Dengan langkah penuh percaya diri Charisa berjalan keluar dari gerbang kedatangan luar negeri di bandara Soekarno Hatta. Tangan kanannya menyeret koper dengan brand merk terkenal nan mewah sementara tangan kirinya merapikan rambut ombre ash brown-nya. Gadis cantik itu berjalan sambil melihat-lihat kerumunan orang yang menjemput penumpang pesawat yang baru datang.
Di antara banyak orang itu ia mencari orang yang akan menjemputnya. Charisa mengomel karena baterai ponselnya tidak sempat ia charge penuh dan sekarang sudah tidak bernyawa. Bagaimana caranya dia menemukan orang yang akan menjemputnya.
Sebelumnya di bandara Tokyo, Tuan Juko memberitahunya kalau yang akan menjemputnya bernama Jimmy. Katanya orang yang akan menjemputnya sudah mengenal wajahnya dan akan langsung menghampirinya.
“Bodoh! Bagaimana bisa aku memegang perkataan Tuan Juko. Darimana orang itu akan mengenaliku langsung,” gerutu Charisa kesal. Mau tidak mau dia harus mencari taksi dan pergi ke hotel sendiri.
Charisa berhenti sebentar dan melihat sekelilingnya. Dia melepas kacamatanya agar wajahnya terekspos dengan jelas. Menurut Tuan Juko, orang itu akan mengenalinya langsung.
“Maaf Nona permisi!” Seorang pria berjalan ke arahnya dengan wajah tersenyum sambil memegang ponselnya. Namun belum sempat pria itu mengutarakan maksudnya, Charisa langsung menyerahkan kopernya tanpa memberikan kesempatan pria itu bicara terlebih dulu.
“Sebelum ke hotel, antar aku dulu ke sebuah tempat!” titah Charisa.
Pria itu tampak terkejut karena tiba-tiba Charisa memberinya koper. Gadis itu berjalan mendahuluinya tanpa mengatakan hal lain.
“Nona —-”
“Kenapa lama sekali, kita tidak punya waktu!”
Pria itu tampak terdiam beberapa lama sambil menatap Charisa dengan ekspresi heran. Akhirnya dengan wajah kebingungan pria itu berjalan di depan Charisa sambil membawakan kopernya menuju tempat parkir. Charisa menghela napas dalam-dalam, merasakan aroma udara dari kota yang selama ini sudah lama ia tinggalkan. Rasanya menyenangkan bisa kembali ke kampung halamannya. Charisa masuk ke dalam mobil mengabaikan tatapan aneh dari pria yang duduk di belakang setir. Dia terlihat bersemangat dan sudah tidak sabar untuk melihat perubahan kota yang sudah ia tinggalkan selama dua belas tahun.
“Jimmy sebelum kau antarkan aku ke hotel, apa kau bisa mengantarkanku ke sebuah tempat?” tanya Charisa pada orang yang akan menjadi supirnya selama di Jakarta.
“Jimmy!” ucap pria itu sambil manggut-manggut. Dia menatap wajah Charisa dengan penuh minat.
“Tentu saja Nona. Mau ke mana saja saya akan antar,” jawab pria itu patuh. Beberapa kali dia berdecak kagum menatap wajah Charisa yang cantik.
Charisa tersenyum senang dengan sikap patuhnya. Dia baru pertama kalinya bertemu dengan Jimmy. Sebelum dia berangkat ke Jakarta dia memang diberitahu oleh perusahaannya di Jepang kalau selama dia bekerja di Jakarta, Jimmy akan menjadi supir pribadinya yang akan membantunya menyelesaikan pekerjaan selama di Jakarta.
“Nanti sebagai gantinya aku akan traktir kau kopi yang enak!”
“Hmm, saya tidak biasa minum kopi, Nona,” jawabnya dengan tawa renyah.
Charisa sempat melirik ke arahnya karena suara tawa pria itu yang terdengar hangat dan menyenangkan. Suara tawanya itu mengingatkannya pada seseorang.
“Bagaimana bisa anak muda sepertimu tidak suka kopi?” tanya Charisa heran.
“Saya punya penyakit lambung Nona. Jadi saya menghindari minuman yang berkafein.”
“Ooh, ya sudah akan mentraktirmu es krim,” sambung Charisa.
