"Ada apa, Sayang? Mama sedang kerja," bisik Janice di panggilan video call dengan si kembar.
Setelah keluar dari ruangan Edgard tadi, Janice pun akhirnya kembali ke ruangannya sendiri. Wina yang melihatnya pun sudah begitu kepo dan menggeser kursinya mendekat. Namun, belum sempat Janice menceritakan apa pun, mendadak ponselnya berbunyi, yang ternyata telepon dari ponsel Nara, ibunya. Janice pun langsung berlari ke toilet terdekat karena sudah pasti si kembar yang menelepon. Janice sendiri masuk ke perusahaan ini dengan status palsu yaitu single dan belum menikah. Tentu saja itu tidak sepenuhnya palsu karena memang Janice single dan belum menikah, tapi Janice sudah punya dua anak. Semua perusahaan tempatnya melamar pekerjaan memberikan syarat bagi karyawan baru yaitu harus single karena perusahaan tidak mau karyawannya sering ijin dengan alasan anak. Karena itulah, Janice terpaksa menyembunyikan anaknya juga. "Collin merindukan Mama ...." "Calista juga ... hehe ...." Kedua anak itu terkikik bersama sambil berebut menampilkan wajah mereka di layar ponsel. Sampai Janice yang sebenarnya sedang melow pun akhirnya tertawa melihatnya. Seberat apa pun hidup yang ia jalani tapi keberadaan si kembar membawa kebahagiaan sendiri bagi Janice. Tentu saja Janice lelah mengurus si kembar yang super aktif. Janice juga lelah mencari uang untuk keluarganya karena ia adalah seorang single parent sekaligus kepala keluarga. Bahkan tidak jarang, Janice mengeluh dan kadang menangis, tapi si kembar selalu berhasil memberikan semangat bagi Janice. "Hmm, Mama juga merindukan kalian, Sayang. Tapi tolong jangan telepon Mama kalau Mama sedang kerja ya, nanti Bos Mama bisa marah." "Memangnya Bos Mama namanya siapa, Mama? Mengapa dia suka marah?" tanya Calista dengan polosnya. "Bos Mama ... itu ... karena nanti dia akan mengira Mama ini kerjanya hanya main ponsel terus, karena itu dia akan marah. Di sini tidak boleh memegang ponsel saat bekerja," dusta Janice. "Oh begitu ya ... tapi kalau Calista merindukan Mama, bagaimana?" "Haha, Mama kan nanti sore juga pulang, Sayang. Nanti akan Mama temani bermain ya. Tapi kalau pagi sampai sore, biarkan Mama bekerja dulu, oke?" "Iya sudah, Mama. Biarkan Mama bekerja, Calista! Biar Mama punya banyak uang jadi bisa beli roti daging banyak-banyak," celetuk Collin yang merebut ponsel dari Calista. "Calista dulu!" "Collin dulu, Collin juga mau bicara sama Mama! Calista kan sudah dari tadi bicara sama Mama!" "Ih, tapi Calista belum selesai bicara ...." Dan begitu cepat si kembar kembali berebut sampai bertengkar. Nara yang melihatnya pun langsung melerai cucunya itu. "Astaga, Janice, sudah! Ibu tutup dulu! Tidak ada hari tanpa ribut!" seru Nara sambil menggelengkan kepalanya dan menenangkan kedua cucunya itu. Janice hanya tertawa sungkan pada ibunya. "Hmm, baiklah, aku tutup dulu ya, Ibu! Sampai jumpa!" Janice melambaikan tangannya dan menunggu Nara menutup teleponnya dulu, sebelum akhirnya ia juga menutup teleponnya dan duduk diam di atas closet yang sudah ia tutup itu. "Keluar, tidak, keluar, tidak! Kalau kau keluar, kau mau bekerja di mana lagi, Janice? Bahkan kau tidak akan bisa membelikan roti daging setiap hari karena uangmu akan habis hanya untuk roti." "Tapi kalau kau tidak keluar, bahkan semua akan lebih buruk lagi. Pria itu ... ah, aku tidak bisa! Aku