"Apa salahku? Apa yang kau inginkan dariku?" Tanyaku padanya.
Pria ini... Benarkah ia kakak yang mulia Raja Darril? Ia lebih menyerupai salah satu anaknya. Ia kelihatan jauh lebih muda dari sang raja, dan nampak seusia Erwin sendiri. Rambutnya jabrik dan acak-acakan. Sorot matanya tajam dan mengintimidasi. Aku merasa ada yang berbeda darinya.
Tiba-tiba, ia memegang dahiku seperti seorang tabib yang mengecek demam. Kemudian, ia tampak kaget. Dilepaskannya tubuhku dari kunciannya.
"Nona... Bukankah seorang gadis harem tidak boleh berjalan sendirian malam-malam begini?" Tanyanya.
"Maafkan aku, tuan. Aku hendak kembali ke harem sebelum kau mendorong tubuhku ke dinding. Apa aku ada salah padamu?" "Tidak... Aku... Maaf... Aku hanya sedang kelelahan. Selamat malam, nona." Katanya.
"Selamat malam. Sampai jumpa."
"Sampai jumpa."
Kemudian, aku kembali ke harem. Bagiku, anggota keluarga kerajaan ini sungguh aneh. Namun, aku belum melihat yang paling aneh di antara mereka semua : sang pangeran ketiga, adiknya Erwin sendiri. Pangeran Ragnar yang konon katanya masih meminum susu ibunya walaupun ia sudah sesuai denganku.
Malam berikutnya, aku di kamar Erwin, aku segera memberitahu Erwin perihal racun yang diminumkan Permaisuri Tiana secara paksa padaku. Dan tentang misi "memperoleh keturunan" itu. Segera setelah mendengar penjelasanku, Erwin keluar dari kamarnya dan menuju ke kamar Permaisuri Tiana. Aku berjalan di belakangnya.
Setelah sampai, Erwin menyuruh semua pelayan keluar. Setelah itu, ia meminta penawar racun itu pada Permaisuri Tiana, tetapi sang permaisuri mengelak. "Pangeran, ia berbohong. Aku tidak pernah meminumkan racun padanya. Semua yang ia katakan mungkin hanya untuk menjebakkku. Bagaimana bisa kau mempercayai gadis yang baru tiga bulan berada di harem itu? Tidak. Aku sama sekali tidak terlibat pada kejahatan apapun." Katanya membela diri.
"Erwin... Aku bersumpah aku tidak berbohong. Dia benar-benar meminumkan racun itu secara paksa padaku." Kataku yang berdiri di belakang Erwin.
"Aku ini Permaisuri utama, kau kira siapa dirimu bisa menuduhku tanpa bukti seperti itu?"
"Dia tak butuh bukti apapun untuk memenangkan kepercyaanku, permaisuri." Kata Erwin membelaku.
Permaisuri Tiana diam.
"Tapi jika kau tidak puas, mari kita minta tabib istana memeriksanya." Kata Erwin.
****
Tabib istana yang memeriksaku adalah tabib yang sama yang membantu kelahiran Erwin dahulu. Ia setia pada Erwin.
"Rasanya baru kemarin Nona Ghia melahirkan." Katanya sembari menyiapkan peralatan pemeriksaan.
Aku berbaring di ranjang kamarku.
Erwin dan Permaisuri Tiana juga ada di sini. "Nona Ghia?" Tanyaku.
"Mendiang ibu pangeran Erwin. Itu adalah kelahiran yang sulit. Nona Ghia sakit-sakitan setelah itu. Ia akhirnya meninggal saat pangeran berusia 2 tahun. Pangeranku yang malang. Kalau kau hamil, tolong pilih aku untuk membantumu melahirkan."
Aku mengangguk.
Kemudian, ia mengambil air liurku. Ia juga menggores sedikit jariku dan diambilnya beberapa tetes darah. Lalu, cairan-cairan ditetesinya sesuatu.
"Bagaimana hasilnya?" Tanya Erwin. "Memang benar ia diracuni, pangeran. Racun yang membunuh peminumnya dalam 100 hari, tetapi ini ajaib... Maksudku, aneh. Kadar racun dalam tubuhnya semakin menurun. Lihat, gumpalan putih di darahnya semakin mengecil. Ia tak butuh penawar racun lagi. Ini... aku tak pernah melihat yang seperti ini."
"Lihat, Erwin. Aku bukan pembohong." Kataku.
"Bagaimana keadaannya? Bagaimana agar ia sembuh?" Tanya Erwin dengan nada khawatir.
"Ia hanya butuh sedikit obat-obatan biasa dan istirahat, pangeran."
"Baik, bawa ia ke kamarku. Mulai sekarang, ia tinggal bersamaku."
