“Kau bodoh sekali jika masih berharap dia belum menikah,” tutur Charisa sambil memegang gelas alkoholnya yang sudah kosong. Gadis itu sudah kehilangan setengah kesadarannya. Bahkan dia tidak segan untuk menangis dengan suara lumayan keras. Dia tidak habis-habisnya mengumpat. Kadang dia mengutuk dirinya sendiri, kadang dia menyumpahi Genta.
Pria di sampingnya mengawasi sambil melihat keadaan sekitar. Dia hanya memberi kode pada orang yang memperhatikan Charisa untuk memakluminya. Charisa tidak peduli dengan tatapan aneh dari orang-orang. Yang dia tahu dia harus minum untuk meredakan semua emosi dalam tubuhnya.
“Nona, kau sudah minum cukup banyak dan sudah mabuk. Sebaiknya Anda istirahat di hotel!” tegur Jimmy.
“Tidak, aku masih kuat Jimmy. Aku belum mabuk,” jawab Charisa sambil tertawa mabuk.
“Mas, boleh minta satu lagi!” pinta Charisa dengan tubuh yang sudah sempoyongan.
“Nona! Kau sudah mabuk. Cukup. Ayo kita pergi dari sini!” bisik Jimmy sambil menopang tubuh Charisa yang sudah limbung.
“Jimmy, kau jangan membuat aku marah. Aku bisa pecat kau kalau tidak mengikuti perintahku! Charisa sudah di luar kontrol.
Pria itu hanya berdecak pelan mencoba menahan kesabarannya.
“Semua pria sama saja kecuali ayahku!” cemooh Charisa melampiaskan amarahnya dengan menepis lengan Jimmy.
“Nona! Cukup dan jangan buat keributan di sini!” protes Jimmy.
“Aku tidak membuat keributan. Aku juga tidak mau sedih gara-gara ini. Tapi —-” lirih Charisa dengan mata yang berkaca-kaca.
“Kau baru datang ke Jakarta, tubuhmu perlu istirahat! Aku akan antar ke hotel!” ajak Jimmy kemudian berusaha menarik tangan Charisa.
“Hotel?” desis Charisa sambil menatap wajah Jimmy.
Gadis itu menjelajahi wajah pria yang kelihatan lebih muda darinya itu dengan tatapan sendunya. Jimmy cukup tampan dan menarik. Kedua matanya teduh menatapnya penuh heran. Rahangnya begitu tegas membuatnya terlihat sangat seksi.
Entah apa yang merasukinya saat ini. Rasanya ingin sekali dia melampiaskan kekecewaannya dengan melakukan sesuatu. Hal gila yang terlintas begitu saja di benak Charisa.
“Jim, berapa usiamu. Kau tampak lebih muda dariku?” tanya Charisa mulai tertarik dengan pria tampan yang duduk di sampingnya.
“Dua puluh empat tahun,” jawabnya dengan tatapan tegas.
“Kau lebih muda dariku rupanya,” cicit Charisa sambil tersenyum miring. Dia memang lebih muda dua tahun darinya. Tapi dia terlihat sangat matang dan sama sekali tidak canggung bersama dengan wanita lebih tua darinya.
“Apa kau bersedia menemaniku malam ini?” goda Charisa sambil tersenyum nakal. Dia mungkin sudah gila karena terluka menerima kenyataan kalau Genta sudah menikah dan memiliki seorang anak. Sementara dia adalah seorang gadis yang tidak pernah memiliki hubungan asmara dengan seorang laki-laki. Dia sudah tertinggal jauh oleh Genta.
“Nona? Apa yang kau pikirkan?” tanya Jimmy menatap wajah Charisa yang sudah dikendalikan alkohol.
“Kalau kau tidak mau. Aku akan mencari pria lain!” Charisa kemudian berbalik dan mencari pria tampan dan gagah di bar ini untuk dia ajak tidur.
“Tunggu!” cegah Jimmy sambil menahan pinggang Charisa agar tidak mencari pria lain. Dia menatap lekat wajah Charisa yang sudah memerah karena alkohol dan juga gairah lain. Dia memegang wajah Charisa yang sudah memerah dengan kedua tangannya. Jujur, dia juga sudah mulai merasakan mabuk. Reaksi tubuhnya pun sedikit tertantang dengan gerak gerik Charisa yang memancingnya untuk berbuat lebih dari sekedar memegang wajahnya.
“Akan lebih baik melakukannya denganmu. Kau bisa dipercaya kan?” desis Charisa dengan suara manja.
Mendengar suara manja Charisa yang menggairahkan. Jimmy pun segera merangkul Charisa dan membawanya pergi.
Charisa ingin membuang perasaannya pada Genta. Dia harus bisa melupakan Genta dengan cara ini. Meskipun dia juga tidak tahu apakah keputusannya ini benar atau tidak.
