"Kak Mahe .... Sa-saya merasa tidak cukup pantas berjalan bersama Kak Mahe. Tolong dipikirkan kembali. Saya ....""Litu! Kalau keadaanmu seperti sekarang, belum mandi dan kucel seperti ini memang tidak pantas. Sana mandi dulu!" teriaknya dengan mengacak lembut rambutku, sambil tertawa kecil. "Kamu tahu tidak, kaos kamu basah dan nempel?" bisiknya dengan mendekatkan kepalanya di telingaku. "Dari tadi ada yang berbayang di sana. Cepet ganti! Sebelum alarm bahaya dariku berbunyi. Atau, kamu mau aku terkam sekarang?"Sontak aku kaget dan menarik badanku menjauh darinya. Aku menunduk memastikan apa yang dimaksud. Reflek, telapak tanganku menutup dadaku yang berbayang jelas, apa dibalik kaos putihku.Hufft!Kenapa aku tidak sadar dan memperhatikan dari tadi?"Mandi sana! Kita akan pergi!" teriak Pak Mahendra sambil tertawa melihat tingkahku."Ba-baik. Tunggu ya, Kak!" ucapku langsung berbalik dan melesat lari masuk kamar untuk mandi dan bersiap.***Celana jeans biru, baju warna putih sati
Aku keluar dari mobil, udara sejuk menyambut dengan membelai lembut kulit ini. Kuedarkan pandanganku, semua tampak hijau. Kuhirup udara segar dan kubiarkan menyelusup di rongga dada. Kubentangkan kedua tanganku untuk menikmatinya lebih dalam. Terpejam mataku tenggelam di kesegaran ini. Angin semilir menghembus pelan memainkan anak-anak rambutku."Kamu suka, kan?" Hembusan napasnya menggelitik telingaku. Kedua tangannya menelusup memeluk pinggang ini. Kepalanya didekatkan di bahu kiriku. Bau maskulinnya menguar di hidung, mempercepat detak jantungku."Se-segar sekali," ucapku "saya tidak tahu kalau ada tempat seperti ini.""Bukankan ini kencan pertama yang kamu impikan? Berdua dengan kekasih di pegunungan yang dingin ini? Dasar, anak nakal! Sukanya di daerah dingin!" celetuknya sambil mencium kepalaku dengan lembut.Aku menoleh ke arahnya dengan mengeryitkan dahi, dari mana dia tahu apa yang aku inginkan? Pertama, mawar putih. Aku sangat mengidamkan suatu saat diberi sebuket mawar put
"Maaf, Kak. Habisnya, nakutin, ngeselin, kalau ngomong pedes level duapuluh. Pokoknya, kita siap mati karena sakit hati. Apalagi kalau sudah marah, bikin semua makhluk di muka bumi ini ketakutan! Pokoknya beneran seperti vam-pir ...," omelku melambat saat sadar dia hanya memandang dengan tersenyum."Tidak marah?" tanyaku heran, dia menjawab dengan gelengan. Senyumannya malah semakin lebar."Kamu kalau ngomel lucu!" celetuknya sambil menikmati pisang bakar keju.Hari ini benar-benar indah. Semua inginku kesampaian. Kami juga sepakat, kebersamaan kami ini tidak boleh mengganggu sikap profesional dalam pekerjaan. Aku pun tidak mau, nantinya dianggap menumpang nama besar Mahendra."Jadi besuk di kantor kita bersikap seperti biasa, ya," pintaku "Iya, dan aku kembali menjadi si Vampir," ucapnya sambil tergelak.***"Cie ... cie ... cie .... Yang baru pulang kencan," celetuk Alysia saat aku baru masuk rumah. Dia sudah menungguku di ruang tamu. Aku langsung berhambur duduk di sebelahnya."Al
Alysia sahabatku, tidak seperti perempuan lain. Perempuan yang cenderung menilai seseorang dari penampilan fisik. Dari bentuk badan, warna kulit bahkan muncul jerawat satu pun dibahas. Sesuatu yang tidak penting menurutku. Apalagi tubuhku yang menjulang dan cenderung kerempeng, jauh dari kata seksi versi mereka.Alysia lah yang memupuk rasa percaya diriku. Dia yang menyebabkan aku nyaman berjalan dengan badan tegak. Dia yang membuatku mampu menutup telinga dan hati saat ada yang mencemooh penampilanku."Kasihan kau Litu, tinggi badanmu membuatmu susah memiliki pacar!" Kalimat yang sering aku dapatkan. Mereka seakan bangga berjalan berdua dengan kekasih di kampus. Kemana-mana berdua. Menurutku, mereka merugi karena membuang waktu di kampus hanya dengan kekasih dan sibuk dengan obrolan yamg membosankan. Bahkan sibuk dengan rasa cemburu ataupun takut kehilangan. Ya, iya lah, pacaran bertahun-tahun tetapi setelah lulus kuliah nikahnya dengan yang lain. Merugi, kan?"Litu! Aku ada baju b
"Bukankan di sini ada LSM yang dipercayai bapak-bapak? Bagaimana kalau mereka ditunjuk sebagai pengawal dan membantu kami merumuskan konsep ini?" usulku sambil berdiri. "Baik, kami dari LSM Hijau bersedia mengawal proyek ini!" ucap seseorang berambut cepak dengan wajah yang bersih. Aku tersentak. suaranya seperti sangat aku kenal, tetapi siapa? Setelah negosiasi kembali, akhirnya diputuskan kami harus menunjukkan konsep kepada Desa melalui LSM Hijau. Akhirnya mereka pulang dan sekarang tertinggal perwakilan LSM dan kami. Aku penasaran dengan sosok yang duduk di seberangku. Sepertinya aku mengenal dia, aku pun sempat menangkap dia juga memperhatikanku. "Baiklah. Kita break sekarang untuk makan siang. Kami sudah siapkan semuanya!" ucap Mas Sakti kemudian berdiri. Pak Mahendra keluar ruangan diikuti kamk semua. "Litujayu!" Aku menengok seseorang yang memanggilku. Laki-laki berambut cepak tadi. Aku berhenti menunggu dia menghampiriku. "Iya, Pak?" jawabku sambil memicingkan mata.
