"Perkenalkan, nama saya Aarav, calon suami Kinara." Dengan pelan Aarav menyalami Runi. Mencium punggung tangan wanita berkepala empat itu.
"Kamu? Calon suami Kinar?" tanya Runi dengan tatapan tidak percaya. Lirikan matanya beralih menatap Kinara yang termenung dengan melamun."Kamu sudah punya calon, Kinar? Tapi, kenapa kamu enggak kasih tau Ibu?" Tatapan Runi mengarah pada Kinara yang menatap Aarav. Dia masih tercengang atas ungkapan Aarav padanya.Apa maksudnya? Menikahinya?"Kinar, Kinar berani nyembunyiin masalah ini dari Ibu? Kamu bilang gak ada yang mau sama kamu. Tapi ini apa? Bahkan ini lebih dari sempurna Kinar. Ya Allah ...." Terdapat raut senang dari wajah Runi kala menatap Aarav.Tidak senang bagaimana? Wajah Aarav yang putih berseri begitu memenuhi wajahnya. Alisnya tebal, hidung mancung, kulit putih. Tidak lupa, bibir yang manis saat tadi dia tersenyum membuat Runi yakin bahwa Aarav pria yang telah Allah pilihkan untuk putrinya ini."Bu, i--ini bukan---""Saya akan menikahi Kinara secepatnya Tante. Kalaupun mau sekarang, saya siap untuk menikahi Kinara." Ucapan Kinara terpotong kala Aarav langsung menyahut. Dia menatap Runi tanpa melihat Kinara yang sudah melotot dibuatnya."Ya Allah ... alhamdulillah. Putri Ibu akan segera menikah. Alhamdulillah ...."Kinara menelan salivanya pelan. Dia menatap sang Ibu yang begitu kentara akan kebahagiaan. Terasa menggetarkan hati Kinara yang kini dibuat bimbang akan semuanya.Kinara mengerti akan raut bahagia itu. Raut kebahagiaan yang sangat menginginkan putri pertamanya ini untuk segera menikah.Bagaimana tidak? Kinara yang sudah memasuki umur 30 tahun, tapi menikah belum juga dia lakukan. Bukan tidak ingin, hanya saja sejak itu Kinara lebih memfokuskan dirinya dalam mencari uang untuk sang Ibu dan adik-adiknya.Kinara punya adik tiga. Dan semuanya perempuan, sedang Kinara sendiri anak pertama dari empat bersaudara.Diumur 20 tahun, Kinara mencari uang untuk membiayai sekolah adik-adiknya. Dia berpikir akan menikah jika tanggungan sang adik sudah selesai. Minimal adik-adiknya lulus SMA lebih dahulu, setelah itu dia akan membiarkan adiknya untuk memilih antara bekerja atau kuliah.Saat itu Kinara tidak terlalu memikirkan akan nasib dirinya yang sudah berumur. Diumur yang seharusnya menikah malah Kinara habiskan dengan mencari uang. Karena ternyata harapannya tidak sesuai ekspetasi.Ia kira kedua adiknya akan bekerja setelah lulus dari SMA, tapi ternyata tidak. Mereka nganggur tanpa mau bekerja. Katanya pekerjaan di Jakarta susah, membuat mereka jenuh sendiri karena pekerjaan tak kunjung mereka dapatkan.Kinara memaklumi mereka, dengan begitu dia semakin bekerja keras dalam mencari uang. Apapun pekerjaan akan Kinara lakukan demi membiayai ekomomi keluarganya. Seakan anak pertama adalah tulang punggung membuat Kinara melakukannya dengan sepenuh hati.Tidak ingat umur, tidak ingat akan menikah. Tidak ingat pula untuk menabung uang kelak untuk masa depan. Semuanya Kinara lakukan hanya untuk keluarganya.Hingga tepat saat Kinara berumur 26 tahun, Adiknya Karin ingin menikah.Saat itu Runi menolak siapa saja untuk menikah. Bukan tidak ingin, hanya saja Runi ingin Kinara lah yang lebih dulu menikah ketimbang anak yang lain. Katanya melangkahi perempuan pertama adalah 'Pamali' membuat Runi takut jika Kinara tidak kunjung ada yang mau nantinya.Namun takdir tidak ada yang tahu. Adiknya Kinara keukeuh ingin menikah, sampai adik yang satunya bernama Dara juga ikut-ikutan ingin menikah. Hingga saat itu, Kinara harus dilangkahi langsung oleh kedua adik