Setelah itu, aku meninggalkan kamar lamaku di harem dan tinggal bersama Erwin di kamarnya. Ini melanggar peraturan sebenarnya, tetapi Erwin nampaknya tak peduli. Aku tak pernah tahu bagaimana nasib Permaisuri Tiana setelah ketahuan meracuni selir kesayangan Erwin ini. Hingga dua minggu kemudian, aku baru tahu. Bella memberitahuku saat ia mengantar makanan pada kami.
"Kau tahu? Pangeran membentaknya habis-habisan. Ia diasingkan selama setengah tahun."
"Diasingkan? Ke mana?"
"Ke istana lama."
Setelah dinyatakan sembuh total, aku dan Erwin merayakannya dengan jalan-jalan keluar istana. Erwin menaiki kuda putihnya, sedangkan aku naik tandu, tetapi itu tak lama sebab kami memutuskan untuk berjalan kaki. Aku melepas alas kakiku dan berjalan di atas rumput yang rumput basah, bergandengan tangan dengan Erwin. Suasana perbukitan, pohon apel, dan ladang bunga matahari nampak indah.
Erwin memakai penutup kepala untuk menutupi rambutnya. Rambut pirang Erwin cukup untuk membuatnya dikenali sebagai anggota keluarga kerajaan. Kemudian, di belakang bukti, kami sampai di sebuah danau yang berair sangat bening hingga batu-batuan di bawahnya nampak. "Bolehkah aku mandi di sini?" Tanyaku. "Boleh, nona."
Aku melepas semua pakaianku dan meletakkannya di dekat sebuah pohon. Aku masuk ke dalam danau dalam keadaan tak berpakaian sedikitpun. Erwin hanya duduk di bawah pohon sembari memandangiku.
Kau mau diam saja memandangiku seperti itu, Erwin? Kemarilah. Airnya sangat sejuk." Kataku.
Erwin dia saja.
Matanya masih menatapku. Wajahnya memerah.
"Erwin?" Kataku.
"Nona... Aku... Ano, aku rasa tadi aku melihat kedai makanan di sekitar sini. Aku akan membelikanmu makanan. Kau belum makan siang kan?" Tanyanya.
"Baiklah."
Erwin pun berlalu pergi. Sementara itu, aku berenang lebih ke tengah, menikmati air danau yang dingin. Tiba-tiba, arus deras datang. Aku mati-matian mempertahankan keseimbangan agar tidak tenggelam. Saat aku berada di bawah air, aku melihat sebuah sosok mendekat ke arahku. Sosok itu berenang semakin dekat dan dekat. Kemudian, ketika jarak kami sudah cukup dekat, aku bisa melihat siapa ia. Mata satu. Rambut pirang jabrik. Itu adalah Grigori !
Aku segera naik ke permukaan dan berenang ke tepi danau yang lebih dangkal. Dengan tergesa-gesa, aku keluar dari danau. Dalam keadaan telanjang bulat, aku mencari pakaianku. Dan pakaianku lenyap begitu saja. Sial. Dengan apa aku akan kembali?
"Kau mencari ini?" Kata seseorang yang segera membuatku menoleh ke arahnya. Muncul sekitar 7 atau 8 orang pemuda yang tampaknya adalah penduduk sekitar. Salah satu dari mereka memegang pakaianku. Aku berusaha menutupi tubuhku sebisanya dengan tangan.
"Kembalikan pakaianku..." Kataku.
"Silakan ambil sendiri." Katanya.
Ia kemudian melemparkan pakaianku ke arah danau. Pakaianku terbawa arus.
Mata mereka menjadi sangat jahat. Mereka tersenyum cekikian. Dan aku tahu bahwa mereka hendak berniat buruk padaku.
"Dengar, apapun yang kau pikirkan, jangan lakukan itu. Tolong, pergilah dari sini." Kataku sembari berjalan mundur.
"Kau pernah bersenang-senang dengan 8 pria sekaligus?" Kata salah satu dari mereka.
Erwin... Di mana kau?
Selamatkan aku.
