"Satu pertanyaan saya. Maaf, ya. Litu, ini benar karya kamu?" tanyanya dengan menatapku tajam, tangannya menunjukkan portfolioku yang sedari tadi dibawanya.
"Pak Sakti meragukan ini karya saya?" Aku menyerngitkan dahi, keraguan kemampuan berdasarkan gendre aku pikir hanya terjadi di lapangan saja. Ternyata, di perusahaan yang bonafit seperti ini dan kabarnya sudah go internasional masih berfikir sempit seperti itu.
Pak Sakti tersenyum dan menyandarkan punggungnya. Dia memiringkan kepalanya dengan masih menatapku. Ih, orang ini tidak tahu kalau aku kesal dengan keraguannya, malah tersenyum tidak jelas. Senyumnya ternyata manis juga dan wajahnya tidak seserius pada awalnya, lebih bersahabat.
"Saya tidak meragukan kamu, tetapi perlu bukti."
"Itu sama saja, Pak. Apa yang harus saya lakukan untuk membuktikan itu karya saya? Soft copy sudah saya berikan, begitu juga hard copy. Sudah ditangan, kan?" ucapku melontarkan pertanyaan balik. Tangan ini tak terasa menggenggam erat, menahan kekesalan yang mulai terpatik. Ini memang bukan keraguan yang pertama, tapi harapan yang terlalu tinggi akan kerja yang lebih professional seakan terhempaskan.
"Buktikan kalau kamu konsisten dan loyal di bidang ini. Kalau pintar dan berbakat, saya yakin kamu sudah lolos dengan itu. Namun di sini, dunia keras tidak hanya cukup untuk itu!" ucapnya dengan menautkan kedua tangannya di meja dan mencondongkan bahannya ke arahku. "Proyek ini tidak hanya sebatas gambar. Mengerti?" tandasnya.
"Saya mengerti!"
"Kalau begitu, kita mulai kerja! Mulai hari ini, kau ikuti ke mana pun saya pergi!"
"Kemanapun?!" tanyaku sembari mengernyit tidak mengerti. Aku di sini sebagai tenaga arsitek, bukan sekertaris yang harus menguntit dia, kan?
"Kecuali ke toilet, lah!" ucapnya dengan tertawa kecil. Kemudian dia berucap kembali, seakan tahu apa yang aku pertanyakan. “Sementara, kamu sebagai asistenku. Dan, semua yang aku kerjakan, kamu harus tahu. Karenanya, ikuti semua yang aku perintahkan. Sekarang kita adalah team!”
Melihat sikapnya, Pak Sakti sepertinya orang asik untuk partner kerja. Profesional, serius tetapi santai.
Pekerjaan kami memang lebih menekankan kepada kreatifitas, suasana dan teman kerja sangat mempengaruhi. Kemunculan dan keliaran ide tidak akan termampatkan ketika kami mendapatkan kebebasan.
"Ruang kerja kamu di sini. Itu meja kerja kamu," ucapnya sambil menunjuk meja kerja dengan banyak barang yang tidak tersusun rapi. Aku menyedarkan pandangan, ruangan ini hanya ada dua meja kerja, untuknya dan untukku. Apakah ini berarti di sini hanya kami berdua?
"Dulu saya mempunyai asisten. Dia sudah kabur. Saya harap kamu tidak seperti dia. Kalau kamu lolos dari masa percobaan, tentunya!" ucapnya dengan melirikku.
"Saya ada urusan dengam Mahendra. Satu jam lagi, saya kembali dan kita makan siang. Kamu bereskan meja kamu. Kalau memerlukan bantuan OB, pencet interkom no 21!" perintahnya. Pak Sakti langsung berdiri dan bersiap keluar. Sebelum sampai pintu, langkahnya terhenti dan berbalik ke arahku.
"Ada yang ditanya?" ucapnya.
"Di ruangan ini, saya tidak ada teman kerja lainnya?" Pertanyaan yang sedari tadi berputar di pikiranku.
