Charisa turun dari taksi setelah sampai di gedung di mana perusahaan Vallarta berada. Hari ini adalah hari pertamanya sebagai CEO di sana. Untungnya dia tidak datang terlambat. Di pintu lift menuju lantai kantor Vallarta dia menatap bayangan wajahnya yang terlihat sedikit lelah. Pengaruh sisa alkohol dan kejadian semalam tentu berpengaruh pada kondisi wajahnya sekarang. Sebelum itu menjadi bencana, Charisa kemudian melipir dulu ke arah toilet di lantai satu. Dia harus menata ulang riasannya.
Sampai di toilet dia kemudian mengeluarkan cushion miliknya. Ini masih pagi dan tentu belum banyak yang datang. Charisa sedikit leluasa untuk menata wajahnya agar terlihat lebih fresh dan cantik.
“Hei kau tidak tahu Jimmy yang bekerja di Vallarta lantai 20?” Seorang gadis muda datang dengan dua orang gadis lainnya ke toilet.
“Ya tahu dong. Emang kenapa sama dia?” tanya dua temannya itu.
Charisa mencoba menguping apa yang akan menjadi bahan pembicaraan para gadis itu tentang Jimmy. Kalau diperhatikan sepertinya mereka bukan karyawan atau staf Vallarta. Gedung ini memang terdiri dari beberapa kantor dan perusahaan. Vallarta sendiri berada di lantai dua puluh.
“Mantannya semalam bertemu denganku. Katanya sekarang Jimmy diturunkan jabatannya jadi asisten CEO yang baru!”
“Benarkah? Wah kasihan banget ya.”
“Ngapain kasihani playboy macam dia. Lagipula katanya CEO yang baru itu perempuan dan belum menikah. Bisa bahaya sih kalau dia bakal deketin CEO nya. Padahal mantannya masih satu kantor.”
“ Duh bagaimana ya perasaan Sinta?”
“Tapi baguslah Sinta lepasin laki-laki brengsek itu. Dia sudah sering diselingkuhi!”
Charisa yang mendengar itu menjadi sedikit menyesal dan kecewa. Jadi Jimmy ternyata orangnya seperti itu. Sebaiknya mungkin dia tidak terlalu dekat dengan Jimmy nanti ke depannya.Charisa kemudian keluar dari toilet dengan perasaan yang kecewa. Dia seharusnya tidak mengajaknya ke hotel. Gadis itu sangat menyesal.
Sampai di lantai dua puluh, Charisa bertemu dengan Lily manajer produksi. Dia sering bertemu lewat video conference dengan beberapa manajer dan CEO sebelumnya.
“Nona selamat datang di Jakarta. Tapi kenapa Anda datang sendiri? Apa Jimmy terlambat menjemputmu?” tanya Lily.
Charisa hanya bisa menjawab dengan senyuman pendek. Mana mungkin dia menjawab kalau Jimmy masih berada di hotel. Tanpa banyak berbasa basi Charisa langsung menuju kantor Vallarta dengan diikuti Lily.
“Aku sudah mengontak beberapa agen properti. Nanti sore Anda akan sudah mendapatkan apartemen yang dekat dengan kantor.”
“Baik terima kasih Lily bantuannya. Ngomong-ngomong bisakah kau ganti orang yang menjadi asistenku?” tanya Charisa to the point. Dia cukup terpengaruh dengan obrolan di toilet tadi. Jimmy itu adalah seorang playboy. Bahkan mantan pacarnya pun masih bekerja dan satu kantor di sini. Charisa harus hati-hati karena dia tidak mau merusak hubungan orang hanya karena kejadian semalam.
“Nona Charisa, maafkan aku. Dari kemarin saya berusaha menghubungi nomor Anda tapi nomor Anda tidak bisa dihubungi. Kemarin saya terlambat menjemput Anda.” Seorang pria berusia tiga puluh tahunan datang tergopoh-gopoh mencegat Charisa yang hendak masuk ke ruangannya.
“Jimmy! Jadi kau kemarin tidak menjemputnya?” tanya Lily dengan suara keras karena kaget. Tetapi lebih kaget lagi adalah Charisa. Dia berusaha mencerna ucapan pria itu. Jadi maksudnya kemarin dia tidak menjemputnya di bandara. Lalu, siapa pria itu yang semalam menemaninya mengarungi laut kenikmatan.