Pria itu benar-benar membawanya ke sebuah kamar hotel mewah. Charisa tidak banyak berkomentar sepanjang pria itu menggandeng tangannya menuju sebuah kamar. Sampai di dalam kamar, Charisa tanpa membuang waktu dia melepaskan kancing bajunya. Namun gerakannya segera dihentikan oleh tangan Jimmy.
“Nona, apa kau yakin mau melakukannya denganku?” tanya Jimmy dengan suara serak menahan godaan Charisa. Pria mana yang tidak tahan melihat perempuan cantik yang sukarela mengajaknya berhubungan intim.
“Kenapa? Kau tidak mau?” tantang Charisa sambil melipatkan kedua bibirnya dengan gerakan sensual.
“Aku akan membayarmu Jimmy! Aku akan memberikan bayaran yang tinggi. Tapi nanti di kantor kau jangan katakan pada siapa-siapa!” lirih Charisa memohon.
“Apa maksudmu dibayar?” tanya Jimmy. Charisa seolah sedang menego seorang pria penghibur.
“Aku punya banyak uang! Selama aku di Jakarta aku akan menjadi kartu ATM mu!” rayu Charisa sambil menyentuh dada bidang milik Jimmy. Sentuhan Charisa yang menggoda tentu sangat menggoda iman seorang pria normal.
“Kalau tidak mau, seharusnya tadi kau biarkan aku mencari pria lain di bar tadi!” lirih Charisa kecewa. Entah setan apa yang membuatnya saat ini tidak bisa mengendalikan gairahnya.
Pria itu sudah tidak bisa menahan lagi. Dipegangnya tangan Charisa yang menyentuh dadanya. Lalu perlahan dia mendekatkan wajahnya memberinya kecupan kecil. Tubuh Charisa langsung meremang. Baru kali ini dia merasakan kecupan dari seorang pria. Kedua matanya berkaca-kaca, seperti ada sebuah aliran listrik yang menyengat membuat reaksi tubuhnya bertindak mengikuti nalurinya sebagai wanita. Dia merangkul leher pria di depannya dengan kedua lengannya.
Kecupan kecil dari pria itu berubah menjadi ciuman yang melelehkan gunung es di tubuh mereka berdua yang kaku.
Pria yang sudah dipicu gairahnya kini mulai meraup bibir Charisa dan melumatnya dengan penuh gairah. Kedua tangannya pun segera membantu melepaskan satu persatu kancing kemejanya.
Beberapa saat kemudian tubuh mereka sudah tidak memakai satu lembar benang pun. Selanjutnya hal itu pun terjadi tanpa bisa dihentikan. Masing-masing menikmati pengalaman ranjang yang menjadi penutup hari pertama mereka bertemu.
Charisa menatap wajah Jimmy dengan pikiran campur aduk. Nikmat yang diberikan Jimmy membuatnya setengah sadar dan tidak sadar.
“Genta!” lirih Charisa menyebut nama itu. Dia memang membayangkan kalau sekarang dia bersama dengan Genta.
Jimmy yang mendengar jelas Charisa memanggil nama seorang pria lain berusaha untuk menahan rasa kecewanya. Dia menutup mulut Charisa agar tidak terus memanggil nama pria lain.
“Jim!” lirih Charisa saat menyadari kalau pria itu kesal kalau dia menyebut nama pria lain saat dia bercinta dengannya. Dua jam kemudian mereka kelelahan dan tidur.
*
Keesokan harinya Charisa bangun lebih dulu, kesadarannya mulai perlahan kembali dan mengingat apa yang sudah terjadi semalam. Dia menatap laki-laki di sebelahnya yang masih terlelap. Gadis itu menyadari kalau dia sudah melakukan hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Dia bercinta dengan pria yang baru sehari ia temui.
Setelah memikirkan apa yang harus ia lakukan, bergegas gadis itu menggeser tubuhnya menjauh dari pria itu. Bagian intinya terasa sakit dan menyebar ke seluruh tubuh. Ini adalah pertama kalinya dia melakukan hubungan intim dengan seorang pria. Meski ada sedikit penyesalan, tapi Charisa mengakui kalau itu adalah pengalaman yang menyenangkan. Apalagi Jimmy sangat perkasa. Sayangnya pria itu adalah asistennya di perusahaan.
Satu jam lagi matahari akan terbit, rasanya Charisa tidak bisa tidur lagi. Dia harus segera siap-siap pergi ke kantor. Ini adalah hari pertamanya di Vallarta, jangan sampai dia mengecewakan para pegawai di sana.
Dengan perlahan bergerak Charisa turun dari tempat tidur dan pergi ke kamar mandi. Dia tidak akan membangunkan Jimmy karena dia pasti kelelahan. Lebih baik membiarkannya beberapa jam lagi untuk tidur.
