"Lahirkan anak untukku!" ucapnya dengan datar nan dingin. Pemuda dengan pahatan yang tampak sempurna itu menyodorkan uang merah pada perempuan di depannya.
"Apa Pak? Melahirkan?" Terdapat rona keheranan dari seorang wanita berjilbab tersebut."Maaf, Pak. Saya hanya ingin pinjam uang 200 juta untuk pengobatan ibu saya. Bukan berarti saya ingin mengorbankan keperawanan saya!" Perempuan bernama lengkap Kinara Ariana menggeleng pelan, dia menatap heran sang atasan.Kinara yang terjebak dalam masalah ekonomi membuat dia bertekad menemui sang atasan. Bukan karena apa-apa, tapi saat ini sang ibu tengah terbaring di atas kasur. Dengan rasa sakit yang dia derita membuatnya harus segera ditangani.Dokter menyarankan untuk melakukan operasi sang ibu, namun tentu ada administrasi untuk semuanya. Dan hal yang paling Kinara menyerah adalah masalah uang. Dia tidak mempunyai simpanan banyak untuk operasi Ibunya."Anggap saja ini sebuah tawaran. Saya akan memberimu uang lebih dari 200 juta kalau kau mau melahirkan anak untukku!" ucap pria tersebut tetap kukuh. Dia menatap dingin perempuan di depannya."Jika tidak, maka pintu di sana terbuka untuk kau---""Maaf, Pak. Bukannya saya enggak sopan, tapi, Bapak kan tajir, kaya raya, tampan bahkan terbilang sempurna. Tapi, apa untuk melahirkan seorang anak harus melakukan cara seperti ini? Maksud saya, Bapak kan bisa memilih wanita yang mungkin lebih cantik, seksi dan kaya dari saya. Dengan begitu, keturunan Bapak tidak akan jauh seperti itu.""Jadi, kamu menolaknya?" tanya Aarav dengan muka paling tidak mengerti Kinara. Dia menampilkan raut dingin tanpa ekspresi."Saya tidak suka basa-basi. Jadi, saya akan memberimu waktu 5 menit untuk kau berpikir," ucap Aarav. "Saya akan memberimu 500 juta jika kau bersedia melahirkan anak untuk saya. Tidak hanya itu, uang akan saya tambahkan bila mana anak itu benar-benar lahir dari rahimmu!"Kinara semakin dibuat melongo. Tidak percaya akan semua ini. 500 juta? Dilebihkan lagi?Kinara benar-benar bimbang. Antara menerima atau menolak. Jika dirinya menerima itu berarti keimanannya pula sedang diperjual belikan. Siapa yang mau melahirkan anak tanpa status pernikahan? Dan jika pun menolak, bagaimana dengan Ibu di sana yang tengah berjuang untuk tetap hidup?Bagaimana ini? Apa yang harus Kinara lakukan?'Ya Allah ... apa yang harus aku lakukan?' tanya Kinara dalam hatinya. Dia meremas jari-jemarinya dengan resah.Tidak!Kinara memejamkan matanya. Keimanan seseorang tidak bisa digantikan dengan apapun. Seberat apapun hidup, seorang muslim tidak seharusnya mengorbankan keimanannya ber-hanyakan uang."Jadi, apa pilihan mu?" tanya Aarav setelah lama dia memberikan waktu Kinara untuk berpikir."Saya--saya---"Derrtt DerrtttSuara dering ponsel terdengar. Membuat ucapan Kinara terkatup. Dia merogoh saku gamisnya kala getaran itu semakin terasa bergetar.Lusi.Ah, adiknya."Maaf, Pak. Saya izin waktu sebentar," ucap Kinara."Apa saya memberimu izin? Di sini, kau seharusnya memiliki etika ketika berbicara dengan atasan!" Ucapan dingin nan datar itu membuat nyali Kinara semakin menciut. Membuat dirinya yang hendak beranjak terurung sudah."Angkat!" Satu kata Aarav membuat Kinara dengan gemetar menekan ikon hijau. Dia menatap terlebih dahulu Aarav yang juga menatapnya tanpa ekspresi."Assalamu'alaikum? Kak? Kakak