Stop!! Diem di situ, Bang! Ngaco lo! Sok tahu!! Bajingan!!” teriak Adhisti sebelum akhirnya berlari sekencang mungkin meninggalkan kios milik Rio.
Tak disangka-sangka rupanya Rio tak berhenti sampai di sana, cowok itu benar mengejar Adhisti dengan kecepatan yang tak kira-kira. Sebentar saja Adhisti mengurangi kecepatan, sudah bisa dipastikan jika ia akan habis malam ini dengan bengisnya Rio.
“Anjing!! Kenapa pintunya harus macet sekarang, sih!! Buruan!!” umpat Adhisti sambil terus memutar knop pintu unit apartemennya. Sementara itu, beberapa meter tampak Rio telah berjalan dengan seringai di wajahnya.
“Kenapa lo selalu nolak gue sih, Dhis? Gue beneran cinta sama lo! Apapun yang lo lakuin, meskipun lo jadi pembunuh pun gue nggak akan berpaling! Gue akan bantu lo nurutin semua keinginan lo! Gue tahu kok lo suka sama hal-hal berbau psikopat ‘kan? Gue bisa bantu lo lakuin semua itu, kok! Kita bakal jadi pasangan yang spesial!” lirih Rio.
“Anjing!!” teriak Adhisti. Seketika pintu itu terbuka dan di saat yang bersamaan Rio berlari ke arahnya.
Syukurlah semesta masih memihak Adhisti. Ia berhasil masuk dan menutup pintu itu sebelum Rio menjamahnya.
Napas yang tersengal-sengal membuat Adhisti langsung duduk tak karuan di lantai dan menutup mukanya dengan kedua tangannya.
“Ngapain lo kaya gitu? Tuh lakban sama pengharum ruangan mau buat apa?” tanya Rafa gang tiba-tiba muncul di hadapan Adhisti sambil menunduk.
“Bang Rafa!!” pekik Adhisti langsung memeluk kakaknya itu.
Sedikit terkejut Rafa hanya bisa menepuk bentar punggung sang adik.
“Gue tidur sama lo malem ini, please!! Gue takut, Bang! Gue takut!” rengek Adhisti sambil mulai terisak dalam pelukannya pada Rafa.
“Apaan sih, Chaay?? Lo kenapa? Ngapain nangis kaya gini coba?! Lo dari mana?!” sergah Rafa menjauhkan sang adik dari pelukannya lalu membantu mengelap air mata gadis itu.
“Bang Rio, Bang! Dia, dia mulai lagi! Dia ngegoda Adhis lagi, Bang!” rintih Adhis.
“Mana mungkin, Chaay! Rio temen gue! Ga mungkin dia kaya gitu! Sudah ah, mending lo buruan tidur! Besok pagi kita kelarin tuh bangkai tikus atau kucing! Barusan udah gue geser ranjang lo. Lo nggak bakal kejatuhan para belatung itu lagi,” papar Rafa.
“Nggak mau, Bang! Gue maunya tidur sama Bang Rafa!”
Malam itu Adhisti benar-benar kekeh dengan permintaannya untuk tidur bersama Rafa dan saat itu juga Rafa tak bisa lagi menahan semua keluhan serta rengekan Adhisti. Setelah membuka tiga buah pengharum ruangan di kamar Adhisti, gadis itu menenteng bantal dan ponselnya ke kamar Rafa lalu langsung berbaring di sebelah sang kakak lalu memeluknya erat. Rafa tak bisa berkutik, cowok itu hanya bisa terdiam menatap atap dengan napas yang sedikit ia tahan hingga Adhisti tampak tertidur pulas. “Dasar dari kecil tiap mau tidur sama gue ngeyel mulu nggak bisa dibantah! Andai saja dia tahu kenyataannya, gue yakin dia nggak bakal lakuin hal termasuk peluk gue kaya gini!” gumam Rafa sebelum akhirnya memindah dekapan Adhisti dan beranjak dari ranjangnya. Malam itu, ia membiarkan Adhisti menguasai kamarnya dan ia tidur di sofa. Ia tak ingin sesuatu terjadi malam itu antara dirinya dan Adhisti. Sejak kematian kedua orang tuanya, hal itu yang selalu dilakukan Rafa setiap Adhisti merengek ingin tidu
