Share

"100 Hari Menuju Kematian"

"Erwin, dia itu cantik. Apa kau tidak menyukainya?" Kataku pada Erwin. Saat ini ia sedang sibuk di meja kerjanya, menulis sesuatu entah apa itu. 

"Siapa?" 

"Perempuan tadi. Yang mereka bawakan padamu. Namanya Hagya. Dia sangat menyukaimu." 

"Kau yang paling cantik di antara mereka semua." 

"Bukan aku. Aku hanya punya penampilan yang paling berbeda. Bukan aku yang tercantik. Kau adalah seorang pangeran, akan selalu ada wanita lain dalam hidupmu."

"Nona, mungkin akan ada wanita lain dalam hidupku, tetapi di dalam hatiku hanya ada engkau." 

Aku memberikan senyum terpaksa padanya. 

****

Keesokan harinya, aku kembali ke Harem dengan disambut kemarahan Hagya. 

"Kau merebut pangeran dariku." Katanya. "Hagya, jika pangeran yang ingin ia masuk ke kamarnya, maka itu bukan salahnya Anna." Kata Bella membelaku. 

"Terima kasih, Bella." 

Malam demi malam terus begitu. Erwin menolak semua gadis yang dikirimkan padanya. Aku tahu dengan jelas Erwin bukan sekedar tidak menyukai mereka, ia membenci mereka. Ia tampaknya membenci kehidupan di istana ini, sama sepertiku. Raja-raja sebelumnya sangat mudah dipengaruhi oleh selir-selir mereka. Erwin tidak mau jadi seperti itu.

"Tidak semua dari mereka mendekatimu karena ingin punya kuasa, Erwin. Beberapa dari mereka jatuh cinta dengan tulus padamu." Kataku.

Erwin tersenyum remeh.

"Andaikan aku bisa melepas mahkotaku dan hanya menjadi komandan pasukan, aku akan melakukannya. Itu jauh lebih baik daripada dikelililingi orang-orang munafik di sini. Kau satu-satunya yang berbeda, nona. Berjanjilah padaku kau tidak akan jadi seperti mereka. Kau tidak akan mengkhianatiku dan tidak akan menyembunyikan apapun dariku." 

"Aku berjanji, Erwin." 

"Satu lagi, Aku tidak ingin punya keturunan, nona. Aku tidak mau membawa satu anak manusia tidak berdosa untuk hidup sengsara di istana ini, tetapi mereka tetap mengirimkan wanita ke kamarmu. Terlebih lagi, jika aku punya anak, anakku akan dibesarkan oleh ibu-ibu yang gila harta. Hufff, tidak ada masa depan yang indah di istana ini. Andai kita bisa melarikan diri. Setidaknya, aku punya dirimu, kebahagiaanku satu-satunya di sini. Aku mungkin akan ingin punya anak jika kita sudah hidup bahagia di luar istana. Aku tidak melihat ada masa depan yang baik di Istana ini."

****

Erwin telah menolak hampir semua selir yang dikirimkan padanya. Dan hanya menerima diriku. Aku tahu bahwa para gadis selir itu jadi tidak suka padaku. Apa boleh buat. Erwin bahkan memberikanku kamar lain, kamar yang lebih besar dan mewah. Dan itu mengundang rasa cemburu mereka lebih-lebih lagi.

"Aku rasa dia mandul. Sudah berbulan-bulan ia menemani pangeran, tetapi ia tak kunjung hamil." Kata mereka ketika bergosip tentangku. 

Andai mereka tahu, bahkan Erwin belum pernah tidur denganku. Dan Erwin juga tidak ingin punya anak. 

Kemudian, di suatu siang hari yang membosankan, Permaisuri Tiana memanggilku ke kamarnya. Apa yang dia mau dariku? Erwin sedang dalam misi yang jauh, jika aku disakiti lagi, tidak ada yang akan melindungiku. Namun, kenyataannya tidak seperti yang aku takutkan. 

"Nona, kau sudah tidak punya wajah murung itu. Aku tahu dia memanjankanmu. Bagaimana? Kau suka menjadi selir kesayangan?" Katanya Permaisuri Tiana dengan ramah. 

"Ini semua karena kemurahan hatinya Erwin." 

"Lihat, kau kira siapa dirimu? Mengapa kau memanggil nama depannya saja? Tidak dengan gelarnya?" 

"Maafkan sikap lancangku, permaisuri." 

Ia duduk di kursi yang ada di dekat meja kerjanya. 

"Mendekatklah." 

Aku berdiri tepat di hadapannya. 

"Kau tahu esensi dari harem, nona?" 

"Untuk melestarikan keturunan keluarga kerajaan. Dan memastikan bahwa keluarga Harlow punya penerus tahta." 

