Keesokan paginya, Marissa sedang bersiap-siap berangkat sekolah. Ia mematut dirinya di depan cermin. Setelah selesai berdandan, Marissa segera menyambar tas ranselnya dan keluar kamar.
Ia berhenti di ruang makan dan langsung meneguk susu hangat yang telah dibuatkan ibunya. Setelah itu ia mengambil roti selai dan langsung melahapnya hingga habis."Aku berangkat dulu, ya, Ma," ujar Marissa.Aurin geleng-geleng kepala, ia berucap, "Pelan-pelan makannya, Nak.""Roy sudah nunggu. Bye, Ma, Pa."Marissa berlari keluar rumah dan langsung memeluk Roy yang sudah menunggu dengan anteng di atas motor ninjanya."Maaf lama," ucap Marissa."Santai aja, sayang. Aku juga baru aja nyampe, kok. Buruan naik!" sahut Roy.Marissa pun segera menaiki motor dan melingkarkan tangannya ke perut Roy. Roy pun melajukan motornya meninggalkan pekarangan rumah Marissa.Beberapa menit kemudian, mereka sampai di sekolah. Setelah memarkirkan motornya, Roy merangkul Marissa dan melangkah bersama-sama menuju kelas mereka. Kebetulan mereka satu kelas."Sayang, aku punya dua tiket ke bioskop besok minggu depan. Nanti kita nonton sama-sama, ya?" ujar Roy."Oke," sahut Marissa seraya menyatukan ujung jari telunjuknya dengan ujung ibu jarinya membentuk huruf o.Sesampainya di kelas, Marissa langsung dihampiri oleh Nia, sahabatnya."Akhirnya kamu datang juga. Contekin pr, ya? Please." Nia memohon dengan wajah melas.Marissa memutar bola matanya malas. "Pasti kamu lupa ngerjain pr karena sibuk pacaran terus.""Hehe, itu kamu tahu." Nia menyengir. "Nanti aku traktir.""Nah, mantap! Senang berbisnis dengan anda." Marissa bersalaman tangan dengan Nia sambil tertawa bersama.•••Sepulang dari sekolah, Marissa langsung merebahkan dirinya di kasur. Dirinya sangat pusing karena tugas sekolahnya menumpuk.Akhirnya ia memutuskan untuk berjogging di sekitar perumahannya. Setelah mandi dan bersiap-siap, Marissa memasang earphone di telinganya lalu mulai berjogging.Berjogging adalah rutinitasnya sejak dulu ketika dia sedang stress. Dulu, dia sering berjogging bersama teman-teman sekitar rumahnya. Namun karena sekarang ia pindah ke perumahan, jadi dia belum punya teman dekat yang berasal dari perumahan tempat ia tinggal.Setelah beberapa menit berjogging, Marissa berhenti sejenak di depan sebuah rumah besar berwarna putih dan bertingkat dua. Ia berjongkok sambil meminum air dari botol yang ia bawa.Matanya menatap sekeliling hingga pandangannya berhenti pada rumah mewah di depan ia berdiri. Dirinya menatap kagum rumah tersebut. Rumah tersebut bergaya klasik dan antik yang sangat mengagumkan.Tapi beberapa menit kemudian muncul sesuatu hal yang tidak ia duga-duga sebelumnya. Ia melihat Farissa berlari keluar rumah tersebut dengan derai air mata membasahi wajahnya.Marissa memutuskan untuk bersembunyi di balik tembok pagar seraya mengamati apa yang terjadiMarissa terpaku ketika melihat ada seorang pria mengejar Farissa lalu menarik tangan Farissa dan menyeretnya masuk ke dalam rumah. Pria tersebut sangat tampan yang membuat Marissa terpesona sesaat.Pria tersebut lalu menutup pintu rumahnya setelah menyeret Farissa. Marissa pun meninggalkan rumah tersebut dengan perasaan campur aduk.