Accueil / Thriller / Mayat di Balik Plafon / 2. Malam Mencekam Lainnya

Share

2. Malam Mencekam Lainnya

Auteur: Annisarz
last update Dernière mise à jour: 2023-02-08 17:07:14

Dengan cepat Adhisti menarik ponselnya dari telinga dan memasukkannya ke saku kembali. Wajahnya langsung meringis saat melihat seorang lelaki jangkung dengan kaos yang sedikit oversize di berdiri di ujung tangga bawah

 “Bang Rio? Kok di sini? Sudah tutup ya, Bang? Tokonya? Ehm, anu!” pekik Adhisti langsung menuruni tangga dan menghampiri lelaki tinggi bernama Rio itu.

Adhisti langsung mencekal pergelangan tangan kiri Rio dan menariknya menuju arah yang berlawanan.

“Kok sudah di sini sih, Bang?! Baru aja Adhis mau ke kios Abang! Tolong bukain lagi ya, Bang! Ini urgent banget! Please!” bujuk Adhisti lagi-lagi menggunakan trik yang sama dengan yang ia tunjukan pada Rafa beberapa menit lalu.

“Mau beli apa?” tanya Rio menatap Adhisti dengan penuh curiga. Matanya benar-benar menyipit dan membuat Adhisti sebentar merasa terintimidasi. 

“Anu, mau beli lakban sama pengharum ruangan!” pekik Adhisti berusaha meyakinkan mungkin.

Sambil membuka lagi tautan gembok pada kiosnya dan mengerek rolling door itu ke atas, Rio kembali menyipitkan mata ke arah Adhisti.

“Lakban? Pengharum ruangan? Malem-malem kaya gini? Lo mau ngapain sama dua benda itu?” Rio melangkahkan kakinya ke dalam kios menuju salah satu saklar lampu kios diikuti oleh Adhisti di belakangnya.

“Adalah urusan, Bang! Lagian nggak perlu kali abang tahu buat apa semua pembeli di kios abang ini pakai barang-barang yang mereka beli di ini!” ujar Adhisti mencoba mengalihkan topik.

“Pengharumnya ada di rak, lo ambil sendiri! Lakbannya mau ambil berapa?” Rio langsung masuk ke area kasir dan membuka kunci salah satu etalase berisi alat tulis. 

“Laban yang sedengan aja satu, Bang!” teriak Adhisti. Tak lama setelahnya, Adhisti kembali dengan tiga buah pengharum ruangan gantung dengan merek berinisial S di tangannya.

“Semua? Tiga-tiganya? Mau mukbang pengharum ruangan lo, Dhis?!” 

“Enak aja! Ya nggaklah! Pokok ya ada deh buat ngusir bau di apartemen! Sudah ini aja berapa semuanya, Bang?” tanya Adhisti sembari merogoh saku kanan celana jeansnya dan mengeluarkan dompet dari sana. 

Bukannya segera menyebutkan berapa nominal yang mesti Adhisti bayarkan, Rio malah asik mengamati Adhisti dengan tatapan tanpa kedipan sekalipun. Tatapannya yang berawal tajam dan penuh intimidasi kini seolah berubah melunak dan malah cenderung menjadi tatapan seorang penggoda. 

“Bang? Halo?” Adhisti melambaikan kedua tangannya di depan wajah Rio dan membuat cowok itu sedikit tersentak. “Kok malah ngelamun? Berapa totalnya? Atau mau gratis aja?” 

“Bawa aja! Hitung-hitung diskon malam!” sahut Rio masih dengan tatapan yang sama.

“Seriusan?” celetuk Adhisti yang merasa mulai aneh dengan tatapan yang diberikan Rio. “Nggak deh, Bang! Nih, lima puluh buat abang! Kalau kurang sorry! Gue pamit dulu, thanks!” pekik Adhisti lalu langsung menyabet kantong plastik hitam dari tangan Rio dan berbalik.

Namun dengan cepat Rio malah menahan tangan kiri Adhisti dan membuat gadis itu sedikit terhuyung ke belakang lalu terantuk tepian meja kasir. 

“Kenapa buru-buru sih, Dhis? Di sini aja dulu! Gue terlanjur buka toko lagi! Senggaknya temenin gue sampe tengah malemlah!” ujar Rio sembari berjalan menghampiri Adhisti yang kini jantungnya telah berdegup puluhan kali lebih cepat.