"Aku temanmu. Kita berdua saja di sini. Takut?" tanyanya dengan memiringkan kepalanya. "Benar kata Mahendra, kalau cewek ribet!" celetuknya setelah aku tidak kunjung meresponnya.
"Siapa yang takut! Saya tidak takut selama kita berkerja secara profesional," ucapku dengan alis bertaut dan mendongakkan sedikit kepalaku.
"Good! Ternyata kamu kucing kecil!" ucapnya langsung keluar pintu.
Kucing kecil? Apa maksudnya ungkapan dia? Aku akan tunjukkan, kucing kecil bisa liar ini dan bisa menunjukkan giginya!
***
Huuft ...!
Semua sudah beres. OB sudah mengepel dan membersihkan debu, aku paling tidak suka debu. Setiap ada debu, dipastikan hidungku berair. Meja udah tertata rapi. Folder aku jajar di rak belakangku sesuai abjad.
Meja kerjaku sudah siap. Aku raba meja dan kursi kerja, terasa puas dan lega. Akhirnya mendapatkan pekerjaan yang aku inginkan. Pekerjaan yang menerima rancanganku yang tidak biasa.
Treeet .... Treeet ....
Bunyi interkom, aku beranjak dari dudukku dan mengangkatnya. Mungkin dari OB yang tadi.
"Halo, dengan Litu di sini. Bisa saya bantu?"
"Litu! Ini Sakti! Saya tunggu makan siang. Cepat naik!"
"Tempatnya di mana, Pak?"
"Kalau kau pintar, pasti akan tahu!"
Brakk ....
Huuft, dasar tidak sopan. Aku harus menghampirinya sekarang. Di depan lift aku terpaku diam, banyak sekali daftar ruangan di sini. Kantin, ada beberapa yang tertera. Mana yang harus aku tuju?
Sekarang aku di lantai delapan.
Kantin ada tiga tempat, lantai satu, tiga dan lima. Mana yang harus aku tuju? Sebentar ada tulisan lagi Cafetaria di lantai sembilan dan Top Party di rooftop.
Mana yang harus aku tuju?
"Kalau kau pintar, pasti akan tahu!" Kata-katanya yang terngiang ditelingaku. Ini tantangan.
Aku, Lituhayu, siap menerima tantanganmu!
*****
Aku diam sejenak, di depan pintu lift. Teringat apa yang dikatakan Pak Sakti."Saya tunggu makan siang. Cepat naik!" Dia bilang, naik ke atas. Jadi ada dua kemungkinan tempat makan, cafetaria di lantai sembilan atau top party di rooftop. Paling tepat cafetaria lantai di sembilan. Sip! Aku ke cafetaria. Tantangan cemen seperti ini, kalau salah membuat malu sekampung.TringPintu lift terbuka, aku langsung masuk, sendiri. Pencet naik angka sembilan. Pintu tertutup dan jalan.Terpantul bayanganku dari dinding yang full stainless, tinggi semampai berambut panjang, dan wajah lumayan tidak jelek. Hanya sering kali orang sekitarku mengatakan aku kurang riasan, terlihat pucat, kalau ibu bilang lebih sadis, 'nglubut' tingkatan diatasnya dekil. Untung secara fisik menyerupai Ibu yang dulunya kembang desa, putih dan ayu. Kalau mirip Bapak bisa-bisa harus pakai lampu karena terlalu gelap, itu becandaan Ibu kalau menggodaku.Karenanya sering diomeli, supaya kelihatan fash
Menahan rasa malu, aku langsung bergegas bersiap. Merapikan baju, rambut dan berias sedikit. Hanya bedak tipis dan lip gloss. Aku harus menjelaskan ke Pak Sakti, jangan sampai dia menganggapku menggodanya.Pak Sakti duduk di ruang makan, sudah ada makanan terhidangkan di sana. Ternyata, panggilan tadi untuk makan. "Pak Sakti, maaf tadi saya tidak sengaja. Bukan bermaksud untuk ....""Sudahlah. Saya sudah hafal dengan anatomi. Tidak usah dijelaskan, saya sudah kebal! Kalau tidak, sudah saya terkam kamu tadi!" ucapnya dengan tertawa. Aku pun ikut tertawa kikuk. Jangan-jangan Pak Sakti ini ....Ah, biarlah. Kalaupun iya, itu bagus untukku.Kami langsung menghabiskan makanan di depan kami, nasi uduk dengan lauk ayam goreng.