Share

Bab 2. Kita Hanya Berdua

"Satu pertanyaan saya. Maaf, ya. Litu, ini benar karya kamu?" tanyanya dengan menatapku tajam, tangannya menunjukkan portfolioku yang sedari tadi dibawanya.

"Pak Sakti meragukan ini karya saya?" Aku menyerngitkan dahi, keraguan kemampuan berdasarkan gendre aku pikir hanya terjadi di lapangan saja. Ternyata, di perusahaan yang bonafit seperti ini dan kabarnya sudah go internasional masih berfikir sempit seperti itu.

Pak Sakti tersenyum dan menyandarkan punggungnya. Dia memiringkan kepalanya dengan masih menatapku. Ih, orang ini tidak tahu kalau aku kesal dengan keraguannya, malah tersenyum tidak jelas. Senyumnya ternyata manis juga dan wajahnya tidak seserius pada awalnya, lebih bersahabat.

"Saya tidak meragukan kamu, tetapi perlu bukti."

"Itu sama saja, Pak. Apa yang harus saya lakukan untuk membuktikan itu karya saya? Soft copy sudah saya berikan, begitu juga hard copy. Sudah ditangan, kan?" ucapku melontarkan pertanyaan balik. Tangan ini tak terasa menggenggam erat, menahan kekesalan yang mulai terpatik. Ini memang bukan keraguan yang pertama, tapi harapan yang terlalu tinggi akan kerja yang lebih professional seakan terhempaskan.

"Buktikan kalau kamu konsisten dan loyal di bidang ini. Kalau pintar dan berbakat, saya yakin kamu sudah lolos dengan itu. Namun di sini, dunia keras tidak hanya cukup untuk itu!" ucapnya dengan menautkan kedua tangannya di meja dan mencondongkan bahannya ke arahku. "Proyek ini tidak hanya sebatas gambar. Mengerti?" tandasnya.

"Saya mengerti!"

"Kalau begitu, kita mulai kerja! Mulai hari ini, kau ikuti ke mana pun saya pergi!"

"Kemanapun?!" tanyaku sembari mengernyit tidak mengerti. Aku di sini sebagai tenaga arsitek, bukan sekertaris yang harus menguntit dia, kan?

"Kecuali ke toilet, lah!" ucapnya dengan tertawa kecil. Kemudian dia berucap kembali, seakan tahu apa yang aku pertanyakan. “Sementara, kamu sebagai asistenku. Dan, semua yang aku kerjakan, kamu harus tahu. Karenanya, ikuti semua yang aku perintahkan. Sekarang kita adalah team!”

Melihat sikapnya, Pak Sakti sepertinya orang asik untuk partner kerja. Profesional, serius tetapi santai. 

Pekerjaan kami memang lebih menekankan kepada  kreatifitas, suasana dan teman kerja sangat mempengaruhi. Kemunculan dan keliaran ide tidak akan termampatkan ketika kami mendapatkan kebebasan.

"Ruang kerja kamu di sini. Itu meja kerja kamu," ucapnya sambil menunjuk meja kerja dengan banyak barang yang tidak tersusun rapi. Aku menyedarkan pandangan, ruangan ini hanya ada dua meja kerja, untuknya dan untukku. Apakah ini berarti di sini hanya kami berdua? 

"Dulu saya mempunyai asisten. Dia sudah kabur. Saya harap kamu tidak seperti dia. Kalau kamu lolos dari masa percobaan, tentunya!" ucapnya dengan melirikku. 

"Saya ada urusan dengam Mahendra. Satu jam lagi, saya kembali dan kita makan siang. Kamu bereskan meja kamu. Kalau memerlukan bantuan OB, pencet interkom no 21!" perintahnya. Pak Sakti langsung berdiri dan bersiap keluar. Sebelum sampai pintu, langkahnya terhenti dan berbalik ke arahku.

"Ada yang ditanya?" ucapnya.

"Di ruangan ini, saya tidak ada teman kerja lainnya?" Pertanyaan yang sedari tadi berputar di pikiranku.

"Aku temanmu. Kita berdua saja di sini. Takut?" tanyanya dengan memiringkan kepalanya.  "Benar kata Mahendra, kalau cewek ribet!" celetuknya setelah aku tidak kunjung meresponnya.

"Siapa yang takut! Saya tidak takut selama kita berkerja secara profesional," ucapku dengan alis bertaut dan mendongakkan sedikit kepalaku. 

"Good! Ternyata kamu kucing kecil!" ucapnya langsung keluar pintu.

Kucing kecil? Apa maksudnya ungkapan dia? Aku akan tunjukkan, kucing kecil bisa liar ini dan bisa menunjukkan giginya!

***

Huuft ...!

Semua sudah beres. OB sudah mengepel dan membersihkan debu, aku paling tidak suka debu. Setiap ada debu, dipastikan hidungku berair. Meja udah tertata rapi. Folder aku jajar di rak belakangku sesuai abjad. 

Meja kerjaku sudah siap. Aku raba meja dan kursi kerja, terasa puas dan lega. Akhirnya mendapatkan pekerjaan yang aku inginkan. Pekerjaan yang menerima rancanganku yang tidak biasa.

Treeet .... Treeet .... 

Bunyi interkom, aku beranjak dari dudukku dan mengangkatnya. Mungkin dari OB yang tadi.

"Halo, dengan Litu di sini. Bisa saya bantu?"

"Litu! Ini Sakti! Saya tunggu makan siang. Cepat naik!"

"Tempatnya di mana, Pak?"

"Kalau kau pintar, pasti akan tahu!"

Brakk ....

Huuft, dasar tidak sopan. Aku harus menghampirinya sekarang. Di depan lift aku terpaku diam, banyak sekali daftar ruangan di sini. Kantin, ada beberapa yang tertera. Mana yang harus aku tuju? 

Sekarang aku di lantai delapan. 

Kantin ada tiga tempat, lantai satu, tiga dan lima. Mana yang harus aku tuju? Sebentar ada tulisan lagi Cafetaria di lantai sembilan dan Top Party di rooftop. 

Mana yang harus aku tuju?

"Kalau kau pintar, pasti akan tahu!" Kata-katanya yang terngiang ditelingaku. Ini tantangan. 

Aku, Lituhayu, siap menerima tantanganmu!

*****

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Shinta Ohi
Bikin penasran
goodnovel comment avatar
Shinta Ohi
Seru nih heheehe
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status