"Kau benar. Dan sebagai kepala harem sudah tugasku untuk membuat harem kita ini bekerja dengan baik. Sayangnya, keluarga kerajaan saat ini diambang kepunahan. Salah satu putraku mati di medan perang, putraku yang lain gila. Sang raja sendiri tak bisa lagi memberikan keturunan. Kakak sang raja juga sudah dihapus dari garis pewarisan. Yang tersisa adalah pangeran kedua, yang menurutku selamat karena keberuntungan, sebab jika putra sulungku masih hidup, ia tak akan punya kesempatan naik tahta." 

"Erwin? Maksudku Pangeran Erwin." 

"Iya. Dan Erwin yang bodoh tampaknya lebih suka mempertaruhkan nyawanya sebagai komandan pasukan daripada hidup diam dan aman di istana. Tiap malam kami semua selalu was-was, berdoa agar ia pulang dengan selamat. Jika ia gugur, hancurlah sudah dinasti ini." 

"Mengapa permaisuri menceritakan ini padaku?" 

"Aku benci mengatakan ini, tetapi aku harus mengatakannya juga. Aku butuh bantuanmu, nona. Ia menolak semua gadis yang aku kirimkan padanya. Ia hanya menerimamu. Kau harus hamil, segera. Dan jika kau hamil lalu melahirkan bayi laki-laki, bayimu akan menjadi pewaris tahta dan kau akan menjadi permaisuri, menggantikan diriku. Goda ia. Lakukan semua yang kau bisa. Ini adalah misi yang aku berikan untukmu. Lakukan apa pun yang kau bisa, buat dirimu hamil anaknya." 

Aku menarik napas panjang. Dalam hati aku berkata : "Oh sial, Erwin kan memang sengaja tidak ingin punya anak." 

Aku menggelengkan kepala. 

"Maafkan aku. Kami sudah lama bersama, tetapi aku mungkin kurang subur. Itulah sebabnya aku tak kunjung hamil."

 Permaisuri Tiana tersenyum. Kemudian, ia mengeluarkan sebuah botol berisi cairan berwarna merah dari laci meja kerjanya. "Aku sudah menyiapkan semuanya." Katanya. Kemudian, ia berdiri. Diletakkannya botol ini ke dalam telapak tangannya. 

 "Apa itu? Obat penambah kesuburan?" Tanyaku. 

Ia tidak menjawab. Ia bahkan tidak menatapku. Ia menatap pelayan-pelayannya. Kemudian, ia memberikan semacam lambaian tangan pada pelayannya yang ternyata adalah aba-aba. Para pelayan itu kemudian mengepungku. Mereka kemudian memegangi tangan dan kakiku hingga aku tak bisa bergerak. Belasan pelayan lawan satu, aku kalah tenaga. Sekuat apapun aku memberontak aku tak bisa lepas. 

"Kali ini apa kesalahan yang aku lakukan, permaisuri?" Tanyaku. 

Permaisuri Tiana dibantu seorang pelayan kemudian dengan paksa membuka mulutku dan menumpahkan semua isi cairan merah yang ada di dalam botol itu ke dalam mulutku. Setelah itu, mereka mencekokiku dengan air putih yang sangat banyak. "Dengan begini, semua racun itu sudah masuk ke dalam tubuhmu." Katanya. "Racun? Demi tuhan apa salahku? Apa yang kalian lakukan padaku?" Tanyaku. 

Ia tersenyum sinis. 

"Nona, kau belum hamil sebab kau tidak punya saingan di sini. Entah ia yang terlalu setia atau kau yang terlalu menyihirnya, aku tidak tahu. Sainganmu sekarang adalah kematian." 

"Aku tidak mengerti." 

"Dengar, racun yang kau minum diberi nama "100 hari menuju kematian. Sesuai namanya, racun itu butuh 100 hari untuk membunuhmu. Cairan penawarnya hanya satu di muka bumi, aku yang menyimpannya. Sekali pun kau tahu cara membuat penawar racun ini, butuh waktu bertahun-tahun untuk membuatnya. Sebelum 100 hari, nona, aku akan memberikanmu penawarnya hanya jika kau berhasil hamil. Jika kau tidak hamil, yah kau akan mati karena racun itu. Racun itu akan membuat seluruh organ tubuhmu membengkak dan meledak. Lalu, kau akan mati dengan darahmu membanjiri seluruh tubuhku. Dan kau tidak boleh memberitahu Erwin tentang ini. Jika ia tahu, aku bersumpah akan membuang penawar racun itu. Aku menyimpannya dalam sebuah botol kaca yang tipis. Dengan mudah bisa hancur jika terjatuh sedikit saja. Jika Erwin tahu, aku memastikan bahwa kau tidak akan mendapatkan penawarnya. Aku mempertaruhkan hidupku sendiri untuk ini semua."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status