“Baik Nona. Haha. Tapi apa saya terlihat seperti anak kecil yang suka es krim,” cicit pria itu sambil menyetir.
“Bukan seperti itu. Setidaknya aku mentraktirmu karena ini hari pertama kita bertemu sebagai partner.”
Pria itu tertawa kecil menanggapinya. Dia hanya mengangguk-angguk kecil. Ekspresi wajahnya sangat menyenangkan. Charisa merasa kalau dia akan menjadi supir yang asyik. Sepertinya dia juga akan menjadi orang yang akan ia andalkan selama ia ditugaskan menjadi CEO di kantor Vallarta cabang Jakarta. Sebelumnya dia menjabat sebagai wakil direktur di Vallarta Jepang. Dia pergi ke Jakarta untuk menggantikan posisi CEO yang sebelumnya. Kenapa Charisa diutus ke sini, mungkin karena latar belakangnya sebagai warga negara Indonesia asli jadi bisa memudahkan Vallarta dalam masa transisi kepemimpinan.
Charisa juga tidak tahu apakah posisi itu untuk sementara apa untuk selanjutnya. Pemimpin perusahaan Vallarta belum secara resmi memberitahunya.
“Jadi, apakah sekarang Nona ingin mengunjungi salah satu kerabatmu?” tanyanya saat melihat lokasi GPS yang sudah Charisa atur di layar monitor mobilnya sebelumnya.
“Bukan kerabat. Aku tidak punya keluarga lain selain orangtuaku yang di Jepang. Aku hanya ingin mampir melihat tempat tinggalku dulu sebentar.”
“Oh di Jepang. Apa di sini tempatnya?” Dia menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah berlantai dua yang memiliki halaman depan yang luas.
Charisa tidak langsung menjawab. Tatapannya hanya tertuju ke depan. Sorot matanya berkaca-kaca. Tatapan haru sekaligus rindu yang menyeruak. Jimmy pun memutuskan untuk diam menunggu perintah Charisa.
Rumah yang dulu ia tinggali dengan orangtuanya dulu ternyata masih kosong. Tapi bukan itu tujuan gadis itu sebenarnya. Dia menatap dan mengawasi rumah sebelahnya. Tak lama kemudian terlihat gerbang rumah itu terbuka. Charisa menahan napasnya dengan mata yang sudah penuh dengan bulir bening.
Dua orang keluar dari rumah. Seorang pria sambil menuntun seorang gadis kecil berusia delapan tahun.
Charisa terisak dengan suara tertahan. Dia melihat pria itu tampak bahagia sambil menuntunnya masuk ke dalam mobil. Sementara pria itu memperhatikan raut wajah Charisa yang berubah sedih.
“Hah! Sudah dua belas tahun. Tidak mungkin dia belum menikah dan punya anak!” ucap Charisa dengan nada kesal.
“Siapa dia Nona?” tanyanya penasaran. Ada hubungan apa antara pria yang membawa anak itu dengan Charisa.
“Tetanggaku dulu,” jawab Charisa dengan wajah yang terlihat kecewa.
“Oh, terus apa yang akan kita lakukan sekarang. Apa Anda mau turun dan menyapanya?” tanyanya bingung.
“Tidak!” seru Charisa dengan ekspresi wajah yang marah dan kesal. Siapapun yang melihat pasti akan mengira kalau Charisa terkejut dan apa yang ia temukan sekarang ini tidak sesuai dengan ekspektasinya.
“Kita langsung ke hotel saja!” titah Charisa dengan wajah yang menahan marah.
Pria itu tidak banyak bertanya lagi karena berusaha memahami suasana hati gadis cantik itu. Dia segera menyalakan mesin mobil dan melajukannya menuju hotel.
Sepanjang perjalanan Charisa berusaha untuk tenang dan melupakan apa yang baru ia lihat tadi. Namun dalam hatinya penuh gejolak. Pria itu adalah Genta Dirmansyah, dia tetangganya waktu itu. Sebelum keluarganya pindah ke Jepang karena ayahnya dipindahkan ke sana, Charisa sempat bertetangga dengan Genta dari kecil. Tentu saja bisa ditebak, Genta adalah cinta pertamanya. Mereka sempat pacaran waktu SMA, mereka berdua terpaksa berpisah karena orang tua Charisa pindah bekerja ke Jepang. Setahun pertama berpisah, mereka masih berkomunikasi lewat email dan telepon. Tetapi setelah masuk masa ujian SMA mereka mulai menjauh dan hilang kontak sampai sekarang ini.