tidak sanggup lagi! Bagaimana kalau dia menyiksaku sampai mati nanti? Atau bisa-bisa aku mati duluan karena serangan jantung!" "Astaga, aku sudah tidak sanggup lagi! Lebih baik aku langsung ke HRD saja, daripada aku kembali bersama Wina dan aku akan galau lagi." Janice pun mengembuskan napas panjang sambil beranjak keluar dari toilet lalu langsung melangkah ke ruang HRD. "Apa?" pekik Janice kaget mendengar ucapan manager HRD. "Dendanya naik menjadi 10x lipat?" "Hmm, benar. Ini peraturan baru di perusahaan ini." "Eh, tapi ... yang benar saja, Bu! Kalau aku mengundurkan diri sebelum masa kontrak berakhir berarti aku harus membayar denda sebesar 10x lipat denda awal? Di mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak itu?" "Itu masalahmu, Janice! Dan masalah semua karyawan lain, namun bukan masalahku. Karena sejak awal, kontrak itu dibuat memang bukan untuk dilanggar. Jadi kalau kau mau melanggarnya, kau juga harus siap dengan konsekuensinya." Janice menelan salivanya dan terlihat berpikir keras. Tentu saja ia tidak mempunyai uang sebanyak itu. Bahkan untuk membayar denda awal saja sudah harus mengeluarkan semua tabungannya, bagaimana kalau 10x lipat? Janice pun menautkan kedua tangannya dengan gugup, namun akhirnya ia mengangguk. "Baiklah, aku ... aku akan mengusahakannya, Bu. Tolong beri aku waktu ...." "Waktu untuk apa? Dan mengusahakannya bagaimana? Kau pikir ini perusahaan ini koperasi simpan pinjam, hah? Kau bisa keluar dengan menyicil dendanya, begitu? Yang benar saja, Janice! Kau tidak akan bisa keluar sebelum menyelesaikan semua kewajibanmu di sini, termasuk kewajiban dendanya, Janice! Dan tentu saja aku akan memeriksanya juga, apa ada kecurangan yang kau lakukan sampai kau memaksa mengundurkan diri! Kalau aku menemukan kejanggalan, siap-siap saja berakhir di kantor polisi!" "Eh, aku ... aku pastikan tidak ada kecurangan apa pun, Bu. Aku hanya ...." "Hanya apa? Sekarang katakan padaku mengapa kau bersikeras mengundurkan diri padahal kau baru saja diterima kerja? Aku benar-benar tidak pernah menemukan orang sepertimu sebelumnya!" "Ah, itu ... aku ... sakit ... aku tidak bisa bisa bekerja terlalu lama. Dan juga ... ibuku menyuruhku menikah, kau tahu perusahaan hanya menerima karyawan single kan?" dusta Janice yang tidak tahu lagi harus memakai alasan apa. Ia memutuskan mengundurkan diri dengan seketika jadi alasannya juga keluar begitu saja. Manager HRD itu pun mengernyit mendengarnya. "Memangnya kau sakit apa, Janice? Berikan surat dokternya besok, aku harus memeriksanya sendiri! Dan juga menikah? Astaga, kalau kau tahu kau harus menikah, mengapa kau menerima pekerjaan ini? Sikapmu itu sudah termasuk dalam pasal membohongi perusahaan, kami bisa menuntutmu!" Janice tersentak kaget mendengarnya. Sepertinya ia memberikan alasan yang salah. "Eh, itu ... tolonglah aku, Bu! Aku tidak bisa bekerja lagi di sini dan aku akan mengusahakan dendanya." "Ck, bukannya aku tidak mau menolongmu, tapi peraturan tetap peraturan! Yang membuat peraturan juga bukan aku karena aku juga karyawan di sini! Kalau aku menolongmu lalu aku dipecat bagaimana? Apa kau bisa memberiku pekerjaan?" Dan ucapan manager HRD itu pun membuat Janice mendadak terdiam. "Ck, sudahlah, Janice! Kalau tidak ada hal yang mendesak, saranku bekerja saja dengan baik, hanya satu tahun. Setelah