•••Malam harinya, Marissa membantu orangtuanya berkemas-kemas. Abraham dan Aurin akan pergi ke luar kota karena ada urusan pekerjaan.Abraham adalah seorang sutradara sementara Aurin adalah seorang penyanyi. Kebetulan Abraham ada jadwal syuting di kota yang sama dengan kota tempat Aurin akan melaksanakan konser."Mama dan Papa pergi dulu, ya, sayang. Jaga diri baik-baik," tutur Aurin."Pasti, Ma. Mama jangan telat makan, ya. Biasanya kalau tidak aku ingatkan pasti lupa makan," sahut Marissa."Iya, Nak. Nanti Mama beliin brownies kesukaan kamu di sana.""Yey, terima kasih, Mama."Marissa pun bersalaman dan berpelukan dengan kedua orangtuanya. Marissa lalu memandangi mobil orang tuanya yang melaju meninggalkan pekarangan rumahnya.Saat hendak berbalik badan, ekor mata Marissa tak sengaja melihat siluet seseorang yang dikenalinya sedang berjalan pelan di pinggir jalan. Marissa pun mengurungkan niatnya untuk memasuki rumah. Marissa menajamkan penglihatannya. Dan seketika matanya terbelalak ketika mengetahui bahwa orang itu adalah Farissa. Marissa pun berlari kecil menghampiri Farissa."Farissa," seru Marissa.Farissa yang sebelumnya menunduk pun mendongak. Ia merekahkan senyumnya ketika melihat Marissa."Marissa!" Farissa berseru senang."Kenapa kamu jalan malam-malam? Ayo ke rumahku!""Gak apa-apa aku ke rumahmu?" tanya Farissa ragu."Ya gak apa-apalah."Senyum Farissa pun semakin lebar. Ia berjalan mengikuti Marissa."Kita masuk lewat pintu belakang aja, ya," ucap Marissa, menarik tangan Farissa menuju 0pintu belakang.Mereka memasuki rumah dengan mengendap-endap. Lalu mereka cepat-cepat menaiki tangga menuju kamar Marissa. Marissa segera menutup dan mengunci pintu setelah mereka memasuki kamar.Farissa menatap kagum isi kamar Marissa. Kamarnya sangat aesthetic dan girly. Mulut Farissa sampai terbuka kecil saking terpesonanya. Marissa mendudukkan diri di sofa sambil terkekeh melihat wajah polos Farissa."Sini duduk," titah Marissa, menepuk space kosong di sebelahnya.Farissa pun duduk di sebelah Marissa. Tatapan Farissa masih berfokus kepada desain kamar Marissa.Tiba-tiba, Farissa menunjuk televisi yang tertempel di dinding dengan raut wajah antusias. "Itu… itu dulu aku pernah punya. Tapi sekarang…." Farissa menurunkan telunjuknya, raut wajahnya sangat sedih.Marissa mengernyitkan dahi. "Sekarang apa?""Sekarang… aku… aku tidak sebebas dulu lagi," lirih Farissa."Kenapa?""Aku dikurung ayahku." Belum sempat Marissa menyahut, Farissa langsung menyela. "Ini pertama kalinya aku cerita ke orang lain. Kamu adalah orang pertama yang mendengar kisahku.""Dikurung?" Marissa menerawang ke kejadian yang ia lihat tadi sore. Dimana dia melihat ada seorang pria menyeret Farissa masuk ke dalam sebuah rumah besar."Bisa kamu menceritakan lebih detail tentang apa yang kamu alami?"Farissa menangis, bahunya begetar hebat. "Aku dari dulu gak punya kebebasan. Dulu aku selalu dimarahi hanya karena aku punya teman. Dan karena itulah aku sekarang dikurung dan tidak boleh kemana-mana kecuali jam enam sampai jam sepuluh