Setelah mengetahui kalau dirinya hanya diperalat dan diselingkuhi oleh kekasih yang sudah bersama selama sembilan tahun, Eca pergi ke kelab malam untuk melebur kesedihannya hingga tak sadar telah menghabiskan malam bersama seorang pemuda. Setelah malam itu, Eca kembali mendapatkan masalah karena harus bertanggungjawab karena ternyata pria itu adalah anggota dewan di Kota nya yang sangat populer karena juga merupakan putra tunggal dari Gubernur.
View MoreIsak tangis Eca tak tertahan saat ia sedang berada di taksi online. Ia masih ingat dengan jelas saat jantungnya berdebar kencang ketika ia melihat dengan mata kepalanya sendiri kekasihnya sedang berselingkuh dengan pelayan Cafe miliknya, di ruang kerja.
Saat itu, Eca bergegas menuju Cafe yang merupakan hasil dari kerja sama ia dan kekasihnya, Felix, untuk mengambil dompet yang tertinggal di ruang kerja sang kekasih saat istirahat siang dari kantor tempatnya kerja.
Eca sudah menelepon Felix, namun tidak ada jawaban. Dia hanya berfikir mungkin kekasihnya itu sedang sibuk atau istirahat karena Cafe cukup ramai hari itu.
Beberapa karyawan menyapa Eca ramah, semuanya berada di meja kasir.
"Mba Eca ada keperluan apa?" tanya kasir, yang bernama Nita.
Eca terhenti sejenak, merasa aneh karena tidak biasanya dia ditanyai seperti itu di Cafe miliknya sendiri.
"Pak Felix ada di dalam, 'kan?" ujar Eca diiringi senyumnya.
"Sepertinya Pak Felix sedang istirahat, Mba. Ruangannya dikunci," imbuh Nita.
Eca hanya senyum, sama sekali tidak menghiraukan kalimat Nita karena dia membutuhkan dompetnya segera.
Namun diluar dugaan Eca, rupanya kekasihnya sedang beristirahat dengan melakukan hal yang membuat Eca kehilangan akal sehat. Eca mendapati Felix sedang bermain-main dengan Rena, di atas meja di ruang kerjanya.
Samar Eca mendengar namanya disebut sebagai 'partner bisnis' terbaik.
Eca berteriak nyaring hingga terdengar hingga bagian depan, membuat sebagian pengunjung terkejut.
Kekacauan yang tak tertahan membuat Eca menampar kekasihnya dan mencengkeram leher karyawannya hingga wanita itu mendelik hampir kehabisan napasnya.
Tidak ada yang berani melerai, karyawan lain hanya memastikan kalau kegaduhan itu tidak mengganggu kenyamanan pelanggan dengan menyalakan lagu yang sedang hits.
Bukan memberikan penjelasan yang menenangkan, Felix justru memarahi Eca karena dianggap melanggar privasinya. Felix juga marah karena Eca hampir membunuh wanita yang sedang bersamanya.
Kalimat kotor terlontar dari mulut Eca berkali-kali. Hingga dia pergi setelah kembali menampar Felix dengan sisa kekuatannya.
Seluruh tubuh Eca gemetar, napasnya naik turun, mendadak dia merasa sakit dan memutuskan untuk tidak kembali ke kantor.
***
Taksi online berhenti tepat di depan kelab kecil di sudut kota. Sebelum memutuskan untuk turun dan masuk, Eca menarik napas panjang lalu menyeka sisa air mata yang masih membasahi sudut matanya.
"Terimakasih, Pak." Dia turun dari mobil.
Pertama kali baginya pergi ke tempat ini, hanya mendengar dari beberapa teman, Eca sama sekali tidak pernah membayangkan dia akan melenyapkan amarah dan kesedihannya di tempat yang dipenuhi kebisingan.
"Privasi anj!ng! Sembilan tahun bersama, dia bilang privasi?" gerutu Eca yang telah dihadapkan dengan gelas berisi alkohol.
