Share

Bertemu

Dan dibalasnya dengan menunjukkan jari yang membentuk isyarat OK dan tidak lupa dengan muka jailnya.

“Ekhem.”

Mendengar deheman dari Irsya. Ica tersenyum kikuk menampilkan deretan gigi putihnya menanggapi tatapan Irsya yang pasti sudah mendengar obrolan mereka. Setelahnya ia menyingkir dari pintu mobil lalu Irsya menutupnya.

“Di rumah aja kan?” tanyanya pada Ica.

“Iya, Kak, ngejar deatline.”

Irsya mengangguk paham dan berkata, “kakak sama Rara pergi dulu, assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Lambaian tangan Ica mengiringi hilangnya mobil hitam itu dari pandangannya.

"Pokoknya tuh orang harus ketemu hari ini juga, inget, Ca, jahitan masih numpuk," batin Ica.

"Semangat, Ca,” ucapnya menyemangati diri sendiri dengan terus berjalan mencari pria yang ditugaskan oleh Pak Habib bersamanya.

Sudah cukup lama mencari, tetapi masih saja tidak membuahkan hasil. Dan karena sudah masuk waktu dhuhur akhirnya ia memutuskan untuk melaksanakan sholat dhuhur terlebih dahulu di masjid kampus setelah itu baru lanjut lagi untuk mencarinya.

Selesainya menunaikan kewajiban, Ica memilih untuk duduk di teras masjid kampus sembari mempelajari isi materi dari tumpukkan kertas yang akan ia garap nantinya.

"Lumayan juga nih tenaga kalo harus ngerjain sendirian,” keluhnya dengan menutup muka.

"Eh, lo,” suara seseorang.

Ica yang masih menutup muka dengan kedua tangannya sedikit terganggu karena menurutnya suaranya sangat dekat, tapi ia tetap tidak memperdulikan. Pikirnya mungkin tengah memanggil orang lain sebab tidak menyebut namanya. Bisa saja ditujukan pada orang lain, di sini banyak orang tidak hanya dirinya saja. Pikirnya.

Sedikit kesal seseorang kembali berkata, “singkirin tangan lo dan buka mata.”

Sedikit mengintip dari celah-celah jarinya sebelum Ica menyingkirkan tangannya dari tempat semula. Pria yang sedari tadi ia cari-cari ke sana kemari hingga membuatnya kewalahan, tapi apa sekarang? Dia mendatanginya sendiri? Benar-benar menakjubkan. Ica menggeleng-gelengkan kepala dan memasang ekspresi takjub. Haruskah Ica kebingungan mencarinya terlebih dahulu baru dia akan datang dengan suka rela? Huh menyebalkan.

“Iya, Kak, ada apa?” tanya Ica pada pria di depannya dengan nada ramah seolah tidak terjadi apa-apa.

“Ayo ikut gue,” ujar pria itu santai.

“Ke mana?”

“Udah ikut aja.”

“Udah di sini aja, Kak,” kekeh Ica.

Pria itu berjalan meninggalkan Ica dengan berkata, “cepat ikut atau tugas gak akan selesai sama sekali.”

Ica yang dibuat penik karena ucapan pria tersebut akhirnya merapikan semua bawaannya dan segera menyusul. Tidak mungkin kan jika tugas ini tidak diselesaikan secepatnya, sedangkan liburan semester akan berakhir dalam hitungan hari lagi.

Masih setia membuntuti pria di depannya yang tidak tahu akan membawanya ke mana. Ica terus berdzikir berlindung kepada Allah SWT.

“Aduh,” keluh Ica lalu memicingkan mata dengan mengerutkan dahi sejenak, “kenapa ceroboh banget si, Ca,” gerutunya dalam hati.

Bisa-bisanya ia menabrak jejeran kursi lipat yang bersandar pada tembok.

“Kita bahas tugas dari Pak Habib di perpustakaan aja, ya,” katanya pada Ica.

Untung saja pria itu tidak memakinya karena kecerobohan yang ia lakukan. Ica hanya menjawab dengan menganggukkan kepala tanda ia setuju.

Seperti biasanya perpustakaan selalu padat pengunjung dan sekarang saja walaupun masih masa liburan semester, tapi hampir semua kursi sudah berpenghuni. Perpustakaan adalah tempat yang sangat Ica sukai, di sini walaupun banyak orang, tapi kehadirannya tidak mengganggu sama sekali. Semua orang yang berada di sini sudah mengerti situasi dan peraturan yang berlaku sehingga mereka tidak akan berbicara hal yang tidak penting untuk menghargai pengunjung lain yang sedang fokus belajar.