kontraknya habis, kalau kau tidak mau memperpanjangnya, kau bebas keluar dari perusahaan ini. Jangan menyulitkan posisi kita bersama, oke?" "Sekarang kembalilah ke ruanganmu sana, aku sibuk sekali!" Manager HRD itu mengibaskan tangannya mengusir Janice dan Janice pun terpaksa melangkah dengan gontai keluar dari sana. Tanpa Janice ketahui, Edgard yang mendengar laporan tentang Janice yang berusaha mengundurkan diri lagi hanya menyeringai sambil duduk di kursinya. "Melihat kau yang begitu kukuh ingin mengundurkan diri, aku jadi semakin curiga, Janice." "Mungkin sekarang aku masih tidak bisa mengingatnya, tapi yang jelas, aku tidak akan melepaskanmu sampai aku tahu siapa kau sebenarnya." **"Daphne Sayang, jangan lari!"Nara begitu gemas memanggil Daphne yang sedang asik merangkak kesana kemari bersama Denzel di sekeliling rumah. Semakin Nara mau menangkapnya, semakin Daphne merangkak kabur sambil terkikik dan berteriak. Collin dan Calista yang melihatnya sampai tertawa begitu senang melihat tingkah adik-adiknya. Nara sendiri pun akhirnya ikut tertawa dan tidak memanggil lagi. Hari ini genap satu tahun umur Daphne dan Denzel. Kedua anak kembar itu sudah begitu gemuk dan makin menggemaskan. Mereka juga sudah pintar merangkak kesana kemari, walaupun mereka belum mulai berjalan. Tingkah kedua anak itu begitu menggemaskan sampai gelak tawa pun tidak berhenti memenuhi rumah keluarga mereka setiap harinya. "Astaga, Sayang, mengapa kau bisa merangkak sampai ke sini!" pekik Janice yang baru saja keluar dari dapur. "Ah, Ibu sudah tidak kuat mengejarnya lagi, Janice! Daphne terlalu lincah!" protes Nara. Janice pun langsung terkekeh sambil mengangkat anaknya yang sudah ber
"Semuanya perkenalkan, ini Viola, calon istriku!" Keluarga Edgard mengadakan makan malam bersama hari itu. Sejak anak Edgard lahir, Edgard memang lebih sering melakukan open house mengundang keluarganya agar rumah selalu ramai. Semua orang akan saling membantu menjaga si kembar Denzel dan Daphne sampai Janice benar-benar terbebas dari yang namanya stres dan baby blues. Sungguh, kali ini Janice memiliki support system terbaik dan Janice sangat bahagia dengan banyak berkat berlimpah dalam hidupnya. Devan pun datang malam itu sambil membawa seorang wanita yang sangat cantik, seorang wanita yang awalnya adalah asisten Devan, tapi benih-benih cinta muncul di sana dan dengan bangga, Devan memperkenalkannya pada semua. Elizabeth yang mendengarnya pun langsung memekik kegirangan. "Wah, selamat, Devan! Selamat! Setelah Edgard, akhirnya sebentar lagi kau akan menyusul, lalu Devina juga menyusul. Semua cucu Grandma akan menikah dan memberikan Grandma banyak cicit! Ini kabar bahagia, sangat
Spanduk bertuliskan "One Month Celebration of Denzel and Daphne" terbentang di pinggir kolam renang rumah Edgard dan Janice hari itu. Hiasan balon-balon yang didominasi warna biru dan merah itu pun memenuhi dinding dan sepanjang jalan di sekitar kolam renang itu. Selain itu banyak hiasan lain yang menambah meriah suasana pagi itu. Hari ini tepat satu bulan bayi kembar Janice lahir ke dunia. Bayi kembar laki-laki dan perempuan itu diberi nama Denzel William dan Daphne William. Bayi kembar yang membawa kebahagiaan bagi keluarga Edgard dan menyempurnakan keluarga mereka yang tidak lagi kecil karena keluarga inti mereka berjumlah enam orang sekarang. Edgard pun akhirnya merasakan bagaimana lelahnya menjadi orang tua baru yang mengurusi dua bayi sekaligus. Walaupun mereka memakai dua orang baby sitter baru untuk bayi kembar mereka, tapi Edgard tetap ingin tidur dengan bayi mereka. Edgard ingin menemani Janice mengurus bayi kembar mereka sekaligus menebus rasa bersalah karena dulu J