“Bang, jangan macem-macem, ya! Gue laporin Bang Rafa biar lo tau rasa! Lepasin tangan gue, nggak?!” sergah Adhisti berusaha tampak sebrutal mungkin

“Bentar doang, Dis! Tinggal satu jam lagi, juga! Nggak bakalan lama kalau kita nikmati tiap momennya!” ujar Rio.

“Bajingan lo, Bang!” tukas Adhisti kini langsung menepis tangan Rio dan hendak berlari dari kios juga sang pemilik kios yang tampak mesum itu.

“Adhisti! Lo habis bunuh siapa?! Mayat manusia mana yang mau lo sembunyiin?! Mau lakban dia dan hilangin bau pakai pengharum itu? Nggak bakalan bisa, Adhisti Sayang!! Kalau lo izinin gue malam ini, gue bakal jaga semua rahasia lo! Gimana??” teriak Rio saat langkah kaki Adhisti semakin menjauh dari kiosnya.

Mendengar semua penuturan Rio itu, Adhisti menghentikan langkah kakinya sejenak lalu berbalik. 

“Mayat apa?! Gue nggak mau sembunyiin apapun dari siapa pun kok! Dan dua barang ini bukan untuk dua tujuan itu!” sergah Adhisti. 

“Halah! Jangan bohong, Adhisti Sayang! Gue denger kok pembicaraan lo sama entah siapa di telepon tadi. Lo sendiri yang bilang kalau lo nemuin mayat di dalam kamar kerja lo. So? Mayat siapa itu? Mau gue bantuin buang? Tapi dengan syarat! Ikut gue malam ini!” tawar Rio sambil berjalan perlahan menuju ke dekat Adhisti.

“Stop!! Diem di situ, Bang! Ngaco lo! Sok tahu!! Bajingan!!” teriak Adhisti sebelum akhirnya berlari sekencang mungkin meninggalkan kios milik Rio.

Tak disangka-sangka rupanya Rio tak berhenti sampai di sana, cowok itu benar mengejar Adhisti dengan kecepatan yang tak kira-kira. Sebentar saja Adhisti mengurangi kecepatan, sudah bisa dipastikan jika ia akan habis malam ini dengan bengisnya Rio. 

“Anjing!! Kenapa pintunya harus macet sekarang, sih!! Buruan!!” umpat Adhisti sambil terus memutar knop pintu unit apartemennya. Sementara itu, beberapa meter tampak Rio telah berjalan dengan seringai di wajahnya.

“Kenapa lo selalu nolak gue sih, Dhis? Gue beneran cinta sama lo! Apapun yang lo lakuin, meskipun lo jadi pembunuh pun gue nggak akan berpaling! Gue akan bantu lo nurutin semua keinginan lo! Gue tahu kok lo suka sama hal-hal berbau psikopat ‘kan? Gue bisa bantu lo lakuin semua itu, kok! Kita bakal jadi pasangan yang spesial!” lirih Rio.

“Anjing!!” teriak Adhisti. Seketika pintu itu terbuka dan di saat yang bersamaan Rio berlari ke arahnya.

Syukurlah semesta masih memihak Adhisti. Ia berhasil masuk dan menutup pintu itu sebelum Rio menjamahnya.

Napas yang tersengal-sengal membuat Adhisti langsung duduk tak karuan di lantai dan menutup mukanya dengan kedua tangannya.

“Ngapain lo kaya gitu? Tuh lakban sama pengharum ruangan mau buat apa?” tanya Rafa gang tiba-tiba muncul di hadapan Adhisti sambil menunduk. 

“Bang Rafa!!” pekik Adhisti langsung memeluk kakaknya itu.

Sedikit terkejut Rafa hanya bisa menepuk bentar punggung sang adik.

“Gue tidur sama lo malem ini, please!! Gue takut, Bang! Gue takut!” rengek Adhisti sambil mulai terisak dalam pelukannya pada Rafa.

“Apaan sih, Chaay?? Lo kenapa? Ngapain nangis kaya gini coba?! Lo dari mana?!” sergah Rafa menjauhkan sang adik dari pelukannya lalu membantu mengelap air mata gadis itu.