Setelah mandi dan berpakaian Charisa memeriksa Jimmy di tempat tidur. Rupanya pria itu juga sudah terbangun.
“Kau sudah bangun?” tanya Charisa santai. Nada bicaranya tidak selembut semalam. Tatapan wajahnya juga sudah kembali ke mode pertama kali bertemu di bandara.
“Nona sudah rapi, maafkan aku telat bangun!” ucap Jimmy sambil turun dari tempat tidur dalam keadaan masih polos.
Charisa segera mengalihkan pandangannya ke arah lain. Dia tidak ingin terjebak lagi dalam situasi semalam.
“Nona sudah melihat semuanya dari semalam, kenapa harus malu!” kekeh Jimmy sambil memakai celana dalamnya dan berjalan ke kamar mandi.
“Jimmy, aku akan pergi duluan! Untuk yang semalam kita lupakan saja!” teriak Charisa.
Dia buru-buru pergi menarik kopernya untuk menghindar dari Jimmy. Melihatnya polos seperti itu jantungnya tidak aman. Tapi sebelum pergi Charisa ingat sesuatu. Dia membuka tasnya dan mengambil dompetnya. Beberapa lembar dollar pecahan seratus ia keluarkan semuanya dan ia simpan di atas tempat tidur. Sebenarnya itu masih kurang, tapi Charisa tidak punya banyak uang cash.
Charisa kemudian mengambil kertas dan pulpen yang ada di nakas samping tempat tidur. Dia menulis memo untuk Jimmy agar nanti bertemu lagi di kantor.
[Jimmy, nanti aku kasih sisanya lewat transfer. Tapi aku tidak punya nomor rekeningmu. Uang cash ku cuma sedikit. Ingat jangan bocorkan tentang semalam di perusahaan! Kita pura-pura tidak terjadi apa-apa!]
Setelah menulis memo itu, buru-buru Charisa meninggalkan kamar itu. Dia tidak ingin terlambat. Kalau menunggu Jimmy selesai, rasanya juga tidak mungkin. Situasi nanti akan terasa canggung. Charisa butuh waktu untuk menata image-nya lagi di depan Jimmy.
Masih dalam keadaan setengah sadar, Jean menatap pria berwajah seram yang berdiri di depannya.Kazuto menyeringai. “Akhirnya kita bertemu langsung, Jean.”Jean meronta, mencoba melepaskan ikatannya, namun hanya menghasilkan gemeretak rantai di lantai beton. Napasnya masih berat, darah mengalir dari pelipis yang terluka. Ia mendongak, menatap Kazuto dengan mata penuh amarah.“Dasar brengsek. Kalian benar-benar penjahat?!” suara Jean parau, tapi tajam seperti pisau.Kazuto berjongkok di depan Jean, jarak mereka hanya sejengkal. “Ya, itu benar. Kami sudah menyusun rencana besar.”Ia menjentikkan jam saku di tangannya, membukanya perlahan dan memperhatikan jarum-jarum kecil yang berdetak. “Asal kau menuruti apa perintahku, kau akan menyelamatkan banyak orang malam ini!”Jean menatap Kazuto dengan penuh amarah. “Kalau kau menyentuh mereka—aku bersumpah, Kazuto, bahkan dari dalam neraka pun aku akan menyeretmu turun.”Kazuto berdiri, menepuk-nepuk bahu Jean keras hingga pria itu meringis. “
Sementara itu Ryuga bersama anak buahnya yang lain menyusuri tangga darurat menuju lantai 25. Napasnya terengah karena menaiki tangga darurat mengejar waktu. Sampai di depan pintu Ryuga memerintahkan anak buahnya untuk berjaga sebagian di tangga.Ryuga mendorong pintu dan berjalan menyusuri koridor lantai 25 dengan tatapan waspada. Tidak ada orang lalu lalang hanya seorang pelayan keluar dari kamar sebelah tempat Jean masuk ke kamar itu. Pelayan itu mendorong troli selimut kotor dan sempat menyapa Ryuga dengan ramah.Anak buah kepercayaan Jean itu kemudian memberi kode pada anak buah lainnya agar tetap waspada dan berjaga di luar pintu kamar. Tapi ketika mereka mendekat, ternyata pintu kamar itu sudah terbuka sedikit. Tanpa ragu, Ryuga mendorongnya dan masuk ke dalam.Pintu sudah terbuka sedikit. Tanpa ragu, Ryuga mendorongnya masuk.Pemandangan di dalam kamar membuat napasnya tercekat. Kursi terbalik. Meja bundar pecah sebagian, seperti terkena benturan keras. Tirai terlepas dari re