di mana? Kondisi ibu semakin memburuk kak ...." Di sebrang sana suara tangisan terdengar. "Dia dari tadi nyebut nama Kakak terus."Hati Kinara terasa menciut, tidak terasa air matanya tiba-tiba jatuh begitu saja. Dia menatap Aarav sang atasan. Berharap dia mau memberikan pinjaman uang tanpa harus mengorbankan hal lain. Namun sama saja, Aarav hanya menampilkan raut cueknya tanpa ekspresi."Kakak cepat ke mari.... ""Iya, Dek. Sekarang Kakak ke sana. Kamu temenin dulu Ibu ya, Lus? Jangan sampai tinggalin Ibu. Sekarang kakak ke sana!" Tanpa menunggu lagi Kinara dengan cepat mematikan sambungan telfonnya. Rasa khawatir akan kondisi ibunya benar-benar membuatnya takut.Dengan derai air mata yang sudah jatuh Kinara menatap Aarav dengan resah."Saya menerimanya, Pak! Tapi tolong, tolong beri saya pinjaman uang. Saya mohon Pak. Hanya untuk hari ini saja, saya mohon Pak ...."Pada akhirnya Kinara menyerah, dia memohon dengan menautkan kedua tangannya di dada."Saya akan melahirkan anak untuk Bapak. Tapi saya mohon untuk Bapak kasih pinjam saya uang sekarang juga," ucapnya kembali dengan menunduk. Kemudian pelan kepala Kinara terangkat, dia menatap Aarav yang tidak ada di depannya."Ikuti saya!" ucap Aarav yang sudah berada di ambang pintu. Tanpa menoleh dia pergi dengan wajah khasnya. Tanpa ekspresi!Kinara mengusap pipinya yang basah. Tidak ada waktu lain, dia harus segera menemui sang Ibu sebelum semuanya terlambat.Kinara berlari menyusul Aarav yang sudah naik ke dalam mobil. Dengan segera dia juga ikut masuk ke dalamnya. Namun sebelum benar-benar masuk ..."Saya bukan sopirmu! Jadi duduk di depan!" perintahnya dingin.Kinara menurut, dengan segera dia berpindah duduk menjadi di depan. Belum sempat memakai pengaman, mobil itu sudah melesat cepat membelah jalan.**"Di mana Ibu?" tanya Kinara selepas dia bertemu Lusi. Sedari tadi Kinara menangis akan kondisi ibunya. Rasa takut semakin menjadi-jadi."I--ibu ada di dalam," ucap Lusi terbata-bata. Hidung merah, mata bengkak, terbukti sudah bahwa Lusi pun sedari tadi menangis."Bu?!"Kinara langsung menyerobot masuk. Menatap sang Ibu yang kini dipenuhi dengan alat-alat rumah sakit."Ibu ...." Kinara menangis, mendekap Ibunya dengan linangan air mata. Tangisnya tidak bisa dicegah, dia menangis dengan terisak."Ibu, ibu bakal sehat kok. Ya, ibu bakal sehat. Ini Kinar Bu ... Kinar di sini ...." Bibir Kinara bergetar, dia semakin memeluk Ibunya dengan rasa takut. Setelah Ayahnya pergi, Kinara tidak ingin ibunya juga cepat pergi begitu saja."Kinar ...?" Suara parau nan lemah itu terdengar, membuat Kinara semakin tidak bisa menahan tangisnya."Sekarang Ibu bakal di operasi. Ibu bakal sehat lagi. Kinar yakin bahwa Allah pasti bakal bantu kita Ibu," ucap Kinara mencium seluruh wajah Ibunya."Kinar, lihat Ibu," ucap Runi—ibunya Kinara."Kinar enggak perlu melakukan hal ini demi Ibu. Ibu tau, biaya operasi ibu enggak cukup satu atau dua juta. Butuh biaya banyak untuk operasi ibu ini ... untuk itu, Ibu tidak apa-apa jika memang harus pergi. Ibu udah ikhlas---""Enggak Ibu! Enggak. Kinara enggak mau kehilangan Ibu. Udah cukup Ayah ninggalin Kinar, sekarang Kinar enggak mau kehilangan Ibu juga. Lagipula, Kinar ada biaya kok buat Ibu operasi. Kinar dapat uangnya Bu ... dengan begitu Ibu bakal sehat lagi." Kinara menghapus