Sudah satu jam lebih Farissa berada di rumah Marissa. Saat ini Marissa sedang buang air besar di kamar mandi dalam kamarnya. Walaupun sedang di kamar mandi, Marissa mengobrol banyak hal dengan Farissa.
Tok tok tokTiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamar Marissa."Nona!" Ternyata itu adalah suara Bibi Ambar, pembantu di rumah Marissa."Nona ngobrol sama siapa? Bibi buka, ya?"CeklekRuangan seketika hening. Farissa dan Bibi Ambar saling tatap."Nona tadi ngobrol sama siapa?" Bibi Ambar bertanya."Aku… aku…." Farissa memilin tangannya, tidak tahu harus menjawab apa.Bibi Ambar menaikkan sebelah alisnya, menunggu jawaban dari Farissa."Aku menonton itu." Farissa mengarahkan telunjuknya ke televisi yang tertempel di dinding.Bibi Ambar menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia sungguh merasa aneh dengan tingkah Farissa. Tapi ia tak ambil pusing. Ia hanya menganggukkan kepalanya lalu mengucap permisi dan keluar dari kamar.Farissa mengusap dadanya, merasa lega. Marissa pun keluar dari kamar mandi dengan pelan agar tak menimbulkan suara. Ia memberikan kedua jempolnya kepada Farissa sebagai tanda ia berterima kasih atas bantuan Farissa."Boleh aku tanya?" ucap Farissa sambil memainkan jari tangannya."Apa?""Itu namanya apa?" Farissa menunjuk televisi."Oh, itu namanya televisi," jawab Marissa."Oh, televisi." Farissa menganggukkan kepalanya. "Aku dulu menyebutnya benda hidup."Marissa tertawa, merasa lucu dengan tingkah Farissa."Kenapa kamu tertawa?""Kamu lucu." Marissa mencubit kedua pipi Farissa lalu menariknya hingga melebar."Jangan cubit cubit! Nanti pipiku sakit." Mata Farissa berkaca-kaca."Kamu polos banget," ceplos Marissa."Apanya yang polos?""Kelakuanmu.""Entahlah, aku pusing," keluh Farissa."Mau nonton film?" tawar Marissa."Film? Apa itu?""Susah jelasinnya, mending kita langsung nonton aja."Marissa pun membuka laptopnya lalu memutar sebuah film komedi. Ia sesekali tertawa bersama Farissa. Farissa tampak menyukai film yang mereka tonton.Beberapa jam berlalu, mereka telah selesai menonton film dan melihat-lihat foto masa kecil Marissa yang tersimpan di laptop.Tiba-tiba, wajah Farissa menjadi sendu. Ia tampak seperti ingin menangis."Kenapa?" Marissa bertanya."Aku ingin punya foto keluarga seperti kamu," celetuk Farissa.Hati Marissa teriris, ia ikut merasa sedih dengan keadaan Farissa."Memangnya orang tuamu kemana?"Farissa menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu.""Terus kamu selama ini tinggal dengan siapa?""Aku tinggal dengan Paman.""Paman?""Iya, dia yang merawatku sejak kecil. Tapi ia sangat galak dan menyeramkan."Marissa terdiam, mencerna perkataan Farissa. Lagi dan lagi ia teringat tentang kejadian di rumah mewah tadi sore. Apakah paman yang Farissa maksud adalah pria itu?Farissa melirik jam dinding dan seketika matanya melotot. "Aku harus segera pulang," cetus Farissa."Sudah hampir jam sepuluh malam. Nanti paman aku marah," lanjutnya.Farissa bangkit dari duduknya diikuti Marissa."Hati-hati," ucap Marissa."Iya, terima kasih banyak, ya. Em… kamu mau jadi temanku?"Marissa tersenyum dan mengangguk."Yey, terima kasih. Aku pulang dulu, ya."Farissa pun keluar dari kamar Marissa dengan langkah pelan. Marissa sengaja tidak mengantar Farissa karena takut ketahuan Bibi Ambar.Farissa berjalan mengendap-endap di dapur. Farissa terlonjak kaget ketika ada yang menepuk bahunya. Farissa pun refleks menoleh dan ia melihat ada Bibi Ambar di belakangnya."Nona sedang apa?""Aku… aku mau ke belakang rumah," ucap Farissa pelan."Ngapain?""Cari udara segar."Lagi, Bibi Ambar menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia mengangguk-angguk meski sebenarnya ia merasa aneh dengan Farissa."Ya sudah, Bibi tinggal tidur, ya. Bibi sudah mengantuk."Bibi Ambar pun berbalik dan melangkah menuju kamarnya. Farissa memperhatikan sampai Bibi