Aku memantaskan diri di cermin.
Mengenakan setelah celana kain berwarna merah maroon lengkap dengan blazernya. Dilengkapi dengan kemeja merah muda dengan renda di bagian dada. Terlihat simple tetapi fashionable. Sengaja sebelum berangkat ke Jakarta, aku memesan beberapa stel baju ke Alysia-teman kos ketika kuliah dulu. Saat ini dia mengembangkan butik warisan keluarga di ibu kota ini.
Awalnya, aku merencanakan hanya tinggal sementara di tempat sahabatku itu sebelum mendapat tempat yang cocok. Namun, rencana diambil alih olehnya dengan berbagai alasan. Termasuk, tidak tega melepasku di kota besar ini.
"Litu! Di sini jangan disamakan dengan Jogja, yang model orangnya santai. Kemana-mana pakai sandal jepit masih dihargai. Di sini, penampilan nomor satu. Kamu akan dilirik orang, kalau penampilanmu menarik. Setelah itu, baru kualitas kamu akan mendapatkan kesempatan untuk dinilai!' terangnya ketika aku baru sampai.
Terdengar ngeri mendengar penjelasnya. Kalau tidak karena panggilan kerja, kota ini tidak ada di daftar tujuanku. Beruntunglah aku, memenangkan tantangan perusahaan ini untuk merancang kota baru yang modern. proyek besar di pinggiran kota ini.
"Aku ini sahabatmu, jadi kita harus saling mendukung dan membantu. Dan, kamu harus membantuku!" ucapnya saat itu.
"Apa?"
"Kamu harus tinggal bersamaku! Senangnya aku kalau kau di sini menemaniku," rayu Alysia yang membuatku sekarang tinggal di rumah megahnya ini. Kami hanya berdua di sini, hanya ada bibik yang hanya datang setiap siang hari. Pantas saja dia merayuku untuk menemaninya, rumah sebesar ini hanya dia seorang penghuninya.
"Nah, gitu dong! Jadi perempuan harus cantik, walaupun kerjanya di proyek!" teriak Alysia yang tiba-tiba berdiri di depan pintu.
"Ini kamu bawa selalu di tas! Gunakan setiap tugas di luar. Di sini terik mataharinya jahat!" ucapnya memberikan sun cream kepadaku.
"Ah, malas. Ini terasa lengket!" tolakku.
"Ih. Jangan keras kepala. Di sini, mereka rela tersiksa untuk penampilan. Kamu ini hanya lengket sedikit sudah ngeluh. Pakai!" omelnya.
Benar sial aku ini, pergi dari rumah terhindar dari Ibu, sekarang bertemu Alysia yang melebihinya. Mengomel dan memaksa.
"Iya, temanku Alysia!"
"Cuma teman?"
"Iya sahabatku!" ucapku sambil menerima tube yang disodorkannya.
"Ini, sepatu. Kau juga harus pakai. Memang ini bekas, tetapi jarang dipakai. Aku lihat, hanya sepatu bertalimu ini yang engkau bawa!" Dia menyodorkan kantong tas kertas besar. Di dalamnya terdapat beberapa kotak sepatu. Iya, ukuran sepatu kami sama.
"Itu sudah aku sesuaikan dengan stylemu! Hari ini, kamu harus pakai ini!" tandasnya dengan menunjuk sepatu berhak pendek berwarna merah warna senada dengan blazerku ini, hanya tampilannya terlihat mengkilat.
"Iya. Ini aku pakai," jawabku sebelum rentetan wejangannya mengalir.
"Ok, aku berangkat dulu! Ingat, dipakai!" teriaknya mendelik ke arahku dan bergegas keluar dari kamarku ini.
Aku memesan taxi online, untuk sementara motor putih kesayanganku istirahat di garasi. Selain baru sampai pengirimannya, aku juga harus menghafal arah jalan terlebih dahulu.
***
"Pagi Pak Sakti!" sapaku ketika kami bertemu di depan lift. Aku mensejajarinya, badannya yang menjulang menyeimbangi badanku yang menjadi tinggi karena sepatu berhak ini. Kami antri di depan pintu lift bersama karyawan divisi lainnya.
"Hai, Litu!" balasnya dengan tersenyum Antrian semakin banyak, karyawan mulai berdatangan.