"Aku kira apa tadi merah-merah di tengah danau. Ternyata bidadari yang jatuh dari surga. Apakah kau masih suci? Bolehkah aku merasakan surga dunia darimu?" Kata salah satu dari mereka. "Jangan mendekat. Aku adalah selir kesayangan Pangeran Erwin. Jika kalian berani menyentuhku, Pangeran akan menghukum kalian. Tapi jika kalian membiarkanku pergi, aku akan membujuk Pangeran untuk memberikan kalian hadiah." Kataku berusaha membela diri. "Hadiah apa yang lebih indah dari merasakan surga duniawi bersama selir kesayangan Pangeran angkuh itu. Menyentuhmu adalah cara terbaik untuk menghina dirinya." Saat mereka mendekatiku, aku berusaha melawan. Aku memukul mereka sekuat yang aku bisa. Namun, mereka juga memukulku balik hingga aku jatuh tak berdaya di rerumputan. Aku menjerit dan meronta-ronta. Berusaha sekuat tenaga mengatupkan kedua pahaku. Namun, mereka berhasil membukanya. Kemudian, mereka menamparku dengan sangat keras hingga pandanganku kabur. Kepalaku sakit luar biasa Aku tak berda
Tanah bergetar. Gempa kecil terjadi. Di hadapan kami, ada sebuah batu raksasa yang besarnya hampir menyerupai sebuah bukti. Batu itu ternyata bukan batu, tetapi naga yang tertidur dengan menelungkupkan sayap-sayap besarnya. Dan kini naga itu bangun dan berjalan ke arah kami."Kau takut, nona?" Tanya Erwin.Aku terdiam selama beberapa saat. Terbelalak melihat naga itu."Itu naga yang paling besar yang pernah aku lihat." Kataku pada Erwin setelah pulih dari ras kaget."Tunggu, kau pernah melihat naga sebelumnya?""Rasanya pernah. Mungkin dari buku-buku cerita.""Baguslah."Naga Frenya itu berwarna hitam legam sempurna. Tampak sangat menakutkan seperti monster dari neraka. Gigi taringnya berukuran setinggi badanku. Lehernya panjang sekali. Tampak seperti kadal dengan sayap.Ketika naga itu sudah dekat dengan kami, Erwin berjalan ke arahnya. Ia membelai kepala naga itu. Dan naga itu jinak seperti anak kucing.Si terdakwa hukuman mati di bawa ke hadapan naga itu. Semua orang mundur jauh ke
Saat ia hendak mengarahkan busur panah ke arahku, Naga Frenya memekik dengan sangat keras, membuat perhatiannya bubar. Lalu, kejadian yang tak pernah akan kami duga terjadi. Naga Frenya menyemburkan apinya ke arah sang raja. Beberapa putri di dekat sang raja juga terkena api itu. Bahkan, Erwin pun nampak kaget. Sang raja berguling-guling ke arah rumput untuk memadamkan api di tubuhnya.Erwin kembali menenangkan Frenya. Beberapa prajurit membantu memadamkan api yang membakar tubuh sang raja."Nona, ayo pergi dari sini." Kata Erwin.Ia membopongku. Dan dengan cepat, kami menaiki Flynn untuk sampai ke istana. Aku melihat Naga Frenya kembali ke posisi tidurnya. Telungkup menjadi batu.Setelah sampai di istana, Erwin membopongku menuju kamarnya. Kemudian, ia memanggil tabib. Saat tabib melepas rok yang aku kenakan, paha dalamku sudah merah karena darah. Erwin sampai memalingkan wajahnya. "Kau biasa menusuk dada musuhmu dengan pedang. Dan sekarang berpaling melihat darah di pahaku?""Sebab
"Kata-katamu itu bisa menjadi skandal, tuan. Kau tidak seharusnya mengatakan itu." Kataku."Maafkan aku, nona. Tapi begitulah kenyataannya. Aku tertarik padamu. Aku belum sepenuhnya melupakanmu. Dan kau tahu? Tak pernah kusangka Pangeran Erwin yang kukenal tak berhati, yang dengan entengnya mengorbankan banyak nyawa prajurit dan warga sipil demi menyelesaikan misi, bisa diperbudak oleh kecantikan wajahmu. Oh tidak, maksudku... Erwin diperbudak oleh naluri lelakinya. Naluri untuk mengawini perempuan yang ia anggap cantik telah menguasai jiwanya, sampai-sampai ia rela menerimamu walau kau sudah dinikmati lelaki-lelaki lain. Dia tidak sungguh-sungguh mencintaimu, nona. Dia hanya menjadikanmu budak pemuas nafsunya. Jika ia telah bosan menidurimu, aku akan menjadikanmu wanitaku. Tidak apa-apa, aku sudah biasa mendapatkan barang bekas di istana ini."Aku rasa semua ia berbohong. Ia tak tertarik padaku. Lewat sorot matanya, aku cukup yakin bahwa ia membenciku, walaupun aku tak tahu alasan me