“Chaay! Lo kenapa, sih!? Kenapa malah marah-marah?! Ini kasus kriminal, Chaay! Kita nggak tahu siapa dia dan apa yang terjadi sama dia, lo mau disalahkan kalau biarin ini?!” sergah Rafa mengamuk.“Bang, kalau kalian manggil polisi ke mari, abang mau liat aku dibawa sama mereka?! Abang mau aku dipenjara, hah?!” sergah Adhisti kini melepaskan dirinya dari rangkulan Rafa yang membantunya berjalan.“Dhis, lo ngomong apaan, sih? Kenapa lo jadi seolah nutupin masalah ini?! Jangan bilang lo ada hubungannya sama kasus ini?! Lo yang bunuh orang itu dan letakin jasadnya di balik plafon rumah lo sendiri?!” sergah Rio menyela.“Jaga omongan lo ya, Bang Rio! Lo itu nggak tahu apa-apa! Nggak usah ikut campur!! Mending balik aja sana ke unit lo! Nggak usah turut campur sama masalah gue dan keluarga gue!” sergah Adhisti menatap nyalang ke arah Rio.“Raf, gue rasa ada yang nggak beres sama adek lo ini! Ngapain dia ngelarang kita lapor ke polisi kalau dia aja nggak tahu apa-apa?! Kenapa dia ketakutan s
“Kalau begitu, usai pemeriksaan yang ada di sini selesai, bantu Ganendra terlebih pada gadis itu. Laksanakan dua kali pemeriksaan pun tak apa.” Anas menginstruksi. Dengan patuh Abbiyya hanya mengangguk lanjut mengecek beberapa hal di kamar Adhisti itu. Saat Abbiyya telah selesai dengan pemeriksaannya, ia pergi keluar dari kamar Adhisti dan berjalan menuju ruang tamu tempat Ganendra tengah mewawancarai Rio dan Rafa bergantian.“Anda, Nona Chaaya Adhisti, silakan ikut saya untuk pemeriksaan di ruangan lain!” titah Abbiyya dengan porsi tubuh tegap yang memesona. “Gue? Kenapa? Katanya sama petugas yang ini? Kenapa malah jadi lempar tangan gini?” sergah Adhisti malah tampak lebih galak dibandingkan Abbiyya.“Heh, Chaay! Jangan ngaco! Gak liat lagi ngomong sama siapa?! Sudah buruan ikut aja!” sergah Rafa sambil menepuk lengan tangan Adhisti.Dengan perasaan yang tak ramah dan hentakan di mana-mana, akhirnya Adhisti bangkit dari sofa dan berjalan mengikuti Abbiyya ke ruang makan unit terse
“Nggak! Nggak mungkin!! Lepasin gue! Ini pasti salah paham! Ada yang jebak gue! Bukti kalian pasti cuma rekayasa ‘kan?! Lepasin gue!” sergah Adhisti kini dengan kuat ia menepis kedua tangannya yang dicekal kuat oleh dua polisi wanita itu.Karena kekuatannya yang cukup keras dan mendadak, akhirnya Adhisti bisa meloloskan diri dari cengkeraman tangan dua polisi wanita itu. Tanpa menunggu hal lainnya, Adhisti langsung menghamburkan tubuhnya ke arah Rafa yang tampak diam bagai patung di sebelah Rio yang tampak kesusahan bangkit.“Bang, mereka mau bawa Chaaya ke kantor polisi! Kenapa lo diem aja?! Cegah dong, Bang! Lo mau liat adek lo di penjara, hah!?” sergah Adhisti seraya terus menggerak-gerakkan bahu kanan dan kiri Rafa dengan kedua tangannya.“Nona Adhisti, sebaiknya anda menurut saja. Penolakan hanya membuat tuntutan anda semakin besar!” celetuk Abbiyya.“Tuntutan apa hah?! Tuntutan apa yang lo bilang?! Gue nggak salah!” Mata Adhisti tampak melotot seolah hendak keluar dari tempatnya
“Da-dari mana lo tahu soal itu?!” Abbiyya terkekeh lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Pria itu kini menatap Adhisti yang tampak amat cemas.“Tak penting dari mana saya tahu tentang hal itu. Satu yang perlu anda tahu, saya bisa melaporkan masalah hak cipta film itu dan membuat anda terkena pasal berlapis kapan saja. Jadi, lakukanlah pemeriksaan ini dengan baik. Anda mengerti, Nona?” ujar Abbiyya.Adhisti kini hanya bisa terdiam sambil menahan emosinya pada Abbiyya. Sementara itu, Abbiyya tampak kembali menegakkan tubuhnya lagi dan menunjuk foto seorang wanita muda di map itu.“Mawar! Kami mengidentifikasi korban dari sisa-sisa potongan tubuh yang masih bisa kami selidiki. Dan darinya, kami mendapat informasi bahwa korban adalah wanita berusia 24 tahun bernama Mawar. Anda mengenalnya bukan?” tanya Abbiyya kini sedikit mendongak ke arah Adhisti yang masih mengamati foto itu.“Gue nggak kenal! Gue nggak tahu dia siapa!” sergah Adhisti.“Benarkah? Tapi, Nona! Ada satu fakta m