malam.""Hah?" Marissa sungguh tak mengerti."Tolong jangan bahas itu lagi. Aku pasti akan mengeluarkan lebih banyak air mata untuk menceritakannya sekarang. Jika suatu saat aku siap, aku pasti akan menceritakannya kepadamu," tutur Farissa."Aku, Sky Putra Raja, menjadikanmu, Farissa Putri Abraham, istri ku, untuk kumiliki mulai hari ini dan seterusnya, dalam keadaan baik, buruk, sehat, sakit, kaya ataupun miskin, hingga kematian memisahkan kita," ucap Sky lantang."Aku, Farissa Putri Abraham, menjadikanmu, Sky Putra Raja, suamiku, untuk kumiliki mulai hari ini dan seterusnya, dalam keadaan baik, buruk, sehat, sakit, kaya ataupun miskin, hingga kematian memisahkan kita," balas Farissa.Mereka pun berciuman dan berpelukan. Riuh tepuk tangan kembali terdengar. Para pemain musik mulai memainkan musik hingga terdengar alunan musik yang indah yang membuat suasana menjadi semakin hangat.Seluruh keluarga dan kerabat pun berfoto bersama dengan kedua pasangan pengantin. Setelah itu, diadakan acara lempar bunga. Marissa dan Farissa pun membelakangi para tamu lalu melempar buket bunga ke belakang.Yang menangkap kedua bunga tersebut adalah Nia dan seorang laki-laki bernama Joy. Joy adalah teman kampus mereka. Bertepatan dengan itu
Roy: Aku mau ngelamar kamuMarissa terkejut dan membeku saat membaca pesan dari Roy. "Ya Tuhan, ini beneran?" gumamnya.Marissa: Kamu serius?Roy: Seriuslah. Aku sama Bunda udah nyiapin seserahan. Kami akan kerumahmu nanti sore. Dandan yang cantik ya, sayang.Marissa merasa senang, cemas, bingung pokoknya semua rasanya seperti campur aduk. Ia sampai berjingkrak-jingkrak saking merasa campur aduk. Ia memandangi dirinya di depan cermin sambil berucap, "Serius cewek kayak aku mau dilamar nanti? Acak-acakan gini kayak orang utan kok bisa cepat dapat calon suami, ya.""Tapi aku memang cantik, sih," lanjutnya sambil berpose layaknya model."Aku harus nyiapin pakaian buat nanti." Marissa buru-buru menggeledah lemarinya. Banyak baju yang ia hamburkan hingga menjadi berantakan. "Aduh, aku harus pakai yang mana?" Marissa frustasi. "Oh iya. Lebih baik aku bilang ke Mama Papa sekalian tanya saran pakaian yang cocok dipakai nanti."Marissa pun keluar kamar dan berjalan ke kamar kedua orangtuanya.
"Dari hasil pemeriksaan, pasien dinyatakan hamil." Ucapan dokter membuat tubuh Anggun membeku."A-apa? Aku hamil?" Anggun berucap tak percaya."Iya. Usia kandungannya baru dua minggu. Tolong dijaga baik-baik kandungannya. Saya akan beri vitamin dan surat kontrol. Nanti bisa kontrol ditemani suaminya.""Suami? Apakah dunia sedang bercanda?" ujar Anggun dalam hati.Marissa menatap Anggun dengan tatapan kasihan. Dia ingin menyadarkan Anggun melalui kata-kata tapi ia tak tega melihat wajah Anggun yang pias. Setelah keluar dari ruangan dokter, Anggun menangis sejadi-jadinya."Maafkan aku, Mar. Mungkin ini karma karena aku berniat mencelakaimu. Tolong bantu aku… aku harus bagaimana?""Aku sudah memaafkanmu. Kamu harus sabar dan ikhlas menerima anak di rahimmu. Bagaimanapun dia bayi tak berdosa. Jangan kamu sakiti apalagi menggugurkannya. Kamu tidak mau 'kan terjadi hal buruk lagi? Maka jaga kandunganmu.""Lalu bagaimana dengan kuliahku?""Kamu bisa menggunakan pakaian oversize ketika ke kamp