“Bang Rio, Bang! Dia, dia mulai lagi! Dia ngegoda Adhis lagi, Bang!” rintih Adhis.

“Mana mungkin, Chaay! Rio temen gue! Ga mungkin dia kaya gitu! Sudah ah, mending lo buruan tidur! Besok pagi kita kelarin tuh bangkai tikus atau kucing! Barusan udah gue geser ranjang lo. Lo nggak bakal kejatuhan para belatung itu lagi,” papar Rafa.

“Nggak mau, Bang! Gue maunya tidur sama Bang Rafa!” 

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Mayat di Balik Plafon   142. Akhir Segala Penderitaan

    “Berhenti dan angkat tangan atau kami tembak!” teriak seorang petugas kepolisian yang telah berada di ambang pintu bersama beberapa pasukan polisi lainnya. Rafandra yang mendengar pekikan itu seketika menghentikan aksinya dan menajamkan matanya. “Bajingan!” umpatnya. “Daripada tidak sama sekali, lebih baik semua sekarang saja!” sergahnya lagi laku tampak hendak kembali menarik Adhisti ke depannya. Namun seorang polisi dengan tanggap mengetahui kondisi tersebut segera menembakkan ultimatum ke udara bersamaan dengan beberapa petugas yang dengan sigap memisahkan Adhisti dan Rafa saat Rafandra terkejut atas suara tembakan itu. Dua orang petugas wanita itu langsung melepaskan Adhisti dari tali sementara dua petugas polisi lainnya langsung menahan Rafandra yang terus memberontak. “Semestinya memang gue bunuh lo, Chaay! Anjing!! Mati lo anak tiri!!” teriak Rafa begitu para petugas kepolisian menggiringnya pergi dari ruangan itu. Adhisti menangis lalu dengan cepat tangannya yang sedikit

  • Mayat di Balik Plafon   141. Miliknya Seutuhnya?

    “Mmmphh!” pekik Adhisti kian kencang menggerakkan tubuhnya berusaha lepas dari jeratan tali dan juga kakak angkatnya sendiri. “Sst, Chaaya. Kau tak perlu khawatir, aku tak akan menyakitimu selagi kamu menuruti semua perintahku. Kau tahu, aku sangat tersiksa karena semua penolakanmu, Sayang. Dan kurasa sekarang waktunya yang tepat! Bukan begitu?” ujar Rafa. Adhisti menggelengkan kepalanya hingga akhirnya lakban yang sebenarnya telah mengendur itu berhasil terbuka. “Pembunuh!! Lo pembohong Rafa!! Kenapa lo lakuin semua ini, hah?! Mawar! Dan kenapa harus gue?!” sergah Adhisti. Rafa terkekeh lalu tangannya meraih dagu Adisti dan sedikit mengangkatnya. “Kau mau tahu apa alasannya? Baiklah, kurasa aku masih memiliki sedikit waktu dongeng sebelum aku bisa melepaskan semuanya padamu.” Rafandra bangkit dari jongkoknya dan membiarkan Adhisti masih terikat namun dengan mulut yang terbuka. “Gue nggak suka sama keputusan abah yang memilih mengadopsi lo, Chaaya! Gue sadar sejak umur gue enam

  • Mayat di Balik Plafon   140. Sang Pelaku

    Sementara Rafa membawa Adhisti ke sebuah tempat yang entah berada di mana itu, Abbiyya tengah berada di ruang forensik bersama Angel untuk membuka hasil tes darah Rafa dan Adhisti. “Abbiyya, aku ingin mengatakan hal yang serius sebelum kau membuka surat ini. Semalam aku mendapatkan telepon dari pusat. Mereka ingin mencocokkan sebuah sampel tambahan yang mereka temukan dalam penyelidikan ulang mereka,” papar Angel memandang Abbiyya serius. “Maksudnya?” sahut Abbiyya sembari membuka amplop hasil tes darah itu. “Pimpinan menemukan sebuah DNA baru yang bukan merupakan DNA Rio, Adhisti, maupun Mawar. Itu DNA yang lain. Saat aku memeriksanya, DNA itu cocok dengan DNA Rafa!” pekik Angel. Bersamaan dengan pernyataan Angel, Abbiyya pun telah membaca laporan hasil tes darah itu. ‘TIDAK ADA KECOCOKAN DARAH ANTARA RAFANDRA DEBGAN CHAAYA ADHSITI. KEDUANYA BUKAN SAUDARA SEDARAH’ Mata Abbiyya menajam. “Tunggu! DNA di bukti pembunuhan?! Maksudmu Rafa berhubungan dengan kematian Mawar?!” serga

