Share

Me And My Dad
Me And My Dad
Author: Bluevy Biru

Dua belas tahun berlalu

BRAK!

Suara bantingan pintu yang terbuka paksa terdengar oleh Gayatri Pradipta Pasha. Aya biasa dia dipanggil langsung bergegas bangun dan membawa anaknya bersembunyi disebuah ruangan rahasia, yang ada didalam otaknya saat ini hanyalah bagaimana dia bisa menyelamatkan anaknya.

Sesampai di ruang rahasia tersebut dia melihat ke layar monitor. Rumahnya memang sengaja dipasang cctv agar bisa memantau keadaan. Dilayar itu dia melihat banyak orang dengan membawa senjata.

Aya sadar meskipun dirinya adalah seorang prajurit yang terlatih tapi dia tidak akan menang menghadapi semua orang itu sendirian. Aya kemudian memandangi buah hatinya. ‘Sayang jika ini memang pertemuanmu dengan ibu untuk terakhir kalinya. Ibu mohon jadilah gadis yang Pemberani, cerdas dan mandiri.’ ucapnya dalam hati.

DOR! DOR! DOR!

Suara tembakan membuyarkan lamunan Aya, dia kemudian berdiri dan mempersiapkan diri untuk menghadapi mereka.

“Aneet, dengarkan Ibu!” pinta Aya ambil memegang wajah Ganeeta Tan Harsa (Aneet) dengan tangannya. “Sayang, lihat Ibu!... Lihat di layar itu, Nak!” perintahnya lagi sambil menunjuk layar monitor. “Aneet, sekarang kita sedang bermain petak umpet dengan paman-paman yang ada disana. Yang menang adalah yang tidak ketemu paman-paman disana. Aneet hanya boleh keluar jika opa atau ayah yang memanggil. Aneet pahamkan?” Aya berusaha menjelaskannya dengan pelan supaya gadis berusia lima tahun itu paham.

“Iya bu, Aneet tau.” jawab Aneet dengan senyum kecil yang mengembang dibibirnya yang sangat mungil.

“Habis ini ibu akan keluar, ibu akan bantu Aneet menang dengan menyuruh paman-paman di sana agar pergi supaya tidak bisa menemukan Aneet. Dan ingat! Aneet jangan sekali – kali keluar kecuali opa atau ayah yang memanggil. Aneet pahamkan?!” Aya mengingatkan lagi agar Aneet selalu mengingatnya.

“Iya bu, Aneet paham.”

Aya memegang wajah Aneet dengan kedua tangganya. “Sayang, lihat mata ibu! Dengarkan ibu! Jika dalam permainan ini nanti ibu kalah. Aneet tidak boleh kalah, Aneet harus tetap di sini dan menjadi pemenang. Tumbuhlah menjadi putri ibu yang pemberani, cerdas dan mandiri.”

Aya menghembuskan nafas lega dan berharap putri kecilnya paham. Sebelum keluar dia mencium sang putrinya terlebih dahulu. Berkali – kali dia mencium dan memeluk putrinya.

“Ingat kata ibu, apapun yang terjadi Aneet hanya boleh keluar jika Oppa atau Ayah yang memanggil.” Tegasnya sekali lagi.

“Iya bu, Aneet ingat.”

Aya tersenyum lalu meninggalkan Aneet sendirian. Sebelum pergi aya memasangkan ke leher Aneet sebuah kalung dengan liontin setengah hati. Sebutir air matanya menetes saat dirinya melakukan hal berlalu meninggalkan Aneet.

DOR! DOR! DOR!

Desisan peluru yang didengar oleh Aneet, membuat laki – laki yang terlihat dilayar jatuh. Aneet begitu senang.

“Hore! Aneet pasti akan menang dibantu sama ibu.” ucap anak kecil itu sambil melompat dikursi.

Paman-paman yang awalnya Aneet lihat banyak, sekarang jumlahnya tinggal beberapa saja.

Hingga akhirnya dia melihat pemandangan yang sangat tidak dia duga.

“Ibu!” suara yang keluar dari bibirnya yang mungi

Gadis kecil itu melihat penampakan dilayar. Ibunya digelandang oleh beberapa pria dengan tangan yang terikat ke belakang. Aneet juga melihat sang ibu yang ditendang hingga tubuhnya tersungkur ke lantai.

“I – i – bu.” panggil Aneet dengan suara yang bergetar. Anak berusia lima tahun itu kembali melihat ibunya dipukul, ditampar dan dianiaya oleh para pria yang dilihatnya dari layar kaca.

“Kata ibu, Aneet tidak boleh menangis! Jadi Aneet tidak mau nangis.” Kedua tangan kecil itu menghapus air matanya.

Seorang pria dengan tubuh yang tinggi, berjubah hitam dan memakai sall berwarna putih nampak berdiri di depan ibunya. Dia todongkan pistol kepada yang ibu dengan jarak yang tidak terlalu jauh.

Dor! Dor! Dor!

“Ibu!....”

***

Dua belas tahun berlalu....

Ganeeta Tan Harsa bangun dengan nafas terengah dan keringat membasahi wajahnya. Ganeeta gadis dengan wajah yang imut ini nampak begitu ketakutan, tangannya terlihat gemetar.

Dua orang pria masuk dari luar enggan salah satunya membawa segelas air putih dan yang satu memeluk Aneet untuk menenangkannya.

“Aneet, tenanglah paman disini dan tidak akan terjadi apa – apa?” ucap paman yang biasa Aneet panggil paman ying.