"Kau punya tubuh yang indah." Kata Erwin pendek sebelum ia menarik selimut dan menutup mata."Lelaki memang makhluk yang aneh." Kataku.***Kata orang, saat kau tidur dalam kondisi demam, kau bisa memimpikan hal-hal aneh. Itu terjadi pula padaku. Mimpiku aneh sekali, tetapi indah dan amat nyata. Dan saat aku bermimpi itu, aku sadar bahwa aku sedang bermimpi. Alam mimpiku amat indah dan ajaib. Aku berada di sebuah padang rumput yang sangat luas, dengan sinar mentari yang hangat. Di tengah padang rumput itu, ada pohon besar yang daunnya bisa berubah menjadi burung-burung bersayap biru.Untuk bangun dari mimpi itu, aku mencoba mencubit lenganku. Namun, aku tetap berada di alam mimpi, tak terbangun sama sekali."Biasanya cubitan selalu berhasil. Ya sudah, aku rasa aku akan tamasya di alam mimpi ini." Pikirku.Aku pun menjelajahi alam mimpi. Dan banyak sekali kutemukan keanehan.Pertama, semua orang di sini berambut merah dan bermata ungu, seperti diriku.Kedua, orang-orang mewarnai mawar
Aku kembali ke kamar Erwin dalam keadaan kesal. Erwin belum juga kembali. Kepalaku kembali pusing dan sakit, bahkan lebih sakit dari yang sebelumnya. Aku mencoba menghilangkannya dengan tidur siang. Bahkan dalam tidur siangku, aku kembali ke alam mimpi. Sebagaimana sebelumnya, aku sadar bahwa aku sedang bermimpi. Dan aku tak bisa keluar dari alam mimpi itu dengan mencubit diriku sendiri. Aku tak bisa keluar dari alam mimpi dan terbangun dari tidurku semauku. Hargan, nama tempat di alam mimpiku, yang indah dan surgawi. Andai aku bisa mengajak Erwin ke sini. Aku terbangun di sore hari dengan tubuh yang berkeringat dingin. Aku melihat Erwin sedang duduk di kursi meja kerjanya."Kau mau makan malam?" Tanya Erwin ketika ia sadar aku bangun. Aku beranjak dari tempat tidur dan duduk di pangkuan Erwin."Apa kau akan menikahi Nona Arista?"Erwin memalingkan wajahnya."Aku tidak ingin, nona, tetapi mungkin itu akan terjadi. Grigori tadi membahas tentang itu.""Tadi aku bertengkar dengannya."Er
Sebagaimana tiap penyamaran yang ia lakukan, Erwin memakai mantel untuk menutupi rambut pirangnya. Aku mengenakan kerudung yang terhampar hingga ke bawah mataku. Akan jadi masalah jika mereka mengetahui aku punya mata berwarna ungu. Erwin dan aku mengunjungi sebuah kedai kopi dan memesan dua gelas kopi untuk kami berdua. Dan dengan basa-basi, ia mulai berbincang dengan para pengunjung kedai. Lalu, ia mulai mengarahkan perbicangan itu ke arah topik kematian sang raja."Syukurlah raja itu mati." Kata seorang tua yang duduk di hadapan kami. "Mari kita semua jujur, kita tersiksa saat ia menjadi raja." "Itu benar. Pangeran Erwin memang sombong, tetapi setidaknya ia berguna di medan perang. Yah, walaupun memerintah kerajaan itu sangat jauh berbeda daripada memenangkan perang. Klan Harlow juga sudah tidak bisa mengandalkan naga mereka lagi. Pasti akan terjadi pemberontakan yang lebih banyak." Aku tersenyum kecil mendengar mereka membicarakan hal baik tentang Erwin. "Erwin akan jadi raja y
"Melihat lelaki yang aku cintai mencium bibir perempuan adalah siksaan bagi mataku, madam." Kataku pada Madam Alisya saat ia bertanya mengapa aku memalingkan wajah. "Lihat, nona. Aku mohon, lihatlah." Katanya.Pelan-pelan, aku menoleh ke arah Erwin dan Nona Arista. Erwin tidak mencium bibirnya ! Ia mencium tangannya. Itu bukti kesetiaan yang berlebihan, tetapi aku sangat suka.Setelah itu, Erwin menoleh ke arahku dan tersenyum. Aku tersenyum balik. Bahkan ketika saat itu adalah upacara pernikahan Erwin dan Nona Arista, Erwin tetap mengingat diriku. Nona Arista pasti kesal setengah mati, sebab di upacara pernikahanku yang dilangsungkan tepat setelah upacara pernikahannya selesai, Erwin mencium bibirku. "Kau boleh mencium pengantin wanitamu."Dan Erwin segera mencium bibirku dengan mesra. Orang-orang banyak yang tidak bertepuk tangan, tapi aku tidak peduli. Terserah mereka mau tepuk tangan atau tidak.Setelah selesai upacara pernikahan kami berdua, malam itu juga, Erwin dimahkotai. Pe