air matanya, dia juga menghapus air mata Runi dengan pelan."Kinar ... ada satu hal yang sangat Ibu inginkan. Apa kamu, bisa memenuhi keinginan Ibu?" tanya Runi dengan tatapan sayu.Dengan segera Kinara mengangguk. "Apapun Ibu. Apa yang Ibu mau, Kinar akan mengabulkannya," ucap Kinara dengan mengeratkan genggaman tangan pada sang Ibu.Tangisnya yang tidak bisa berhenti semakin menangis kala sang Ibu berucap ..."Ibu ingin, Kinar menikah .... "Bola mata Kinara melebar sudah."Ibu ingin lihat Kinar menikah dengan lelaki pilihan Allah ... Kinar, keinginan satu-satunya Ibu adalah ingin melihat kamu menikah. Setiap doa yang Ibu panjatkan, setiap ingin yang selalu Ibu harapkan. Hanya itu yang Ibu inginkan. Apa Kinar, mau mengabulkan keinginan Ibu untuk yang terakhir kalinya?"Kinara mengigit bibir bawahnya. Tidak tahan dengan semua ini.Bukan, bukan karena tidak mampu dirinya untuk menikah. Tapi, sejauh ini tidak ada yang mau menikah dengan dirinya. Tidak ada lelaki yang mau menerima dirinya dengan sepenuh hati. Hingga sejauh ini, Kinara bukannya tidak ingin menikah, hanya saja ... semua lelaki justru menolaknya sebelum dirinya yang datang meminta untuk dinikahi."Kinar ...," ucap Runi dengan pelan. Dia menghela nafas panjang. Merasakan rasa sesak di paru-parunya.Kinara menunduk,bingung juga apa yang harus ia katakan. Untuk membiayai ibunya sendiri pun Kinara harus merelakan kesuciannya? Jika begitu, bagaimana Kinara akan menemukan cinta sejatinya?"Bu, Kinar-- Kinar---""Kinara akan menikah dengan saya Tante! "Mata Kinara yang semula memejam langsung terbuka lebar. Dia terdiam bagaikan patung."Perkenalkan, nama saya Aarav, calon suami Kinara." Dengan pelan Aarav menyalami Runi. Mencium punggung tangan wanita berkepala empat itu. "Kamu? Calon suami Kinar?" tanya Runi dengan tatapan tidak percaya. Lirikan matanya beralih menatap Kinara yang termenung dengan melamun. "Kamu sudah punya calon, Kinar? Tapi, kenapa kamu enggak kasih tau Ibu?" Tatapan Runi mengarah pada Kinara yang menatap Aarav. Dia masih tercengang atas ungkapan Aarav padanya. Apa maksudnya? Menikahinya? "Kinar, Kinar berani nyembunyiin masalah ini dari Ibu? Kamu bilang gak ada yang mau sama kamu. Tapi ini apa? Bahkan ini lebih dari sempurna Kinar. Ya Allah ...." Terdapat raut senang dari wajah Runi kala menatap Aarav. Tidak senang bagaimana? Wajah Aarav yang putih berseri begitu memenuhi wajahnya. Alisnya tebal, hidung mancung, kulit putih. Tidak lupa, bibir yang manis saat tadi dia tersenyum membuat Runi yakin bahwa Aarav pria yang telah Allah pilihkan untuk putrinya ini. "Bu, i--ini bukan---""Saya akan
Kinara meluruhkan segala asa yang ada. Menangis sejadi-jadinya tatkala menatap sang Ibu yang sudah tidak bernyawa lagi. Termasuk Lusi yang sekarang ikut menangis histeris. Semua yang melihat ikut memprihatin, mendoakan yang terbaik untuk Runi agar diterima di sisi-Nya. Hingga menit berikutnya jenazah Runi langsung dipulangkan dengan segera. Selang beberapa jam kemudian. "Ini salah Kakak! Kalau saja kakak menjaga Ibu dengan baik, mungkin Ibu enggak bakal ninggalin kita. Mungkin sekarang Ibu masih hidup berkumpul di rumah ini," ujar Karin, adik pertama Kinara. Dia menatap marah Kinara, seakan kejadian ini memang kesalahan kakaknya itu. Kinara terdiam, dia hanya menatap lurus dengan tatapan kosong. Setelah proses pemakaman Runi selesai, Kinara hanya diam tanpa banyak bicara. Menangis kemudian menghapus air matanya. Menangis kembali berakhir menghapusnya. Tidak bisa dipungkiri. Hatinya masih belum ikhlas akan kepergian Ibunya. Belum menerima sepenuh hati atas apa yang terjadi. Karen
