Share

Part 2

Enam tahun kemudian.

Suasana rumah di hari minggu memang selalu ramai. Ibu Innara yang kini sudah membuka tempat praktik sendiri sudah tidak lagi terlalu sibuk dengan pekerjaan di rumah sakit. Dan ayahnya juga selalu ada di rumah setiap akhir pekan karena dia memilih untuk menghabiskan watktu bersama keluarganya, terlebih setelah si kembar lahir. Ayahnya semakin betah di rumah dan membantu ibunya mengasuh anak mereka.

Innara dan keluarga barunya juga sudah pindah ke kediaman baru. Setelah menikah Ayah Parsa, Ayah Parsa memutuskan untuk membeli rumah baru yang lebih besar dari rumah yang selama ini Innara dan ibunya tinggali. Innara diberikan kamarnya sendiri, begitu juga dengan Azanie. Sementara nenek Innara memilih untuk tidak ikut dan tinggal sendirian di rumah yang dibelikan mendiang ayah Innara.

Kehidupan keluarga Innara, setelah ia memiliki Ayah Parsa jelas bisa dikatakan sempurna. Ayah Parsa adalah sosok pria yang baik. Beliau tidak pernah membedakan Innara dan Azanie. Dalam segala hal beliau selalu berbuat adil. Jika salah satu diantara mereka melakukan kesalahan—yang jarang sekali terjadi—ayahnya itu selalu menegur dengan cara yang lemah lembut dan baik-baik.

Ayahnya juga tidak pernah memaksakan kehendak pada Innara atau Azanie. Saat Innara dan Azanie menginginkan sesuatu—selama itu masuk akal dan bisa dipenuhinya—maka beliau akan mengabulkannya. Dan ketika permintaan Innara ataupun Azanie dianggapnya tak masuk akal, beliau akan memberikan pengertian atas alasan kenapa beliau menolak untuk mengabulkannya.

Dan hal itu masih tetap berlaku setelah ibu Innara kemudian hamil dan dinyatakan memiliki bayi kembar.

Semua orang yang Innara kenal—terlebih teman-teman sekolahnya—selalu menakutinya tentang ayah tiri yang hanya akan mencintai anak bawaannya saja atau hanya akan mencintai ibu Innara saja tanpa memedulikan Innara sama sekali. Tapi hal itu tidak pernah terbukti. Justru yang mengecewakan Innara adalah perubahan yang ada pada diri Azanie.

Adik sambung berparas cantik dan selalu bersikap manis itu perlahan berubah sikap. Saat Innara masuk ke sekolah menengah pertama, adik sambungnya yang saat itu masih duduk di bangku SD masih bersikap manis dan bahkan sering bermanja padanya seolah mereka adalah adik kakak kandung. Namun ketika Innara duduk di kelas tiga SMP dan adiknya masuk ke sekolah yang sama dengannya atas keinginannya sendiri, Azanie berubah.

Di sekolah, gadis itu bersikap seolah tidak mengenalnya. Bahkan saat mereka berpapasan, gadis itu tampak enggan menyapanya. Fakta bahwa ia tidak pernah mengatakan hubungannya dengan Azanie pada orang lain selain teman dekatnya membuat mereka bertanya-tanya "Kenapa dengan Azanie?"

Tentu saja mereka heran. Mereka bukan hanya sekali dua kali bertemu dengan Azanie saat mereka datang berkunjung ke kediaman Innara. Dan sampai saat sebelum Azanie masuk sekolah, gadis itu masih bersikap baik dan ramah pada teman-temannya. Tapi setelah masuk SMP, Azanie yang mereka kenal jelas berubah.

Innara tidak pernah banyak berkomentar. Pikirnya mungkin Azanie ingin membatasi dirinya saat di sekolah. Dan ia tidak keberatan akan hal itu. ia yakin kalau Azanie akan datang padanya jika memang dia memerlukan bantuan Innara. Tapi faktanya hal itu tidak pernah terjadi.

Ada yang aneh dengan adik sambungnya itu. Jika kedua orangtuanya bertanya tentang bagaimana sekolahnya, dia selalu bicara seolah hubungan mereka di sekolah baik-baik saja. Padahal faktanya tidak demikian.

Setahun itu Innara bertahan dengan sikap aneh Azanie, sampai kemudian dia masuk sekolah menengah atas favorit. Dua tahun masa sekolah SMA nya, Innara menikmatinya sebagaimana anak seusianya. Ia bergaul dengan teman-temannya. Ia sesekali ikut nongkrong di café bersama mereka diluar kerja kelompok dan ia menyukai itu. Hanya satu hal yang tidak Innara lakukan saat SMA, ia tidak berpacaran, ia tidak berkencan dan ia menjaga jarak dengan para pria. 