“Kemarin mobilku hendak menjemput Nona di bandara tapi malah mogok di jalan. Jadi aku menghubungi Nona untuk menunggu sampai mobil bisa jalan lagi. Masalahnya nomornya tidak bisa dihubungi dan waktu aku ke sana. Aku sudah tidak menemukan Anda di sana," lirih Jimmy dengan penuh rasa bersalah.
Charisa tiba-tiba merasa tubuhnya limbung. Dia memegang tembok untuk menjaga keseimbangan tubuhnya.
“Jadi kau Jimmy asistenku?” tanya Charisa sambil menatap wajah pria itu. Dia sama sekali bukan Jimmy yang kemarin dia temui. Dan bukan Jimmy yang menemaninya di ranjang panas semalam.
“Iya Nona. Saya minta maaf dan mohon Anda mempertahankan posisi saya saat ini. Kalau tidak, saya tidak diterima di divisi lain pun di kantor ini!” ucap Jimmy dengan sorot mata memohon.
Charisa merasa kepalanya sangat berat. Jadi siapa pria itu. Kenapa dia berpura-pura mengenal dan menjadi Jimmy. Siapa yang salah? Apa mungkin dari awal dia yang sudah salah.
“Nona, Anda tidak apa-apa?” tanya Jimmy khawatir melihat Charisa yang tiba-tiba pucat.
“Aku sakit kepala melihatmu. Pergilah! Sementara ini jaga jarak denganku! Kalau tidak, aku bisa langsung mengganti posisimu dengan cepat!” titah Charisa dengan nada kejam.
Lily kemudian memberi kode agar Jimmy pergi. Charisa kemudian masuk ke dalam kantornya sambil memijit keningnya yang berkedut. Hari pertama dia di Jakarta sungguh di luar ekspektasinya.
*
Ada bagusnya jika pria itu adalah pria asing yang ia tak kenal. Kejadian semalam itu adalah kesalahan yang harus segera ia lupakan. Charisa pun tidak ingin pergi ke hotel itu lagi dan bertemu dengan pria itu. Lagipula dia tidak berhak meminta pertanggungjawaban pria itu. Dia sendiri yang meminta pria itu untuk menidurinya. Anggap saja dia memberikan kegadisannya dengan percuma pada pria asing yang baru ia kenal. Mungkin dia adalah gadis yang paling bodoh di dunia. Karena dia tidak hati-hati memeriksa identitas pria itu. Andai saja dia tidak sok akrab dengan pria itu mungkin kejadian semalam tidak akan pernah terjadi.
Charisa harus segera melupakan pria itu dan kejadian memalukan itu. Dia melihat dari kejauhan Jimmy yang duduk di mejanya. Jimmy asli tampaknya sangat bertolak belakang dengan pria itu. Jimmy terlihat lebih kekanak-kanakan dan ceroboh. Berbeda dengan pria itu yang terlihat sangat elegan dan dewasa.
“Gawat! Aku berikan dia uang untuk bayaran pelayanannya tapi apa itu kurang. Apa mungkin dia akan mencariku ke sini. Mustahil dia tahu aku bekerja di mana?” Charisa berusaha mengurangi rasa paniknya dengan berusaha mengingat-ingat apakah dia pernah mengatakan dimana dia bekerja.
“Kenapa waktu itu dia diam saja pas aku panggil Jimmy?” sungut Charisa heran.
“Sepertinya dia sengaja karena memang dia juga tertarik padaku,” pikirnya lagi.
“Jadi dia juga sebenarnya tidak perlu uang bayaran. Hahaha.” Charisa berusaha tertawa untuk menutupi kebodohannya.
“Nona kenapa Anda tertawa. Apa ada yang lucu?” Tiba-tiba Jimmy sudah berada di depannya.
Charisa menghentikan tawanya dan menatap Jimmy dengan tatapan aneh.
“Apa kau masih ingin menjadi asistenku?” tanya Charisa.
“Tentu saja Nona.” Jimmy tampak antusias.
“Kalau begitu, kau bisa menjadi asisten dengan syarat. Pertama kau jangan mencoba merayu dan menggodaku, kedua jangan malas saat bekerja denganku, ketiga tidak boleh berpacaran saat bekerja di kantor!”