"Ya Allah ... apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus menggunakan baju ini?" tanya Kinara sembari menatap baju merah pekat tersebut. Baju yang kurang bahan, terdapat bolong-bolong di setiap inci baju tersebut. Bahkan jika dipakai pun terlihat sudah seperti tengah telanjang. Bagi Kinara yang setiap harinya memakai jilbab menutup seluruh tubuh jelas membuatnya uring-uringan sendiri. Antara mengiyakan permintaan Aarav atau mungkin ... mencari alasan agar malam ini tidak terjadi? "Ah! Apa yang harus aku lakukan?" Kinara frustasi sendiri. Dia meremas kepalanya dengan resah nan gelisah. Diusianya yang sudah berkepala tiga membuat dirinya semakin takut saja. Padahal seharusnya dia bersyukur karena sudah menikah, tidak dikatakan perawan tua lagi. Apalagi oleh para tetangga yang sukanya menjudge dirinya. Bukankah ini kesempatan bagus untuk menutup mulut mereka yang selama ini menghina dirinya? Tapi, membalas dendam pun bukanlah jalan terbaik. Karena yang jadi masalahnya ... Ia akan dile
Pagi telah tiba. Suara beduk azan membuat mata Kinara mengerjap. Terbangun sudah kala suara azan mengumandang. Kinara membaca doa lebih dahulu kemudian tatapan matanya jatuh pada seseorang yang terbaring di sampingnya. Kinara membelalakan mata kala menyadari kalau Aarav? Tidur dengannya? "Aku, seranjang dengannya?" tanya Kinara pelan. Tapi, baju nan kerudung yang ia kenakan masih baik-baik saja kok. Itu berarti dirinya masih perawan kan? "Hah, untung ...." Kinara menghela nafas pelan. Pandangan matanya menatap lurus sang suami. Ah Mas suami. Eh? Kinara senyum-senyum sendiri, melihat Aarav yang tidur tenang seperti itu malah terkesan manis nan kalem. Tidak seperti monster kala dia terbangun. Jika ditanya lebih tampan mana? Ya lebih tampan Aarav yang lagi tidur. Ketampanannya plus-plus. Kinara cungar-cengir sendiri namun sedetik kemudian dia memikirkan kehidupannya di masa depan yang akan datang. Kira-kira, apa yang telah Allah rencanakan di masa depan sana ya? Apa setelah ini ia
"Turun di sini!" Kinara menolehkan pandangan matanya pada pria di sampingnya.Setelah tadi mereka makan di restoran kini mereka meluncur pergi ke kantor. Karena memang kantor dirinya bekerja dan Aarav sama. Namun sebelum itu Aarav mengantar terlebih dahulu Lusi ke kamar hotelnya. Dan kini keduanya sudah berada di depan kantor. Ah tidak, bahkan Aarav menyuruhnya untuk turun sebelum kantor itu ada di hadapannya. "Baik," jawab Kinara tanpa bantahan apapun. Ia mengerti, sungguh sangat paham. Bahwa seorang CEO, mana bisa berdamping dengan dirinya yang miskin ini? Tanpa sepatah kata apapun mobil hitam milik Aarav melaju meninggalkan Kinara yang kini termenung. Menghela nafas panjang kemudian membuangnya sesuai ritme. Dalam diam Kinara berjalan. Sebenarnya hari ini Kinara sangat malas untuk pergi bekerja. Inginnya tiduran di atas kasur empuk, main hp atau bersantai-santai di kamar hotel itu. Tapi tidak, karena ia sadar kalau dirinya bekerja di Cavern grup membuatnya tidak boleh bolos.