Jean menggendong Darren menuju kamarnya. Tubuh kecil itu bersandar lemah di dadanya, napasnya belum sepenuhnya teratur. Sementara itu, Charisa hanya mengikuti di belakang, tanpa sepatah kata pun. Raut wajahnya tegang—marah, kecewa, dan sangat terluka. Pandangannya tidak tertuju pada siapa pun. Wanita itu tampak seperti membangun tembok tinggi untuk melindungi hatinya yang hancur.Setelah menidurkan Darren, Jean berbalik dan melihat Charisa duduk di tepi ranjang, tubuhnya kaku, kedua tangannya mengepal di atas paha.“Charisa...” Jean memanggil pelan, lalu menunduk sedikit, menyentuh pundaknya. “Aku mohon, percayalah padaku. Aku akan menangkap pelakunya!”Charisa tak langsung menoleh. Bibirnya terbuka sedikit, gemetar, seolah sedang menahan sesuatu yang sulit diungkapkan.“Kalau penyebab Darren diculik adalah karena hubungan kita...” suaranya lirih, nyaris seperti bisikan yang dipaksa keluar. “Aku rasa jalan terbaik adalah—”“Tidak.” Jean memotong cepat, suara rendahnya mengandung ketega
“Papa!” teriak Darren, air matanya mulai menetes.“Darren!” Jean langsung berlari, tapi tiba-tiba seseorang datang menghadang dan langsung mengarahkan pistol ke kepala Jean.“Berhenti di situ!” Seorang pria berjenggot tebal dan berkepala botak menatap tajam ke arahnya.“Kalau kau menyentuh anakku, aku akan menghabisimu di tempat,” desis Jean, masih berdiri tegak tanpa ada rasa takut.Pria itu tertawa kecil. “Oh, aku tidak akan menyentuhnya sebelum bosku memerintahku,” jawabnya dengan tatapan meremehkan.“Bos? Siapa Bos mu yang berani mencari masalah denganku!” tantang Jean.“Memangnya aku bodoh Tuan. Aku tidak akan semudah itu menyebutkan siapa bosku,” jawabnya sambil tertawa.“Papa!” teriak Darren ketakutan.Jean mulai khawatir dengan Darren yang sudah mulai menggigil ketakutan. Seharusnya anak sekecil itu tidak mengalami hal buruk seperti ini.“Darren Sayang! Papa tahu kau anak yang hebat dan pemberani! Kau mau menuruti Papa kan?” tanya Jean berusaha mengatakan tanpa membuat anaknya
Mobil melaju seperti peluru menembus kepadatan jalanan Tokyo. Klakson bersahutan, lampu-lampu kendaraan lain menyorot tajam, namun Jean tak peduli. Tatapannya lurus ke depan, rahangnya mengeras, jemarinya mencengkram kemudi begitu kuat hingga buku jarinya memutih.“Berapa menit lagi?” tanya Charisa, suaranya serak dan nyaris tidak terdengar. Energinya sudah habis terkuras karena menangisi Darren.“Lima. Paling lama sepuluh,” sahut Jean singkat. Ia tak mau membuat janji yang tidak bisa ditepati. Namun hatinya berdegup lebih cepat dari mobil yang ia pacu. Kalau terjadi sesuatu pada Darren, dia tidak akan memberi ampun pada orang yang sudah menculik putranya meskipun dia harus melawan hukum sekalipun.Ponselnya bergetar. Jean menekan tombol speaker.“Tuan, saya sudah sampai di minimarket,” suara pria dari seberang—anak buahnya Ryuga.“Lihat sekeliling. Ada kamera? Ada jejak kendaraan?” Jean memastikan sekecil apapun untuk membantunya menemukan Darren.“Ya. Ada kamera CCTV di atas pintu ma
Langit sore sudah memudar, membawa serta bayangan hitam yang seolah menggantung di atas kepala Jean dan Charisa. Mobil mereka berhenti kasar di depan gerbang sekolah. Bahkan sebelum mesin mati sepenuhnya, Charisa sudah menerobos keluar, berlari masuk dengan napas tersengal, wajahnya pucat seperti kertas.“Apa yang terjadi? Di mana Darren?” teriak Charisa begitu melihat seorang guru keluar dari ruang guru.Guru itu terkejut melihat kedatangan Charisa yang panik. “Nyonya Charisa, kami sedang berusaha mencari di sekitar sekolah dengan beberapa petugas keamanan!”“Kenapa kalian membiarkan orang asing membawa Darren?” teriak Charisa sambil mengguncang lengan guru itu. Ibu siapa yang tidak panik mendengar berita anaknya yang tiba-tiba hilang.Jean menyusul dari belakang dan menenangkan Charisa yang mulai kehilangan kendali. “Tenang Charisa, kita akan segera menemukan dia!” Jean menahan tubuh Charisa dari belakang.Guru itu menarik napas panjang. “Kami sudah mencari di semua area sekolah. CC