***Setiba di ruang meeting, sudah berkumpul para tenaga sipil. Dari kepala proyek, kepala pengadaan barang sampai mandor. Kali ini, kami mengadakan pertemuan tentang proyek yang masih berjalan. Sebenarnya, aku belum mempunyai andil apapun dipertemukan, tetapi ini
Aku memantaskan diri di cermin. Mengenakan setelah celana kain berwarna merah maroon lengkap dengan blazernya. Dilengkapi dengan kemeja merah muda dengan renda di bagian dada. Terlihat simple tetapi fashionable. Sengaja sebelum berangkat ke Jakarta, aku memesan beberapa stel baju ke Alysia-teman kos ketika kuliah dulu. Saat ini dia mengembangkan butik warisan keluarga di ibu kota ini. Awalnya, aku merencanakan hanya tinggal sementara di tempat sahabatku itu sebelum mendapat tempat yang cocok. Namun, rencana diambil alih olehnya dengan berbagai alasan. Termasuk, tidak tega melepasku di kota besar ini. "Litu! Di sini jangan disamakan dengan Jogja, yang model orangnya santai. Kemana-mana pakai sandal jepit masih dihargai. Di sini, penampilan nomor satu. Kamu akan dilirik orang, kalau penampilanmu menarik. Setelah itu, baru kualitas kamu akan mendapatkan kesempatan untuk dinilai!' terangnya ketika aku baru sampai. Terdengar ngeri mendengar penjelasnya. Kalau tidak karena panggilan ke
Entah mengapa, setelahnya kami pun terdiam, hingga orang di lift sudah tinggal kami berdua. Setelah sampai di lantai tujuan, aku mengikuti Pak Sakti menuju ke ruangan kami. Tiba-tiba, dia berhenti dan membalikkan badan ke belakang. "Kamu kenapa berjalan di belakangku? Kita jalan seperti bebek dengan anaknya!" selorohnya dengan tertawa kecil. Aku menatap wajahnya dan ikut tertawa setelah memastikan tidak ada apa-apa karena kejadian tadi. "Kita jalan sambil berbincang. Ingat, kira rekan kerja bukan baginda raja dan bawahannya," ucapnya berjalan melambat mensejajari aku. "Siap, Pak!" ucapku bersikap kembali seperti semula. Saat ini, aku masih menjajaki Pak Sakti. Apakah dia termasuk golongan seperti rekan kampusku dulu, yang melihat kami bukan berdasar gendre, atau seperti laki-laki pada umumnya. "Bagus penampilanmu saat ini, daripada kemarin. Baju baru?" tanyanya, menoleh ke arahku. "Ini karena sahabatku, Alysia namanya. Kami tinggal bersama dan dia di sini mempunyai butik. Kar
"Mas Sakti, kita di tunggu Pak Mahendra sekarang. Meeting diajukan," ucapku membuat dia berdiri dan tersenyum kepadaku sambil berkata, "Kamu sudah siap menghadapi singa perusahaan ini?" Aku tersenyum dan mengangguk berusaha menguatkan dan menenangkan jantung yang berdetak kencang. Kucing kecil ini akan menunjukkan cakarnya di depan singa perusahaan ini. 'Siap!'* "Kamu tidak usah kawatir. Siapapun dia, kita tetap sama. Sama-sama makan nasi!" kelakar Mas Sakti. "Saya tidak kawatir," elakku. "Tapi takut, kan?" ledeknya sekali lagi. Aku hanya tersenyum menanggapinya. Persiapan mental, itu yang utama. Kalau keilmuan atau kreatifitas sudah ada di genggaman. Setiap di tempat kerja, aku mempunyai misi. Seorang perempuan pun berhak dan bisa menjadi seorang arsitek dengan kemampuan yang bisa diperhitungkan. Itulah yang menjadi semangat dan kekuatanku menghadapi siapapun di bidang ini. "Kita ke sana sekarang. Dia paling tidak suka dengan ketidaktepatan waktu," ingat Pak Sakti. "Kan Pa