Bukan karena Innara sombong atau tidak ingin merasakan berpacaran. Namun ia ingat nasehat ibu dan juga neneknya supaya dia lebih fokus dulu pada urusan pendidikan. Karena urusan asmara bisa dia kejar nanti setelah dirinya cukup dewasa.

"Bukannya Bunda melarang kamu untuk suka sama cowok. Bunda tahu anak Bunda ini gadis normal. Tapi coba Nara pikirkan. Kalau Nara berkencan, memang saat itu semangat Nara untuk belajar pastinya menjadi tinggi. Apalagi kalau pacar Nara satu kelas dengan Nara, pastinya Nara gak mau dapat nilai yang lebih jelek dari dia karena takut diejek. 

“Tapi bayangkan saat kemudian kalian putus, suasana di kelas bakal gak nyaman, Nara juga bakal kehilangan semangat belajar karena patah hati. belum lagi saat tahu kalau mantan pacar Nara pacaran lagi sama temen Nara yang lain. Rasanya itu bener-bener gak enak loh." Ucap ibunya suatu waktu. 

"Jadi kalo Nara mau jadi anak yang sukses di kemudian hari, saat ini Nara harus belajar sungguh-sungguh dulu. Nanti kalau Nara kuliah, Nara mau kencan sama sepuluh orang sekaligus juga Bunda gak akan larang, kalo Nara sanggup itu juga." Kekeh ibunya lagi yang juga dijawab kekehan Innara.

"Jangan takut kehabisan stok laki-laki. Laki-laki itu banyak di dunia ini, tapi kamu harus takut kalau kamu kehilangan kesempatan." Itulah nasehat yang diberikan neneknya pada Innara. 

"Ayah sama Bunda kamu dulu gak pacaran lama-lama juga. Allah itu sudah menentukan jodoh seseorang sebelum dia lahir kedunia. Bukan berarti jodoh gak usah dicari, jodoh juga gak bakal datang sendiri kalo kamunya gak pernah keluar rumah. Mana dia tahu kalau dirumah ada gadis secantik kamu kalau kamu gak pernah nunjukkin wajah kamu sama orang-orang. 

“Tapi bukan berarti juga kamu harus habisin waktu kamu dengan cari pacar sana sini trus bosan ganti. Jangan begitu, karena perempuan itu, entah dia cantik atau tidak, entah dia kaya atau tidak, entah dia sempurna secara fisik atau tidak, kita gak punya kuasa untuk memilih, karena kita itu nantinya akan dipilih oleh mereka.

“Dan kalau kamu mau dapat seseorang yang baik dan terbaik, maka kamu pun harus jadi yang baik dan terbaik itu. 

“Anggaplah calon jodoh kamu itu sedang memperbaiki dirinya saat ini supaya dia bisa menjadi baik buat Nara, maka Nara pun mulai sekarang harus mulai menjaga diri Nara supaya nanti saat dia sudah merasa pantas dan datang sama Nara, Nara pun ada dalam kondisi siap dan pantas untuk dia sunting. 

“Jadi gak usahlah Nara cari-cari pacar yang nantinya jadi mantan. Cukup cari satu kekasih aja yang nantinya bakal jadi suami di masa depan. Ngapain juga sih jagain jodoh orang, yang ada malah sakit hati nantinya." Ucap neneknya yang lagi-lagi hanya bisa Innara dengarkan dan jawab dengan anggukkan kepala.

Dan itulah yang Innara lakukan. Bukannya tidak ada pria yang mendekatinya dan menyatakan bahwa ia suka pada Innara. Sudah ada beberapa pria yang datang mendekatinya. Bukan hanya teman satu sekolahnya, tapi juga ada beberapa pria yang ia kenal dari media sosial dan bahkan beberapa senior yang sudah duduk di bangku kuliah yang datang ke sekolah hanya ingin bertemu dengannya. 

Tapi Innara memilih untuk menolak, sehalus yang ia bisa. Ada juga beberapa orang yang sudah memiliki pekerjaan yang datang padanya dan pada ayahnya untuk menyatakan keseriusannya pada Innara. Tapi Innara kembali menolaknya dengan alasan dirinya masih sekolah dan masih ingin kuliah serta bekerja. 

Sebagian dari mereka yang 'kekeuh' terus saja datang dan meyakinkannya bahwa mereka siap menunggu sampai Innara siap. Namun tidak demikian halnya dengan Innara. Karena ia memiliki ketegasannya sendiri. Ia menolak untuk berkencan dengan pria manapun sampai ia minimal duduk di bangku kuliahan atau sampai ia siap terikat dengan sebuah hubungan serius.

Namun prinsip Innara, jelas berbanding terbalik dengan Azanie. Jika Innara memutuskan untuk mengejar prestasi supaya bisa membanggakan kedua orangtuanya, maka Azanie lebih memilih untuk menjalani hidupnya dengan bersenang-senang. 

