Share

Bab 3. Malunya Aku

Aku diam sejenak, di depan pintu lift. Teringat apa yang dikatakan Pak Sakti.

"Saya tunggu makan siang. Cepat naik!"                         

Dia bilang, naik ke atas. Jadi ada dua kemungkinan tempat makan, cafetaria di lantai sembilan atau top party di rooftop. Paling tepat cafetaria lantai di sembilan. 

Sip! Aku ke cafetaria. Tantangan cemen seperti ini, kalau salah membuat malu sekampung.

Tring

Pintu lift terbuka, aku langsung masuk, sendiri. Pencet naik angka sembilan. Pintu tertutup dan jalan.

Terpantul bayanganku dari dinding yang full stainless, tinggi semampai berambut panjang, dan wajah lumayan tidak jelek. Hanya sering kali orang sekitarku mengatakan aku kurang riasan, terlihat pucat, kalau ibu bilang lebih sadis, 'nglubut' tingkatan diatasnya dekil. Untung secara fisik menyerupai Ibu yang dulunya kembang desa, putih dan ayu. Kalau mirip Bapak bisa-bisa harus pakai lampu karena terlalu gelap, itu becandaan Ibu kalau menggodaku.

Karenanya sering diomeli, supaya kelihatan fashionable aku warnai rambutku menjadi terang. Lumayan membantu, aku tidak harus melukis wajahku seperti perempuan lainnya. Cukup kaca mata hitam menambah gaya penampilanku.

Tring

Sudah sampai di tujuanku, pintu terbuka dan harum makanan menguar di hidungku. Perutku yang sedari tadi bergejolak lapar, sekarang bertambah dengan air liur memenuhi mulut ini. 

Aku edarkan pandangan mencari Pak Sakti. Design tempat ini terlihat asri, sesaat kita lupa kalau kita di lantai atas. Tanaman hijau ada dimana-mana dan terbentang jendela kaca lebar dengan pemandangan gumpalan awan biru dan putih. 

Indah.

"Litu!"

Kepala Pak Sakti melongok keluar dari tanaman penghias ruangan yang rimbun. Aku tersenyum dan menghampirinya.

"Terlambat dua puluh lima detik!" ucapnya melihat jam di tangannya. Mataku membulat mendengarnya, aku di kasih waktu untuk ke sini?

"Eit! Kami jangan melotot! Matamu tambah lebar seperti ikan Maskoki!" selorohnya dan tersungging senyum di bibirnya. Dia menunjuk tempat duduk di depannya untuk aku duduki.

"Makanan sudah aku pesan. Duduk saja!"

"Memang Pak Sakti tahu, saya mau makan apa?"

"Di sini cuma ada satu menu."

Aku iyakan saja ucapannya, dari bau yang aku endus seperti banyak sekali yang tersedia di sini. Yah, sementara ucapan senior adalah kebenaran yang hakiki.

"Kamu aku test dengan banyak cara, tadi salah satunya. Ketepatan waktu. Pekerjaan ini membutuhkan waktu yang tepat dengan kemungkinan waktu meleset sedikit mungkin. Mengerti?!" ucapnya.  

Aku anggukkan kepala untuk mengiyakan dan beralih perhatianku ke hidangan yang sudah datang. Nasi putih dengan lauk menggunung mengunci pandangan mataku. 

"Kamu lapar?"

"Iya, Pak!" jawabku asik mengelap sendok dan garpu dengan tissue sebelum aku gunakan. 

Aku mendongakkan kepalaku setelah menyadari hanya denting sendok garpuku saja yang berbunyi.

"Pak Sakti tidak makan?" Dia menatapku dengan tersenyum.

"Saya baru tahu sekarang, ada perempuan cantik yang makannya seperti Samson," selorohnya.

"Siapa? Saya? Saya cantik?" ucapku sambil menunjuk diriku sendiri. 

"Besar kepala kamu!" ucapnya langsung beralih mengambil sambal yang tersedia di meja dan makan hidangan yang tersaji tanpa melihatku lagi. 

Aman.

Makanku tidak terganggu dengan test nya yang aneh. Dalam satu hari, julukanku sudah berganti dari kucing kecil menjadi Samson. Pak Sakti ini lama-lama lucu.

