Hari pertama sekolah adalah saat bagi guru untuk berbasa basi, berbaik hati, sebelum akhirnya mereka menjelma menjadi singa atau harimau jantan dan betina yang ganas.
“Selamat pagi, hari ini adalah hari pertama kalian menjadi keluarga baru di sekolah ini. Perkenalkan, nama saya Deasy Juwita. Saya akan menjadi wali kelas kalian selama satu tahun ke depan.”
Bagiku, semua guru sama, berbaik-baik di hari pertama, kemudian mengganas sampai akhir kehidupan remajaku. Lulus SMA.
Anak-anak di kelas sibuk berbaur. Hanya beberapa saja yang terlihat tidak mau tahu dengan suasana itu. Termasuk aku, yang semakin acuh dengan suara bising bercampur tawa. Namun, tiba-tiba dengan refleknya kepalaku menoleh ketika suara keras terucap dari bibir seorang perempuan yang tak asing, Sela, teman SMP yang kebetulan satu kelas lagi di jenjang ini.
“Liana!!” teriak Sela.
Sela menunjukan ekspresi yang riang. Nama yang disebutkannya seperti menarik perhatianku. Aku mencari-cari, menyebarkan pandangan ke seluruh kelas. Dapat! Perempuan mungil yang duduk tidak jauh dari kursiku.
“Kamu sekolah di sini juga?” tanyanya.
“Iya.”
“Wah!” Sela tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan di raut wajahnya. “Di kelas ini orang-orangnya pasti akan menyenangkan. Aku tidak menyangka bisa satu sekolah denganmu lagi. Bagaimana dengan teman-teman SD kita? Apa mereka yang sekolah di sini juga?”
“Kalau itu aku kurang tahu.”
Dari kursi, terus kupandangi dia. Satu hal pun tak mampu memalingkan mataku darinya.
Riuhnya kelas tak mampu mengusir ketajaman telinga ini terhadap suaranya. Rambutnya yang pirang sesekali diurai sepoinya angin dari jendela kelas. Dari celah itu, aku mampu melihat siluet senyumnya dengan mata penuh, tanpa halangan.
Kami belum bertemu secara resmi di hari pertama ini. Wajahnya tiba-tiba membulat di seluruh bola mata. Memenuhi pupil yang belum terisi cahaya sepenuhnya.
Tangan lembutnya melambai dengan orang-orang baru di kelas yang juga belum kuketahui namanya. Tegel hitam yang kupijak, memantulkan gambaran dirinya, menjadi perantara antara mataku dengannya. Belum berani kutatap wajahnya, aku masih butuh media. Tegel hitam kusam yang tiba-tiba tahu keinginan dagingku.
Dari berbagai benda yang dapat menghasilkan getaran suara, aku mendengar suara khasnya, sedikit cempreng, namun terpatri dalam ingatan. Seperti apakah dia? Orang seperti apakah dia?
***
Pagi-pagi sekali aku terbangun. Setelah melihat wajahnya kemarin, semangatku makin menggebu. Aku harus datang dengan keadaan rapi agar menarik perhatiannya.
Seragam kemarin kusetrika kembali. Apalagi, saat pulang sekolah aku langsung melemparkannya ke arah mana saja.
“Bu, Rian sudah rapi belum?” Aku menaruh kedua tanganku tepat di pinggang sembari menyeringai. Kemeja yang kukenakan tidak lecak, segaris pun tidak. Tali pinggang kulit kebanggaan pun sudah kukenakan. Apa lagi yang kurang?
“Ehmmm...” Ibu menaruh telunjuk tepat dibibir dan menggerak-gerakkannya. “Ada gadis cantik di sekolah ya?”
“Ah..” Senyumku langsung melebar.
“Ayam goreng!!!” Perhatianku langsung tertuju ketika kulihat ada beberapa potong ayam goreng di meja makan. Tanpa perlu berbasa-basi, langsung kupasrahkan tubuhku untuk melahap ayam itu lengkap dengan nasi hangat sebanyak-banyaknya sampai perutku lelah.