Ambar tidak terlihat lagi. Ia pun melangkah keluar rumah.Sementara di kamar, Marissa merenung di kursi belajarnya sambil melihat jendela kamarnya. Ia tersenyum melihat Farissa berjalan di jalan.Beberapa detik kemudian senyum itu sirna. Ia benar-benar bingung dengan semua yang temui. Tentang Farissa, siapa dia, kenapa bisa sangat mirip dengannya, dan kenapa Farissa diseret oleh seorang laki-laki di rumah yang ia temui tadi sore.Marissa merasa haus, ia pun melangkahkan kaki keluar kamar untuk membuat susu hangat. Di dapur, Marissa dikejutkan dengan kehadiran Bibi Ambar."Lho, Nona kok ada di sini? Dan kenapa pakaian Nona berbeda. Nona ganti baju? Tapi kok cepat sekali. 'kan kata Nona, Nona dari angin segar."Marissa membeku, tak mampu berkata-kata. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Iya, tadi gak jadi karena udara dingin banget terus aku ganti baju biar lebih hangat," kilah Marissa."Oh begitu. Nona sudah buat susu? Biar Bibi bikinin aja.""Gak usah, Bi. Ini udah selesai, kok. Bibi istirahat aja."Bibi Ambar mengangguk lalu melangkahkan kakinya menuju kamarnya. Marissa mengelus dadanya, merasa lega. •••Beberapa hari berlalu, setiap malam selalu terulang kegiatan yang sama. Setiap malam, Farissa akan datang dan masuk ke rumah Marissa. Seperti saat ini.Farissa datang dari pintu belakang agar tidak ketahuan. Kebetulan hari ini Abraham dan Aurin sudah pulang ke rumah.Di dalam kamar, Marissa dan Farissa menonton film sambil memakan mie. Mereka sesekali bercanda dan tertawa dengan suara kerasTok tok tok"Marissa!"Marissa dan Farissa menghentikan tawanya. Mereka saling pandang dan Marissa memberi kode lewat lirikan mata yang mengarah ke bawah. Farissa paham. Maka ia pun beringsut dari kasur lalu sembunyi di bawah kasur.Bertepatan dengan itu, knop pintu terputar dan pintu kamar terbuka. Rupanya yang membuka pintu adalah Aurin."Tadi kok Mama dengar ada suara cewek selain kamu," tutur Aurin."Hah, gak ada kok, Ma.*"Jangan bohong, Mama tadi jelas-jelas dengar. Suaranya jelas dari sini.""Gak ada, Ma. Aku gak bohong.""Terus tadi suara siapa, dong?""Gak tahu. Mama halusinasi mungkin.""Sembarangan, gak mungkin mama halusinasi.""Ya, siapa tahu Mama kecapekan syuting jadi halusinasi. Lebih baik Mama istirahat aja.""Benar juga, ya. Maaf, ya, Mama ganggu kamu.""Iya, gak apa-apa, Ma. Santai aja."Marissa menarik nafas lega."Farissa!" Marissa memanggil dengan suara pelan, nyaris berbisik.Farissa pun keluar dari kolong kasur lalu mendudukkan dirinya di atas kasur."Itu tadi ibu kamu?" Farissa bertanya."Iya.""Bagaimana rasanya punya ibu?""Kita pelan-pelan aja ya ngobrolnya. Rasanya punya ibu jelas nyaman dan enak. Ada tempat curhat, mengadu, dan menumpahkan keluh kesah," tutur Marissa.Tatapan Farissa berubah jadi kosong. Raganya memang di tempat, tapi pikirannya berkelana jauh. Beberapa menit kemudian, Farissa terisak."Eh, eh. Kamu kenapa menangis?" Marissa panik."Aku iri sama kamu. Aku juga ingin punya seorang ibu. Tapi… aku gak pernah merasakan rasanya punya ibu sejak aku lahir ke dunia ini," ucap Farissa, terdengar pilu.Wajah Marissa berubah sendu. Ia ikut merasa sedih mendengar curhatan Farissa. Tangannya terulur mengelus punggung Farissa untuk menenangkannya."Ceritakan semua biar kamu lega," ujar Marissa."Boleh aku ceritakan tentang paman?""Boleh, sangat boleh.""Aku setiap hari harus melayani paman.""Melayani?""Iya, setiap hari paman memasuki kamar tempat aku dikurung lalu aku dan paman melakukan 'itu'. Itu terjadi dari aku SMP sampai sekarang."DegTubuh Marissa membekuMarissa memandang ke bawah tepatnya di jalan dari balik jendela kamarnya. Ia memperhatikan Farissa yang berjalan pulang ke rumahnya. Setelah Farissa sudah tidak dapat dijangkau dari pandangannya, Marissa pun menutup jendela lalu merebahkan dirinya di kasur.Pikirannya mulai berkelana. Menebak nebak apa yang sebenarnya terjadi kepada Farissa. Berbagai teori muncul di kepalanya. Apakah 'paman' adalah ayah Farissa? Apakah 'paman' itu jahat? Apakah 'paman' adalah penculik yang menculik Farissa? Dan kenapa Farissa selalu keluar dan berjalan-jalan waktu malam tiba?Marissa menghela nafas kasar. Kepalanya tiba-tiba menjadi pusing dan sakit saat memikirkannya. Ia pun memilih menutup tubuhnya dengan selimut lalu tertidur.