"Sini!" teriaknya menarik tanganku ketika pintu lift terbuka. Kami yang berdiri paling depan terdorong oleh desakan mereka yang baru datang. Aku kaget melihat ini, gaya santai Jogjaku terhenyak dengan perilaku seperti ini. Kalau di sana, kami akan saling mendahulukan orang yang datang terlebih dahulu. Tidak saling menyerobot seperti ini.
Tubuhku terhimpit di dinding dingin lift ini, beruntung Pak Sakti menahan tangannya di dinding melindungiku. Kami begitu dekat, aromanya jelas tercium di indraku. Tak sengaja aku menoleh ke arahnya, tinggi kami yang sama menyebabkan hidungku menyapu sekilas wajahnya.
Aduh!
Aku langsung menundukkan kembali wajahku yang mulai menghangat. "Ma--Maaf, Pak," ucapku terbata.
*****
Apa yang dicari dalam hidup ini, kalau tidak ketenangan? Untuk apa berlimpah harta dan kekuasaan, tetapi bergelimang kecemasan akan kehilangan? “Karenanya, aku berusaha menyelesaikan urusan-urusanku sebelum menjalani hidup tenang bersamamu, Litu.” Aku menjawab dengan senyuman sambil mengeratkan tangannya yang mengusap perut ini. Hangat tubuh yang selama ini aku nikmati dari bajunya yang tidak dicuci, sekarang bisa aku hidu setiap waktu. Senyuman begitu lekat di wajah ini. Sesekali meneleng ke belakang untuk menyambut ciumannya. “Kak Mahe tidak pergi meninggalkan aku lagi?” “Untuk apa? Semua sudah aku bereskan.” “Janji?” “Janji. Demi anak kita, Litu,” ucapnya sambil membalikkan tubuh ini kepadanya. Wajahnya menunjukkan keseriusan, dengan mata tidak terlepas dariku. “Apa yang terjadi kepadamu, membuat aku berpikir. Kalau aku tetap mempertahankan posisi dan apa yang aku lakukan sekerang, bukan tidak mungkin anak kita nanti akan mendapatkan kemalangan. Aku tidak mau itu.” “Iya. A
Apa salah kalau seorang istri ingin merasa dipentingkan oleh suami sendiri? Apakah tidak benar, kalau aku ingin malam-malamku ditemani suami sambil mengusap perutku yang sudah mulai buncit ini?“Nduk, kamu ingin rujak manis mangga muda? Ibuk bikinkan, ya?”“Tidak usah ditawari. Langsung dibuatkan saja. Pasti Litu kemecer,” sahut Bapak menjawab pertanyaan Bapak.Bukannya aku tidak ingin, tapi aku menginginkan mangga muda yang diambilkan Kak Mahe sendiri. Keinginanku itu sudah tertahan satu minggu, dua minggu, dan sekarang sudah menginjak di bulan kedua. Namun tidak ada kabar sama sekali tentang Kak Mahe.“Suamimu baik-baik saja. Hanya dia belum bisa menghubungimu demi keselamatanmu, Litu,” ucap Mas Sakti kalau aku mengajukan pertanyaan yang sama melalui sambungan telpon.Sampai sekarang aku tidak tahu ada urusan apa yang lebih dia pentingkan. Kalau bisnis, kenapa justru dia meninggalkan perusahaan dan menyerahkan kepada Mas Sakti?Aku seperti istri yang tidak mengerti suaminya seperti
“Kamu benar ingin meninggalkan suamimu?” Alysia menangkup tanganku, menghentikan gerakanku yang sedang memasukkan baju ke dalam koper.Aku menatapnya sebentar. Rasanya ingin menyerah dan pasrah, tetapi hati ini sudah terlanjur terpantik rasa kesal. Menjadi seorang istri yang tidak dianggap. Ucapanku hanya dianggapnya angin lalu.“Iya. Aku ingin pulang ke Jogja. Di sini aku tidak dianggap apa-apa. Bahkan tidak dianggap penting,” ucapku kemudian melanjutkan yang aku lakukan tadi.“Litu. Pak Mahendra pergi karena ada urusan penting.”“Siapa yang bilang? Dia hanya mengurus orang-orang yang menurutnya harus dilibas,” ucapku sambil tertawa. “Alasan saja demi aku. Tapi menurutku itu hanya demi egonya sendiri.”“Sakti pasti benar. Pak Mahendra sedang ada__”“Sedang apa dia, Alys?” ucapku memotong ucapan sahabatku. Sejenak aku mengambil jeda untuk mengatur napas. Mencoba meredam amarah.“Kalau dia memang benar-benar mencintaiku dan sayang kepada anaknya, pasti sekarang ini dia menunggui aku ya