Meskipun Innara tidak mengatakannya pada kedua orangtuanya, tapi teman-temannya tahu bagaimana Azanie bergaul dengan para pria di sekolah mereka. Hari ini dia dekat dengan si A, besok dia dekat dengan si B, dan besoknya lagi, dia sudah pergi bersama si C. Bukan hanya dengan teman satu sekolah mereka, tapi juga bisa dengan teman diluar sekolah mereka. 

Dan terkadang—seringkali malah—Innara merasa takut sendiri jika adiknya itu pulang sekolah dengan naik motor atau mobil orang asing.

Sebagai seorang kakak, Innara ingin melindungi Azanie. Dia ingin adiknya itu lebih bisa menjaga diri. Ia mencoba untuk bicara berdua dengan adiknya itu, sekedar mengobrol supaya Azanie bisa lebih mawas diri dan berhati-hati dengan para pria. Namun bukannya menerima saran Innara, Azanie justru malah balik memarahinya, bahkan sikap gadis itu tempak seperti Innara mengatakan sesuatu yang menghina.

"Hanya karena kak Nara gak pacaran, bukan berarti Zanie juga harus ngelakuin hal yang sama." Ucap gadis itu dengan mata berapi-api memandang Innara. "Lagipula apa salahnya menikmati hidup, toh ini hidup Zanie, Zanie yang menjalani. Jadi kak Nara gak usah ikut campur. Gak usah lah sok peduli sama Zanie." Ucap adiknya itu dengan nada lantangnya.

Innara memandangnya dengan takjub. "Bukannya kakak melarang kamu bergaul, kakak cuma mau kamu berhati-hati aja. Kakak lihat kamu kemarin pulang dijemput mobil, dia pasti anak kuliahan kan? Kamu seharusnya berhati-hati, pergaulan anak kuliahan itu berbeda dengan kita yang masih duduk di bangku SMA, kakak takut kamu malah terpedaya." Ucap Innara dengan nada lembutnya.

Azanie berdecih. "Sok tahu, pacaran aja gak pernah. Deket sama cowok aja enggak, pake so-so'an ngasih peringatan. Harusnya kak Nara itu ngaca sebelum bahas ini sama Zanie." Ucap gadis itu dengan nada menghina. 

"Udah lah, kak Nara gak usah repot mikirin Zanie. Zanie baik-baik saja, dan Zanie juga menikmati hidup Zanie yang sekarang." Ucap gadis itu yang dengan kasarnya memutar tubuh Innara dan mendorongnya keluar dari kamar. 

"Awas aja kak Nara ngomong macam-macam sama Bunda sama Ayah. Zanie gak suka ya." Ucap gadis itu dengan nada mengancam. 

Innara hanya bisa memandanginya, bahkan setelah pintu kamar ditutup dengan kasar di depan wajahnya. Ia hanya bisa menarik napas panjang dan kemudian membalikkan tubuhnya.

Ia tidak tahu sejak kapan ibunya ada disana dan mendengarkan pembicaraan Innara dan Azanie yang mereka lakukan dengan kondisi pintu kamar terbuka. Tapi wanita berusia pertengahan empat puluh tahun itu hanya memberikan senyumnya pada Innara seraya merangkul bahunya pelan. 

"Kamu sabar aja, Ayah kamu tahu apa yang Azanie lakukan diluar sana. Jadi kamu gak perlu cemasin adik kamu sampai segitunya." Ucap ibunya yang hanya bisa dijawab anggukkan oleh Innara.

Dan sekarang, di pagi minggu yang cerah. Azanie tampak memasuki ruang tengah keluarga mereka dengan seorang pria di belakangnya. Pria yang Innara kenal. Kakak kelas satu tingkat di atasnya yang kini sudah menjadi mahasiswa di sebuah kampus bergengsi di Jakarta. Pria yang seminggu lalu mengatakan bahwa dia menyukai Innara sejak mereka masih satu sekolah dan mengatakan dia akan menunggu Innara untuk masuk ke kampus yang sama dengannya di tahun ajaran depan. Pria yang berjanji akan sabar menunggu Innara lulus dan menjadi mahasiswi supaya mereka bisa berkencan.

"Kenalin, Kak Aldy, pacar Zanie." Ucap Azanie dengan ekspresi cerianya. Azanie memandang Innara dengan tatapan menantang. Sementara Innara memandang Aldy dengan dahi mengernyit heran. Dan Aldy, pria itu tak berani memandang Innara dan memilih untuk menundukkan pandangan. 

Innara tahu, sejak saat itu bahwa hubungannya dengan Azanie tidak akan pernah menjadi hubungan kakak beradik yang sehat. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status