“Ayo minun dulu Sayang.” kata salah seorang paman lain yang biasa Aneet panggil yang.

Aneet mengambil minumnya dari paman yang, dia menghabiskan satu gelas penuh minumnya tanpa jeda. Aneet berusaha mengatur nafasnya agar lebih tenang.

“Paman, kenapa setelah dua belas tahun berlalu Aneet masih terus memimpikan hal itu?” tanya Aneet yang sudah mulai tenang.

“Trauma masa kecil, jadi wajar.” jawab Gayang

“Udah tidak usah dipikir, ayo buruan tidur. Besuk penerbangan kita pagi, katanya mau pengin cepat balik.” sahut Gaying

Mereka tidur bertiga dengan posisi Aneet berada di tengah.

***

Pagi ini pukul 06.00 waktu setempat, Aneet dan kedua pamannya baru saja tiba disebuah lapangan udara milik badan intelijen tulip, tempat mereka bernaung.

Suara gemuru terdengar oleh mereka bertiga saat memasuki landasan pacu. Guntur sengaja menyiapkan sebuah jet pribadi untuk menjemput mereka pulang.

“Mas Ying! Pesawatnya sudah siap, silahkan naik!” pinta Salah seorang anak buah opa dengan suara keras.

“Ayo naik!” Gaying berkata

Tidak lama setelah naik, pesawat lepas landas dari bandara.

“Aaa...!!!” teriak Aneet saat pesawat telah terbang. “Akhirnya pulang juga!” lanjut Aneet berteriak

Gayang dan Gaying hanya tersenyum melihat kesenangan keponakannya. Wajah yang jarang dia lihat karena setiap harinya hanya diisi dengan latihan dan latihan.

Sudah Tiba...

Selama lebih dari lima jam, mereka menempuh perjalanan dengan jet pribadi itu. Dari udara Aneet sudah melihat landasan pacu yang akan mereka gunakan untuk take off. Mendengar instruksi dari sang pramugari mereka bersiap untuk take off

Senyum lebar mengembang dari bibir Aneet saat pesawat menyentuh landasan pacu. “Aneet pulang Bu.” ucapnya lirih

“Seneng ya pulang?” tanya gayang.

“Heem.” jawab Aneet sambil menganggukkan kepalanya. “Paman, habis ini langsung ke makam ibu ya.” pinta Aneet.

Gaying dan Gayang hanya saling bertatapan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. “Aneet kangen sama ibu Paman, please!” ucapnya memohon.

“Nanti tunggu opa dulu ya Sayang.” jawab Gaying

“Aneet kan tau kalau udah sama opa semua keputusan ada ditangan opa.” sambung Gayang menjawab permintaan Aneet. “Yang penting kita udah di sini dulu.” Lanjut Gayang

Pintu jet pribadi yang membawa mereka sudah dibuka oleh pramugari. Sambil memegang tangan Aneet Gaying berkata, “Sekarang kita keluar dulu!”

Mereka bangkit dari duduknya, berjalan menuju pintu pesawat. Aneet menghidup udara dalam-dalam sambil memejamkan matanya.

‘Bu! Aneet sudah sampai. Aneet janji akan membalaskan kematian ibu kepada paman-paman itu.’ Ucapnya dalam hati, dua tangan menggenggam kuat saat itu seakan – akan siap untuk memukul. Melihat hal tersebut Gaying dan Gayang langsung memegang tangan Aneet, membuat mata Aneet yang terpejam menjadi terbuka.

Gaying, Gayang dan Aneet turun dengan bergandengan tangan menghampiri orang – orang yang menyambutnya.

***

Disebuah apartemen yang lumayan mewah dipusat ibu kota. Ganandra Tan Harsa seorang mafia kelas kakap, kepala cabang wilayah lima. Dia juga merupakan ayah dari Aneet, sedang berdiskusi dengan Jarot Handoko tangan kanannya yang dia sudah anggap sebagai saudara sendiri. Bertempat di mini bar miliknya mereka membicarakan perkembangan wilayah.

Prang!

Gelas yang dibawa Annan biasa Gannandra di panggil tiba-tiba terjatuh tanpa sebab. Jatuhnya gelas Annan bersamaan saat kaki Aneet pertama kali menginjak dilandasan pacu.

“Kenapa kak?” tanya jarot.

“Aku kok tiba – tiba rindu dengan Aneet.” jawab Annan dengan tatapan kosongnya.

“Jan! Tolong bersihkan bekas gelas kakak.” pinta Jarot. “Kak!” lanjut jarot sambil memegang bahu Annan dan memberikan minuman baru.

“Sudah dua belas Tahun aku tidak ketemu dengan putriku. Ya... dua belas tahun karena beberapa bulan lagi Aneet akan berusia tujuh belas tahun.”

“Kakak sudah mencoba mencari tau dimana Aneet ke papah Guntur?”

“Beberapa kali aku ke sana Jar untuk menanyakan, tapi papah selalu bilang jika Aneet baik – baik saja dan dalam pengawasan tangan yang tepat.” jelas Annan, dia lalu terdiam dan mengambil nafas panjang.

“Kakak yang sabar, jika sudah waktunya pasti Aneet akan mencari kakak.” Jarot berusaha menghibur Annan.

“Jarot, temani aku! Aku mau ke makamnya gayatri.” pinta Annan.

“Okey kak.” jawab jarot sambil mengacungkan jari jempolnya

*** Bersambung ***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status