Tangannya memegang erat lenganku. Sorot matanya menunjukkan ketidakrelaan, menyurutkan gerakanku untuk berdiri.“Kak Mahe, aku tidak ingin keributan.”“Tapi Litu. Mereka tidak bisa dibiarkan begitu saja. Aku harus membalas perlakuannya kepadamu. Enak saja. Belum tahu siapa Mahendra ini?!” ucapku dengan mengeratkan kepalan tangan ini. Aku berusaha meredam amarahku, terlebih dihadapan Lituhayu.“Sst…. Kalau marah jangan keras-keras, Kak. Nanti dia dengar.” Istriku berdesis sambil menuntukkan telunjuk di depan bibirnya. Aku mengernyit.“Dia? Dia siapa?” tanyaku dengan menoleh ke sekeliling. Hanya ada kami berdua.Lituhayu tersenyum, kemudian menarik tangan ini ke arah perutnya. “Dia, Kak. Anak kita. Walaupun masih kecil di perut, dia sudah mendengar. Bahkan bisa juga merasakan apa yang ada di hati orang tuanya.”Aku terperanga seketika, tersadar dengan perasaan yang aneh ini. Yang menyelusup dan bersarang di hati ini.Anak? Anakku?Rasa yang tidak bisa aku gambarkan. Yang aku tahu, dia m
Aroma wangi bunga menyelusup di penciuman. Kicauan suara burung terdengar bersautan yang mengantarkan kedamaian, mengusikku untuk membuka mata.Mata ini mengerjap, menajamkan pandangan yang terhalang tirai putih berkibar tergantung di tiang ranjang. Sesekali terlihat pemandangan yang menakjubkan, seiring dengan angin yang berembus halus.‘Dimana aku ini?’Penasaran. Aku beringsut dan perlahan kaki ini turun dari ranjang berwarna serba putih. Telapak kaki tergelitik seketika, saat beradu dengan ujung rumput.‘Apakah aku sudah di surga?’ bisikku dalam hati setelah menyibak tirai. Pemandangan indah terhampar luas. Aku di tengah-tengah taman indah dan beratapkan langit biru yang menyejukkan.Masih teringat lekat, tubuh ini melayang di udara. Telingaku yang mendengar teriakan pak sopir di sela suara Mas Sakti dan berakhir dengan silau yang menyerang mata ini.Siapa mereka?Sosok berbaju berbaju putih menunduk mengerumuni keranjang rotan.Penasaran. Langkah ini seakan melangkah dengan sendi
Kalau mempunyai keinginan, memang harus diupayakan. Aku setuju tentang itu. Akan tetapi bukan begini juga prakteknya.Kebersamaan kami tidak hanya di rumah saja. Keinginan segera memiliki buah hati juga digaungkan di kantor. Hampir setiap ada kesempatan, Kak Mahe memanggilku ke ruangannya. Tentu saja berakhir di ruang rahasia belakang kabinet.Ranjang yang menghadap jendela lebar, seakan merindukan kehangatan kebersamaan ini. Menjadi saksi bisu kegigihan upaya kami berdua.“Kamu selalu cantik, Sayang.”Kak Mahe mengaitkan rambutku ke belakang telinga. Seakan selesai kerja keras, pendingin ruangan tidak menyurutkan keringat yang melembabkan kulit ini. Aku menggeliat, meregangkan tubuh yang lelah karena ulahnya. Seakan mengerti, selimut ditangkupkan di tubuhku yang masih meringkuk. Aku seperti atlit maraton yang mengibarkan bendera putih tanda menyerah.Senyum ini mengembang, saat dia mencium lembut kening ini. Mata ini pun enggan terpejam, saat dia dengan tubuh polosnya beranjak santa