"Kamu sudah mulai nakal, ya," bisiknya dengan mengecup keningku. Sorot mata meredup dan dengus napas masih memburu."Habisnya. Kak Mahe apa-apa marah. Bisakah ini dikendalikan? " tanyaku dengan menepuk dadanya yang keras. "Semua yang berhubungan denganmu selalu membuatku gila. Jangan diulangi lagi yang tadi. Kamu harus memberitahuku dulu saat berurusan dengan laki-laki siapapun. Kecuali, kamu sengaja membuatku marah," ucapnya dengan menangkup pipi ini dan menunjukkan selarik senyuman.Akhirnya amarahnya reda, walaupun aku harus melalukan sesuatu yang ekstrim. "Ya. Mulai sekarang, ponsel ini akan selalu menghubungi Kak Mahe. Aku bertemu siapa, akan kemana dan untuk apa, pasti akan info," ucapku tersenyum lega"Tetapi tidak apa-apa, sih, kalau cara menenangkanmu seperti barusan. Marah seribu kali pun, aku rela," ucapnya dengan mengedipkan mata."Kak! Jangan genit, tadi aku terpaksa," ucapku dengan mencembik."Yang aku rasa, tidak tuh. Eits, jangan begitu bibirnya. Aku cium lagi, mau?"
Yang diucapkan aku anggap hanya sekadar bercandaan saja. Mana ada dua ancaman yang harusnya berlawanan, tetapi bermuara di satu tujuan, pernikahan. Memang benar kata Mas Sakti, dia duda yang membahayakan.Dari pada berasumsi yang tidak-tidak, lebih baik aku fokus dengan pekerjaanku tang terbengkelai ini.Rancangan untuk proyek ini menuntut kami untuk lembur dan membuat penat pikiran. Kalau ditrawang, mungkin di atas kepala kami mulai mengeluarkan asap. Untuk otak tidak diberi kaki, sehingga tidak bisa melarikan diri. Proyek ini benar-benar memaksa mengeluarkan semua tenaga dan pikiran.Sesekali Pak Mahendra datang melihat perkembangan pekerjaan ini. Kami menjaga sikap profesional saat bekerja, dan bersikap hubungan kami sekedar bos dan anak buah. Dari ungkapan dan raut wajahnya kelihatan dia puas, dan berakhir tos dengan Mas Sakti setelah dia pergi. Aku tersenyum menatap meja gambarku. Terpuaskan semua keinginanku akan karyaku ini. Rancangan yang sarat dengan arti dan memuaskan mata
Bertemu dengan Mas Janan mengobati rasa rinduku akan kehidupan kampus dulu. Kami sering berbincang dan bercerita masa lalu. Tentunya disela-sela pembicaraan program desa. Tak jarang aku mengoloknya tentang sikap konyolnya dahulu. Sok berkuasa, ngatur ini dan itu. Yah, gaya khas senior dulu.Memang, kami berbeda jurusan walaupun sama-sama Fakultas Tehnik. Dia jurusan mesin dan aku arsitek, namun pandangan kami setipe, lebih melihat sesuatu berdasarkan logika. Tidak suka terjebak atau terkekang dengan hubungan rasa, mungkin itulah yang menyebabkan dia masih sendiri.Status Mas Janan ini yang sering dimasalahkan oleh Pak Mahendra. Dia menganggap dahulu kami mempunyai hubungan khusus dan sekarang masih menungguku. Dia tidak suka melihat kami berbincang dan tertawa bersama. Meskipun aku berusaha bersikap formal, tetap aja berujung dengan canda seperti dulu.Huuft ...!Mempunyai teman dekat yang tidak mengerti indahnya berteman itu susah! Harus menjelaskan dengan bukti dan memberi argumen y