Sore ini pekerjaan Kinara sudah selesai, dengan begitu ia akan pulang lebih awal. Kasihan pula pada adiknya yang menunggu di sana. Ah, jika bukan karena memenuhi kebutuhan hidup, Kinara lebih baik bersama adiknya Lusi. Derrttt DerttSuara dering ponsel terdengar di dalam tasnya, membuat Kinara dengan segera mengeluarkan ponsel tersebut. Menatap siapa penelfon di sore hari begini. Karin. Ah, adik keduanya. Dengan segera Kinara menekan ikon hijau. "Kak? Kakak enggak lagi di rumah?" tanya di seberang sana. "Biasakan dulu buat ucap salam Karin. Sudah berapa kali kakak bilang kalau---""Iya maaf Kak. Assalamu'alaikum. "Kinara menghela nafas sejenak. Namun dengan begitu ia membalas salam tersebut. "Kak, kunci rumah di mana?" tanya Karin setelah beberapa detik terdiam."Kenapa? Kenapa nanyain kunci rumah?" tanya Kinara mulai merasakan tidak enak hati. "Karin mau tinggal di rumah almarhumah ibu aja kak. Gak mau tinggal seatap sama mertua!"Benar saja akan firasat Kinara, pasti ada apa
"Duduk di sana, ada suatu hal yang akan saya bicarakan," titah Aarav kala keduanya sudah berada di kamar hotel.Kinara menurut, segera duduk di sebuah ruangan yang entah apa itu. Karena kebanyakan di sini hanya dipenuhi oleh berbagai buku.Ah tidak, pajangan buku di balik lemari besar begitu tersimpan rapi di dalamnya. Terdapat kaca besar dibalik jendela yang mengarah langsung ke Ibukota Jakarta. Di sisi-sisi jendela tersebut terdapat sebuah bunga hiasan, berjejer rapi dengan warna-warni. Ruangan yang begitu rapi, indah, nyaman nan sejuk membuat Kinara merasakan adem. Apalagi AC ruangan ini yang juga menyala, menambah kesejukan yang ada. Ia baru tahu kalau ruangan ini ternyata bukan hanya ada kamar, ruang tamu dan toilet, ternyata di sini ada ruangan lain.Kinara menatap lurus ke depan di mana ada sebuah kursi putar yang berukuran besar. Kursi yang hanya di gunakan oleh mereka sang pengusaha-pengusaha.Seulas senyum terbit kala Kinara menatap kursi tersebut dengan seksama."Hahaha, A
"Karena saya ... perempuan yang sudah tua Pak. Saya, perawan tua."Kinara benar-benar menunduk. Malu sudah mukanya untuk menatap pria muda di depannya ini. Perbedaan usia yang begitu jauh membuat Kinara cukup sadar diri. Bahwa ia tak lain hanyalah sebuah batu dihamparan debu. Sedang perempuan di luaran sana? Mereka bagaikan berlian di tengah bebatuan yang ada. Indah, begitu memikat dalam pandangan. Sedang ia? Begitu kumuh, jelek dan ... tidak enak dipandang. "Seharusnya Bapak tidak menikahi saya, Pak ... saya hanya akan memalukan Bapak saja. ah atau tidak, Bapak bisa kok langsung ceraikan saya." Kinara memberanikan dirinya dalam menatap Aarav, terdapat rona merah di pipinya. Bukan marah, hanya saja Kinara merasa bahwa memang dirinya tidak pantas untuk siapapun, membuatnya ingin menangis saja. Apalagi untuk pria muda di depannya ini. "Saya akan menerima dengan ikhlas kalau Bapak mentalak saya. Karena saya sadar, seharusnya perempuan seperti saya tidak bersanding dengan Bapak. Seharus