•••Sepulang sekolah, Marissa langsung merebahkan diri di atas kasur. Ia sedikit pusing karena memikirkan tugas sekolahnya. Ia disuruh membuat kerajinan dari barang bekas.Nanti kerajinan-kerajinan yang dibuat oleh para murid akan ditampilkan di pameran sekolah hari sabtu.Ti
Marissa fokus menatap bulan purnama yang tampak sempurna di langit malam. Malam ini berbeda dari malam-malam sebelumnya. Fadira sama sekali tidak menampakkan dirinya. Marissa sudah menunggu dari senja sampai malam tiba. Namun Farissa tak kunjung menampakkan batang hidungnya.Marissa menatap jalanan dari balik jendela kamarnya, berharap melihat Farissa. Namun nihil, Farissa tetap tidak terlihat. Marissa meletakkan kepalanya di atas meja. Wajahnya murung.Marissa membuka ponselnya, melihat beberapa foto dirinya dan Farissa. Tak terasa air matanya menetes."Nona, Bibi bawakan susu hangat." Suara Bibi Ambar membangkitkan Marissa.Marissa cepat-cepat menghapus air matanya dan tersenyum ketika Bibi Ambar memasuki kamar."Tugasnya banyak, ya, Non? Mau Bibi bantu?" tawar Bibi Ambar seraya menaruh segelas susu hangat di atas meja."Tidak usah, Bi. Ini sudah mau selesai, kok.""Ya sudah. Bibi tinggal dulu, ya, Non," ucap Bibi Ambar yang diangguki Marissa.Marissa menarik nafas panjang untuk men
Farissa takjub ketika jarinya menyentuh layar handphone milik Marissa. Ia kagum dan bertanya-tanya kenapa layar tersebut bisa bergerak dan berubah-ubah setelah tangannya menyentuh layar handphone tersebut.Ia sampai tidak memperhatikan jalan dan mendapat klakson dari banyak pengendara karena ia tidak fokus dan berjalan ke tengah-tengah jalan. Farissa pun segera menepi dan memasukkan handphone ke dalam saku celananya. Ia menikmati alunan lagu dari earphone yang terpasang di telinganya.Beberapa menit kemudian, ia pun sampai di rumah besar milik Marissa. Di ia pun masuk lewat gerbang dan terlihatlah Aurin yang sedang merawat tanaman di depan rumah. Farissa sudah diberitahu tentang Aurin oleh Marissa. Ia diberitahu Marissa bahwa Marissa memanggil Aurin dengan sebutan 'Mama'."Mama," sapa Farissa sambil mencopot earphone dari telinganya."Eh, kok pulangnya cepat sekali?""Iya, karena aku sudah capek," sahut Farissa."Ya sudah masuk sana! Atau mau temani Mama di sini?""Aku mau temani Mam
Terik matahari menyilaukan mata Farissa yang baru saja terbangun dari tidurnya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali. Setelah matanya terbuka sempurna, ia melihat Aurin sedang mengikat gorden."Bangun, Nak. Sudah pagi," ucap Aurin.Farissa meregangkan otot-ototnya yang kaku. Ia menguap lalu mendudukkan dirinya."Mandi lalu sarapan. Tadi Roy sudah telfon Mama, dia bilang kalau bakal jemput kamu jam sembilan. Tadi Roy udah nelfon kamu tapi tidak diangkat. Gimana mau ngangkat kalau kamunya aja masih tidur," ujar Aurin.Mandi? Itu adalah kegiatan yang dilakukan Farissa sebulan yang lalu. Iya, dia sudah tidak mandi selama sebulanan lebih.Farissa hanya terdiam sambil memperhatikan Aurin yang keluar kamar. Farissa bengong, tadi malam adalah pertama kalinya ia tertidur nyenyak setelah sekian lama.Farissa beranjak dari kasur. Dia berjalan menuju lemari besar milik Marissa. Ia membuka lemari itu dan tampaklah ratusan pakaian milik Marissa. Farissa tercengang melihatnya.Itu sangat berbanding