Eca kembali marah karena baru pekan lalu ia berbicara dengan Felix dan meminta untuk dinikahi karena mereka sudah bersama selama sembilan tahun dan sudah memiliki usaha bersama. Felix adalah satu-satunya orang kepercayaan Eca selama lima tahun terakhir karena dia sudah menjadi yatim piatu sejak kecil, dan ditinggal menikah kakaknya lima tahun lalu yang mengaruskan mereka hidup berjauhan karena sang kakak mengikuti suaminya tinggal di luar pulau.
Eca meneguk minumannya berkali-kali, tanpa menghiraukan pandangannya yang sudah mulai kabur dan tubuh yang semakin lemah.
Seorang pemuda berpakaian rapi, kemeja putih lengkap dengan jas hitamnya menghampiri Eca yang sudah sangat lemah tergeletak di meja bar.
Pemuda itu berusia sekitar 20-25 tahun, telihat muda namun juga terlihat mapan karena stelan pakaiannya. Dia menyibak poni yang menutup wajah Eca, dipandanginya wajah perempuan yang memerah itu.
Masih dengan gumam amarahnya, namun tak jelas, Eca sesekali memanggil nama Felix namun lirih.
Pemuda itu memesan minum, dia memutuskan untuk menemani wanita itu sambil menghabiskan sebotol minumannya.
"Bro, ini akan beresiko. Kamu lupa pesan ayahmu?" seorang pemuda lain, berambut botak tipis, mencoba menahan tangan pemuda yang menggendong tubuh Eca.
"Kalau sampai ayah tahu, berarti itu info darimu!" tanpa menggubris temannya, ia terus berjalan.
"Adra!" pemuda botak geram. "Jangan membuatku terlibat di masalah keluargamu lagi!" ujarnya nyaring, namun masih kalah nyaring dari musik yang sedang dimainkan.
Adra membawa Eca ke sebuah kamar. Diletakkannya dengan pelan, tanpa membuat wanita berambut ikal se bahu itu bangun.
Lagi-lagi Eca mengoceh dan menangis, namun sangat lirih lalu kembali tertidur.
Adra melepas jas, meminum minuman yang ia bawa, lalu merebahkan tubuh di tempat tidur dengan masih menatap sosok perempuan yang tidak ia kenal itu dengan seksama.
"Bisakah kau membuatku lupa dengan kesedihanku?" ucap Adra sambil kembali menyingkirkan poni di wajah Eca.
Perlahan, Adra mengusap pelan wajah merah Eca. Dia kemudian bangun dan meminum minumannya hingga habis hanya dalam hitungan detik.
Selanjutnya, Adra bahkan tidak mengingat betul apa yang ia lakukan dengan perempuan itu. Dia hanya mengingat senyum tipis perempuan itu saat Adra hendak mengecupnya.
Sialnya. Keduanya terbangun bersamaan ketika ponsel milik Adra terus berdering tanpa henti, sebuah panggilan darurat dari teman-temannya.
Eca dan Adra saling pandang dan mematung untuk beberapa saat.
Eca mengumpat dan menyesali kebodohannya saat ia sadari ia terbangun dalam keadaan berantakan.
Adra acuh, dia mengangkat telepon temannya dan pergi. Namun pemuda itu sempat kembali untuk memberikan beberapa lembar uang kepada Eca.
"Tagih kekurangannya jika kita bertemu lagi," ujarnya ketus seolah tidak terjadi apapun diantara mereka.
Eca semakin kesal, dia mengumpat berkali-kali, namun hal itu tidak akan dapat mengambalikan keadaan.'
Diambilnya uang itu lalu dihitungnya. Walau dia merasa sangat terluka dengan uang itu, namun dia juga membutuhkannya untuk ongkos pulang.
Terselip sebuah kartu nama diantara lembaran uang, Eca membacanya dengan pelan karena pandangannya masih belum sepenuhnya terang.
"Adra Budhitama, Komisi Tiga."
Eca mengedipkan matanya berkali-kali, memastikan kalau dirinya tidak salah membaca.
"Dewan Perwakilan Masyarakat Kota Lidei? Sial! Apa benar dia orang penting?" Eca menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak gatal.
