Jantung Janice sudah berdebar tidak karuan dan matanya membelalak mendengar ucapan Edgard, apalagi dari jarak yang begitu dekat.
Rasanya kenangan buruk itu terus berputar di otaknya dan Janice mulai takut kalau Edgard benar-benar mengenalinya. Edgard sendiri menatap Janice dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan, ada amarah di sana namun juga ada banyak tanya. Sebenarnya Edgard bukanlah tipe pria yang tidak ada kerjaan sampai rela membuang waktu untuk hal tidak berguna seperti menakuti karyawan baru. Tapi Edgard selalu melakukan semua berdasarkan perasaannya, yang mana selama ini hampir tidak pernah salah. Edgard yakin ia pernah bertemu Janice karena wanita itu sangat familiar. Suaranya, raut wajahnya, matanya yang membelalak, bahkan aroma yang terasa familiar, tidak menusuk namun lembut, dan Edgard pernah merasakannya, walau ia tidak ingat kapan. Yang jelas, Janice ini bukan karyawan yang bisa diabaikan sama sekali. Janice sendiri menelan salivanya dan akhirnya berani berbicara. "Kau ... pasti salah orang, Pak. Aku ... sama sekali tidak pernah melihatmu sebelumnya ...," kata Janice lagi dengan terbata. Edgard memicingkan mata menatap Janice. "Jangan bohong, Janice! Bukankah kau pernah bekerja di Orion Group selama satu bulan, Janice? Kau tahu kan kalau Orion Group adalah milikku juga?" Janice menahan napas mendengarnya. Bagaimana Edgard tahu tentang itu? Apa Edgard sudah mencari tahu tentang dirinya? Janice mulai panik lagi. "Itu ... itu ...." "Kau mau menyangkalnya? Aku jadi penasaran apa yang membuatmu keluar dari sana dan masuk ke sini? Apa kau punya misi tertentu, Janice?" Janice bergidik mendengar kata "misi" yang rasanya membuka luka lamanya. "Kau ... kau ini bicara apa, Pak? Misi apa? Aku ... dulu aku memang bekerja di Orion Group selama satu bulan, tapi aku sama sekali tidak pernah melihatmu. Lagipula aku hanya karyawan training. Aku ... aku belum sempat mengenal banyak orang ...." "Lalu mengapa kau keluar padahal kau masih training?" "Itu ...." Janice kembali menelan salivanya sebelum ia mengucapkan kebohongannya. "Ibuku sakit jadi aku harus membawanya ke luar kota, ke rumah keluarga besarnya," dusta Janice seperti yang tertera pada data karyawan yang sudah dilaporkan oleh Jefry. Pria bengis yang dulu, seorang supervisor di Orion Group, sudah membantu Janice menutup kasusnya setelah Janice setuju menjadi pelayan Edgard. Bahkan pria itu membantu Janice memberikan alasan pengunduran dirinya dan pria itu memang meminta Janice pergi jauh setelah berhasil mencelakai Edgard. Namun, waktu itu Janice gagal, walaupun Janice tetap pergi melarikan diri. Janice pun masih bergidik ngeri saat mengingat pelariannya malam itu. Entah apa yang membuat pria bengis itu tidak mengejarnya sama sekali, namun Janice tetap bersyukur untuk itu. Edgard sendiri masih menatap kedua mata Janice, seolah mencari kebohongan di sana dan Edgard yakin Janice berbohong karena tatapan itu goyah. Bahkan, Edgard yang tadinya hanya memegang dagu Janice sekarang tangannya mulai mencengkeram rahang Janice. "Lalu ... kau masih berani bilang tidak pernah bertemu denganku padahal aku CEO di sana? Bahkan aku saja pernah melihatmu." Posisi Janice sudah agak jinjit karena Edgard terus menarik rahangnya dan Janice pun makin panik. "Itu ... tidak, Pak. Waktu itu yang aku dengar CEO-nya sedang mengalami kecelakaan, tapi aku tidak tahu kabar apa-apa lagi. Yang jelas aku tidak pernah melihatmu dan kau juga tidak mungkin pernah melihatku." "Bohong, Janice! Kalau kau memang tidak pernah melihatku, mengapa kau harus takut padaku? Kau terus menunduk saat melihatku, bahkan kemarin kau juga berniat mengundurkan diri pada hari pertamamu bekerja kan?" "Aku ... aku benar-benar tidak tahu apa maksudmu. Aku memang tidak enak badan tapi sungguh, aku tidak pernah melihatmu dan aku juga tidak tahu kalau pimpinan Orion Group dan Emerald Group adalah orang yang sama ...." "Lalu setelah kau tahu, kau mau mengundurkan diri, hah?" "Eh, tidak, tidak begitu! Aku ...." "Kau sangat mencurigakan, Janice! Apa kau mata-mata dari kompetitor? Atau bahkan orang jahat yang menyusup ke perusahaan untuk tujuan tertentu, seperti ... mencelakaiku misalnya?" Janice membelalak makin lebar sekarang. "Pak, lepaskan aku ... aku benar-benar tidak mengerti