perempuannya.Mereka sudah menikah, sedang Kinara semakin susah dalam mencari pasangan. Tidak ada yang mau menikah dengannya. Semua lelaki seakan tahu bahwa Kinara bukanlah perempuan yang cocok untuk mereka.Kinara menyerah. Dia menyerah dalam keinginan untuk menikah. Karena pada akhirnya dia akan ditolak kembali. Pernah dia melamar seorang laki-laki,tentu dengan perantara dari orang lain, melalui sebuah surat Kinara menuliskan keinginan dalam melamarnya. Namun lagi, dia ditolak.Setelah hari itu, Kinara tidak pernah berpikir untuk menikah. Dia sudah memasrahkan semuanya kepada Allah. Jika memungkinkan, dia lebih baik tidak menikah saja. Sudah lelah akan segalanya. Hatinya, jiwanya. Kinara sudah lelah.Hingga tepat saat dirinya berumur 30 tahun, seseorang tiba-tiba saja mengatakan ingin menikahinya, hal yang jelas membuat Kinara menatap tidak percaya. Mematung bagaikan mayat hidup. Dia menatap pria yang secara tiba-tiba mau menikahi perawan tua sepertinya.Entah senang atau tidak tapi ... melihat senyum ibunya yang merekah membuat Kinara terenyuh akan semuanya. Seakan dunianya kembali hadir, semangatnya dalam hidup kembali membara."Nak Aarav, kalau nikahnya hari ini, boleh tidak? Ibu sangat ingin sekali melihat putri Ibu ini menikah," ucap Runi membuat kesadaran Kinara tersadarkan. Ah, dia bahkan tidak tahu apa yang sedari tadi mereka bicarakan.Namun detik berikutnya Kinara menggeleng. "Bu, kalau nikah secepat itu---""Bisa kok. Hari ini pun saya siap, Ma!"Kinara melotot saat Aarav menatapnya, dia bahkan sudah memanggil Runi dengan nama 'Mama.Ish! Sejak kapan mereka jadi sedekat itu?"Saya akan menyiapkan segalanya. Kalian tidak perlu khawatir," ucap Aarav kemudian berlalu begitu saja.Kinara menatap kepergian Aarav dengan raut tidak percaya. Terlihat dia sedang bertelfon dengan seseorang yang entah siapa."Alhamdulillah ... akhirnya Ibu bisa lihat kamu menikah, Kinar. Ibu benar-benar bahagia," ucap Runi tersenyum haru. Dia menggenggam erat Kinara dengan tampang bahagia.Kinara membalas senyuman sang Ibu dengan senang. Menautkan telapak tangannya untuk menggenggam sang Ibu.Niat hati ingin mengatakan kalau Aarav itu bukan siapa-siapa selain orang yang ingin meminjamkan uang untuknya, tapi melihat keceriaan dari sang Ibu membuat niat itu terurungkan. Rasa bahagia melihat Ibunya tersenyum membuat Kinara tidak bisa berkata-kata. Karena bahagianya jelas ada pada Ibunya ini.Namun dibalik itu, rasa resah nan bimbang Kinara rasakan pula kala Aarav benar-benar ingin menikahinya. Entah sebuah keberuntungan atau kesialan, tapi Kinara merasa bersyukur kala seorang lelaki ingin menikahinya. Secara mendadak lagi.Hingga selang beberapa menit orang-orang dengan berpenampilan jas dan kopea memasuki ruangan di mana Kinara berada.Mereka, tak lain wali hakim dan para saksi. Masuk dengan penuh kharisma."Waktu baik sebaiknya dilakukan dari sekarang, untuk calon mempelai laki-laki, silahkan Anda duduk di sebelah kanan. Dan untuk mempelai perempuan silahkan duduk di sebelah mempelai laki-laki," ucap wali hakim menegaskan.Sumpah demi apapun, kegiatan akad nikah diselenggarakan secara mendadak. Benar-benar mendadak! Membuat Kinara harus gelagapan sendiri. Gemetar sudah kaki dan tangannya.Jantungnya berdebar sangat kencang, antara percaya dan tidak percaya akan semua ini. Bahwa sebentar lagi, dirinya akan benar-benar berganti status.Di atas ranjang sana, Runi menangis terharu tatkala Aarav mengucapkan ijab qobulnya. Yang mana detik itu juga putrinya Kinara resmi berstatus suami-istri.Benar-benar, tidak ada kebahagiaan