Marissa tidak berangkat sekolah karena ia masih merasa lemas dan tak bertenaga. Kini dia hanya duduk bersandar ke headboard sambil menonton film. Tiba-tiba terdengar suara motor Roy yang sangat Marissa hafal.Marissa pun berhenti memutar film lalu beranjak dan turun ke lantai bawah dan menghampiri Roy. "Aku gak berangkat kuliah. Maaf gak ngabarin kamu karena aku lupa."Roy menyerahkan beberapa batang coklat kepada Marissa. "Cepat sembuh, sayang."Marissa menerimanya dengan senang hati. "Terima kasih, Roy." Ia mengecup pipi Roy.Roy melotot kaget. Ia memegangi tangan Marissa lalu meremasnya. "Aaa aku salting berat. Kamu harus tanggung jawab."Marissa mengecup pipi Roy lagi. "Aku sudah tanggung jawab.""Itu malah bikin aku tambah salting, Mar.""Memang tujuan aku begitu. Aku suka lihat wajah kamu pas salting.""Kalau begitu aku juga mau cium kamu." Roy turun dari motornya.Namun Marissa segera berlari memasuki rumah sambil tertawa. Roy menatap Marissa dengan tatapan yang dibuat seolah-o
Cesy mencekik Excel sampai Excel tersedak dan sesak nafas. Excel memegangi tangan Cesy yang terasa sangat dingin. Cesy menatap Excel sangat tajam."Puas kamu merusak seluruh hidupku? Kamu memang pria brengsek. Kamu seharusnya gak pantas hidup. Kamu adalah manusia paling bejat yang pernah aku kenal," ucap Cesy berapi-api."Aku minta maaf." Excel melirih."Apakah kata maaf bisa mengembalikan semuanya yang sudah hancur tak tersisa? Kenapa? Kenapa kamu lebih memilih meninggikan ego dan sikapmu yang temperamental dari pada menahannya dan berusaha bersikap lembut kepadaku? Tidak perlu lembut, tapi bersikaplah dengan normal kepadaku. Apa itu sangat susah?""Iya aku tahu aku salah. Aku juga tidak ingin mempunyai gangguan mental dan sikap temperamental. Ini semua bukan pilihanku.""Menjadi korban kebejatanmu juga bukan keinginanku." Cesy berteriak. Ia melepaskan cekikkannya dengan kasar.Excel buru-buru mengatur nafas lalu turun dari kasur dan bersujud kepada Cesy. "Tolong jangan ganggu aku la
"Tolong berhentilah mengganggu Excel. Dia sudah mendapatkan ganjarannya. Kamu sudah menang, Cesy," ucap Marissa.Raut wajah Cesy berubah sedih. "Aku masih dendam padanya.""Untuk apa kamu dendam? Jika kamu berhenti mengganggunya dan dia dinyatakan pulih dari gangguan jiwanya maka ia akan dipenjara. Bukannya itu adalah balasan yang setimpal atas perbuatannya selama ini kepadamu?"Cesy diam, tampak berpikir. Beberapa detik kemudian ia mengangguk. "Baiklah. Aku akan memberinya pelajaran satu kali lagi lalu aku akan berhenti mengganggunya."Marissa hanya geleng-geleng kepala. Memang kalau orang sudah dendam pasti akan melampiaskan dendamnya sampai ia puas termasuk Cesy. Ia bahkan masih ingin memberi pelajaran kepada Excel.Tiba-tiba perasaan Marissa menjadi tidak enak. Tapi ini menyangkut Roy.•••Saat sedang bersantai di balkon, tiba-tiba ponsel Marissa berbunyi. Saat Marissa mengeceknya, rupanya ada telepon dari Roy. Marissa pun segera mengangkatnya."Halo, Roy?""Halo, Mar. Kamu kesini