Tunggu sesi bulan madu, ya.
Mungkin kata malam pertama menjadi kata yang indah bagi orang lain. Berbeda denganku yang merasa itu sesuatu yang mengerikan. Menyakitkan, berdarah, dan tidak berdaya. Seperti ajang pembant*ian saja. Setelah prosesi pernikahan, kami dipisahkan dari keluarga besar. Entah di lantai kamar berapa? Yang aku tahu, kami terdampar di kamar yang luas dan dihias dengan sangat indah. Bunga segar dimana-mana dengan kelambu melambai di ranjang besar di tengah-tengah kamar. Kesan romantis terasa kental. Namun, melihat ranjang seperti mendapati meja pesakitan. Tubuh ini begidik seketika, membayangkan apa yang akan terjadi di sana.“Litu, aku akan bersih-bersih dulu. Kata Mama semua kebutuhan kita ada di lemari itu,” serunya kemudian beranjak meninggalkan aku.Pernikahan yang mendadak ini, membuatku kalang kabut. Tanpa berpikir panjang pada persiapan, aku mengikuti semua arahan mertuaku itu. Sampai-sampai tidak terpikirkan untuk membawa peralatan pribadiku.Senyum tercipta dengan sendirinya. Kalau d
Rasa campur aduk saat aku keluar dari kamar mandi. Baju hitam panjang menerawang seperti menelanjangiku. Bagaimana tidak, tidak aku dapati baju dalam satupun yang disiapkan. Untungnya, warna hitam menyamarkan kedua dititik dan inti dari tubuh ini. Berkali-kali aku mencoba menutupinya, tapi tidak ada jalan lain.Sambil berjingkat, aku mengedarkan pandangan dan mendapati Kak Mahe yang berdiri di balkon. Entah apa yang dilakukan di sana, aku hanya melihat tanganya membawa segelas minuman. Ini kesempatan, aku harus bergegas di ranjang dan menyelimuti tubuh ini.“Litu, kamu sudah selesai mandi?”Aku membalikkan badan, mendapati dia yang sudah di dekat ranjang.“Tidak ingin ngobrol dulu?” tanyanya lagi, kemudian meletakkan gelas yang sudah kosong.“Tidak, Kak. Aku ingin—““Sudah tidak sabar lagi menikmati ranjang pengantin?” ucapnya memotong ucapanku. Tersenyum dan menatapku dengan pandangan seperti tadi. Dia merebahkan tubuh di sebelahku setelah mematikan lampu yang menyisakan temaram dar
Kebersamaan kami di hotel tidak berujung dengan keberhasilan. Suasana di sana yang disetting untuk bulan madu, tidak membuatku nyaman. Otakku selalu dihinggapi dengan ketakutan.Hayalan yang berlebihan. Walaupun aku terikut dalam sentuhannya, namun selalu berakhir pada kecemasan bayangan yang mengerikan. Memang tidak terucap, tapi aku tahu dia merasa kecewa dan gusar. "Kak, maaf. Aku belum memberikan hakmu," ucapku saat itu."Ini juga hakmu, Sayang. Nafkah batin, hak kita berdua sebagai suami istri. Bukan hakku semata."Karena itulah, Kak Mahe memutuskan untuk kembali ke rumahnya saja. Sudah dua hari kami terasing di sini. Sengaja tempat tinggal Kak Mahendra dikosongkan. Pengurus rumah hanya diperbolehkan memasuki rumah di pagi hari, itupun dua jam saja. Sekedar membersihkan dan menyiapkan makanan. Hanya ada penjaga bersiap di pintu gerbang. Kami menghabiskan hari dengan bersantai, menonton film bersama sambil rebahan berdua di sofa panjang. Seakan tahu ketidak nyamanku, suamiku t
Kami saling menggenggam menuju hidup baru. Meja panjang di ujung ruangan menyimpan tanda perjalananku. Tanda keberhasilanku menjadi seorang arsitek dan dua buku berwarna hijau dan coklat, tanda diriku menjadi seorang istri. Istri seorang bernama Mahendra Haryanto, pangeran cintaku.*Keseharianku semakin bervariasi, tidak bisa sebebas dulu. Malam tidak bisa tidur dengan semaunya. Yang biasanya baca cerita online sampe begadang sampai stok coin ambis, sekarang masih sore pun ditarik ke ranjang.Sst…jangan tanya oleh siapa dan mo ngapain, ya? Pokoknya berakhir dengan keadaan ranjang yang super berantakan, dan menyisakan tubuh lembab karena keringat walaupun pendingin kamar sudah dimaksimalkan.Aku pun kehilangan gaya tidur yang biasanya, pakai babydoll dan bergelung di dalam selimut. Lupakan baju kebesaranku ini, sekarang berganti dengan daster tipis menerawang seperti saringan.Jangan harap bisa mendapat kebebasan, karena selalu ada tangan menangkup bagian atasku yang terbebas dari p