Janice terus merasa gelisah dalam tidurnya menjelang subuh hari itu. Saat melahirkan sudah tinggal menghitung hari dan Janice tidak berhenti berdebar sampai membuatnya insomnia beberapa hari ini. Janice pun masih terus gelisah sendiri sampai ia merasakan rasa aneh di bawah tubuhnya. "Apa yang lembab ini? Mengapa perutku juga terasa melilit?" gumam Janice sambil perlahan Janice bangkit berdiri dan melangkah ke kamar mandi. Janice memeriksa dan ternyata ada darah di sana, tanda bahwa ia sudah waktunya melahirkan. Jantung Janice langsung memacu kencang, apalagi rasa sakit di perutnya mulai makin kencang seperti meremat perutnya. "Edgard! Edgard!" panggil Janice sambil melangkah keluar dari kamar mandi. Edgard yang tadinya masih tertidur lelap di samping Janice pun seketika langsung membuka matanya waspada. Sejak Janice hamil, Edgard selalu waspada kapan pun istrinya itu membutuhkannya sehingga hanya perlu sedikit suara untuk membuat Edgard langsung membuka matanya. "Janice, ada
When I was just a little girl ....I asked my mother, what will I be ....Will I be pretty? Will I be rich?Here's what she said to me ....Que sera, sera ....Whatever will be, will be ....The future's not ours to see ....Que sera, sera ....What will be, will be ....Suara Calista bernyanyi terdengar begitu merdu memenuhi ruangan serbaguna yang digunakan untuk acara pementasan sekolah hari itu. Semua orang pun langsung bertepuk tangan begitu acara selesai. Termasuk Edgard, Janice, Nara, dan Grandma Elizabeth yang ikut hadir sebagai penonton. Mereka bertepuk tangan sambil meneteskan air mata begitu bangga melihat Collin dan Calista bersama teman-teman mereka yang menampilkan pertunjukkan drama musical yang begitu indah.Para anak-anak itu berdialog dalam bahasa Inggris, mereka berinteraksi bersama, melangkah kesana kemari, menari, dan diakhiri dengan nyanyian yang begitu merdu dari Calista. Sungguh semua orang tua yang melihatnya begitu bangga pada anak-anak mereka. Nara dan El
Di umur kehamilan Janice yang memasuki lima bulan, Edgard mengajak Janice melakukan babymoon sekaligus berlibur bersama keluarga mereka. Edgard membawa serta Nara, Collin, Calista, dan pengasuh kecil mereka, berlibur ke Bali. "Karena aku tidak mau mengambil resiko, jadi kita akan pergi ke tempat yang dekat saja ya, Sayang. Aku sudah menyuruh Jefry menyiapkan semuanya dan kita tinggal menyusun barang pribadi kita saja," kata Edgard malam itu saat mereka sudah berdua di kamar. "Ya ampun, Edgard, aku sungguh tidak perlu babymoon seperti ini." Edgard tersenyum lalu menangkup kedua tangan istrinya itu. "Janice, Sayang, babymoon memang bukan merupakan keharusan, bahkan honeymoon juga bukan merupakan keharusan." "Semua pasangan akan tetap baik-baik saja tanpa honeymoon maupun babymoon." "Hanya saja bedanya, ada pasangan yang memang menginginkannya dan kalau mereka mampu, mereka akan melakukannya." "Begitu juga dengan aku, Sayang. Aku menginginkannya, menyenangkanmu dan anak-anak kita