Asyik!Programku bisa aku lanjutkan."Aku sayang dengan Alysia. Dia banyak membantuku, dengan ini saja aku bisa membalas budi. Dengan memastikan dia bersama laki-laki yang tepat dan berkualitas," ucapku dengan menghela napas. "Untunglah, kalian tidak ada hubungan spesial," gumanku lirih.“Kenapa kamu pilih Tiok?”“Ya-iya, lah, Dari laki-laki yang aku temui, dia orang yang paling masuk kriteria. Ganteng, pinter, penyayang, dan setia. Menurut Mas Sakti, Mas Tiok itu cocok kan sama Alysia? Bantu comblangin, ya?” tanyaku sambil mencuri pandang ekspresinya.Tiba-tiba Mas Sakti menghentikan mobilnya. Dia menatapku lama, seakan menyelidik kebenaran yang aku katakan. "Maksudmu apa? Ingin menjodohkan Alysia dengan orang lain?" Aku menatapnya balik, pura-pura tidak mengerti apa yang dimaksud. Beruntung dulu pernah aktif di teater, aktingku menyakinkan, kan?"Kenapa? Sebentar lagi aku menikah, wajar kan, menginginkan Alysia segera mengikutiku? Dia butuh teman.""Tapi ...?""Tapi apa, Mas. Ken
Setiba di pelataran gedung, kami sudah disambut beberapa rekan kerja. Ada Pak Tomi dan tim pemasaran. Kami langsung ke dalam gedung melihat persiapannya. Pak Tomi menjelaskan secara detail bahwa konsep yang diusung sama dengan rancangan hunian.Pak Tomi, tidak seperti teman yang lain, dia mempunyai pembawaan yang santun dan tenang. Kelihatan sekali dia itu bekerja penuh perhitungan dan pintar. Pantas saja, dia usia sekarang sudah diposisi manager. Aku suka kerjasama dengan dia.Awal masuk, atmosfer sudah berbeda. Tumbuhan rimbun disana-sini. Peletakan kursi undangan pun disetting berlevel. Sama seperti hunian kami yang disesuaikan keadaan tanah yang berbukit. Berbeda namun dinamis. "Bagus sekali lay-outnya?" teriakku terkesima. Apalagi, lampu sorot dibeberapa titik menimbulkan kesan tak biasa. "Luar biasa kerja Pak Tomi!" Mas Sakti menepuk pundaknya sambil melihat sekeliling dengan raut wajah puas."Saya hanya menterjemahkan rancangan Bu Litu. Pesan Pak Mahendra, tamu datang langsu
Hari ini hari besarku. Baju yang harus aku kenakan sudah dikirim. Alysia membantuku mengenakannya.Saat ini aku menatap bayanganku di cermin. Terlihat beda. Baju dengan model klasik dan anggun. Aku seperti seorang yang baru. Litu, anak arsi yang berantakan tidak berbekas. Kami berangkat bersama, Alysia juga mendapatkan undangan. Tak kalah denganku, dia juga berdandan spesial. Aku tersenyum melihatnya, teringat target yang sudah aku tetapkan. [Litu. Kangen] Pesan dari Pak Mahendra.[Sama. Ini masih bersiap dengan Alysia][Bersiap yang cantik, ya. Ada kejutan dariku][Apa?][Sesuatu yang tidak pernah kau bayangkan. I love you]Senyumku merekah sempurna. Dia selalu membuat hati melambung di awan. Merasa dicintai dan dibanggakan."Hei! Kenapa senyum-senyum sendiri! Pasti Mahendra!" teriak Alysia. Dia sudah berpenampilan cantik, rambutnya yang lurus tergerai indah. "Iya, lah. Siapa lagi," ucapku menoleh ke arahnya, "kamu tidak ingin mempunyai calon suami?" "Belum kepikiran! Belum ada
Apa yang dimaksud Meylani? Kabar gembira seperti apa ya ada hubungannya dengan hari ini? Semua kata kunci berkecamuk di kepalaku. "Tidak hanya para hadirin yang penasaran. Kedua arsitek di depan ini juga belum mengerti!" ucap Meylani. "Penasaran ...? Inilah berita yang membuat kita lebih bahagia di malam ini!" Jreng! LCD besar di belakang kami menyala, semua mata tertuju ke sana. Mataku membelalak dan tangan mengerat memegang lengan Mas Sakti. Semua yang hadir menyambut dengan tepuk tangan. "Kamu bangga?" bisik Mas Sakti. Tidak ada yang mampu kuucap. Rasa senangku seakan meledakkan dada. Di depan tertulis jelas. Kami mendapatkan dua penghargaan sekaligus. The best architecture dan Lituhayu Mahiswara sebagai arsitek muda terbaik di tahun ini. Lampu sorot, berpusat kepada kami. Aku tidak menyangka. Kejutan ganda ini membuatku bahagia. Meraih prestasi dan dihadiri kedua orang tuaku. Bersama Mas Sakti aku menerima plakat yang ternyata sudah tiba satu hari sebelumnya. Aku mema