“Ah tentu saja Nona. Saya ini sudah punya pacar. Dia bekerja di rumah sakit sebagai perawat, aku tidak akan malas bekerja karena aku ingin mendapatkan gaji dan bonus agar bisa cepat melamar pacarku,” jawab Jimmy.
“Benarkah itu. Jadi kau sudah punya pacar baru? Apa Sinta tahu kalau kau sudah punya pacar lagi?” tanya Charisa malah tertarik.
“Nona darimana Anda tahu Sinta. Setahuku Anda belum bertemu dengan karyawan lain?” tanya Jimmy yang heran karena Charisa mengenal Sinta yang merupakan mantannya di kantor ini.
“Aku ini punya banyak spy di sini. Jadi jangan banyak tingkah di kantor!” ucap Charisa dengan wajah yang serius.
“Ba-baik Nona. Saya akan ingat ucapan Anda," jawab Jimmy terbata-bata.
“Bagus ! Sudah waktunya kau serius dan mulai berpikiran untuk menikah. Sekarang ini kau sudah tobat menjadi seorang playboy!” seru Charisa menepuk bahu Jimmy.
Mendengar ucapan Charisa, wajah Jimmy terlihat sangat pucat. Dia mengira kalau Charisa sudah memeriksa latar belakangnya dengan detail. Bahkan privasinya Charisa sudah tahu kalau dia adalah seorang playboy.
Masih dalam keadaan setengah sadar, Jean menatap pria berwajah seram yang berdiri di depannya.Kazuto menyeringai. “Akhirnya kita bertemu langsung, Jean.”Jean meronta, mencoba melepaskan ikatannya, namun hanya menghasilkan gemeretak rantai di lantai beton. Napasnya masih berat, darah mengalir dari pelipis yang terluka. Ia mendongak, menatap Kazuto dengan mata penuh amarah.“Dasar brengsek. Kalian benar-benar penjahat?!” suara Jean parau, tapi tajam seperti pisau.Kazuto berjongkok di depan Jean, jarak mereka hanya sejengkal. “Ya, itu benar. Kami sudah menyusun rencana besar.”Ia menjentikkan jam saku di tangannya, membukanya perlahan dan memperhatikan jarum-jarum kecil yang berdetak. “Asal kau menuruti apa perintahku, kau akan menyelamatkan banyak orang malam ini!”Jean menatap Kazuto dengan penuh amarah. “Kalau kau menyentuh mereka—aku bersumpah, Kazuto, bahkan dari dalam neraka pun aku akan menyeretmu turun.”Kazuto berdiri, menepuk-nepuk bahu Jean keras hingga pria itu meringis. “
Sementara itu Ryuga bersama anak buahnya yang lain menyusuri tangga darurat menuju lantai 25. Napasnya terengah karena menaiki tangga darurat mengejar waktu. Sampai di depan pintu Ryuga memerintahkan anak buahnya untuk berjaga sebagian di tangga.Ryuga mendorong pintu dan berjalan menyusuri koridor lantai 25 dengan tatapan waspada. Tidak ada orang lalu lalang hanya seorang pelayan keluar dari kamar sebelah tempat Jean masuk ke kamar itu. Pelayan itu mendorong troli selimut kotor dan sempat menyapa Ryuga dengan ramah.Anak buah kepercayaan Jean itu kemudian memberi kode pada anak buah lainnya agar tetap waspada dan berjaga di luar pintu kamar. Tapi ketika mereka mendekat, ternyata pintu kamar itu sudah terbuka sedikit. Tanpa ragu, Ryuga mendorongnya dan masuk ke dalam.Pintu sudah terbuka sedikit. Tanpa ragu, Ryuga mendorongnya masuk.Pemandangan di dalam kamar membuat napasnya tercekat. Kursi terbalik. Meja bundar pecah sebagian, seperti terkena benturan keras. Tirai terlepas dari re