Sikap laki-laki terhadap wanita tergantung dari respon wanita itu sendiri. Kalau kita menanggapinya biasa, mereka akan segan dengan sendirinya.  Apalagi di dunia yang aku geluti sekarang ini, mayoritas laki-laki dengan gaya keras, kasar, termasuk sikap genit dengan perempuan. 

Dulu ketika kuliah, aku sering ikutan teman-teman menggunjingkan mahasiswi cantik fakultas lain. Seperti lupa kalau aku ini perempuan juga. 

Begitulah kalau berteman dengan laki-laki. Aku sudah biasa.

***

"Pak Sakti, saya permisi dulu," ucapku setelah melihat jam di dinding pukul lima sore. 

"Kamu mau kemana?"

"Pulang. Sudah jam pulang, kan?" Tadi setelah dari makan siang, aku dipanggil bagian personalia. Dijelaskan semua peraturan termasuk jam kerja.

"Litu. Dari awal sudah saya bilang, kamu harus mengikuti kemanapun saya pergi. Kok kamu sekarang mau pulang?" ucap Pak Sakti.

"Maksudnya? Saya ikutan pulang ke tempat bapak?" tanyaku melemparkan candaan. Lama-lama aneh, nih orang.

"Bukan dodol! Kita masih ada pertemuan dengan team sipil nanti malam, jadi kamu harus ikutan!" teriaknya sambil melempar remasan kertas ke arahku. 

"Tapi, Pak. Itu masih nanti malam, sekarang masih jam lima sore. Boleh saya pulang dulu?" tanyaku sambil berpikir. 

Perjalanan pulang tiga puluh menit, pulang pergi satu jam. Sedangkan pertemuan jam tujuh tiga puluh malam. 

Aaah, terlalu mepet.

"Kalau kamu mau istirahat, ikut aku. Ada ruangan khusus untuk istirahat sementara," ucapnya sambil berkemas juga.

Aku mengangguk dan mengikutinya. Bagaimanapun Pak Sakti satu-satunya temanku sekarang.

***

Ruangan ini ada di paling ujung, masih dalam satu lantai. Seperti apartemen, di dalamnya ada ruangan santai dan terdapat beberapa kamar. 

Kamar?

"Litu, ini tempat kami istirahat kalau terpaksa harus lembur. Kamu gunakan kamar yang di sana. Ini dulunya contoh interior apartemen, makanya lengkap. Kalau ingin membersihkan badan, ada toilet dan peralatan di sana. Semuanya bersih, kok!" ucapnya langsung meninggalkanku yang masih mengedarkan pandangan di seluruh ruangan. 

Jangan-jangan ada kamera tersembunyi atau apa begitu. Aku harus waspada.

"Litu! Disini aman!" teriak Pak Sakti kembali membuka pintu kamar yang dia gunakan. 

"Eh-eh, iya, Pak!"

"Cewek memang ribet!" gerutunya terdengar samar. 

Aku langsung bergegas masuk di kamar yang dimaksud. Kamarnya bagus bersih, ada toiletnya. Badanku yang lengket karena debu ketika membereskan meja tadi, membuatku ingin segera membersihkan badan. Ada handuk, baju mandi, peralatan mandi lengkap, seperti penginapan. 

Sip! Segera aku membersihkan badan.

Aku gunakan piyama tidur yang tergantung di lemari. Terasa merdeka, melepas semua atributku dalam keadaan badan bersih.

***

Tok ... tok ... tok ....

"Litu! cepet keluar!" Suara Pak Sakti.

Masih satu jam lagi, pikirnya. Setelah salat magrib, rencanaku ada waktu sedikit untuk selonjoran kaki. Karenanya, aku belum bersiap.

Aku membuka pintu, dan terlihat Pak Sakti didepanku dengan penampilan yang segar. Lengan kemeja panjangnya dilipat sampai siku, terlihat santai apalagi rambutnya yang sedikit basah sebagian berantakan menutupi dahinya.

Pak Sakti terdiam, matanya membulat menatapku, tidak berkedip. Aku mengeryitkan dahi menatapnya balik.

"Litu! Cepat bersiap, aku tunggu di ruang makan!" teriaknya langsung memalingkan muka dariku dan bergegas meninggalkanku.

Astaga! 

Tanpa sadar aku tadi keluar dengan masih menggunakan piyama saja. Itu tidak baik, karena ada yang berbayang di sana.

Malunya, aku!

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status