Nasi di piring hampir habis. Ayam goreng sudah kulahap dua potong. Namun, Ayah tidak kunjung keluar dari kamar. Padahal, aku ingin sekali berangkat pagi-pagi hari ini.
“Bu, Ayah kemana?” Mulut masih penuh dengan nasi dan ayam goreng. Dalam hati ingin lagi mengambil secentong nasi dan sepotong ayam goreng yang benar-benar enak rasanya pagi ini.
“Oh, iya. Ibu lupa.. Ayah sudah pergi jam 6 tadi. Kamu naik bus sendiri tidak apa kan?”
Nasi dan ayam goreng yang masih bersarang di mulutku ini rasanya ingin kumuntahkan. Tenggorokanku tiba-tiba serat. Tak mampu menelan.
“Minum dulu, Rian.” Ibu menyuguhkan air putih padaku yang tersedak.
Ayah tidak bisa mengantarku pagi ini. Beliau harus pagi-pagi benar berangkat ke toko karena masih banyak faktur penjualan yang belum diperiksa.
“Sudah rapi begini aku harus naik bus?” Wajahku berubah menjadi masam. Bayangan akan menarik perhatian Liana sirna sudah. Aku harus berdesakan dan berbagi tempat duduk dengan orang lain. “Kalau saja aku diperbolehkan membawa kendaraan sendiri, pasti tidak repot begini, Bu.”
“Hussshh! Ayah dan Ibu sudah bilang berulang kali, kan? Masih mengungkit masalah itu lagi?” Suara Ibu mulai bergetar di telinga. Matanya mulai membidik. Aku harus menghentikan keadaan ini. Seruan dan doa-doa panjang memekakkan telinga akan mengudara jika aku tidak buru-buru menyudahinya.
Ayah selalu bilang bahwa ia lebih baik kehilangan kendaraan daripada kehilanganku.
Yang benar saja. Sebagai laki-laki, aku sangat malu di usia lima belas tahun ini aku tidak bisa mengendarai motor. Pergi kemana pun, aku selalu menumpang dengan sahabatku, Tony. Ia juga satu sekolah denganku di SMA ini, meski tidak satu kelas.
Coba bayangkan, mana ada anak seusiaku yang belum bisa mengendarai sepeda motor. Mungkin hanya aku. Bodohnya, aku tetap mejaga peraturan itu. Meskipun Tony berkali-kali ingin meminjamkan motornya untukku dapat belajar, aku tetap menolak.
Waktu semakin mempercepat lajunya. Sudah pukul 06.30, tapi bus tak kunjung datang. Perasaan khawatir menguasai. Jangan sampai terlambat, jangan sampai. Jalanan hari ini memang ramai, berbeda dari biasanya. Entah apa yang terjadi, padahal hari ini bukanlah hari Senin.
Hampir sepuluh menit menunggu di tepi jalan, bus yang kutunggu pun datang, kulambaikan tangan dari kejauhan agar bus itu berhenti tepat di depanku.
Orang-orang di dalam bus sibuk dengan pikiran masing-masing. Mungkin juga sibuk memikirkan impian, masa depan, dan pendidikan. Kebanyakan penumpang di bus ini mengenakan seragam sekolah.
“Ehhh...!!”Tangan seseorang tiba-tiba menepuk bahuku dari belakang. Aku pun terjaga dari lamunan melihat kendaraan lalu lalang dari jendela kusam bus yang usianya pasti lebih tua dariku. “Kita satu kelas kan?”
Aku hafal sekali suara itu. Kukira hanya halusinasi. Betapa terkejutnya aku saat mengalihkan pandangan ke belakang. Aku tahu dia, bahkan lebih tau daripada dia mengenaliku.
“Ehhhh.... Iya.... Kita satu kelas,” kataku terbata-bata.