  • Mayat di Balik Plafon   139. Membongkar Diri Sendiri

    “Surat adopsi?” gumam Adhisti lalu segera membuka benda itu dan membacanya dengan cepat. Matanya yang awalnya hanya menyipit tiba-tiba semakin membulat saat membaca namanya ada di sana. “Ja-jadi, jadi yang Abbiyya bilang itu bener?! Gue, gue bukan anak kandung abah? Abah adopsi gue setelah gue dan keluarga gue kecelakaan?” gumam Adhisti lalu air mata mulai mengalir deras. “Tapi mana mungkin?! Kenapa gue nggak inget sedikit pun?!” sergah Adhisti. “Bang Rafa juga nggak pernah bilang soal ini! Dia harus kasih semua penjelasan sama gue!” pekik Adhisti lalu langsung bangkit dengan surat itu ditangannya. Entah jalan pikiran semacam apa yang dimiliki Adhisti. Bukannya segera menjauh dari Rafa yang memiliki sejuta rahasia itu, ia malah memutuskan untuk menghampiri Rafa di rumah Szi untuk menanyakan perihal surat adopsi yang sudah jelas dan sah dengan bubuhan materai dan tanda tangan Bardji itu. Sementara Adhisti dalam perjalanan, Rafa yang beberapa saat lalu telah memasuki ruangan dalam

  • Mayat di Balik Plafon   138. Setelah Semalam

    Hari berganti pagi sementara Adhisti masih membuka matanya sambil melamun di atas ranjang. Usai kejadian semalam saat ia mendengar dan merasakan sendiri semua perkataan dan perbuatan Rafa, ia sama sekali tak bisa tertidur tenang. “Apa setiap malam Bang Rafa selalu kaya gini? Apa malam itu, Bang Rafa juga lakuin ini? Kenapa dia lakuin ini ke gue? Dia tahu gue adiknya ‘kan?!” sergah Adhisti dalam hstinya. Tok! Tok! Tok! Suara pintu diketuk membuat Adhisti terperanjat dari lamunannya. Gadis itu memandang ke arah pintu dengan kelu. Bayangan Rafa yang menciumnya kembali terulang. “Chaay, bangun! Sarapannya udah siap, nih!” pekik Rafa dari luar. Adhisti tak membalas. Gadis itu masih tak bisa jika harus bertemu dengan sang kakak yang ternyata memiliki hasrat tersembunyi padanya itu. “Chaay?!” ulang Rafa kini mengetuk pintu lebih kencang. Adhsiti tak menyahut. Dan entah apa yang Rafa pikirkan, pria itu kini langsung membuka pintu kamar Adhisti dan seketika membuat Adhisti bangun dari posi

  • Mayat di Balik Plafon   137. Bukan Malam Biasa

    “Hah?! Tidur di sini?!” Adhisti dengan cepat menahan lengan Rafa sebelum pria itu bisa masuk ke dalam unit tersebut. “Ini hari pertama pernikahan lo sama Kak Szi, Bang! Mana bisa lo tidur di sini?! Ya lo sama istri lo sana lah! Tega lo tinggalin dia sendirian padahal kalian baru nikah?!” sergah Adhisti. Rafa menghela napasnya kasar lalu tangannya dengan kuat mencengkeram tangan Adhisti yang menahan lengannya. “Lo pikir gue suka nikah sama dia, Chaay? Lo pikir ini pernikahan yang gue mau? Nggak! Gue terpaksa! Masih mending gue kasih dia status sebagai istri gue biar dia nggak malu! Lagian ini rumah gue juga ‘kan? Gimana ada ceritanya gue nggak bisa tidur di rumah gue sendiri?” omel Rafa. “Ya tapi kondisinya nggak bisa, Bang! Lo baru nikah! Atau minimal lo bawa Kak Szi ke sini, deh!” sergah Adhisti. “Lo pilih gue tidur di dalam atau di depan sini? Yang jelas keputusan gue udah jelas malam ini gue bakalan di sini!” sergah Rafa seolah tak ingin di bantah. “Batu banget sih lo jadi or