maksudmu ... aku bukan orang jahat dan kau sudah membuatku takut ...." Janice memegangi tangan Edgard dan menariknya, namun tangan itu terlalu kuat. Dan perasaan ini pun begitu familiar bagi Edgard, scene di mana tangannya dipegang seperti ini. Edgard pun masih menatap Janice dengan tatapan yang mengintimidasi saat pintu ruang kerja Edgard mendadak diketuk dan Jefry pun masuk ke sana. Tok tok Ceklek! Pintu terbuka dan Jefry begitu kaget melihat posisi Edgard dan Janice. "Astaga, Bos! Ada apa ini? Apa yang terjadi?" pekik Jefry yang langsung berlari menghampiri Edgard dan Janice. Edgard sendiri langsung melepaskan Janice dan Janice mengembuskan napas yang sangat lega. Entah bagaimana menjelaskan ketakutannya sampai kakinya gemetar dan ia oleng. Untung saja Jefry melihatnya dan memeluk bahu Janice, menjaganya tetap berdiri tegak. "Astaga, Janice, kau tidak apa kan?" tanya Jefry cemas. "Aku ... aku tidak apa. Pak Edgard ... sudah salah paham padaku ...," sahut Janice gemetar. Jefry pun menatap cemas pada Janice, sebelum ia mengarahkan tatapannya pada Edgard. Jefry langsung bergidik melihat raut wajah Edgard yang sama sekali tidak bersahabat itu sampai Jefry tidak berani berkata apa-apa. Edgard pun masih menatap Janice dengan tajam, sebelum ia melirik Jefry. "Ada apa kau ke sini, Jefry?" "Eh, maaf, itu ... ada Mr Goh dari Singapore yang mampir ke sini sebelum dia pulang ke Singapore, Bos." Edgard mengernyit mendengarnya dan mendadak fokus pada Jefry. "Di mana dia sekarang, Jefry?" "Ada di ruang rapat." "Baiklah, kita ke sana!" seru Edgard yang langsung saja melangkah pergi meninggalkan Janice begitu saja. Jefry yang melihatnya pun langsung melepaskan pelukannya dari Janice dan mengikuti Edgard, namun ia sempat menoleh pada Janice sebelum ia keluar. "Hei, kembalilah ke ruang kerjamu! Sana!" seru Jefry sambil mengibaskan tangannya. Janice hanya mengangguk cepat. Dan setelah ruangan itu sepi, Janice yang tadinya masih bisa berdiri tegak pun mendadak jatuh terduduk di lantai dengan kedua tangan yang sudah berkeringat saking gugupnya. "Astaga, jantungku! Jantungku! Apa dia mengenaliku? Mengapa dia harus bersikap seperti itu padaku? Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?" Janice terus memegangi dadanya yang tidak berhenti berdebar kencang dan rasanya ia sudah tidak sanggup lagi bekerja di sini. "Ya, walaupun aku harus membayar denda, aku harus keluar dari sini! Ya, aku harus keluar dari sini sebelum pria itu benar-benar menyadari siapa aku dan entah apa yang akan dia lakukan padaku lagi!" seru Janice dengan napas yang sudah tersengal. **"Daphne Sayang, jangan lari!"Nara begitu gemas memanggil Daphne yang sedang asik merangkak kesana kemari bersama Denzel di sekeliling rumah. Semakin Nara mau menangkapnya, semakin Daphne merangkak kabur sambil terkikik dan berteriak. Collin dan Calista yang melihatnya sampai tertawa begitu senang melihat tingkah adik-adiknya. Nara sendiri pun akhirnya ikut tertawa dan tidak memanggil lagi. Hari ini genap satu tahun umur Daphne dan Denzel. Kedua anak kembar itu sudah begitu gemuk dan makin menggemaskan. Mereka juga sudah pintar merangkak kesana kemari, walaupun mereka belum mulai berjalan. Tingkah kedua anak itu begitu menggemaskan sampai gelak tawa pun tidak berhenti memenuhi rumah keluarga mereka setiap harinya. "Astaga, Sayang, mengapa kau bisa merangkak sampai ke sini!" pekik Janice yang baru saja keluar dari dapur. "Ah, Ibu sudah tidak kuat mengejarnya lagi, Janice! Daphne terlalu lincah!" protes Nara. Janice pun langsung terkekeh sambil mengangkat anaknya yang sudah ber
"Semuanya perkenalkan, ini Viola, calon istriku!" Keluarga Edgard mengadakan makan malam bersama hari itu. Sejak anak Edgard lahir, Edgard memang lebih sering melakukan open house mengundang keluarganya agar rumah selalu ramai. Semua orang akan saling membantu menjaga si kembar Denzel dan Daphne sampai Janice benar-benar terbebas dari yang namanya stres dan baby blues. Sungguh, kali ini Janice memiliki support system terbaik dan Janice sangat bahagia dengan banyak berkat berlimpah dalam hidupnya. Devan pun datang malam itu sambil membawa seorang wanita yang sangat cantik, seorang wanita yang awalnya adalah asisten Devan, tapi benih-benih cinta muncul di sana dan dengan bangga, Devan memperkenalkannya pada semua. Elizabeth yang mendengarnya pun langsung memekik kegirangan. "Wah, selamat, Devan! Selamat! Setelah Edgard, akhirnya sebentar lagi kau akan menyusul, lalu Devina juga menyusul. Semua cucu Grandma akan menikah dan memberikan Grandma banyak cicit! Ini kabar bahagia, sangat