yang paling Runi inginkan kecuali melihat sang putri pertamanya menikah. Apalagi dengan pria yang begitu terlihat baik nan rupawan. Membuat Runi mengucap syukur terus-menerus.Proses akad terlaksana sudah. Kinara menangis dengan penuh haru. Menunduk dengan terisak."Karena kalian sudah resmi menjadi suami-istri, sekarang sang istri bisa mencium punggung tangan sang suami. Dan untuk suami, bisa mencium kening istrinya," ucap penghulu tersebut.Kinara dengan patuh segera menyalami punggung Aarav yang kini resmi sudah menjadi suaminya. Bergetar pula tangannya saat genggaman halus itu ia rasakan.Menunduk malu, Kinara memejamkan matanya saat sebuah ciuman mendarat halus di keningnya. Hingga detik berikutnya hanya rasa kehangatan yang kini hadir dalam hati Kinara.Namun, kebahagiaan itu tidak cukup lama. Karena tepat saat Aarav mencium kening Kinara.Sang Ibu sudah menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya. Memejam dengan bibir melengkung ke atas. Satu butir air mata jatuh di kelopak matanya. Hingga detik berikutnya Kinara berteriak histeris saat mengetahui kalau sang Ibu ... sudah tidak bernyawa lagi.“Assalamu'alaikum…?” Khalifa mengucap salam saat ia masuk ke dalam rumah, ah, bukan hanya Khalifa, Alby juga ada. Keduanya masuk dengan raut muka terlihat capek. “Kak, eum … aku mau mandi dulu ya, seharian kerja bikin aku gerah,” ucap Khalifa pada Alby. Alby tersenyum. “okke, tapi jangan lama-lama ya, udah malam soalnya. Ah iya, pake air hangat biar nggak kedinginan.”Khalifa terkekeh. “Aku bukan kamu yang harus pake air dingin kali, aku kan nggak alergi dingin,” timpal Khalifa menjawab. “Masalahnya kan udah malam, nggak baik buat kesehatan.”“Enggak bakal kak. Udah, lagian aku mandi bakal cepet kok. Dah ya, aku mau mandi dulu!” ucap Khalifa gegas berlari namun dengan cepat Alby menahannya lebih dahulu membuat Khalifa kembali berbalik menatap Alby. “Kalo udah mandi nanti turun ke bawah ya? Aku mau masakin kesukaan kamu. Kita makan bareng,” ucap Alby. Kebetulan sekali keduanya belum makan membuat Khalifa mengangguk antusias. “Cium dulu sini.” Alby menampilkan pipi kanannya. Ia men
Seminggu berlalu…Seorang wanita berjalan dengan menyeret kopernya. Tergesa-gesa sebab terlambat,bahkan saking tergesa-gesanya, wanita itu tanpa sengaja menabrak bahu seseorang membuat wanita itu menyeru minta maaf. “Ya ampun maaf, Mas. Saya enggak sengaja!” ucapnya sedikit menundukkan kepala, detik berikut kepala wanita itu mendongak. Namun… “Lho?” Sesaat pandangan keduanya bertemu. “Gama?”“Khanza?” Keduanya berseru secara berbarengan. Gama dengan pandangan mata menelisik, sedang Khanza menatap dengan tarikan napas. “Kukira siapa, taunya kamu,” ucapnya merubah raut wajah. Khanza menghela napas, tanpa sepatah kata apapun perempuan itu pergi begitu saja. Gama menaikan alisnya, namun sedetik kemudian ia mengedikkan bahu, ikut pergi dengan menyeret kopernya. Ia tahu yang dirinya tabrak, untuk itu tidak peduli baginya.Gama memilih duduk setelah melakukan check up,melalui maskapai yang telah memberitahukannya kini ia duduk menunggu antrian untuk masuk ke dalam pesawat. Gama menghel
