Share

Mengejar Waktu

Hampir semua siswa tidak menyukai pelajaran matematika. Penjelasan yang diberikan di papan tulis tidak mampu aku pahami. Begitu pun Beno.

Selain ramah, ternyata Liana juga anak yang pintar. Beberapa anak berkerumun di mejanya dan menanyakan materi yang sangat sulit kami pahami.

 Beno bangkit dari kursinya dan menghampiri Liana.

“Aku tidak mengerti,” dalihnya membuatku ingin muntah. Ia pintar sekali mengambil kesempatan dalam kesempitan. Liana mengambil pensil dan menuliskan penjelasan yang mudah dimengerti pada buku Beno.

“Jadi, kamu harus hafal rumusnya terlebih dahulu. Kalau kamu tidak hafal, sulit untuk mengerjakan soal ini. Masih ingat kan rumus jajar genjang sewaktu di SMP dulu?”

 “Ehhhmmm..” Ia kebingungan. Wajar, mana ada siswa yang menyukai matematika. Apalagi anak laki-laki. “Susah juga ya? Kalau aku menulis jawabanmu, sepertinya akan lebih mudah.”

 “Ben, kau harus mencoba. Kalau tidak bisa, baru bertanya lagi,” kataku sedikit keras agar terdengar sampai di kursi Liana.

Beno menoleh ke arahku. Begitu juga Liana. Saat mataku dan matanya saling bertemu, dadaku terasa berdebar. Degub jantungku lebih keras dalam waktu sekejab. Waktu seperti terhenti saat aku melihat matanya yang indah itu.

Beno kembali ke mejanya. Kami melihat beberapa teman mengangkat kursi dan bergabung dengan yang lain. Bu Deasy yang melihat tak bereaksi apa-apa. Maka kuputuskan untuk menarik kursi milikku dan ikut duduk di meja Beno.

 “Nih,” Beno memberikan bukunya yang sudah ditulis oleh Liana. “Aku rasa lebih baik jika kita melihat bukunya saja. Pasti akan lebih mudah.”

 Aku diam sejenak. Memandang tulisan di bukunya, memahami setiap rumus pada baris per baris.

 “Aku paham apa yang ditulis,” ucapku.

Dengan berbekal penjelasan yang sudah Liana tulis di buku Beno, aku bisa sedikit meraba-raba untuk memecahkan soal yang diberikan. Jika sudah memahami rumusnya, cara penyelesaiannya pasti mudah. Setiap hal dalam hidup, kita hanya perlu memerlukan benang merah.

Pelajaran yang terakhir selesai. Buru-buru kubereskan meja agar bisa pulang bersamanya.  

Liana telah hilang dari pandanganku. Barang kali ia sudah melewati gerbang sekolah dan turun menuju halte. Ini kesalahanku karena lamban dalam mencatat pelajaran. Kalau saja aku tidak mengobrol dengan Beno di menit pelajaran terakhir, pasti aku bersamanya saat ini.

Kukerahkan segala kemampuan untuk menyusulnya. Siapa saja yang sedang menuruni anak tangga, kuterabas tanpa segan. Kesempatan ini tak boleh lewat. Pergi tak sengaja bersamanya, pulang pun harus tak sengaja bersamanya. Barangkali ketidaksengajaan itu akan berubah menjadi perasaan saling mengharapkan.

Nafasku semakin terengah. Rasanya tidak kuat lagi untuk berlari. Tanpa pemanasan, berlari dengan sekencang-kencangnya sangat menguras tenaga.

Dia terlihat!

Akhirnya aku bisa mendapatkannya sebelum ia berhasil menaiki bus. Dia sedang duduk menunggu di halte itu. Tas selempangnya dikedepankan, tepat di atas kedua paha. Sementara kedua tangannya bersimpu.

Aku pun mulai mengatur nafas. Tak ingin terlihat terengah-tengah. Berjalan selangkah demi selangkah mengkondisikan dada yang kembang kembis tak beraturan. 10 meter di sana, nafasku harus sudah seperti biasa.

“Sudah paham?” Ia menegurku lebih dulu ketika aku ikut duduk menggabungkan diri.

“Hah?” aku tergelak.

“Yang tadi.”

“Oh,” aku mengerti. Ia sedang membahas pelajaran matematika di kelas tadi, “sudah.”

Ia mengangguk kemudian tersenyum.

“Pulang sendiri?” Aku berinisiatif membuat pertanyaan karena tak ingin menghentikan obrolan ini. Sungguh.

“Iya..”

“Tidak dijemput?”

“Kalau pulang sekolah, aku harus naik bus karena kakakku bekerja.”

“Oh begitu, sama denganku.”

“Kau punya kakak juga?”

“Tidak, maksudnya sama denganmu karena harus naik bus sendiri.”

Di bus, duduk bersebelahan. Bising suara kendaraan tua ini seperti suara latar kebersamaan kami. Lenganku dan lengannya bersentuhan dibatasi kedua baju seragam. Sesekali aku berlagak melihat ke luar jendela, padahal itu hanya trikku agar bisa mencuri pandang.

Hari ini benar-benar menyenangkan. Rasanya tak ingin berganti menjadi esok. Pulang dan pergi sekolah bersama. Ah, betapa bahagia!

Aku memutuskan untuk tidur lebih awal. Besok pagi aku ingin naik bus lagi. Ingin bertemu Liana lagi. Semoga.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status