“Kak, di sana, ya,” kata Ica menunjuk pada meja kosong samping jendela yang menghadap langsung ke arah taman dan ini tempat yang biasa ia tempati setiap kali berkunjung ke perpustakaan.

Bagian perpustakaan yang dekat dengan taman tidak dibatasi oleh tembok. Namun, hanya dibatasi dengan kaca sehingga pengunjung bisa menikmati nuansa segar dari semua tumbuhan yang ada di taman tersebut.

Pria itu hanya menurut dan mereka pun duduk berhadapan. Mulai membuka lembaran putih yang dibawa oleh masing-masing.

Ica membuka dengan pertanyaan, “Kak, ini kita mau bikin materi tentang apa?”

“Gimana kalo kita ngadain observasi pada pengepul barang bekas,” jelas pria dihadapannya.

“Alasannya?”

Mendengar pertanyaan dari Ica, pria itu menjawab dengan serius, “banyak orang yang masih menganggap remeh sampah, dengan ini gue berharap kita bisa mendapatkan hal yang bermanfaat untuk banyak orang.”

Ica masih setia mendengarkan penuturan pria tersebut.

“Selain kita bisa memberikan edukasi tentang bahaya sampah, kita juga bisa menjelaskan manfaat yang bisa kita dapat dari sampah. Masih banyak yang beranggapan jika barang bekas tidak ada nilainya lagi, sehingga mereka langsung membuangnya begitu saja.”

Benar sekali! Ica mengangguk setuju.

“Padahal masih banyak manfaat yang bisa kita dapatkan dari barang bekas tersebut. Nanti gua akan cari tempat yang bisa mencakup beberapa aspek tadi agar kita bisa mendapat pernyataan dari beberapa sudut pandang,” tuturnya tegas.

“Masalahnya liburan tinggal 4 hari lagi dan aku juga harus ngerjain yang lain, Kak,” kata Ica.

Seketika pria itu bermonolog, “semakin cepat kita jalan semakin cepat kita sampai.”

“Iya, tapi kalo observasi seperti itu kita harus datengin tempat lain juga buat perbandingan jadi hasilnya gak cuma dari satu narasumber dan itu butuh waktu beberapa hari,” jelas Ica.

“Ya udah biar gue aja yang ke lapangan setelah itu kita ketemu buat bikin laporan akhirnya. Gimana?” tawarnya pada Ica.

“Terus ngapain ada aku kalo ujung-ujungnya cuma Kakak yang turun tangan? Aku juga ditugasin Pak Habib loh, Kak, jangan lupain itu. Jangan buat aku gak amanah deh,” cerca Ica terus terang. Padahal kan ini tugas mereka berdua bukan hanya dia seorang.

Pria itu frustasi melihat kelakuan gadis di depannya. Siapa juga yang ingin membuat gadis itu tidak amanah? Dia kan hanya ingin meringankan saja dan tugas bisa terselesaikan tanpa membuang-buang waktu.

“Dasar gadis aneh, baru liat gue ada orang yang gak dikasih tugas malah marah-marah bukannya seneng terbebas dari tugas.” Ia berucap dalam hati.

“Terus lo maunya gimana?” tanyanya lagi pasrah.

“Ini kan udah mau ashar, nanggung juga kalo kita lanjutin buat tugas. Besok jam 8 ketemu di sini aja ya, Kak, dan usahain harus selesai besok juga,” ujar Ica sembari membereskan kertas-kertas yang berserakan di atas meja.

“Oke, diusahain,” ucapnya dengan mengambil kertas yang akan Ica ambil juga.

Sontak itu membuat Ica terkejut dibuatnya, jika saja tangannya terlambat berhenti maka Ica akan bersentuhan dengan seseorang yang bukan mahromnya dan itu adalah hal yang paling Ica jaga. Setiap sentuhan yang Ica lakukan pada yang bukan mahrom di dunia maka akan berdampak pada kedua orang tuanya kelak di akhirat dan Ica tak mau hal itu terjadi.

Spontan ia mengucap istighfar. “Astagfirullah.”

“Maaf ... maaf, gue cuma mau ambil ini.” Pria itu mengangkat beberapa kertas yang tidak jadi Ica ambil.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status