Suara yang biasanya lantang seketika menjadi kembang kempis. Makin lama makin hilang dan membisu sampai kami tiba di sekolah. Kebisuanku ternyata tak membuat dia pergi mendahului. Kami tetap jalan beriringan. Dia gadis yang baik juga polos. Wajahku sudah semerah ini, dia masih tidak mengerti betapa aku sangat gugup berada di dekatnya.
Kunaiki anak tangga satu demi satu bersamanya. Suara langkah kami seiras mengikuti tempo yang beraturan. Kurasai jantung ini berdebar dengan kencang. Sangat kencang, lebih kencang dari debar-debar yang pernah kualami sebelumnya.
“Aku Liana..”
Aku sudah tahu! Perasaan kikuk benar-benar tak bisa kuhilangkan. Kenapa anak tangga ini tak habis-habisnya kunaiki? Padahal kelas yang ingin kutuju berada di lantai tiga. Kenapa lama sekali? Waktu tiba-tiba melambatkan lajunya. Setelah tadi ia mempercepat, kini dengan mudahnya ia melambat. Semudah itukah kiranya ia mempermainkanku?
Dinding-dinding pembatas kedua sisi tangga kurasai sedang menertawakan. Mencemooh atau membahas kekikukan yang terjadi padaku.
“Rian.”
Anak tangga yang tak ada habisnya ini, kini terlihat ujungnya. Suara samar-samar tertangkap gendang telinga.
Di depan kelas, Beno, sahabatku sedang bergurau dengan anak yang lain. Ah, selamat. Aku bisa mengakhiri kekikukan ini.
“Morning, Lianaa..” Beno menyapanya lembut sekali. Dari tatapannya, kutahu bahwa ia pun menyukai Liana.
“Morning..” Sahutnya dilengkapi dengan senyum simpul.
Beno memberikan kode keberhasilan dengan mengedipkan sebelah matanya. Kubalas dengan senyum sedikit terpaksa.
Beno adalah teman pertama yang kudapatkan kemarin. Selain Sela dan Tony, aku tidak kenal siapa-siapa. Beno anak yang periang, kemarin dia yang lebih dulu memperkenalkan diri.
Liana meletakkan tasnya di bangku. Sifat ramah yang dimilikinya membuat ia dikelilingi banyak teman. Belum lama ia duduk , Sela dan teman yang lain menghampiri dan mereka pun tergabung dalam perbincangan yang tak kuketahui jelas topiknya.
Aku duduk dan memandanginya dalam diam. Pemandangan seperti ini akan kurasakan sampai akhir semester dua.
Hampir semua siswa tidak menyukai pelajaran matematika. Penjelasan yang diberikan di papan tulis tidak mampu aku pahami. Begitu pun Beno. Selain ramah, ternyata Liana juga anak yang pintar. Beberapa anak berkerumun di mejanya dan menanyakan materi yang sangat sulit kami pahami. Beno bangkit dari kursinya dan menghampiri Liana. “Aku tidak mengerti,” dalihnya membuatku ingin muntah. Ia pintar sekali mengambil kesempatan dalam kesempitan. Liana mengambil pensil dan menuliskan penjelasan yang mudah dimengerti pada buku Beno. “Jadi, kamu harus hafal rumusnya terlebih dahulu. Kalau kamu tidak hafal, sulit untuk mengerjakan soal ini. Masih ingat kan rumus jajar genjang sewaktu di SMP dulu?” “Ehhhmmm..” Ia kebingungan. Wajar, mana ada siswa yang menyukai matematika. Apalagi anak laki-laki. “Susah juga ya? Kalau aku menulis jawabanmu, sepertinya akan lebih mudah.” “Ben, kau harus mencoba. Kalau tidak bisa, baru bertanya lagi,”
Keributan terjadi di kantin pada saat jam istirahat. Anak-anak bercakap tak beraturan. Hanya satu kata yang kudengar berulang-ulang; Beno. Aku berlari menuju kantin. Di sana, beberapa guru sudah memisahkan Beno dan Ferdi, senior kami, anak kelas XI.Aku kehilangan momen yang berharga. Seharusnya tadi aku ada di sana saat mereka berkelahi. Pasti akan seru. Perkelahian seharusnya tak perlu dipisahkan.Dari beberapa teman yang melihat kejadian itu secara langsung. Pertikaian itu bermula ketika Ferdi berusaha menggoda Liana.Aku menghampiri Sela yang berdiri teguh di luar kantor guru. Wajahnya was-was. Beberapa kali ia menggigiti ibu jari sebelah kanannya.“Jadi,” aku mulai merangkai kata yang pas karena melihat wajahnya yang begitu cemas. “Apa yang terjadi?”“Kak Ferdi memukuli Beno tadi di kantin.”“Bukannya guru sudah memisahkan?”“Guru datang setelah lima menit Beno dipukuli.