Mungkin kata malam pertama menjadi kata yang indah bagi orang lain. Berbeda denganku yang merasa itu sesuatu yang mengerikan. Menyakitkan, berdarah, dan tidak berdaya. Seperti ajang pembant*ian saja. Setelah prosesi pernikahan, kami dipisahkan dari keluarga besar. Entah di lantai kamar berapa? Yang aku tahu, kami terdampar di kamar yang luas dan dihias dengan sangat indah. Bunga segar dimana-mana dengan kelambu melambai di ranjang besar di tengah-tengah kamar. Kesan romantis terasa kental. Namun, melihat ranjang seperti mendapati meja pesakitan. Tubuh ini begidik seketika, membayangkan apa yang akan terjadi di sana.“Litu, aku akan bersih-bersih dulu. Kata Mama semua kebutuhan kita ada di lemari itu,” serunya kemudian beranjak meninggalkan aku.Pernikahan yang mendadak ini, membuatku kalang kabut. Tanpa berpikir panjang pada persiapan, aku mengikuti semua arahan mertuaku itu. Sampai-sampai tidak terpikirkan untuk membawa peralatan pribadiku.Senyum tercipta dengan sendirinya. Kalau d
Rasa campur aduk saat aku keluar dari kamar mandi. Baju hitam panjang menerawang seperti menelanjangiku. Bagaimana tidak, tidak aku dapati baju dalam satupun yang disiapkan. Untungnya, warna hitam menyamarkan kedua dititik dan inti dari tubuh ini. Berkali-kali aku mencoba menutupinya, tapi tidak ada jalan lain.Sambil berjingkat, aku mengedarkan pandangan dan mendapati Kak Mahe yang berdiri di balkon. Entah apa yang dilakukan di sana, aku hanya melihat tanganya membawa segelas minuman. Ini kesempatan, aku harus bergegas di ranjang dan menyelimuti tubuh ini.“Litu, kamu sudah selesai mandi?”Aku membalikkan badan, mendapati dia yang sudah di dekat ranjang.“Tidak ingin ngobrol dulu?” tanyanya lagi, kemudian meletakkan gelas yang sudah kosong.“Tidak, Kak. Aku ingin—““Sudah tidak sabar lagi menikmati ranjang pengantin?” ucapnya memotong ucapanku. Tersenyum dan menatapku dengan pandangan seperti tadi. Dia merebahkan tubuh di sebelahku setelah mematikan lampu yang menyisakan temaram dar
Kebersamaan kami di hotel tidak berujung dengan keberhasilan. Suasana di sana yang disetting untuk bulan madu, tidak membuatku nyaman. Otakku selalu dihinggapi dengan ketakutan.Hayalan yang berlebihan. Walaupun aku terikut dalam sentuhannya, namun selalu berakhir pada kecemasan bayangan yang mengerikan. Memang tidak terucap, tapi aku tahu dia merasa kecewa dan gusar. "Kak, maaf. Aku belum memberikan hakmu," ucapku saat itu."Ini juga hakmu, Sayang. Nafkah batin, hak kita berdua sebagai suami istri. Bukan hakku semata."Karena itulah, Kak Mahe memutuskan untuk kembali ke rumahnya saja. Sudah dua hari kami terasing di sini. Sengaja tempat tinggal Kak Mahendra dikosongkan. Pengurus rumah hanya diperbolehkan memasuki rumah di pagi hari, itupun dua jam saja. Sekedar membersihkan dan menyiapkan makanan. Hanya ada penjaga bersiap di pintu gerbang. Kami menghabiskan hari dengan bersantai, menonton film bersama sambil rebahan berdua di sofa panjang. Seakan tahu ketidak nyamanku, suamiku t
Kami saling menggenggam menuju hidup baru. Meja panjang di ujung ruangan menyimpan tanda perjalananku. Tanda keberhasilanku menjadi seorang arsitek dan dua buku berwarna hijau dan coklat, tanda diriku menjadi seorang istri. Istri seorang bernama Mahendra Haryanto, pangeran cintaku.*Keseharianku semakin bervariasi, tidak bisa sebebas dulu. Malam tidak bisa tidur dengan semaunya. Yang biasanya baca cerita online sampe begadang sampai stok coin ambis, sekarang masih sore pun ditarik ke ranjang.Sst…jangan tanya oleh siapa dan mo ngapain, ya? Pokoknya berakhir dengan keadaan ranjang yang super berantakan, dan menyisakan tubuh lembab karena keringat walaupun pendingin kamar sudah dimaksimalkan.Aku pun kehilangan gaya tidur yang biasanya, pakai babydoll dan bergelung di dalam selimut. Lupakan baju kebesaranku ini, sekarang berganti dengan daster tipis menerawang seperti saringan.Jangan harap bisa mendapat kebebasan, karena selalu ada tangan menangkup bagian atasku yang terbebas dari p