Setelah beberapa menit perjalanan, akhirnya Roy dan Farissa sampai di mall. Farissa turun dari motor dengan hati-hati. Ia lalu hanya terdiam melihat Roy turun dari motor dan membuka helm.Roy mengernyit melihat Farissa hanya diam seperti patung. "Kenapa gak dicopot helmnya?" tanyanya.Farissa menggeleng. "Gak bisa."Roy tambah bingung dengan pengakuan Farissa. "Kamu pasti cuma alasan aja 'kan biar aku bukain? Biasanya juga nyopot helm sendiri."Farissa hanya diam dan menunduk karena tak tahu harus menjawab apa. Roy hanya geleng-geleng kepala lalu menautkan jarinya dengan jari Farissa. Roy pun melangkah memasuki mall diikuti Farissa.Lagi dan lagi, rasa tersebut muncul kembali. Jantung Farissa pun berdegup kencang ketika Roy menggenggam tangannya. Perasaan apa ini?Mereka berjalan memasuki area bioskop. Mereka memesan popcorn dan soda terlebih dahulu. Farissa memandang popcorn yang ada di tangannya dengan bingung. Lalu ia mengambil satu biji popcorn dan mencobanya. Matanya berbinar, te
Farissa nampak bingung dengan makanan di depannya. Ia terus memandanginya tanpa memakannya."Kenapa gak dimakan?" Roy bertanya."Aku… gak tahu cara makannya," ungkap Farissa.Roy mengernyit bingung. "Bukannya kamu suka makan sushi?"Farissa meremas tangannya. Ia lupa bahwa kini ia sedang berperan sebagai Marissa. Farissa akui bahwa dirinya memang sangat polos dan rada bodoh."Eh, iya. Cuma aku pusing aja jadi gak nafsu makan," ujar Farissa."Kamu pusing? Kenapa gak bilang dari tadi?""Aku kira tadi pusingnya bakal hilang tapi ternyata enggak.""Ya itu dimakan walau sesuap aja. Nanti aku habisin.""Oh, oke."Farissa pun mengambil sepotong sushi dan melahapnya. Raut wajah Farissa menampilkan raut wajah tak suka. Ternyata sushi tidak cocok dengan lidahnya. Namun ia tetap menelan sushi yang telah ia kunyah.Ia mengambil dua potong sushi lagi dan langsung melahapnya. Lalu ia mendorong piring sushinya kedepan sambil berucap, "Aku sudah.""Oke." Roy mengambil sepiring sushi milik Farissa dan
Marissa melihat-lihat galeri ponselnya. Terdapat beberapa foto Farissa. Marissa tertawa, ternyata Farissa pandai ber-selfie."Farissa… siapa kamu sebenarnya?" gumam Marissa.Marissa merasa bosan bermain ponsel. Ia menaruh ponselnya di atas nakas. Lalu ia merebahkan dirinya sambil menatap langit-langit kamar.Tiba-tiba, rasa penasarannya kepada buku diary milik Aurin kembali mencuat. Ia mengambil buku diary tersebut dari dalam laci. Marissa pun duduk bersandar sambil membaca buku diary tersebut.Kemarin, ia sudah membaca buku diary tersebut sampai halaman dua. Ia pun membuka halaman tiga untuk ia baca. Isi halaman tersebut adalah:7 September 2005Hari ini, tepatnya malam bulan purnamaAkhirnya apa yang kami nanti-nanti telah tibaHadir dua malaikat kecil di dalam perutkuAku tidak rela berpisah dengan merekaSemoga ada jalan keluarMarissa terpaku. Dua malaikat kecil? Itu artinya dulu Aurin hamil anak kembar. Marissa termenung. Benarkah orang tuanya membuat perjanjian dengan Azalah?Ma
Berjam-jam Marissa dan Farissa habiskan untuk perawatan. Kini, mereka melakukan perawatan yang terakhir yaitu manicure pedicure.Farissa menatap takjub kepada kukunya yang sudah diwarnai. Ia merasa seluruh badannya sangat segar. Semua keluhannya hilang semua, mulai dari rasa gerah, rambut gatal, kulit gatal, kuku yang panjang hingga menusuk kulit dan menimbulkan sakit. Marissa yang duduk di sebelah Farissa tersenyum puas. "Gimana? Udah enakan 'kan?""Iya, aku merasa sangat nyaman dengan tubuhku yang sekarang," jawab Farissa."Setelah ini, aku ajak kamu ke mall," ujar Marissa."Mall?" Tiba-tiba pikiran Farissa menerawang ke masa lalu dimana ia pergi ke mall bersama Roy.Pikiran Farissa tidak bisa berhenti. Ia terus kepikiran tentang Roy saat membawanya ke mall seperti kaset lama yang terputar. Farissa baru tersadar ketika Marissa menepuk bahunya."Malah bengong." Marissa mengomel. "Udah ayo kita pergi dari sini!"•••Farissa mengernyit bingung ketika Marissa memberhentikan mobilnya di