Aku terhuyung-huyung. Kurasai bibirku kebas. Aku tersungkur, jatuh, menggelinding melewati beberapa anak tangga. Semua terjadi begitu cepat. Kupikir perkelahian tak ubahnya adegan film yang bisa diperlambat. Seperti yang kukhayalkan sebelumnya.Sepertinya kerikil mengenai wajahku. Mataku terasa perih, pipiku juga, kemungkinan berdarah. Bukan karena pukulan, tapi menggelinding dengan bebas. Berguling-guling beralaskan pasir dan kerikil.“Riannn!!” Liana histeris..Aku bangkit dengan setengah nyawa masih melayang. Langkahku gontai. Meski begitu aku tetap berupaya melangkah. Kuambil tangan Liana yang masih digenggam erat olehnya. Pandanganku sedikit kabur. Menggelinding bukanlah sesuatu yang menyenangkan seperti bermain perosotan. Ini nyata. Aku berkelahi untuk pertama kalinya.“Sudah puas? Tolong lepaskan tanganmu,” kurebut tangan Liana dengan sekuat tenaga. Liana langsung menyembunyikan diri di balik punggungku.Kutatap
Aku menolak ketika Ibu membangunkan untuk bersiap ke sekolah. Mataku terasa panas dan tubuhku juga menggigil. Dengan terpaksa, kuputuskan untuk tidak sekolah meski hati sangat menginginkannya.“Kalau orang tua bicara, makanya didengar! Kamu sakit, Ibu juga yang repot!” Ibu menggerutu sepanjang pagi hingga siang. Aku tak menyalahkan beliau, memang aku yang salah. Hanya saja, telinga ini punya batas dan punya hak untuk merasa bosan jika yang didengarnya adalah topik yang sama.Setelah menjemput Randy, adikku, Ibu membawaku ke klinik.“Kamu jatuh dari motor ya?” tanya dokter seraya membersihkan luka di wajahku.Niatku yang ingin menjawab pertanyaan dokter itu seketika hilang ketika Ibu langsung mengambil alih percakapan itu. “Anak saya belum diperbolehkan untuk mengendarai motor.”“Anak Ibu sudah kelas berapa?”“1 SMA.”“Sudah kelas 1 SMA belum bisa mengendarai motor?&rdqu
Terbangun sebelum alarm berbunyi adalah hal yang langka dalam hidupku. Pagi ini, aku sengaja berlama-lama di kamar. Ingin datang terlambat. Agar Liana menunggu dengan perasaaan was-was di dalam kelas.“Rian! Kalau kamu masih belum siap juga, pergi sekolah saja sendiri!!” teriak Ayah dari lantai bawah karena mulai naik pitam dengan kelambatanku.Sebenarnya aku sudah siap sejak dua puluh menit yang lalu. Berada di kamar hanya untuk menghitung waktu. Pukul berapa biasanya Liana datang. Dia harus datang lebih dulu.Waktunya sudah lewat. Aku segera turun ke bawah. Menyantap nasi goreng sosis buatan Ibu yang rasanya tidak pernah mengecewakan.“Kamu lambat sekali hari ini!” gerutu Ibu.“Maaf, Bu. Aku membersihkan lukaku dulu. Kata dokter kemarin harus benar-benar kering. Ibu dengar kan?”Ibu diam. Alibiku sukses.Di dalam mobil, Ayah menggerutu karena kesiangan membuka toko gara-gara kelambatanku.&