"Kedua, dia menunggu kita untuk makan siang bersama," bisiknya dengan mendekatkan wajahnya ke arahku."Maksudnya dia…. Pak Mahendra?!" tanyaku dengan mata membulat sempurna ke arahnya.'Aduh!'"Kenapa? Cacing kamu langsung mogok lagi?" ledek Mas Sakti terkekeh. Mungkin melihat wajahku yang sebelumnya semangat ingin makan, berubah terlihat aneh."Beneran, kita makan bersama Pak Mahendra yang tadi itu? Mas Sakti saja mungkin?" tanyaku tidak percaya. Bukannya tadi bicara denganku saja seperti mau muntah. Kenapa sekarang malah menghadirkanku di meja makannya? Jangan-jangan aku akan dimakan hidup-hidup dan dicabik-cabik oleh vampir itu."Sama kamu jugalah! Tadi sudah dibilang, kan," jawabnya sambil melangkah mengikuti Mbak Endah ke ruang VIP yang berada di ujung, aku berlari kecil untuk mensejajarinya."Hiiii," desisku sambil mengangkat bahu."Kenapa, Litu?" "Ngeri!" jawabku spontan. Mas Sakti terbahak mendengar ucapanku.Setiba di depan pintu, Mbak Endah membukakan pintu dan membungkuk m
Hari ini, aku bersiap untuk survey lapangan. Menggunakan baju senada seperti kemarin, hanya berbeda warna saja. Hari ini biru cerah, aku ingin kegiatan hari ini cerah sebiru bajuku. Aku menggunakan sepatu trepes, masih terlihat resmi tetapi lebih santai dan nyaman. Tidak ketinggalan, kaca mata hitam anti silau. Yang terakhir ini sebagai andalanku untuk meningkatkan penampilan. "Wah, sepertinya ada yang sudah tidak sabar lagi!" teriak Mas Sakti melihat aku sudah bersiap. Dia berpakaian lebih santai lagi, celana kain dan baju lengan panjang yang di gulung sampai siku. "Pagi Pak Sakti!" sapaku. "Hlo, kok Pak?" tanyanya heran. "Latihan. Supaya tidak keceplosan!" jawabku. Kemarin Mas Sakti sudah memberitahu, aku harus memanggilnya pak, di depan Pak Mahendra yang kolot itu. Jangan sampai salah, aku tidak mau ada ungkapan yang mematik keinginanku untuk menimpuk kepalanya. Terlalu ekstrim, ya? "Okey! Up to you, lah!" ucapnya sambil bersiap. Kami bergegas ke ruangan Pak Mahendra dan m
"Kamu kenapa, Litu?" suara berat terdengar di sebelahku, membuatku kaget. Hampir saja ponsel di tanganku terpental. Ternyata kalau bersuara lirih, kedengaran di telinga berbeda. Ada rasa menggelitik di hati ini, menyelusup dan gimana gitu."Ti-tidak, Pak. Tadi minum kopi terlalu kental," jawabku asal nyomot. Tidak mungkin aku berterus terang penyebab sebenarnya. Bisa jadi, aku langsung di pecat. "Sakti, tadi kalian minum kopi tanpa makan apapun?!" tanyanya dengan suara agak keras. "Iya, tadi kita tunggu lebih setengah jam sambil minum kopi. Yang lebih kasihan itu Litu. Karena terlalu bersemangat, datangnya lebih awal. Pasti dia tidak sempat sarapan!" seloroh Mas Sakti berbalas pelototan mata dariku. Sialan aku dijadikan alasan. "Baik, aku minta maaf sudah terlambat. Kamu mau makan pagi apa, Litu? Saya traktir," ucapnya dengan menatapku. Aku langsung menatapnya balik, beneran yang bicara barusan si Vampir itu? Minta maaf? Dan, dengan suara pelan lagi. Lebih enak didengar tetapi te