Eca berharap kalau dirinya hanya salah membaca tulisan pada kartu nama itu, dia lalu membuka browser untuk mencari tahu. Dia ingat betul wajah pemuda yang sama persis dengan yang ada di internet. Lagi-lagi Eca mengumpat mengutuki kebodohannya.
"AH dia kurang ajar!"
Kalimat yang selalu dia ucapkan mulai dia keluar dari tempat itu, hingga ia tiba di rumah, bahkan saat ia pergi ke kantor.
"Sial!"
Eca tidak dapat lagi berfikir jernih, namun dia tidak dapat lagi membolos kerja karena ada pekerjaan penting bersama klien hari ini.
Masih dengan pencariannya di internet, Eca mendapati kalau Adra sangat populer dan merupakan anak dari seseorang yang sangat berpengaruh. Dia juga ingat kalau dia bahkan pernah mengidolakan pemuda itu saat pemuda itu masih bocah, karena ketampanan dan prestasinya yang pernah mendapat perak saat PON.
Kicau burung saling bersautan dari timur ke barat menandakan cuaca akan cerah. Cahaya matahari sudah muncul agak tinggi dari ufuk timur dengan dikelilingi awan putih nan indah.Dedaunan masih tenang sama sekali tidak bergerak oleh angin yang hanya datang seolah menyapa.Eca dikejutkan dengan kehadiran burung kecil yang berkicau di dahan kayu yang cukup dekat dari tempatnya tertidur. Segera ia membuka mata dan mencoba untuk memastikan suara apa yang telah membangunkannya.Posisinya yang masih dalam dekapan Adra membuatnya sedikit sulit untuk bangun.“Oh hai ...,” sapanya ramah pada burung kecil yang masih bertengger. Namun rupanya suaranya itu justru membangunkan Adra yang semula masih nyenyak.“Ngomong sama siapa?” tanya Adra masih dengan kantuknya.Eca menunjuk burung kecil itu. “Dia membangunkan kita yang sudah sangat kesiangan ini,” ujar Eca.Adra memperhatikan sekitar. Segera saja dia menghela napas seraya memijat pelan kepalanya, sudah dapat dipastikan ia akan membuat Eca kesiang
Ketika di rumah nenek, kamar ibu saat ia masih kecil, adalah pilihannya untuk tidur. Kali inipun begitu. Ia menceritakan mengenai kamar yang berukuran tiga kali empat itu kepada Eca. Dahulu ia dan ibu selalu tidur di kamar itu, jika ada ayah, mereka harus membagi tempat tidur untuk bertiga.Cukup sempit jika dibandingkan dengan kamar Adra di rumahnya yang sekarang, namun memori yang ada disana jauh lebih penting bagi Adra. Dia bahkan masih memasang foto keluarga mereka saat masih lengkap di meja, di dekat tempat tidurnya.Eca terkagum dengan suasana kamar yang membuatnya nostalgia karena suasananya benar-benar sudah tempo dahulu.Bu Tri menyiapkan minuman hangat dan makan malam untuk Adra dan Eca. Walaupun Eca sudah mengatakan kalau dia akan bantu, tetapi bu Tri melarangnya dan menyuruhnya untuk segera membersihkan diri dan makan malam setelahnya.Eca sangat berterimakasih atas minuman jahe yang dibuatkan oleh Bu Tri, karena kehujanan, tubuhnya menjadi dingin dan agak meriang. Walau d
Hujan turun semakin deras saat Eca mengajak Adra untuk berjalan cepat menuju mobil untuk berteduh. Tanpa adanya persiapan akan kehujanan, sepasang suami istri itu basah dan hanya mengeringkan tubuh dengan tisu setibanya mereka di dalam mobil.Sedikit menggumamkan sebuah irama yang tidak begitu jelas, Eca mengelap wajahnya. Sama sekali tidak terlihat marah ataupun kesal, Eca justru sesekali tertawa karena dia menikmati hujan itu.“Seru juga kehujanan,” ucap Eca. Namun tanpa ia sadari kalau ternyata Adra masih belum mengeringkan tubuhnya. Sejak masuk mobil, suaminya itu hanya duduk dan mematung. Tatatapannya kosong, masih tertuju pada pemakaman yang tak lagi terlihat jelas karena derasnya hujan.“Hey, keringkan dulu wajahmu.” Eca menyodorkan kotak tisu, tetapi diabaikan.Eca lalu berinisiatif untuk membantu mengeringkan wajah suaminya itu dengan tisu, perlahan.“Tarik napas panjang, hembuskan. Nangis lagi enggak apa-apa, tapi atur pernapasanmu,” ucap Eca saat ia menepuk pelan bagian pip