Pukul lima sore, untuk pertama kalinya, aku pergi ke stadion. Seumur hidup, baru kali ini aku menginjakkan kaki di track lari yang berbahan sintetis. Baru kurasakan sensasinya berlari di sini. Saat melangkahkan kaki, seperti ada sesuatu yang melemparkan kakiku kembali ke atas.Berlari di sini tidak lebih melelahkan dibanding di lapangan biasa. Aku jadi paham mengapa banyak orang berbondong-bondong kemari meskipun hanya untuk membakar lemak di tubuh.Karena tidak pernah berlari selain di pelajaran olahraga, aku mulai berlari santai di lima menit pertama. Belum lagi limah menit, nafasku tersengal-sengal. Aku memang buruk dalam olahraga. Waktu SMP, pengambilan nilai lariku pun tidak sebaik yang lain.Dada berdebar hebat. Degupnya terasa sampai menggetarkan tubuh bagian atas. Nafas terasa berada di ujung. Paru-paru seperti menjauh sehingga aku merasa engap ketika menghirup dan menghembuskan.Aku berhenti di tepi. Memegang kedua lutut berupay
Sakit dikhianati teman sendiri baru kurasakan. Meski memang Beno tidak bersalah, karena aku pun tidak mengungkapkan perasaanku yang sesungguhnya pada Liana, hanya saja kupikir ini semua terlalu cepat. Tidak ada satu manusia pun yang bisa menerima secara lapang dada atas kejadian yang kualami saat ini.Pikiran menyedihkan menguasai diri. Aku terlalu pengecut sebagai seorang laki-laki. Bertukar pesan dengannya pun aku segan. Menatap matanya pun aku tak mampu. Apalagi mengobrol dengannya seperti Beno yang sering kali kulihat saat jam sekolah. Tidak mungkin aku bisa melakukannya, aku terlalu pengecut.Riki sudah berbaur dengan anak-anak. Sementara itu, aku mengurungkan niat dan sesegara mungkin meninggalkan ruangan ini tanpa meninggalkan jejak kesedihan yang mungkin bisa terbaca dari tatapan mata atau ekspresiku.Tidak ada lagi alasan yang membuatku semangat untuk datang pagi ke sekolah. Aku menyesal karena tidak membaca pesan dari Beno. Tetapi, jika aku membacanya,
Wajah pertama yang tertangkap bola mata saat masuk ke kelas adalah Liana. Ia tersenyum lebar. Aku membalasnya dengan senyum lebar pula, meski pedih di hati. “Apa kau bahagia?”Hatiku meraung sangat kencang. Di dalam dada ini, ada sesak yang melekat dan menancap kemudian. Tubuhku seolah tertimpa benda paling berat yang pernah ada.Seandainya saja mental pada tubuh ini lebih berani untuk mendekatinya. Seandainya saja mulut pada tubuh ini berani mengutarakan perasaannya. Seandainya saja jemari pada tubuh ini mampu mengetik obrolan sederhana seperti yang Beno lakukan setiap malam. Seandainya saja tubuh ini tidak terlalu dimanja. Mungkin dia akan memilihku.Kebisingan kelas sama halnya seperti lagu elegi. Aku tidak bisa membedakan mana suara obrolan, mana suara bising, dan mana suara erangan juga amarah di hati. Di kepala, semuanya terasa sama.“Yan,” panggil Beno seketika. Aku terpaksa menoleh, meski jika boleh jujur,