“Kenapa anda diam, Nona Adhisti? Amda terkejut bagaimana saya dan tim saya bisa menemukan beda ini padahal anda telah menyembunyikannya di sebuah ruang rahasia di kamar anda?” tutur Abbiyya semakin membuat degup jantung Adhisti berpacu kencang.“Itu bukan punya gue! Itu mungkin punya pelaku yang sengaja ditaruh di sana buat jebak gue! Pokoknya itu bukan punya gue!” sergah Adhisti usai menolehkan wajahnya menghadap Abbiyya yang memandangnya sambil berdiri.“Jangan berbohong, Nona! Semakin anda berbohong, semakin kami mencurigai anda. Kami telah mengetahui semua jawabannya. Jadi jika anda berbohong, itu tak akan menyelamatkan anda dari hukuman melainkan semakin menjatuhkan anda!” terang Abbiyya lalu kembali duduk di kursi yang ada di hadapan Adhisti.Tangan pria itu membalik peti kayu ke arah lain. Sebuah ukiran amatir yang diduga diukir dengan sebuah cutter berkarat hadir di sana.“Bukankah Chaaya adalah nama anda, Nona? Ini adalah milik anda. Bahkan nota pembeliannya ada di dalam sana
Abbiyya berjalan menyusuri koridor Apartemen Bumi Tua 1996 yang sepi seraya menutup resleting jaket dinasnya yang berwarna hitam itu. Pria itu berjalan menaiki tangga hingga akhirnya kaki kananya memijak lantai yang beberapa saat lalu ia datangi. Lantai tujuh. “Selamat sore!” pekik Abbiyya sementara tangannya sekali mengetuk pintu apartemen kayu bernomor 702 tersebut. Pintu itu sedikit menampakkan celah tanda sang penyewa apartemen tak menutupnya dengan benar. Saat tangan Abbiyya hendak kembali mengetuk, sedikit suara ia dengar dari dalam sana. “Lo kenapa nggak jenguk Adhisti, Raf! Kasihan dia di sana pasti ketakutan! Lo satu-satunya keluarga yang dia punya, dia nggak punya siapa-siapa lagi selain lo, lo tega biarin dia?” Suara Rio dengan cepat mampu dikenali oleh Abbiyya. “Gue juga khawatir sama dia, Ri! Cuma gimana lagi? Polisi nemuin pisau dengan noda darah korban dan sidik jari Chaaya di sana. Selama ini gue nggak pernah tahu Chaaya punya benda itu. Dan sekarang gue tahu denga
“Space room? Apa maksud anda dengan space room yang menghubungkan lantai satu dengan lantai lainnya?” tanya Abbiyya kini dahinya berkerut sementara matanya memandang ke arah Adhisti “Hh!” Adhisti mendengus dan kini merebahkan punggungnya ke sandaran kursi. “Gue pikir lo dan tim lo hebat! Ternyata nggak sehebat itu, yah! Hal kaya gini aja lo nggak tahu! Dan lo? Malah menangkap gue?! Emang dunia ini aneh! Korban dijadikan pelaku, pelaku dijadikan korban. Miris!!” sergah Adhisti. “Jika anda tahu sesuatu mengenai kasus ini, semestinya anda beri tahu kepada tim kami. Mungkin saja ini dapat membantu merujuk pada pelaku lain jika memang anda tidak bersalah, Nona!” Abbiyya mulai berharap-harap cemas berharap Adhisti hendak mengatakan apa yang ia ketahui tentang space room itu. “Untuk apa?! Palingan setelah gue kasih tahu kalian semua akan malah semakin nuduh gue! Bukan begitu Abbiyya?!” sergah Adhisti. Baru saja mulut Abbiyya tampak hendak terbuka lagi, seorang petugas datang menghampiri