Tepat pukul tiga siang, Eca selesai meeting bersama dengan beberapa calon konsumen, juga bersama bosnya.Eca sudah memberikan info kepada rekan timnya untuk dapat menemui selesai meeting untuk keperluan tanda tangan, karena ia akan kembali pergi untuk urusan.Ratna membawa banyak berkas, begitupun Gilang yang juga telah menyampaikan beberapa hal penting di email, namun Eca belum membukanya.Eca hendak berbicara banyak dengan pak Harley, bosnya. Namun dia belum memiliki waktu untuk itu. Dia hanya sedikit memberitahukan kepada bosnya itu, kalau dia telah mempertimbangkan kalimat dari percakapan mereka kemarin, mengenai Eca yang mulai sulit membagi waktu sebagai seorang istri pejabat.“Pak, maaf banget saya tidak bisa full bekerja untuk hari ini dan mungkin untuk beberapa waktu ke depan. Saya akan ajukan cuti untuk hari ini, Pak.” Eca sempat berbincang kembali dengan bosnya saat mereka berada di lift yang sama.“Saya paham. Tapi sepe
Adra benar-benar mengantar Eca ke kantor. Walau istrinya itu telah menolaknya, namun ia tetap kekeuh dengan alasan malas bolak balik jika nanti harus kembali menjemputnya ketika hendak mengunjungi makam ibu.“Aku bilang suamiku sakit, masa kamu antar sampai ke dalam?” keluh Eca. Dia tidak memiliki alasan lagi setelah ini.“Bilang saja diantar supir.”“Tapi kamu masuk menemui pak Harley? Ya kan sama saja? Orang sakit mana yang bisa menemani istrinya meeting?” oceh Eca, masih enggan untuk dari mobil. “Mending kamu ke kantor saja ya. Kamu selesaikan pekerjaanmu dulu, nanti aku yang ke kantormu untuk lanjut ziarah. Oke?”Adra menghela napas panjang. Dia membutuhkan waktu lebihd ari enam puluh detik untuk berpikir sebelum akhirnya menyetujui perkataan istrinya, setelah perempuan itu menatapnya dengan melas.“Oke, jam tiga sudah sampai kantorku.”“Adra!” suara Eca meninggi.Adra tidak menghiraukan istrinya, “Sudah sana turun. Aku tunggu dua jam lagi.” Sama sekali tidak menatap Eca, Adra mem
Tik tik tik tik.Detik jam terdengar samar beriringan dengan suara hujan yang turun dengan hembusan angin lembut menyapa dedaunan.Di sebuah kamar yang hangat dengan cahaya temaram, sepasang suami istri masih tidur dengan nyenyak tanpa menghiraukan jam yang sudah jauh lewat dari jadwal masuk kerja.Sang suami, Adra, sempat terbangun karena merasakan keram hebat di bagian lengannya. Rupanya, sang istri masih tertidur nyenyak dengan berbantal lengan kiri pria itu.Agak meringis sakit, namun diaa tidak dapat membangunkan Eca yang masih larut dalam mimpi indahnya.Ia pandangi wajah perempuan itu dari jarak yang sangat dekat. Ini bukan pertama kalinya, namun masih menjadi hal yang menarik untuk terus dilakukan.Ia menyingkirkan helai rambut yang terurai di wajah perempuan itu. Disentuh pelan pipi dan hidung mungil perempuan yang kini menjadi istrinya. Jika boleh jujur, Adra masih belum sepenuhnya bisa menerima kalau dia benar-benar telah menikahi perempuan yang sama sekali tidak ia kenal s
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments