Share

Me and You
Me and You
Author: Iccan

Mencari

“Mau gak nikah sama kakak?” tanya Irsya.

Apa Irsya baru saja melamarnya? Bagaimana hal ini bisa terjadi? Irsya sudah ia anggap sebagai Kakak sama seperti Rara sahabatnya.

Ica bingung harus menjawab apa sekarang. Situasi seperti ini tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. “Emm ...”

“Maaf kalo lancang,” kata Irsya lagi.

“Ica gak tahu, Kak.” Ica masih tidak tahu harus menjawab apa.

“Gak harus dijawab sekarang, tapi kakak minta tolong kalo ada hal yang mau ditanyakan, tanya aja ke kakak, Rara, atau mamah sama papah.”

“Mereka tahu soal ini?”

Tentu saja Ica menanyakan hal ini karena sebelumnya di antara mereka tidak ada yang memberi tahunya atau pun sekedar berbasa-basi ke arah sana. Ahh yang benar saja.

Irsya menjawab, “tahu, kakak minta pendapat mereka terlebih dahulu sebelum kakak bicara sama kamu.”

Perkenalan Irsya dan Ica sudah lama sama seperti ia mengenal Rara. Namun, intensitas keduannya tidak sama sebab saat Ica dan Rara masih duduk di bangku sekolah Irsya sangat jarang bergabung dengan mereka berdua. Hanya satu tahun belakangan ini setelah Ica dan Rara menjadi mahasiswa barulah mereka bertiga sering jalan bersama meskipun Irsya kuliah di luar kota. Benar kata orang terkadang jarak malah mendekatkan yang jauh.

Seketika suasana menjadi hening, tak ada yang mampu melanjutkan pembicaraan sebelumnya.

“Ini lagi pada sariawan atau gimana sih?” Kedatangan Rara mampu mencairkan suasana yang sudah sangat canggung.

Irsya dan Ica hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Rara.

••••

Gadis dengan setelan syar’i berlari tergesah-gesar mengejar seorang pria yang terlihat gagah dari belakang. Keberuntungan masih berpihak padanya, dikarenakan kini dalam masa libur semester sehingga suasana kampus juga tidak begitu ramai mahasiswa yang datang. Keadaan ini sangat mendukung dirinya untuk berlari mengejar seseorang yang sedari tadi ia cari-cari keberadaannya.

Namun, tak disangkanya ternyata pria itu berlari sangat cepat sehingga tidak bisa ia kejar dengan tenaganya dan mungkin juga karena jarak dirinya dengan pria itu yang terlampau jauh.

“Huh cepat banget larinya,” gumamnya untuk pria yang gagal ia kejar tadi lalu mengatur nafasnya yang terengah-engah, “tahu gini mending aku sendiri aja yang dapat tugas dari Pak Habib!” gerutu gadis itu lagi sambil berbalik menuju perpustakaan dan menatap nanar tumpukkan kertas yang sedari tadi dibawanya.

Ia kira kali ini usaha untuk mencari pria itu akan selesai, tapi nyatanya tidak. Di tengah perjalanannya tiba-tiba ...

“Ayo, Ca. Udah ditungguin loh.” Tanpa aba-aba seseorang langsung menarik tangannya. Namun, yang ditarik hanya berjalan malas menanggapinya.

“Sabar dong,” balasnya menanggapi ucapan Rara, “habis lari-lari nih.”

Mutiara Azzahra atau yang sering dipanggil Rara adalah mahasiswa semester 3 fakultas manajemen disebuah universitas negeri di kotanya. Rara dan Ica sudah bersahabat sejak mereka duduk di bangku kelas 7 SMP. Pada saat hari kelulusan tiba Rara memilih masuk SMK sedangkan Ica memilih masuk SMA.

Kendati beda sekolah, tapi hal itu tidak membuat hubungan keduanya menjadi merenggang. Dengan berbedanya sekolah justru mereka memanfaatkan keadaan itu untuk saling bertukar informasi, pengetahuan dan banyak hal lainnya sehingga intensitas mereka semakin dekat dan sekarang keduanya memilih untuk masuk ke universitas dan fakultas yang sama.

“Ra,” panggil Ica lalu menahan tangan Rara agar berhenti dan mereka pun duduk pada kursi yang tersedia di sana.

Gadis itu berkata. “Apalagi?”

“Istirahat sebentar, ya,” ucap Ica memelas. Jujur saja saat ini ia butuh sedikit waktu untuk mengatur nafasnya.

Rara yang melihat ekspresi Ica saat ini hanya menurut saja. “Kamu tuh dari mana sih?”

“Panjang ceritanya, nanti aku certain,” jawab Ica lesu, “oya buku yang aku pinjam kamu bawain gak?” lanjutnya lagi.

“Gak!”

Mendengar jawaban Rara, Ica langsung berdiri namun, tangannya terlebih dulu dicekal oleh Rara. “Kamu ke depan dulu aja.”

Rara mengeluarkan sesuatu di tasnya tanpa melepaskan tangan Ica digenggamannya dan memberikan benda itu pada Ica.

“Nih, udah ayo,” kata Rara menggandeng tangan Ica pergi dari tempat itu agar segera menemui seseorang di parkiran kampus.

“Kak Irsya.”

Rara melambaikan tangan kepada pria yang bersandar pada mobil hitam di depannya. Tanpa membuang waktu ia langsung menghamburkan pelukan padanya.

“Maaf, Kak terlambat. Ica tuh lelet,” katanya sembari melempari wajah sebalnya pada Ica yang berada di samping dirinya.

Dengan melihat ke arah lain Ica membalas, “siapa suruh nungguin aku.”

“Huh!” sahut mereka bebarengan. Memang selalu kompak dalam hal apapun.

“Udah ... udah!” lerai Irsya, “gara-gara nungguin kalian kakak jadi pusat perhatian cewek-cewek, lumayan gak ada ruginya,” katanya berbohong karena sebenarnya Irsya itu tidak suka jika ada perempuan seperti itu.

“Idih PD boros,” ujar Rara.

Irsya tertawa mendengar ucapan sang adik. “Buruan masuk keburu siang.”

“Mmm ... maaf sebelumnya, Kak, tapi Ica gak bisa ikut,” dengan ragu ia mengatakannya.

“Kok gak ikut?” tanya Irsya.

Rara menatap Ica dalam. “Kan aku udah bilang ke kamu.”

Saat berangkat tadi memang Rara sudah menyampaikan kepada Ica jika selesai mencari buku, mereka akan singgah terlebih dahulu di supermarket yang mana tidak ditanggapi oleh Ica.

“Masih banyak pesanan nganggur di rumah, ditambah sebentar lagi udah mau masuk kuliah jadi harus bisa selesaiin secepatnya,” tutur Ica tak enak hati.

“Yahh masa cuma berdua,” sergap Rara mendahului Irsya yang sudah membuka mulutnya akan berbicara.

“Lain waktu ya, Ra,” ucapnya sambil mencubit pipi cubby Rara.

“Kalo gitu kita anter Ica dulu ya, Ra,” kata Irsya.

Ica bingung harus menjawab apalagi. Sebenarnya alasan ia tidak ikut karena dirinya harus segera mencari kakak tingkat yang mendapat tugas dengannya dan ini bukan saatnya untuk Ica bicarakan soal ini pada Rara.

Ica berkata, “Kak Irsya sama Rara langsung aja gak papa, nanti Ica pake ojol aja.”

“Kita tungguin.” timpal Rara.

“Apaan ditungguin. Udah sana pergi.”

“Ngusir?”

“Tepat,” tangkasnya setelah menjentikkan jari dan menyisakan jari telunjuk dan ibu jari ke arah Rara.

Jika sudah berbicara tentang pekerjaannya, Rara tidak akan bisa memaksa karena mereka sudah saling mengerti akan hal itu. Pertemanan mereka sudah 7 tahun terjalin. Sudah banyak peristiwa yang mereka alami bersama. Bukan hanya suka, tetapi duka juga mereka rasakan.

Ica menuntun Rara masuk ke dalam mobil dan membisikkan. “jangan lupa kuras dompet Kak Irsya.” Kemudian mengedipkan satu matanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status