Sinar matahari menyelusup di sela tirai kamar. Pagi-pagi subuh kami sudah membersihkan diri, tapi karena lelah dan kantuk yang tersisa, akhirnya kami pun bergelung dalam selimut kembali. Mataku mengerjap dan tangan ini mencari kehangatan yang menghilang. Kemana suamiku? Sudah tidak aku dapati sosok hangat yang biasanya menangkup pinggang ini. Walaupun seringkali keberadaannya membuatku resah, tapi tanpa ada yang hilang ketika membuka mata tidak mendapati dia. Pasti ini juga dirasakan pasangan pengantin baru lainnya. Kebersamaan dengan suami mulai menjadi candu. Jam dinding menunjukkan angka sembilan. Gila, ini sudah sangat siang! Segera aku turun dari ranjang, merapikannya dari bekas medan perang semalaman. Bibir ini tercetak senyuman dengan sendirinya. Teringat bagaimana liarnya kami yang tak henti-hentinya menautkan diri. Aku sudah bukan Litu yang dulu lagi, yang tabu dengan keliaran yang dulu tidak pernah terpikirkan ini. Seperti murid yang cepat belajar, aku begitu cepat mener
Pasangan suami istri itu harus sepadan. Akupun berusaha demikian. Banyak PR untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan seorang Mahendra. Memang, suamiku tidak memaksaku untuk berubah, tapi aku sebagai istri cukup tahu diri untuk tidak memalukan dan menyecewakan suami.Ini yang harus aku upayakan. Urusan penampilan, aku serahkan kepada butik Alysia. Dari atas sampai ujung kaki harus serasi. Belanjapun aku tidak bisa sendiri. Mana aku tahu mana brand yang sepadan dengan kedudukan suamiku ini. Aku yang biasanya hanya cukup senang dengan pakaian yang nyaman tanpa melihat itu berlabel apa.“Ya memang seperti itu, Litu. Di kalangan mereka kenyamanan itu ketika yang dikenakan ada harga yang sepadan dengan kedudukan dia. Karena, itulah yang menunjukkan berbeda dengan kalangan lain. Walaupun itu sandal jepit atau kaos oblong.” Jelas Alysia saat kami berbelanja.“Apa ini bukan pemborosan? Lebih baik digunakan untuk yang lain, kan?” tanyaku sembari menunjukkan bandrol harga yang membelalakkan ma
“Pemanasan tahap berikutnya,” ucapnya memotong ucapanku sambil menarik sudut bibir dan memberikan tatapan yang sudah berkabut. Dengan gusar, dia melucuti satu persatu penghalang dan hanya menyisakan keringat yang melapisi tubuh ini. Bisa dipastikan, tempat yang sudah aku rapikan tadi akan berantakan kembali. Tertinggal aura panas yang meluruhkan usaha pendinginan diakhir olah raga tadi. Kalau seperti ini, sama aja pemanasan tubuh lagi setelah pendinginan. *** “Kak Mahe, hapenya berbunyi,” ucapku sambil menyelusupkan kepala di pelukannya. Badan ini terasa pegal karena olah raga dosis dobel pagi ini. Dia beringsut sedikit dan menjulurkan tangan untuk meraih ponsel di atas nakas. “Mama,” ucapnya sebelum mengangkat nada panggilan dengan mode suara dikeluarkan. “Halo, Ma? Ada apa? Tumben pagi-pagi telpon?” Aku mendongakkan wajah, menyimak percakapan mereka. “Mahendra! Ini sudah tidak pagi lagi! Sudah siang! Mama di depan.” Suara Mama Lia keluar dari benda pipih itu. “Depan mana?”
Satu minggu berkutat berdua full tujuh kali dua puluh empat jam. Tidak dibiarkan aku jauh sedikit darinya. Hanya pernah satu hari aku keluar belanja dengan Alysia. Itupun tidak lama hanya untuk membeli kebutuhanku yang dirombak total karena setatus sebagai istri bos Mahendra.Seakan kehilangan privasi, dia menempel seperti perangko. Sampai mandipun kadang kala dia pun ikut bergabung. Tidak ada acara nyanyi-nyanyi sambil bersabun ria yang menjadi kebiasannku. Ini berganti dengan kegiatan bersama ala pengantin baru.Begini ternyata menjadi seorang istri. Keseharian harus berbagi segalanya dengan suami.Banyak sesuatu baru yang aku ketahui tentang seorang Mahendra. Sosok kaku yang biasanya ditemui di kantor, berbanding terbalik saat ada di rumah. Ternyata dia itu manis di balik penampilannya yang terlihat sangat lelaki itu. Ini yang membuatku semakin cinta.Dia menyukai kerapian, suka berkutat di dapur, dan menghias hidangan secantik mungkin makanan yang disuguhkan untukku. Berbeda sera