“Nona kita sudah sampai!” suara pria itu menghentikan lamunan Charisa.
Charisa melirik kanan kiri kalau dia sudah sampai di hotel.Tapi dia sedikit kebingungan.
“Ada apa?” tanya pria itu heran.
“Aku belum mau ke kamar hotel dulu. Pikiranku agak kacau. Antar aku ke bar hotel dulu dan temani aku minum di sana!” ajak Charisa dengan nada memaksa.
Pria itu terlihat kaget dengan permintaan Charisa yang tiba-tiba.
“Apa kau juga tidak bisa minum alkohol?” tanya Charisa dengan wajah menggoda. Melihat wajah Charisa yang terlihat seperti orang yang putus asa setelah melihat pria yang merupakan cinta pertamanya itu. Akhirnya dia pun mengangguk menyetujui keinginan gadis itu.
Masih dalam keadaan setengah sadar, Jean menatap pria berwajah seram yang berdiri di depannya.Kazuto menyeringai. “Akhirnya kita bertemu langsung, Jean.”Jean meronta, mencoba melepaskan ikatannya, namun hanya menghasilkan gemeretak rantai di lantai beton. Napasnya masih berat, darah mengalir dari pelipis yang terluka. Ia mendongak, menatap Kazuto dengan mata penuh amarah.“Dasar brengsek. Kalian benar-benar penjahat?!” suara Jean parau, tapi tajam seperti pisau.Kazuto berjongkok di depan Jean, jarak mereka hanya sejengkal. “Ya, itu benar. Kami sudah menyusun rencana besar.”Ia menjentikkan jam saku di tangannya, membukanya perlahan dan memperhatikan jarum-jarum kecil yang berdetak. “Asal kau menuruti apa perintahku, kau akan menyelamatkan banyak orang malam ini!”Jean menatap Kazuto dengan penuh amarah. “Kalau kau menyentuh mereka—aku bersumpah, Kazuto, bahkan dari dalam neraka pun aku akan menyeretmu turun.”Kazuto berdiri, menepuk-nepuk bahu Jean keras hingga pria itu meringis. “
Sementara itu Ryuga bersama anak buahnya yang lain menyusuri tangga darurat menuju lantai 25. Napasnya terengah karena menaiki tangga darurat mengejar waktu. Sampai di depan pintu Ryuga memerintahkan anak buahnya untuk berjaga sebagian di tangga.Ryuga mendorong pintu dan berjalan menyusuri koridor lantai 25 dengan tatapan waspada. Tidak ada orang lalu lalang hanya seorang pelayan keluar dari kamar sebelah tempat Jean masuk ke kamar itu. Pelayan itu mendorong troli selimut kotor dan sempat menyapa Ryuga dengan ramah.Anak buah kepercayaan Jean itu kemudian memberi kode pada anak buah lainnya agar tetap waspada dan berjaga di luar pintu kamar. Tapi ketika mereka mendekat, ternyata pintu kamar itu sudah terbuka sedikit. Tanpa ragu, Ryuga mendorongnya dan masuk ke dalam.Pintu sudah terbuka sedikit. Tanpa ragu, Ryuga mendorongnya masuk.Pemandangan di dalam kamar membuat napasnya tercekat. Kursi terbalik. Meja bundar pecah sebagian, seperti terkena benturan keras. Tirai terlepas dari re
Jean menggendong Darren menuju kamarnya. Tubuh kecil itu bersandar lemah di dadanya, napasnya belum sepenuhnya teratur. Sementara itu, Charisa hanya mengikuti di belakang, tanpa sepatah kata pun. Raut wajahnya tegang—marah, kecewa, dan sangat terluka. Pandangannya tidak tertuju pada siapa pun. Wanita itu tampak seperti membangun tembok tinggi untuk melindungi hatinya yang hancur.Setelah menidurkan Darren, Jean berbalik dan melihat Charisa duduk di tepi ranjang, tubuhnya kaku, kedua tangannya mengepal di atas paha.“Charisa...” Jean memanggil pelan, lalu menunduk sedikit, menyentuh pundaknya. “Aku mohon, percayalah padaku. Aku akan menangkap pelakunya!”Charisa tak langsung menoleh. Bibirnya terbuka sedikit, gemetar, seolah sedang menahan sesuatu yang sulit diungkapkan.“Kalau penyebab Darren diculik adalah karena hubungan kita...” suaranya lirih, nyaris seperti bisikan yang dipaksa keluar. “Aku rasa jalan terbaik adalah—”“Tidak.” Jean memotong cepat, suara rendahnya mengandung ketega