  • Mayat di Balik Plafon   136. Kecurigaan Baru

    “Abbiyya, gue udah pernah bilang sama lo untuk lepasin Chaaya. Dia aman sama gue. Dia nggak perlu perlindungan lo lagi! Jadibm udahlah, lo juga nggak perlu cari tahu soal gue atau pun pernikahan gue. Gue nggak suka!” sergah Rafa lalu langsung meninggalkan Abbiyya begitu saja. “Sikap dia yang kaya gini yang makin bikin gue curiga. Gue perlu bukti valid tentang hubungan Adhisti sama Rafa. Mungkin cuma dengan bukti itu Adhisti bakal percaya sama gue kalau ada yang nggak beres sama Rafandra!” bisik Abbiyya sambil memandang lurus ke arah Rafandra yang berjalan pergi. Tiba-tiba sebuah ide muncul di pikiran Abbiyya. Ia menemukan satu cara yang sebenarnya sedikit ilegal untuk dilakukan. Namun sekarang tak ada cara lain yang bisa ia pikirkan. Ia pun sedikit ragu apakah ia bisa menemui Rafa maupun Adhisti lagi setelah ini. Abbiyya membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah injeksi kecil yang bahkan tak tampak dalam genggamannya. Ia berjalan mengikuti Rafa yang saat itu tengah mengantre di halte

  • Mayat di Balik Plafon   135. Kasus Menggantung

    “Abbiyya!” pekik Ganendra tampak berlari cepat ke arah Abbiyya yang saat itu hendak berjalan keluar kantor polisi. Abbiyya berbalik dan melihat Ganendra sedikit tergopoh mengejarnya. Pria itu mengerutkan dahi tanda sedikit kebingungan atas apa yang terjadi di hadapannya itu. “Ada apa, Gan? Kenapa lari buru-buru gitu? Ada yang urgent?” ujar Abbiyya. “Lo udah denger keputusan baru soal kasus Mayat di Balik Plafon unit 706 itu?” tutur Ganendra sambil masih sedikit ngos-ngosan. “Ya, sidangnya tadi pagi ‘kan? Gue denger Rio dapat hukuman setimpal kok. Emang kenapa?” Abbiyya lagi-lagi mengerutkan dahinya. “Gue denger rumornya kasus si Rio itu masih ngegantung! Dia diadili untuk perbuatan dia soal pelecehan itu. Tapi untuk penemuan mayat di balik plafon itu dia minta banding karena alasan pemalsuan data sama kaya yang terjadi sama Adhisti. Dan karena itu kasusnya masih gantung sekarang sampai pusat nemuin benang merah lainnya!” papar Ganendra. “Seriusan? Bukannya bukti kemarin sudah je

  • Mayat di Balik Plafon   134. Pernikahan Impianmu

    Hari ini adalah hari di mana Rafa akan menikahi Szi atas dasar ancaman Szi mengenai status Rada dan Adhisti yang sebenarnya bukan saudara kandung itu.Beberapa jam lalu janji suci yang ternodai kebohongan telah diucap oleh Rafa untuk Szi dan membuat keduanya telah resmi menjadi sepasang suami istri.“Thank you, ya Chaaya! Kalau bukan karena lo, mungkin hidup gue dan calon bayi kami ini bakalan hancur. Gue janji bakal jadi kakak ipar yang baik buat lo! Gue bakal masakan makanan enak tiap hari buat lo!” pekik Szi sambil sebentar mencubit pipi Adhisti sementara tangannya yang lain tampak melingkari tangan Rafa.“Kita tinggal terpisah dari Chaaya! Kita tinggal di kost an lo. Gue bakal bagi waktu buat kalian berdua. Gue tetep mesti jaga dan pantau Chaaya juga,” sela Rafa membuat Szi terkejut bukan main.“Maksudmu? Kalau kau ingin tetap menjaga Chaaya, kenapa kita tak tinggal di unitmu saja? Toh aku akan tinggal di kamarmu, unitmu cukup untuk menaungi keluarga kita ditambah Chaaya, Sayang!”

Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status