Pagi ini Khalifa bangun lebih awal, melihat sosok suaminya yang tertidur pulas. Ah, mungkin efek cairan infus yang masuk ke dalam tubuhnya, membuat pria itu terjaga dari tidurnya. Merasa pegal dibagian lengannya, Khalifa merenggangkan otot-ototnya. Tidur seranjang dengan Alby jelas membuatnya tak bergerak sana-sini, menjadikan ia merasakan pegal. Khalifa menghela napas, ia menunduk melihat pakaiannya yang kotor nan penuh darah, lupa, bahwa memang ia tak mengganti baju. Ah, jangankan untuk mengganti baju, justru hatinya saat itu resah memikirkan Alby. “Aku harus memberitahukan Bunda. Jika tidak mereka pasti khawatir.” Khalifa menatap terlebih dahulu Alby, mumpung pria itu masih tertidur membuat Khalifa gegas pergi. Selain merasa tak nyaman dengan pakaiannya ia juga tak nyaman dengan keadaan ini. Sungguh, walau ada perasaan lega melihat Alby selamat namun ada sisi lain yang membuatnya resah. Mengenai Khanza … Ia belum berani untuk menghadap padanya dan mengatakan yang sejujurnya. *
Lihatlah, wajah Alby yang dulunya tampan kini banyak dipenuhi luka. Beberapa luka itu diperban, entah bagian kepala, rahang, maupun anggota tubuh lainnya. Tak kuasa melihat keadaannya seperti ini, Khalifa menunduk dengan hati penuh sesal. “Maafin, Alifa Kak… maaf ….” Khalifa terduduk di kursi yang berada di pinggir ranjang tersebut, menggenggam tangan Alby yang begitu kekar. Dulu, tangan inilah yang selalu siap siaga menggenggam tangannya. “Andai aku tidak menurutinya, andai kita kabur saat itu mungkin keadaan kamu enggak bakal separah ini Kak. Bodoh, harusnya aku menolak ajakanmu untuk melawan mereka. Bodoh!” Khalifa merutuk dirinya, menarik tangan Alby untuk ia kecup. “Sekarang aku baru menyadarinya, Kak. Kalau aku … benar-benar takut kehilangan kamu. Aku takut ….” Khalifa tak bisa lagi membendung tangis yang kian jatuh menimpa pipinya, bengkak sudah kedua matanya sebab terus menangis. “Setelah kehilangan Mama dan Papa, aku enggak mau kehilangan kamu, Kak. Boleh aku egois? Aku i
Khalifa menunduk, semakin menangis tertahan dengan tangan yang masi menyentuh kepala Alby. “Kak … tolong … jangan tinggalin aku kayak gini … tolong bangunlah….”“Uhuk!”Sebuah semburat darah tiba-tiba keluar di bibir Alby tatkala pria itu terbatuk. “Kak Al?” Terkejut, Khalifa mendapati Alby membuka matanya dengan ringisan kecil yang keluar. “Khalifa….”Sudah menangis deras kini Khalifa menambah tangisnya tatkala suara lembut itu terdengar. Bergetar hatinya mendengar hal itu. “Kak Al….” Khalifa menangis, memeluk kepala Alby. “maafin aku, Kak. Maaf….”Alby memejamkan matanya menahan rasa sakit, ia menggeleng. “aku kembali untuk kamu, Alif….”Khalifa mengangguk, entah harus bagaiamana tapi ia benar-benar senang tatkala Alby kembali. Terbangun untuk menepati janjinya. Menggenggam erat tangan yang amat dingin itu Khalifa berucap, ““Kita harus ke rumah sakit dulu, Kak. Secepatnya luka kakak harus diatasi,” ucap Khalifa melihat keadaan Alby yang kian parah. “Kakak masih sanggup berdiri?
“Kau akan mati ditanganku!” Bugh! Alby langsung menghindar saat orang itu hendak menendang, belati yang dirinya pegang ia tusukkan ke depan untuk mengenal tubuh Alby, namun dengan gesit, Alby menghindar secara agresif. Memilih melawan dari belakang, Alby bisa menghajarnya dari belakang tersebut. Seseorang itu terjatuh, mukanya makin memerah. Satu diantara mereka berjalan maju, membuat Alby harus melawan dua orang sekaligus. Ah tidak, bahkan satunya lagi ikut-ikutan maju, menambah orang yang harus Alby lawan. Cukup kewalahan sebab mereka memiliki senjata masing-masing, sedang Alby hanya menggunakan tangan kosong sebagai tameng dirinya. Satu kali dua kali ia mendapat pukulan yang tak bisa ia hindari, bahkan goresan belati pula harus terkena sampai kulitnya saking keagresifan mereka. Murka, mereka murka sebab merasa terkalahkan oleh Alby. Alby mengatur napasnya dalam-dalam. Melawan 10 orang sekaligus benar-benar menguras tenaganya. Apalagi tidak diberi jeda untuk berhenti se