“Papa!” teriak Darren, air matanya mulai menetes.“Darren!” Jean langsung berlari, tapi tiba-tiba seseorang datang menghadang dan langsung mengarahkan pistol ke kepala Jean.“Berhenti di situ!” Seorang pria berjenggot tebal dan berkepala botak menatap tajam ke arahnya.“Kalau kau menyentuh anakku, aku akan menghabisimu di tempat,” desis Jean, masih berdiri tegak tanpa ada rasa takut.Pria itu tertawa kecil. “Oh, aku tidak akan menyentuhnya sebelum bosku memerintahku,” jawabnya dengan tatapan meremehkan.“Bos? Siapa Bos mu yang berani mencari masalah denganku!” tantang Jean.“Memangnya aku bodoh Tuan. Aku tidak akan semudah itu menyebutkan siapa bosku,” jawabnya sambil tertawa.“Papa!” teriak Darren ketakutan.Jean mulai khawatir dengan Darren yang sudah mulai menggigil ketakutan. Seharusnya anak sekecil itu tidak mengalami hal buruk seperti ini.“Darren Sayang! Papa tahu kau anak yang hebat dan pemberani! Kau mau menuruti Papa kan?” tanya Jean berusaha mengatakan tanpa membuat anaknya
Mobil melaju seperti peluru menembus kepadatan jalanan Tokyo. Klakson bersahutan, lampu-lampu kendaraan lain menyorot tajam, namun Jean tak peduli. Tatapannya lurus ke depan, rahangnya mengeras, jemarinya mencengkram kemudi begitu kuat hingga buku jarinya memutih.“Berapa menit lagi?” tanya Charisa, suaranya serak dan nyaris tidak terdengar. Energinya sudah habis terkuras karena menangisi Darren.“Lima. Paling lama sepuluh,” sahut Jean singkat. Ia tak mau membuat janji yang tidak bisa ditepati. Namun hatinya berdegup lebih cepat dari mobil yang ia pacu. Kalau terjadi sesuatu pada Darren, dia tidak akan memberi ampun pada orang yang sudah menculik putranya meskipun dia harus melawan hukum sekalipun.Ponselnya bergetar. Jean menekan tombol speaker.“Tuan, saya sudah sampai di minimarket,” suara pria dari seberang—anak buahnya Ryuga.“Lihat sekeliling. Ada kamera? Ada jejak kendaraan?” Jean memastikan sekecil apapun untuk membantunya menemukan Darren.“Ya. Ada kamera CCTV di atas pintu ma
Langit sore sudah memudar, membawa serta bayangan hitam yang seolah menggantung di atas kepala Jean dan Charisa. Mobil mereka berhenti kasar di depan gerbang sekolah. Bahkan sebelum mesin mati sepenuhnya, Charisa sudah menerobos keluar, berlari masuk dengan napas tersengal, wajahnya pucat seperti kertas.“Apa yang terjadi? Di mana Darren?” teriak Charisa begitu melihat seorang guru keluar dari ruang guru.Guru itu terkejut melihat kedatangan Charisa yang panik. “Nyonya Charisa, kami sedang berusaha mencari di sekitar sekolah dengan beberapa petugas keamanan!”“Kenapa kalian membiarkan orang asing membawa Darren?” teriak Charisa sambil mengguncang lengan guru itu. Ibu siapa yang tidak panik mendengar berita anaknya yang tiba-tiba hilang.Jean menyusul dari belakang dan menenangkan Charisa yang mulai kehilangan kendali. “Tenang Charisa, kita akan segera menemukan dia!” Jean menahan tubuh Charisa dari belakang.Guru itu menarik napas panjang. “Kami sudah mencari di semua area sekolah. CC