Spanduk bertuliskan "One Month Celebration of Denzel and Daphne" terbentang di pinggir kolam renang rumah Edgard dan Janice hari itu. Hiasan balon-balon yang didominasi warna biru dan merah itu pun memenuhi dinding dan sepanjang jalan di sekitar kolam renang itu. Selain itu banyak hiasan lain yang menambah meriah suasana pagi itu. Hari ini tepat satu bulan bayi kembar Janice lahir ke dunia. Bayi kembar laki-laki dan perempuan itu diberi nama Denzel William dan Daphne William. Bayi kembar yang membawa kebahagiaan bagi keluarga Edgard dan menyempurnakan keluarga mereka yang tidak lagi kecil karena keluarga inti mereka berjumlah enam orang sekarang. Edgard pun akhirnya merasakan bagaimana lelahnya menjadi orang tua baru yang mengurusi dua bayi sekaligus. Walaupun mereka memakai dua orang baby sitter baru untuk bayi kembar mereka, tapi Edgard tetap ingin tidur dengan bayi mereka. Edgard ingin menemani Janice mengurus bayi kembar mereka sekaligus menebus rasa bersalah karena dulu J
Janice terus merasa gelisah dalam tidurnya menjelang subuh hari itu. Saat melahirkan sudah tinggal menghitung hari dan Janice tidak berhenti berdebar sampai membuatnya insomnia beberapa hari ini. Janice pun masih terus gelisah sendiri sampai ia merasakan rasa aneh di bawah tubuhnya. "Apa yang lembab ini? Mengapa perutku juga terasa melilit?" gumam Janice sambil perlahan Janice bangkit berdiri dan melangkah ke kamar mandi. Janice memeriksa dan ternyata ada darah di sana, tanda bahwa ia sudah waktunya melahirkan. Jantung Janice langsung memacu kencang, apalagi rasa sakit di perutnya mulai makin kencang seperti meremat perutnya. "Edgard! Edgard!" panggil Janice sambil melangkah keluar dari kamar mandi. Edgard yang tadinya masih tertidur lelap di samping Janice pun seketika langsung membuka matanya waspada. Sejak Janice hamil, Edgard selalu waspada kapan pun istrinya itu membutuhkannya sehingga hanya perlu sedikit suara untuk membuat Edgard langsung membuka matanya. "Janice, ada
When I was just a little girl ....I asked my mother, what will I be ....Will I be pretty? Will I be rich?Here's what she said to me ....Que sera, sera ....Whatever will be, will be ....The future's not ours to see ....Que sera, sera ....What will be, will be ....Suara Calista bernyanyi terdengar begitu merdu memenuhi ruangan serbaguna yang digunakan untuk acara pementasan sekolah hari itu. Semua orang pun langsung bertepuk tangan begitu acara selesai. Termasuk Edgard, Janice, Nara, dan Grandma Elizabeth yang ikut hadir sebagai penonton. Mereka bertepuk tangan sambil meneteskan air mata begitu bangga melihat Collin dan Calista bersama teman-teman mereka yang menampilkan pertunjukkan drama musical yang begitu indah.Para anak-anak itu berdialog dalam bahasa Inggris, mereka berinteraksi bersama, melangkah kesana kemari, menari, dan diakhiri dengan nyanyian yang begitu merdu dari Calista. Sungguh semua orang tua yang melihatnya begitu bangga pada anak-anak mereka. Nara dan El
Di umur kehamilan Janice yang memasuki lima bulan, Edgard mengajak Janice melakukan babymoon sekaligus berlibur bersama keluarga mereka. Edgard membawa serta Nara, Collin, Calista, dan pengasuh kecil mereka, berlibur ke Bali. "Karena aku tidak mau mengambil resiko, jadi kita akan pergi ke tempat yang dekat saja ya, Sayang. Aku sudah menyuruh Jefry menyiapkan semuanya dan kita tinggal menyusun barang pribadi kita saja," kata Edgard malam itu saat mereka sudah berdua di kamar. "Ya ampun, Edgard, aku sungguh tidak perlu babymoon seperti ini." Edgard tersenyum lalu menangkup kedua tangan istrinya itu. "Janice, Sayang, babymoon memang bukan merupakan keharusan, bahkan honeymoon juga bukan merupakan keharusan." "Semua pasangan akan tetap baik-baik saja tanpa honeymoon maupun babymoon." "Hanya saja bedanya, ada pasangan yang memang menginginkannya dan kalau mereka mampu, mereka akan melakukannya." "Begitu juga dengan aku, Sayang. Aku menginginkannya, menyenangkanmu dan anak-anak kita