Jean menggendong Darren menuju kamarnya. Tubuh kecil itu bersandar lemah di dadanya, napasnya belum sepenuhnya teratur. Sementara itu, Charisa hanya mengikuti di belakang, tanpa sepatah kata pun. Raut wajahnya tegang—marah, kecewa, dan sangat terluka. Pandangannya tidak tertuju pada siapa pun. Wanita itu tampak seperti membangun tembok tinggi untuk melindungi hatinya yang hancur.Setelah menidurkan Darren, Jean berbalik dan melihat Charisa duduk di tepi ranjang, tubuhnya kaku, kedua tangannya mengepal di atas paha.“Charisa...” Jean memanggil pelan, lalu menunduk sedikit, menyentuh pundaknya. “Aku mohon, percayalah padaku. Aku akan menangkap pelakunya!”Charisa tak langsung menoleh. Bibirnya terbuka sedikit, gemetar, seolah sedang menahan sesuatu yang sulit diungkapkan.“Kalau penyebab Darren diculik adalah karena hubungan kita...” suaranya lirih, nyaris seperti bisikan yang dipaksa keluar. “Aku rasa jalan terbaik adalah—”“Tidak.” Jean memotong cepat, suara rendahnya mengandung ketega
“Papa!” teriak Darren, air matanya mulai menetes.“Darren!” Jean langsung berlari, tapi tiba-tiba seseorang datang menghadang dan langsung mengarahkan pistol ke kepala Jean.“Berhenti di situ!” Seorang pria berjenggot tebal dan berkepala botak menatap tajam ke arahnya.“Kalau kau menyentuh anakku, aku akan menghabisimu di tempat,” desis Jean, masih berdiri tegak tanpa ada rasa takut.Pria itu tertawa kecil. “Oh, aku tidak akan menyentuhnya sebelum bosku memerintahku,” jawabnya dengan tatapan meremehkan.“Bos? Siapa Bos mu yang berani mencari masalah denganku!” tantang Jean.“Memangnya aku bodoh Tuan. Aku tidak akan semudah itu menyebutkan siapa bosku,” jawabnya sambil tertawa.“Papa!” teriak Darren ketakutan.Jean mulai khawatir dengan Darren yang sudah mulai menggigil ketakutan. Seharusnya anak sekecil itu tidak mengalami hal buruk seperti ini.“Darren Sayang! Papa tahu kau anak yang hebat dan pemberani! Kau mau menuruti Papa kan?” tanya Jean berusaha mengatakan tanpa membuat anaknya
Mobil melaju seperti peluru menembus kepadatan jalanan Tokyo. Klakson bersahutan, lampu-lampu kendaraan lain menyorot tajam, namun Jean tak peduli. Tatapannya lurus ke depan, rahangnya mengeras, jemarinya mencengkram kemudi begitu kuat hingga buku jarinya memutih.“Berapa menit lagi?” tanya Charisa, suaranya serak dan nyaris tidak terdengar. Energinya sudah habis terkuras karena menangisi Darren.“Lima. Paling lama sepuluh,” sahut Jean singkat. Ia tak mau membuat janji yang tidak bisa ditepati. Namun hatinya berdegup lebih cepat dari mobil yang ia pacu. Kalau terjadi sesuatu pada Darren, dia tidak akan memberi ampun pada orang yang sudah menculik putranya meskipun dia harus melawan hukum sekalipun.Ponselnya bergetar. Jean menekan tombol speaker.“Tuan, saya sudah sampai di minimarket,” suara pria dari seberang—anak buahnya Ryuga.“Lihat sekeliling. Ada kamera? Ada jejak kendaraan?” Jean memastikan sekecil apapun untuk membantunya menemukan Darren.“Ya. Ada kamera CCTV di atas pintu ma
Langit sore sudah memudar, membawa serta bayangan hitam yang seolah menggantung di atas kepala Jean dan Charisa. Mobil mereka berhenti kasar di depan gerbang sekolah. Bahkan sebelum mesin mati sepenuhnya, Charisa sudah menerobos keluar, berlari masuk dengan napas tersengal, wajahnya pucat seperti kertas.“Apa yang terjadi? Di mana Darren?” teriak Charisa begitu melihat seorang guru keluar dari ruang guru.Guru itu terkejut melihat kedatangan Charisa yang panik. “Nyonya Charisa, kami sedang berusaha mencari di sekitar sekolah dengan beberapa petugas keamanan!”“Kenapa kalian membiarkan orang asing membawa Darren?” teriak Charisa sambil mengguncang lengan guru itu. Ibu siapa yang tidak panik mendengar berita anaknya yang tiba-tiba hilang.Jean menyusul dari belakang dan menenangkan Charisa yang mulai kehilangan kendali. “Tenang Charisa, kita akan segera menemukan dia!” Jean menahan tubuh Charisa dari belakang.Guru itu menarik napas panjang. “Kami sudah mencari di semua area sekolah. CC